• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.18

Penelitian merupakan suatu saran (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.19

1.6.1 J enis Penelitian

Menggunakan pendekatan normatif, tinjauan yuridis normatif yang dengan melakukan identifikasi terhadap isu-isu hukum yang sedang berkembang dalam masyarakat, mengkaji penerapan-penarapan hukum dalam masyarakat, mengkaji pendapat para ahli-ahli

18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 38 19

Suryono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

hukum terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil penelitian kemudian ditinjau aspek praktis dan aspek akademis keilmuan hukumnya dalam penelitian hukum.

1.6.2 Data

1. Sumber bahan hukum primer

Yaitu suatu data yang di peroleh langsung dari lapangan yaitu Polres Mojokerto Kota.

2. Sumber bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder sendiri di bagi menjadi tiga, yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa Undang-Undang yang mengatur atau berkaitan dengan permasalahan yang sedang di bahas. Dalam permasalahan ini yang digunakan adalah UU No.9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dan KUHP.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa referensi dari para ahli yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Bahan hukum yang diambil dari pendapat atau tulisan para ahli dalam bidang pidana dan kekerasan untuk digunakan dalam membuat konsep – konsep hukum yang berkaitan dengan penelitian ini dan dianggap sangat penting

c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa jurnal hukum.20

1.6.3 Metode Pengumpulan Data

Metode ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Primer yaitu berupa data yang diambil dengan cara observasi, wawancara dengan anggota Kepolisian Polres Mojokerto Kota atau kuisioner

2. Sekunder yaitu berupa data yang diambil dengan cara studi pustaka yang dilakukan dengan melakukan penelusuran bahan hukum melalui alat bantu catatan untuk dapat digunakan sebagai landasan teoritis berupa pendapat atau tulisan para ahli sehingga dapat diperoleh informasi dalam bentuk ketentuan

20 Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,2010, Jakarta, hal .113

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

formal dan resmi oleh pihak yang berkompeten dalam bidang

Anarkisme.21

1.6.4 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu gambaran yang terjadi dalam suatu masalah dan cara penyelesaianya.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan mengkaji literatur-literatur yang berkaitan, pendapat para ahli-ahli hukum terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan undang-undang terkait dengan Demonstrasi yang bersifat anarkis yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

1.6.5 Sistematika Penulisan

Skripsi berjudul “Pertanggungjawaban Pelaku Demonstrasi yang Bersifat Anarkis” ini terbagi dalam empat bab, dan untuk lebih memudahkan maka penulis akan memberikan gambaran umum dari tiap-tiap bab nya.

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang bersifat uraian pokok-pokok dari penulisan skripsi atau tulisan yang harus dikembangkan. Didalam Bab pertama ini mengulas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,tujuan penelitian,dan manfaat penelitian.

21 Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,2010, Jakarta, hal .113

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Bab Kedua pada skripsi ini mengulas tentang pengaturan demonstrasi yang ada di Indonesia. Dalam Bab dua ini terdiri dari 2 Sub Bab. Sub bab pertama mengulas tentang bentuk-bentuk dan tata cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum menurut UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dan pada Sub Bab kedua, mengulas tentang relevansi atau kelemahan dari UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Bab Ketiga membahas tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku demonstrasi yang bersifat anarkis. Pada Bab ketiga ini terdiri dari dua Sub Bab. Sub Bab pertama yaitu mengulas tentang bentuk pertanggungjawaban menurut KUHP dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dan pada Sub Bab kedua akan mengulas tentang penerapan sanksi yang akan di terima oleh pelaku demonstrasi yang bersifat anarkis

Bab Keempat merupakan bab penutup yang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya yang telah dipaparkan pada skripsi ini serta berisi saran dari penulisan yang nantinya mungkin dapat berguna bagi penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan demonstrasi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

34

2.1 Bentuk Pengaturan dan Tata Car a Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Dalam negara demokrasi sekarang ini, semua warga negara diberi hak untuk mengeluarkan atau menyampaikan pendapatnya tentang apa saja yang mereka anggap perlu ditanggapai. Dalam menyampaikan pendapat, ada beberapa bentuk cara menyampaikan pendapat di muka umum yang telah di tetapkan didalam Undang-undang. Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pada pasal 9 ayat (1) disebutkan bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan :

1. Unjuk rasa atau demonstrasi yaitu suatu kegiatan menyampaikan pendapat yang dimuka umum yang biasanya dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok yang bertujuan menyampaikan ketidakpuasan mereka terhadap suatu kebijakan atau ketidakpuasan mereka terhadap penguasa. Biasanya kegiatan ini dipusatkan pada suatu tempat yang menjadi sebab atau pusat dari ketidakpuasan mereka.

