Hadirin yang berbahagia,
tadi saya uraikan mengenai baku mutu dan strategi dalam pembenahan alam produksi di Indonesia, berikut ini akan penulis uraikan suatu pandangan dan penulis langkah-langkah penyempurnaan dalam pengelolaan terutama produksi, di Indonesia. Sesuai dengan bidang keahlian yang penulis geluti selama ini, pembahasan ini akan lebih difokuskan dari pandang ilmu manajemen terutama yang berkenaan dengan sistem nilai dan sistem perencanaan dalam pengelolaan
produksi di Indonesia.
Hadirin sekalian,
pembangunan kehutanan berjalan lebih dari seperempat abad, beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dalam praktek serta kinerja kegiatan pengelolaan yang selama ini telah dan sedang dilaksanakan, diantaranya adalah :
Sudah sejalankah arah pengelolaan di Indonesia dengan Bangsa lndonesia yang dituangkan dalam peraturan dan perundang-undangan negara kita dan tuntutan masyarakat internasional
2. Sudah maksimalkah yang diperoleh dari
daya dan sudah sejalankah ukuran yang kita pergunakan dalam menilai yang diperoleh itu
3. Sudah benar dan dilaksanakankah prinsip-prinsip yang se-
suai dengan konsep ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan nilai budaya yang senantiasa berkembang itu ?
4. Sudahkah pengelolaan dilaksanakan secara
nal agar yang diperoleh daripadanya berhasilguna dan berdayaguna tinggi ? Dst., dst.
Penulis berpendapat, terhadap pertanyaan- pertanyaan di muka adalah belum sepenuhnya terpenuhi. Kiranya hanya dengan sikap besar dan semangat pembaharuanlah kinerja pengelolaan akan dapat kita sempurnakan agar sesuai dengan kita bersama.
dalam Sistem yang Dianut dan Sistem Perencanaan dalam Pengelolaan
Indonesia
A. Sistem nilai yang dianut
Hadirin sekalian,
Para ahli kehutanan di dunia telah lama ni bahwa memiliki dan dapat menghasilkan
ganda Keyakinan ini pula kiranya yang melandasi pemikiran dalam pengaturan pengelolaan di Indonesia sebagaimana dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 1967 Ketentuan-ketentuan Pokok
Akan tetapi dalam prakteknya ganda yang besar nilainya itu seringkali hanyalah bersifat sebatas oleh karena hanya sebagian kecil
dari yang benar-benar dapat
diperoleh dan dinikmati untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat terjadi, antara lain, sebagai akibat dari kombinasi dan interaksi di antara
sebagai berikut :
a. Perbedaan persepsi dan tingkat yang dalam memberikan nilai dari
b. Ketidaktahuan (kurang atau bahkan mungkin tidak ada informasi) terhadap potensi kekayaan yang
c. Keterbatasan penguasaan teknik manajemen dan yang untuk memanfaatkan
an yang tersedia
Pemahaman dan penetapan sistem yang dipakai memandang sebagai suatu ekosistem akan menentukan tingkat kekuatan
dibandingkan dengan bentuk pemanfaatan yaitu bentuk sebagai suatu ekosistem.
produksi pada saat ini hanya diperhitungkan berdasarkan kayu dari pohon-pohon jenis yang ditebang (berdiameter tertentu sesuai kriterium
sistem yang dipergunakan). Bengston
ini bagian dari
yang dikategorikannya ke ekonomi (conventional atau economics) yang penetapan hanya berdasarkan kepada dua yang sempit, yaitu tukar (market price)
dan atau kegunaannya to
pay or willingness to accept compensation). Pada menurutnya, ini ibarat satu jenis saja dari
genus yaitu ekonomi dari
suatu ekosistem yang dianut cabang ekonomi yang membahas prinsip-prinsip ekonomi
menerangkan (ecological
economics).
Akibat sempitnya sistem yang dipergunakan memandang produksi ini, maka
produksi akan dianggap dari
proses pengkonversian untuk kegiatan ekonomi lain yang apabila dilihat dari guna langsungnya akan lebih tinggi; misalnya untuk industri, perkebunan kelapa perindustrian,
B. Sistem perencanaan dalam pengelolaan
Pengelolaan yang dilakukan selama ini diawali ngan penunjukan, pengukuhan dan penatagunaan
kegiatan penatagunaan setiap kesatuan ditentukan fungsi penggunaannya berdasarkan sifat- sifat dan biologis hutannya ke dalam konservasi (suaka alam, suaka margasatwa, rekreasi),
lindung dan produksi. Penetapan dengan fungsi konservasi berdasarkan kepada kekhasan, tingkat kelangkaan serta peranannya dalam menyangga kehidupan dari flora, fauna serta ekosistemnya; sedangkan penetapan lindung dan produksi berdasarkan kepada ketinggian sifat kepekaan terhadap erosi, kemiringan dan intensitas hujan.
