• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen laboratorium. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Fakultas Teknobiologi UNIKA Atmajaya Jakarta mulai bulan Agustus 2010 hingga bulan April 2012.

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel Tempe yang berasal dari beberapa daerah (Jawa Barat, Jawa Timur dan luar Jawa- Ambon), Isolat Klebsiella 135 (Hanjaya 2001), Bacillus GR9 (Wati 2011),

Klebsiella pneumoniae ATCC 35657 (Koleksi Fakultas Teknobiologi-UNIKA

Atmajaya Jakarta) danBacillus cereusATCC10876 (Koleksi IPBCC, Bogor).

Pengambilan Sampel

Sampel diambil dari delapan pengrajin dari empat daerah yaitu di Jawa Barat (Bogor), Jawa Timur (Malang dan Sidoarjo) dan Maluku (Ambon). Sampel tempe diambil dari dua produsen di tiap-tiap daerah. Proses pembuatan tempe pada setiap produsen dicatat dan dirangkum sebagai data penunjang dalam penelitian ini.

Penyiapan Sampel

Sampel tempe sebanyak 1.5 Kg diambil dari rak yang berbeda pada produsen dan dipotong menjadi potongan-potongan kecil. Tempe dalam wadah selanjutnya diaduk dan ditimbang 25 g untuk 3 ulangan. Tempe yang ditimbang selanjutnya diberikan 225 ml larutan garam fisiologis dan diblender selama 30 detik, dibiarkan selama satu menit dalam posisi terbalik dan kemudian diblender lagi selama 30 detik (Dry and wet mill, National Omega MX-T2GN). Slurry

tempe yang dihasilkan selanjutnya diambil sebanyak 9 ml dengan cara diambil sambil diaduk untuk mendapatkan partikel slurry yang seragam. Slurry tempe

selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 800xg (Sorval Legend Micro 17R Centrifuge) selama 1 menit dan supernatan diambil untuk selanjutnya disentrifugasi lagi dengan kecepatan 13,000xg untuk diambil peletnya. Pelet yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan larutanTris-EDTA (TE) pH 8.0 dan disentrifugasi lagi pada 13,000xg. Supernatan dibuang dan selanjutnya pelet siap diekstraksi dengan menggunakan kit ekstraksi komersil sesuai prosedur yang dijelaskan oleh perusahaan (Fermentas DNA purification Kit (FDEK) dan Power Food Microbial DNA Isolation Kit MOBIO (PFMDIK)).

Ekstraksi dengan MetodeFermentas DNA Purification Kit(FDEK)

Tahapan ini dilakukan dengan melakukan ekstraksi dan purifikasi DNA dari sampel tempe yang diambil dengan menggunakan metode Fermetas DNA purification kit. Pelet hasil pencucian dengan TE selanjutnya diresuspensikan

dengan 200 μ l TE dan selanjutnya ditambahkan 400 μ l lysis solution dan diinkubasi pada 650C selama 5 menit. Kloroform selanjutnya ditambahkan

sebanyak 600 μ l, dibolak-balik sebentar dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 10,000xg (Sorval Legend Micro 17R Centrifuge) selama 2 menit. Fase bagian atas selanjutnya dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan ditambahkan

800 μ l precipitation solution 1x dan dibiarkan pada suhu ruang selama 1-2 menit. Sentrifugasi selanjutnya dilakukan dengan kecepatan 10,000xg selama 2 menit.

Supernatan selanjutnya dibuang dan pellet dilarutkan dalam 100 μ l NaCl.

Campuran divortex cepat dan ditambahkan etanol absolut sebanyak 300 μ l. Campuran diinkubasi pada suhu -200C selama 10 menit. Sentrifugasi selanjutnya dilakukan pada kecepatan 10,000xg selama 3-4 menit. Supernatan dibuang dan pellet dicuci dengan ethanol 70% satu kali dan dikeringanginkan. Pelet DNA selanjutnya dilarutkan dalam 100 μ l ddH2O. Konsentrasi dan kemurnian DNA yang dihasilkan selanjutnya diukur dengan menggunakan NanoDrop 2000 Spectrophotometer (Thermo Scientific).

Ekstraksi dengan Metode Power Food Microbial DNA Isolation Kit MOBIO (PFMDIK).