2. Pawai, yaitu suatu bentuk cara menyampaikan pendapat yang dilakukan oleh sekumpulan orang dengan cara melakukan kegiatan menyampaikan pendapatnya sambil berjalan atau melakukan iring-iringan supaya aspirasi mereka didengar oleh banyak orang dan banyak pihak.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

3. Rapat umum, yaitu suatu kegiatan atau cara bentuk cara menyampaikan pendapat dengan melakukan diskusi antara beberapa pihak dengan maksud bisa menyampaikan pendapatnya dan bisa mencari jalan keluar bersama 4. Mimbar bebas, yaitu bentuk cara menyampaikan pendapat yang dilakukan

dengan cara melakukan kritikan-kritikan pada suatu pihak yang dilakukan dengan cara terbuka dan bisa dihadiri oleh siapapun dan dalam berbagai kesempatan.

Tetapi bentuk penyampaian pendapat pendapat yang sedang populer sekarang ini adalah dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi. Kerena mereka para peserta demonstrasi menganggap cara ini yang paling efektif untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan mendatangi dan menyampaikan secara langsung pendapat mereka yang dilakukan secara bersama-sama, mereka berharap apa yang mereka harapkan bisa langsung didengar dan ditanggapi oleh pihak yang mereka tuju.

Dalam melaksanakan kegiatan demonstrasi, tentunya ada aturan dan tata cara yang harus di taati agar kegiatan tersebut bisa berjalan dengan lancar. Salah satunya yaitu harus melakukan izin terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan demonstrasi. Menurut pasal 10 Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum perihal izin dalam melakukan kegiatan demonstrasi. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa izin disampaikan secara tertulis dan disampaikan oleh yang bersangkutan yang diwakili oleh pemimpin atau koordinator dari organisasi atau kelompok yang akan melakukan kegiatan demonstrasi tersebut.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Kemudian pada ayat (3) dijelaskan kalau izin harus dilakukan 3 hari sebelum kegiatan demo tersebut berlangsung. Dengan harapan aparat kepolisian bisa mempersiapkan tempat dan personilnya untuk mengamankan kegiatan demonstrasi yang akan berlangsung.

Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum, dalam surat izin untuk melakukan demonstrasi itu harus dijelaskan beberapa hal, antara lain :

1)Maksud dan tujuan dalam melakukan demonstrasi

Dalam melakukan izin untuk melakukan demonstrasi, di dalam surat izin tersebut harus dijelaskan maksud dan tujuan melakukan demonstrasi. Agar aparat kepolisian mengerti apa yang akan dilakukan dan disampaikan oleh para peserta demonstrasi dan untuk mencegah terjadinya tindakan yang berada diluar aturan yang telah ditetapkan.

2)Tempat, lokasi dan rute yang akan digunakan untuk kegiatan demonstrasi. Harus diketahui bahwa dalam melakukan kegiatan demonstrasi, ada tempat-tempat yang tidak boleh digunakan atau dilalui untuk melakukan kegiatan demonstrasi. Contohnya tempat ibadah, istana presiden (tidak boleh melewati dari radius 100 meter dari pagar luar), rumah sakit, dan obyek-obyek vital nasional (tidak boleh melewati dari radius 500 meter dari pagar luar) sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sedangkan untuk rute yang dilalui, berdasarkan hasil wawancara saya dengan petugas di Polresta Mojokerto, ada rute yang tidak boleh dilalui dalam kegiatan demonstrasi. Contohnya yaitu jalur atau jalanan padat yang jika dilalui untuk kegiatan demonstrasi maka akan mengganggu kepentingan umum secara berlebihan. Misalnya jalan utama dan padat kendaraan. Tetapi pada kenyataannya, aturan ini sering dilanggar. Jalan dan tempat-tempat yang harusnya tidak diperbolehkan untuk kegiatan demonstrasi justru menjadi sasaran dan digunakan untuk melakukan kegiatan demonstrasi ini.

3)Waktu dan lama dalam melakukan kegiatan demonstrasi.

Untuk waktu dan lama kegiatan yaitu dimulai dari pukul 08.00 dan tidak boleh melebihi dari pukul 17.00. Tetapi lagi-lagi aturan ini tidak di taati oeleh peserta demo dan aparat kepolisian tidak melakukan tindakan yang tegas. Contonya yaitu demonstrasi menolak kenaikan harga BBM di Gedung DPR/MPR baru-baru ini. Demonstrasi dilakukan sampai menembus pagar utama Gedung DPR/MPR dan melewati dari batas waktu yang telah ditentukan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

4)Bentuk penyampaian pendapat.