Dalam setiap fungsi penggunaan selanjutnya ditetapkan bentuk-bentuk kegiatan pengelolaan, termasuk di dalamnya pemanfaatan, yang dapat dilakukan yang bersifat kaku dan sempit. Dalam pengelolaan
duksi, kegiatan utamanya adalah pengusahaan yang hanya mencakup kegiatan-kegiatan : penanaman
jaan), pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan saran (UUPK No. 5 tahun 1967, PP No. 2 1
1 970); sedangkan bentuk pemanfaatan yang dibenarkan dalam kegiatan pengusahaan hanyalah pemanfaatan (pemanenan) kayu. Penyempurnaan peraturan ini sebagaimana diatur dalam PP No. 6 Tahun 1999 tidak
konsep pengelolaan produksi secara mendasar, kecuali dalam komoditi yang dapat
(diusahakan), pelaku pengusahaan prosedur mendapatkan HPH dan pembatasan areal HPH
yang dibenarkan untuk setiap pemegang HPH.
Dalam pengusahaan produksi, permasalahan akan oleh karena kriteria dalam penetapan
produksi yang hanya berdasarkan kepada kemiringan lapangan, tingkat kepekaan terhadap erosi dan intensitas dengan kisaran kelas yang kasar; tidak akan bahwa pemanfaatan kayu sebagai bentuk pemanfaatan optimal untuk setiap kesatuan produksi yang terbentuk. Dengan kriteria penetapan produksi seperti sekarang maka dalam kategori produksi akan terdapat karakteristik (letak geografis, lapangan, flora, fauna, tipe
tem) yang apabila dianalisis secara mendalam diperkirakan akan menghasilkan bentuk pemanfaatan optimal yang juga dibandingkan dengan hanya sekedar pemanenan kayunya Dengan berpikir seperti ini, akan
sulit untuk mendapat tingkat pemanfaatan optimal dari produksi apabila mekanisme yang dipergunakan dalam pemanfaatan produksi tetap mengikuti mekanisme seperti yang dianut sekarang.
Saran untuk Penyempurnaan Pengelolaan A. Sistem nilai
Apabila kita sepakat untuk menerapkan prinsip PHL dalam pengelolaan di Indonesia, maka penilaian kelayakan
penggunaan lahan yaitu atau naan lain yang memerlukan proses pengkonversian
haruslah berlandaskan kepada suatu penilaian dengan memasukan dimensi waktu yang
(t
-
). Sebab, apabila untuk keperluan ini penilaiannya hanya berlandaskan kepada dimensi waktu yang terbatas,satu atau dua kali daur atau tebang, yang diperoleh akan berbias. Bias akan terjadi mengingat dalam jangka waktu
yang diperoleh merupakan yang sempit, yaitu yang bernilai guna langsung Bentuk
ini hanya sebagian kecil saja dari total
yang dapat diperoleh dari sebagai suatu ekosistem. Di lain pihak, selama periode tersebut, produktivitas lahan bekas apabila digunakan untuk keperluan lain mungkin saja lebih tinggi dari produktivitas hutannya, mengingat dampak pengkonversian terhadap penurunan kesuburan dan kualitas lahannya masih belum tampak secara nyata. Akibatnya, guna langsung di itu akan lebih kecil dari penggunaan lainnya. Keadaan ini, akan sebaliknya apabila penilaian dilakukan dengan dimensi waktu yang
panjang. Dengan pertimbangan ini, dalam
kan lahan alam apabila tetap dipertahankan atau dikonversi ke dalam penggunaan lainnya, penilaian haruslah berdasarkan dimensi waktu yang
dengan memasukkan yang mungkin
diperoleh dari ekosistem alam. Memasukkan dimensi waktu yang panjang dalam menganalisis ekosistem sangatlah penting apabila prinsip pengelolaan untuk sumberdaya alam yang dapat dipulihkan dipertahankan.