Tahapan ini diawali dengan melakukan ekstraksi dan purifikasi DNA dari sampel tempe yang diambil dengan menggunakan metode PFMDIK. Ekstraksi dengan kit ini dimulai dengan meresuspensikan pelet pada 450 μ l solution PF1 yang telah dihangatkan pada suhu 550C. Suspensi kemudian dipindahkan ke tabung MicroBead dan diletakkan secara horizontal pada vortex serta dilakukan pengadukkan selama 10 menit dengan kecepatan maksimum (2500 rpm-Heidolp REAX control). Sentrifugasi selanjutnya dilakukan pada kecepatan 13,000xg selama 1 menit, supernatan yang diambil dan dipindahkan pada tabung baru serta

diberi 100 μ llarutan PF3 yang dicampur dengan cara divortex. Inkubasi dilakukan pada suhu 40C selama 5 menit dan selanjutnya disentrifugasi lagi dengan kecepatan 13,000xg selama 1 menit. Supernatan diambil dan ditambah dengan

900 μ l larutan PF3 serta divortex. Campuran selanjutnya dipipet dan dimasukkan ke tabung spin filter untuk selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 1 menit. Tahapan ini diulang sampai semua campuran habis. Spin filter selanjutnya dipindahkan pada tabung yang baru dan diteteskan larutan PF4 sebanyak 650 μ l dan disentrifugasi lagi pada 13,000xg selama 1 menit. Larutan yang terbuang

melalui filter dibuang dan filter kembali ditetesi 650 μ l larutan PF5 dan dilakukan sentrifugai lagi pada kecepatan 13,000xg selama 1 menit. Larutan yang terbuang melalui filter selanjutnya dibuang dan dilakukan sentrifugasi lagi selama 2 menit pada kecepatan 13,000xg. Spin filter selanjutnya dipindahkan pada tabung baru yang bersih dan ditetesi 100 μ l larutan PF6. Sentrifugasi dilakukan lagi dengan kecepatan 13,000xg selama 1 menit. DNA yang diperoleh selanjutnya disimpan pada suhu -200C.

Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Ekstraksi

Pada kedua metode diatas, kualitas DNA dicek dengan elektroforesis pada 1% (w/v) gel agarose-buffer TAE (Tris-Acetate EDTA, pH 8.0) dan konsentrasi seta kemurniab DNA dikuantifikasi dengan menggunakan NanoDrop 2000 Spectrophotometer (Thermo Scientific). Hasil DNA yang diperoleh dengan

kualitas yang baik harus menunjukkan rasio absorbansi 260/230 nm dan 260/280 nm lebih besar atau sama besar dengan 1.80 (Sambrooket al. 1998)

Analisis Inhibitor PCR

Pada analisis inhibitor PCR, amplifikasi gen 16S rRNA dilakukan dengan menggunakan primer 1387r dan 63f (Marchesi et al. 1998) dengan kondisi PCR: pradenaturasi 940C, 5 menit; denaturasi 940C, 30 detik; pelekatan primer 550C, 30 detik pemanjangan 720C, 1 menit dan tahap akhir 720C, 20 menit dengan 35 siklus PCR (C1000TMThermal Cycler-BIORAD). Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan GoTaq Green Master Mix (Promega) dan hasil amplifikasi dilarikan pada gel agarose dengan konsentrasi 1%.

Analisis Keragaman Komposisi Mikroorganisme

Analisa ARISA dilakukan dengan menggunakan metode yang dijelaskan oleh Cardinale et al. (2004) dengan menggunakan primer ITSF dan ITSFReub untuk kelompok bakteri (B-ARISA) dan primer 2234C dan 3126T untuk kelompok fungi (F-ARISA) (Ranjardet al.2001) sampai ditemukan profil ARISA yang maksimum dan konsisten

Untuk primer ITSF/ITSFReub (B-ARISA) dan primer 2234C dan 3126T (F-ARISA), diamplifikasi dalam reaksi yang mengandung 1 x buffer PCR, 1.5 U

Taq DNA polymerase, 0.2 mM (masing-masing) dNTP dan 0.25 μ M (masing-

masing) primer dalam volume akhir 25 μ l. Campuran direaksikan pada 940 C selama 3 menit, diikuti 30 siklus amplifikasi dengan kondisi pradenaturasi 940C selama 45 detik, annealing 56.80C selama 1 menit Untuk B-ARISA dan 60.70C untuk F-ARISA, dan pemanjangan 720C selama 2 menit dengan reaksi akhir dilakukan pada 720C selama 7 menit.