Penyampaian pendapat ini dilakukan dengan cara demonstrasi, pawai, atau rapat umum.

5)Penanggung jawab.

Harus disertakan nama atau siapa penanggungjawab dari kegiatan demonstrasi yang akan berlangsung, dengan maksud apabila terjadi hal-hal yang keluar dari aturan yang telah ditetapkan, aparat kepolisian bisa dengan mudah melakukan diskusi dengan penanggungjawab demonstrasi tersebut.

6)Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan. 7)Alat peraga yang dipergunakan.

Alat peraga harus dicantumkan dalam surat izin melakukan demonstrasi dengan tujuan agar polisi mengetahui alat apa saja yang digunakan untuk kegiatan kegiatan demonstrasi tersebut, apakah berbahaya atau dapat mengganggu ketertiban umum atau tidak. Tetapi biasanya hal ini juga dilanggar. Contohnya membakar ban. Harusnya kegiatan ini tidak diperbolehkan karena dapat mengganggu ketertiban, tetapi fenomena ini sudah menjadi tradisi dalam melakukan kegiatan demonstrasi sekarang ini. 8)Jumlah peserta.

Harus disertakannya jumlah peserta yang mengikuti kegiatan demonstrasi ini dimaksudkan agar aparat kepolisian bisa mengantisipasi berapa masa yang akan melakukan demontrasi dan berapa jumlah personil yang akan ditugaskan untuk mengamankan kegiatan demonstrasi tersebut. Menurut hasil wawancara saya dengan petugas di Polresta Mojokerto, pada saat kejadian pada tanggal 21 Mei 2010 yang lalu, aparat kepolisian mengaku tidak siap atas serangan yang dilakukan oleh para pendemo yang tiba-tiba saja melakukan pelemparan dan serangan ke arah aparat kepolisian. Aparat mengaku kaget atas serangan tersebut karena mereka tidak menduga kalau jumlah peserta melebihi jumlah yang diperkirakan. Oleh karena itu aparat kewalahan mengamankan dan menangani serangan tersebut. Dari contoh itulah maka jumlah yang di daftarkan pada saat permintaan izin demonstrasi sering kali tidak bisa menjadi acuan dan tidak konsekuen dengan apa yang telah para penanggungjawab tuliskan.

Setelah menerima surat izin tersebut, dan syarat-syarat untuk melakukan demonstrasi itu terpenuhi, kemudian Polri wajib memberikan surat tanda terima pemberitahuan kepada koordinator dan selanjutnya melakukan koordinasi dengan penanggungjawab demo yang akan berlangsung tersebut. Kemudian aparat kepolisian harus berkoordinasi dengan lembaga atau instansi yang akan menjadi sasaran atau tujuan dalam

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

kegiatan demonstrasi yang akan berlangsung tersebut. Langkah selanjutnya, polisi harus mempersiapkan pengamanan kepda tempat, lokasi dan rute yang akan digunakan untuk kegiatan demonstrasi tersebut sebagaimana diatur didalam pasal 13 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Dalam melakukan kegiatan demonstrasi, tidak jarang para pendemo melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan dalam suatu aksi demonstrasi. Tidak jarang mereka melakukan aksi yang mengarah kepada anarkisme. Dan semua itu menjadi tugas polisi untuk meredam, mencegah dan mengamankan agar kegiatan demonstrasi tersebut tidak berlanjut menjadi anarkisme.

Dalam mengamankan kegiatan demonstrasi, polisi memiliki prosedur-prosedur yang harus di taati dalam mengamankan kegiatan demonstrasi atau dalam mengambil tindakan apabila terjadi anarkisme dalam suatu aksi demonstrasi tersebut. Dalam mengamankan suatu kegiatan demonstrasi, polisi mempunyai pedoman yaitu “Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian”.

Tujuan dari peraturan ini adalah untuk memberi pedoman bagi anggota Polri dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebih atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Dalam mengamankan kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi, aparat kepolisian harus bertidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam menngunakan kekuatannya untuk menghadapai massa. Sebagaimana disebutkan pada pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Prinsip-prinsip yang dimaksud yaitu :

a) Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hokum yang berlaku

b)Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi

c) Proposionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebih.