B. Tahapan kegiatan dalam pengelolaan
Apabila sistem nilai yang dianut dalam pengelolaan sebagaimana diutarakan di muka telah disepakati, maka secara teoritis penetapan bentuk pengelolaan yang
yanya ditetapkan dalam lahan tidak harus dibatasi oleh status fungsi penggunaan yang pada saat ini telah melekat padanya, akan tetapi hams ditetapkan secara optimal untuk setiap kesatuan pengelolaan hutannya.
Akan tetapi, di lain pihak, apabila kita melepaskan sama sekali status fungsi penggunaan yang ada sekarang
akan tidak menguntungkan, mengingat : a. Penggolongan kawasan fungsi
annya ke dalam dan
tan konservasi nasional, cagar
ka, rekreasi) sebagaimana telah dilakukan pada saat ini telah dikenal secara luas oleh masyarakat, dan b. Penggolongan telah memberikan gambaran
mengenai arah penekanan fungsi penggunaannya masing-masing.
Sehubungan dengan itu disarankan untuk diadakan penyempurnaan dalam tahapan pengelolaan secara bertahap, yaitu sebagai berikut :
1. Periode Transisi :
a. Kegiatan pengelolaan hams dimulai dari kegiatan penataan yang mencakup kegiatan- kegiatan : pembentukan kesatuan-kesatuan
pembagian ke dalam petak-petak (compartment) yang bersifat di dalam setiap kesatuan pengelolaannya dan diikuti dengan :
penentuan batas-batas luar dan dalam), perisalahan pembukaan wilayah
pengumpulan bahan lainnya untuk keperluan penyusunan rencana serta pengukuran dan pemetaan. Penyusunan rencana pengelolaan
jangka panjang (management plan), dengan jangka waktu sedikitnya sama dengan satu siklus tebangan atau daur seyogyanya dimasukkan pula dalam cakupan kegiatan penataan ini. Dengan demikian maka hasil akhir dari kegiatan penataan ini adalah rencana pengelolaan
jangka panjang yang selain
pengelolaan yang spesifik dan aturan teknis kehutanan yang bersifat sistem silvikultur yang bersifat spesifik, dll.; perlu pula dimasukan kelembagaan dalam pengelolaan di kesatuan pengelolaan di dalamnya aturan mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan di
itu (stakeholden). Dengan lingkup kegiatan penataan seperti ini, maka pengertian penataan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Perencanaan
yaitu : PP
No.
33/ 1970, yang hanya mencakup kegiatan-kegiatan : penataan batas-batas yang akan ditata, pembagian dalamkerja, perisalahan pembukaan wilayah
pengumpulan bahan-bahan lainnya untuk keperluan penyusunan Rencana serta pengukuran dan perpetaan (Pasal 9 ( 1 )), perlu ditinjau dan disempurnakan kembali. Hasil penataan serta
rencana pengelolaan jangka panjang yang arahan pengelolaan dalam jangka panjang ini harus dikukuhkan oleh pemerintah agar
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. sebabnya mengapa kegiatan penataan termasuk penyusunan rencana pengelolaan jangka panjangnya, harus ditetapkan sebagai pemerintah; bukan menjadi kewajiban gang HPH seperti diatur dalam PP No.
(Pasal 19 ( ) butir a dan c) yang sekarang berlaku. Argumentasi adalah sebagai berikut :
a. HPH dengan luas areal 50000 ha atau lebih diberikan oleh pemerintah melalui penawaran dalam pelelangan.
b. Walaupun sebelum melakukan penawaran pemegang HPH telah mengetahui potensi hasil
yang tersedia di dalam areal
penilaian biayanya sendiri, tetapi gambaran potensi ini belumlah
nya potensi yang dapat (AAC), oleh karena AAC baru akan tercanturn dalam rencana pengelolaan jangka panjang yang harus disahkan oleh pemerintah.
c. Apabila kemudian tertentu (perusahaan swasta, koperasi, BUMN atau BUMD), melalui lelang mendapatkan HPH; maka
tungan HPH kepada pemerintah untuk
patkan pengesahan rencana pengelolaannya menjadi tinggi. Keadaan ini membuka peluang untuk terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam pengelolaan
d. Apabila alasan penyerahan kewajiban kedua kegiatan adalah terbatasnya dana dan tenaga yang dimiliki oleh pemerintah untuk kegiatan ini maka penyerahan kedua
kegiatan ini, sebagai kewajiban kepada pemegang HPH bukanlah alternatif pemecahan yang paling baik, mengingat pada akhirnya biaya yang diperlukan untuk kegiatan harus dipikul oleh yang akan oleh
HPH. berpendapat akan baik untuk melaksanakan kegiatan ini,
tah mengembangkan dan memperkuat lembaga perencanaan kehutanan di daerah, misalnya Brigade Planologi Kehutanan Daerah, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga perencana kehutanan dalam arti (perencana tata ruang perencana kegiatan konservasi
perencana program sosial
an, perencana pembinaan perencana pemanenan yang diberi kewenangan penuh untuk melaksanakan kegiatan ini.
Dengan kerangka pemikiran seperti itu, ketentuan mengenai kewajiban HPH sebagaimana diatur dalam Pasal 1 9 ( ) PP
No.
1 999 kiranya perlu ditinjau dan disempurnakan kembali.b. Fungsi penggunaan hanya menunjukan arah penekanan utama dari dan tidak batasi secara kaku dan sempit dan bentuk pemanfaatan yang dapat dipilih. Penentuan
dan bentuk pemanfaatan ditentukan kan kepada : karakteristik biofisik lahan
keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan arah pengembangan regional; dengan prinsip
malkan secara berkelanjutan
pada setiap kesatuan pengelolaannya.
c. Bentuk kegiatan pada setiap kesatuan pengelolaan pada dasarnya sama, yaitu mencakup
pengelolaan ekosistem yang
rnernperhatikan produksi (peman- lingkungan dan sosial. Oleh karenanya rnaka bentuk pengelolaan yang selama ini diterapkan dalam pengusahaan produksi, misalnya, seyogyanya tidak dilakukan lagi. Sejalan dengan pemikiran ini maka kegiatan penanganan kegiatan-kegiatan pada setiap kesatuan pengelolaan
dalam penggunaan
cukup dinamakan Pengelolaan dan kesatuan produksi yang menjadi atau diberlakukannya prinsip-prinsip pengelolaan untuk mencapai tujuan tertentu dinamakan Kesatuan Pengelolaan Produksi (Suhendang, lstilah Pengusahaan pada kesatuan pengelolaan produksi yang selama ini dipergu- nakan selain memberikan kesan eksploitatif juga telah mengarahkan sifat pengelolaan yang yaitu hanya bersifat pemanfaatan hu- tan yang mencakup kegiatan-kegiatan : penanaman, pemeliharaan dan penebangan pohon,
pengolahan dan pemasaran hasil (Pasal 1 butir 8 PP No. 1999). Kegiatan-kegiatan ini hanya sebagian saja kegiatan pengelolaan
produksi yang seharusnya dilakukan berlandaskan kepada prinsip PHL. Sejalan dengan ini maka hak yang diatur dalam pengelolaan produksi tidak lagi Hak Pengusahaan akan tetapi Hak Pengelolaan Produksi dan cukup hanya ada Hak Pengelolaan Produksi (Suhendang, 1 Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat apabila dalam satu kesatuan pengelolaan yang sama Hak Pengelolaan Produksi dan Hak Pengusahaan dipegang oleh
hukum yang berbeda, maka pelaksanaan pengelolaan pada kesatuan pengelolaan ini tidak akan efisien dan juga tidak akan efektif. itu, dalam PHL, pemanfaatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan-kegiatan lain dalam pengelolaan oleh karenanya maka Hak Pengelolaan Produksi di dalamnya harus mencakup pula hak untuk memanfaatkannya yang selama ini diatur dalam Hak Pengusahaan
d. Periode ini berlangsung sampai seluruh
lahan di Indonesia terbagi ke dalam kesatuan- kesatuan pengelolaan dan ditetapkan bentuk pemanfaatan optimalnya.
e. Dalam pengelolaan alam produksi, periode ini merupakan periode pembenahan dan terbentuknya normal tidak seumur dapat dipandang sebagai tujuan antara yang diharapkan dapat dicapai dalam 1 atau 2 kali siklus penebangan.
Periode :
a. Pada periode ini setiap kesatuan lahan telah terbentuk (termasuk) dalam kesatuan- kesatuan pengelolaan dan setiap kesatuan ngelolaan telah bentuk pemanfaatan optimalnya.
b. Setiap kesatuan pengelolaan tidak lagi dikenali melalui fungsi utamanya sesuai kelompok fungsi penggunaan hutannya, akan tetapi dikenali melalui bentuk pemanfaatan optimalnya. Oleh karenanya pengelompokan berdasarkan fungsi
an seperti yang sekarang dianut, pada tahapan ini tidak diperlukan lagi.