d)Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum

e) Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan

f) Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Dalam mengamankan kegiatan demonstrasi, aparat kepolisian harus senantiasa bersiap dan waspada apabila terjadi tindakan-tindakan yang keluar atau melanggar aturan yang telah ditetapkan. Polisi harus bertindak sesuai dengan jenis tindakan dan tingkatan ancaman bahayanya bagi aparat kepolisian itu sendiri maupun bagi masyarakat. Adapun tindakan yang atau langkah-langkah polisi dalam menangani tindakan yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa sesuai dengan ketentuan dari pasal 7 ayat (2) Peraturan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yaitu :

a) Tindakan yang bersifat pasif, yaitu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang tidak mencoba menyerang, tetapi tindakan mereka mengganggu ketertiban masyarakat atau keselamatan masyarakat dan tidak mengindahkan perintah anggota Polri untuk menghentikan perilaku tersebut. Tindakan seperti ini dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak. Contohnya yaitu kegiatan membakar ban dijalan, kegiatan tersebut jelas mengganggu ketertiban masyarakat. Tetapi terkadang para pendemo tidak memperdulikan hal itu. Para pendemo juga tidak mengindahkan perintah dari aparat kepolisian yang memerintahkan untuk menghentikan aksi tersebut. Akhirnya timbulah konflik. Dan polisi yang yang harusnya melakukan pengendalian dengan tangan kosong lunak yang diartikan dengan cuman teguran saja mulai ikut terpancing dan melakukan tindakan yang berlebihan yaitu dengan memukul atau lainya yang harusnya tindakan tersebut belum saatnya dilakukan.

b)Tindakan aktif, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk melepaskan diri atau melarikan diri dari anggota Polri tanpa menunjukkan upaya menyerang anggota Polri. Tindakan seperti ini dihadapi dengan kendali tangan kosong keras. Contohnya apabila para pendemo tidak mengindahkan peringatan dari aparat kepolisian untuk menghentikan aksinya yang mengganggu ketertiban masyarakat, maka aparat melakukan kendali tangan kosong keras yang diartikan dengan melakukan pengejaran dan penangkapan kepada para pendemo yang mengganggu ketertiban masyarakat tersebut. Tetapi biasanya dalam melakukan pengejaran dan penangkapan tersebut tidak jarang aparat juga melakukan tindakan yang berlebihan dengan memukuli para pendemo yang tertangkap. Tindakan seperti ini harusnya bisa untuk diminimalisir agar tidak terjadi kekerasan yang berkelanjutan.

c) Tindakan agresif, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk menyerang anggota Polri dan masyarakat pada umumnya. Tindakan seperti ini dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe atau alat lain sesuai standart Polri. Dari tindakan aktif akhirnya berkembang menjadi tindakan agresif misalnya dengan melempari polisi dengan batu. Tindakan seperti ini biasanya dihadapi dengan tembakan gas air mata. Tetapi tidak jarang pula aparat kepolisian membalas lemparan dari para pendemo yang akhirnya terjadi aksi saling lempar.

d)Tindakan agresif yang bersifat segera, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh para pendemo yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau masyarakat umum. Tindakan seperti ini dihadapi dengan kendali senjata api. Contohnya para pendemo mulai melakukan aksi pelemparan, pengrusakan dan penyerangan terhadap aparat kepolisian maupun masyarakat umum. Seperti aksi di Mojokerto pada tanggal 21 Mei

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

2010 silam. Massa melempari aparat dengan batu, kayu bahkan dengan bom molotov. Aksi seperti ini bisa dikendalikan dengan kendali senjata api.

Dalam melakukan pengendalian menggunakan senjata api, aparat kepolisian harus mempertimbangkan berbagai hal dan harus melalui beberapa prosedur. Sebagaimana di atur dalam pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian perihal penggunaan senjata api. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa penggunaan senjata api dapat dilakukan ketika para pendemo dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat. Dan juga aparat kepolisian tidak memiliki alternative lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan para pendemo yang mulai anarkis.

Tindakan ini diharapkan agar para pendemo dapat menghentikan aksinya. Tembakan yang dilepaskan pun hanya berupa tembakan peringatan. Dan dalam melepaskan tembakan peringatan itu juga harus mempertimbangkan beberapa hal. Sebagaimana diatur dalam pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yang menjelaskan tentang tembakan peringatan, antara lain :

(1)Dalam hal tindakan pelaku atau tersangka dapat menimbulkan bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(2) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang di sekitarnya.

(3) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternative lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut :

a. Untuk menurunkan moril pelau kejahatan atau tersnagka yang akan menyerang anggota Polri atau masyarakat

b. Untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka

(4) Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman yang dapat menimbulkanluka parah atau kematian bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.

Tetapi terkadang aparat kepolisian juga terlalu gegabah untuk bertidak terlalu jauh dan menyalahi aturan. Mereka bukan melakukan tembakan peringatan, tetapi juga melakukan tembakan langsung ke arah pendemo. Hal ini harusnya bisa di hindari agar tidak menimbulkan korban

Dokumen terkait