Sistem perencanaan dalam kegiatan pengelolaan
Konsep pengoptimalan bentuk sumberdaya
( = memaksimalkan nilai pada suatu kendala tertentu) merupakan suatu pendekatan teoritis yang hanya akan menghasilkan nilai yang seyogyanya dapat diperoleh. Apakah nilai pada kenyataannya, seluruhnya dapat diperoleh atau tidak, rupakan permasalahan lain yang biasanya tidak dapat rangkan oleh model yang dipergunakan untuk malan sumberdaya tersebut. Besarnya nilai
yang akhirnya dapat diperoleh akan tergantung kepada sampai seberapa kepentingan dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap nilai
terakomodasikan.
Proses pengakomodasian kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan ini strategis posisinya apabila diingat bahwa keadilan dalam penyebaran nilai
merupakan utama dari pemanfaatan sumber- daya sebagai bagian dari kekayaan alam di Indonesia.
Memperhatikan kedua permasalahan di muka maka pendekatan yang bersifat kompromitis di antara
komponen yang ada di masyarakat dalam menentukan bentuk pengelolaan merupakan terbaik untuk dipilih. Nilai nyata yang diperoleh melalui pendekatan kompromistis ini mungkin akan lebih dari nilai maksimal teoritis yang dihitung berdasarkan prinsip pengotimalan; akan tetapi nilai ini diduga akan lebih tinggi dari nilai nyata yang dapat diperoleh melalui pendekatan pengotimalan sumber adanya kompromi. Pengakomodasian kepentingan pihak-pihak terkait dalam proses perencanaan akan dapat
dilakukan pendekatan perencanaan yang bersifat partisipatif yang seyogyanya dikembangkan dalam perencanaan pengelolaan sekarang dan di masa yang akan datang.
Dalam proses perencanaan yang bersifat partisipatif dianut prinsip adanya kesamaan kedudukan dan hak di antara pihak-pihak yang terlibat. Melalui pendekatan ini,
rintah seyogyanya lebih menempatkan dirinya sebagai dan dari pihak-pihak yang berkompromi tersebut.
D. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
Pengertian keterlibatan masyarakat (di sekitar
dalam kegiatan pengelolaan dalam pengalaman selama ini lebih sering ditunjukan oleh turut sertanya masyarakat, antara lain dalam :
a. Penanaman tumpangsari di Jati (P. sebagai pesanggem,
b. Kegiatan cruising dalam inventarisasi sebagai pengenal pohon, tukang masak, dan tukang lainnya,
c. Buruh kasar pada berbagai kegiatan pembinaan baik di HTI maupun di HPH dan
d. Tenaga (karyawan) pada perusahaan-perusahaan pengusahaan dan industri pengolahan
Itu semua benar merupakan bentuk keterlibatan
rakat dalam kegiatan pengelolaan akan tetapi bentuk keterlibatan seperti ini baru sebatas masyarakat dalam kapasitasnya sebagai faktor produksi, yaitu tenaga Padahal bentuk keterlibatan masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan haruslah diartikan sebagai dari konsep penguasaan negara terhadap sumberdaya di Indonesia, oleh karena bukankah keberadaan rakyat merupakan salah satu syarat untuk dapat berdirinya sebuah negara ?
Bentuk keterlibatan masyarakat memang perlu dirumuskan dan dipilah-pilah mana bentuk keterlibatan yang bersifat langsung dan mana bentuk keterlibatan yang dilakukan melalui (DPR, DPRD Tk. I, DPRD Tk. akan tetapi suara masyarakat dalam setiap bentuk keterlibatan perlu dan dipertimbangkan.
Adapun pengelompokan bentuk keterlibatan masyarakat dalam setiap proses kegiatan pengelolaan
pendapat penulis, adalah sebagai berikut :
a. Melalui perwakilan (DPR, DPRD Tk. I, DPRD Tk. yang diimplementasikan dalam proses
tukan peraturan perundangan (Undang-Undang, turan Pemerintah, PERDA) dan pengawasan dalam pelaksanaannya; mencakup :
1. dan penetapan serta penetapan status kawasan dan batas-batas kawasan
2. Penetapan fungsi penggunaan
3. Penetapan sistem dan mekanisme pengelolaan 4. Penetapan penggunaan dan penyebaran
5. Penetapan hak dan pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
6. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan oleh pemerintah.
b. Keterlibatan langsung sebagai pelaku
.
Proses perencanaan pengelolaan partisipatif, mencakup :a. Penetapan kawasan (terutama anggota masyarakat yang memiliki lahan yang berbatasan dengan kawasan
b. Penetapan bentuk-bentuk pemanfaatan dalam setiap kesatuan pengelolaan
c. Penetapan pembagian bentuk-bentuk kegiatan dalam proses pengelolaan di antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
2. dalam kegiatan pengelolaan baik secara perorangan, usaha, maupun koperasi.
3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.
RANGKUMAN
1. Dalam pengelolaan alam produksi di Indonesia, adalah penting untuk disadari bahwa, pada saat ini, kualitas sebagian besar alam produksi
dengan ciri-ciri, antara lain, penutupan tajuk volume tegakan persediaan kelompok yang bernilai ekonomis tinggi sebaran
pohon untuk setiap kelas diameter dan komposisi tidak optimal. alam dengan ciri-ciri seperti ini tidak syarat-syarat ideal untuk dengan tujuan utama menghasilkan kayu secara
Pengakuan dan kesadaran akan kondisi seperti itu, untuk strategi pengelolaan dalam jangka panjang,
akan menguntungkan; oleh karena dengan keadaan seperti itu maka tuntutan terhadap alam produksi untuk hanya menghasilkan nilai ekonomis sempit dan sesaat
saja diharapkan akan berkurang.
Menyadari keadaan seperti itu maka strategi pengelolaan yang perlu dilakukan, dalam satu sampai dua penebangan ke depan, adalah strategi pembenahan Dalam periode pembenahan ini, strategi pengelolaan yang dapat diambil adalah dengan menetapkan terbentuknya normal tidak seumur bagai antara. Untuk mencapai ini,
an kegiatan dalam pengelolaan haruslah berdasarkan kepada setiap kegiatan dalam terbentuk- nya normal, sedangkan besarnya merupakan akibat (by product) dari dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut. Strategi ini lebih tepat untuk diterapkan pada alam produksi sekunder, dibandingkan dengan mengkonversikannya ke bentuk penggunaan lain. Segala bentuk pengkonversian alam produksi sedapat mungkin harus dihindari oleh karena, dalam jangka akan merugikan baik dipandang dari segi ekonomi, ekologi maupun
normal tidak seumur yang disarankan untuk dipergunakan sebagai baku mutu kelestarian sumber dalam PHL, diharapkan dapat terbentuk penerapan pengelolaan yang bersifat (adaptive management) yang dalam prosesnya berlandaskan kepada
penelitian dan pengembangan ilmiah yang
rakan pada setiap kesatuan pengelolaan hutannya, dan masyarakat di sekitar
4. Untuk dapat terlaksananya pembenahan alam pro- duksi, penataan yang mencakup kegiatan-kegiatan :
di dalam kesatuan pengelolaan penetapan tujuan pengelolaan penataan kelembagaan
dan penyusunan rencana pengelolaan perlu dilaksanakan dengan baik. Untuk mendukung terselenggaranya kegiatan ini, disarankan agar kelembagaan dan kuantitas serta kualitas sumberdaya manusia, khususnya untuk tenaga teknis perencanaan kehutanan dalam arti luas, dalam bidang planologi kehutanan diperkuat dan disempurnakan.
Untuk dapat terselenggaranya pengelolaan yang dengan prinsip-prinsip dalam PHL, beberapa konsepsi dasar kebijakan kehutanan yang tertuang dalam undang- undang dan peraturan pemerintah yang berlaku pada saat ini perlu disempurnakan. Beberapa konsepsi dasar yang terkait dengan bidang pengelolaan alam produksi yang perlu disempurnakan kembali, antara lain, adalah konsepsi mengenai dan pengelolaan produksi (sekarang pengusahaan hak pengelolaan produksi (sekarang hak pengusahaan sistem perencanaan kehutanan, ruang lingkup penataan serta kejelasan hak dan kewajiban dalam pengelolaan bagi pemerintah, masyarakat dan usaha. Sehubungan dengan itu, maka penyempur- naan UU No. 5 tahun
1967
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang pada saat ini sedang berjalan perlu segera diselesaikan, sedangkan peninjauan dan penyempur- naan kembali terhadap PP No. 33 tahun1970
Perencanaan dan PP No.
6
tahun1999
Pengusahaan dan Hasil pada