Jumlah standar dari produk PCR (antara 0.5 dan 1 μ l) bersama dengan 0.8 μ l internal size standard, 1000 atau 2500 ROX ditambahkan ke 13 μ l formamide deionized dan campuran didenaturasi pada 950C selama 5 menit diikuti 2 menit pendinginan di es. Fragmen sampel kemudian dipisahkan dengan menggunakan ABI 310 genetic analyzer (Perkin-Elmer), dimana DNA dielektroforesis dalam

tabung kapiler yang diisi dengan electrophoresis polymer POP-4 (Applied Biosystem). Sampel dilarikan pada kondisi ABI 310 denaturing elektrophoresis selama 1 jam untuk masing-masing sampel, dan data dianalisa menggunakan GeneScan 3.1 software program (Perkin-Elmer). Keluaran program berupa sejumlah puncak (electropherogram), ukurannya diestimasi melalui perbandingan terhadap internal size standard. Software GeneScan akan menghitung tinggi dan area puncak yang proporsional dengan kuantitas DNA dalam fragment. Semua perlakuan ARISA di ulang sebanyak tiga kali. Reprodusibilitas masing-masing sampel DNA makanan diukur sebagai rata-rata dan standar deviasi relatif dari jumlah puncak yang dikalkulasi dari 3 ulangan percobaan yang tidak saling terkait. Data profil ARISA selanjutnya diedit dan diolah untuk melakukan perhitungan karakter ekologi yaitu nilai keragaman. Fragmen DNA dengan ukuran berbeda yang muncul sebagai peak dalam ARISA type didefinisikan sebagai OTU (Operational Taxonomic Unit) (Hewson & Fuhrman 2004; Ramete 2009). Nilai indeks Shannon-Wiener dan Index Simpson selanjutnya dihitung dengan rumus yang digunakan oleh Hewson & Fuhrman (2004). Karakter OTU yang ada pada profil komunitas bakteri dan fungi selanjutnya dianalisis dengan

menghitung Sorensen’s Index (Lampiran 4 dan 5). Analisis pengelompokan dilakukan dengan metode unweighted-pair-group mean-average (UPGMA) dan software MEGA5.1 (Hewson & Fuhrman 2004; Nimnoiet al. 2010)

Kloning dan Sequencing Gen 16S rRNA

Kloning gen 16S rRNA dilakukan dengan melakukan amplifikasi gen 16S rRNA dari dua produsen tempe (SDJD dan EMP) menggunakan primer 63f dan 1387r (Marchesi et al. 1998). Gen hasil amplifikasi selanjutnya dikloning ke vector pGEM T-Easy (Promega) dan ditransformasi ke E. coli DH5α sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Sambrook et al. (1998). Verifikasi plasmid rekombinan selanjutnya dilakukan dengan mengamplifikasi gen 16S rRNA yang terkloning menggunakan primer M13f dan M13r. Hasil kloning gen 16S rRNA selanjutnya disekuens untuk 30 sampel dari tiap tempe. Sequencing DNA dilakukan pada PT. Genetika Sains. Identifikasi sekuen gen 16S rRNA

dilakukan dengan mencari kesamaan sekuen pada data base National Center for

Biotechnology Information(NCBI).

Analisis Isolat Tunggal dengan ARISA

Analisis ini dikerjakan dengan melakukan ekstraksi genom isolat tunggal beberapa bakteri yang diperoleh langsung dari tempe:Klebsiella135 ( Hanjaya, 2001) danBacillusGR9 (Wati, 2011) maupun yang merupakan isolat ATCC:

Klebsiella pneumoniaeATCC 35657 (Koleksi FTB-UNIKA Atmajaya Jakarta)

danBacillus cereusATCC10876 (Koleksi IPBCC, Bogor). Amplifikasi daerah

intergenik gen 16S-23S rRNA dilakukan dengan menggunakan primer

ITSF/ITSFReub dan analisis ARISA dilakukan sesuai kondisi yang dikemukakan oleh Cardinaleet al.(2004). Analisis ini dilakukan di PT. Wilmar Benih

Indonesia-Cikarang, Jawa Barat . Reprodusibilitasnya diukur sebagai rata-rata dan standar deviasi relatif dari jumlah puncak yang dihitung dari 3 ulangan percobaan yang tidak saling terkait.

HASIL

Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe

Kuantitas dan Kualitas DNA. Kuantitas dan kualitas DNA yang baik perlu diperoleh sebelum analisis metagenomik komunitas mikroba dilakukan. Dua metode ekstraksi DNA mikroba digunakan untuk memperoleh metode terbaik dalam mempelajari komposisi mikroba yang ada pada tempe. Hasil ekstraksi DNA mikroba dari dua metode tersebut selanjutnya diukur konsentrasi dan kualitasnya. Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang tinggi diperoleh dari hasil ekstraksi dengan menggunakan metode PFMDIK. Hasil ekstraksi DNA genom dengan metode PFMDIK tervisualisasi sebagai pita yang smear dan sangat tipis pada gel agarose. DNA genom hasil ekstraksi dengan metode FDEK sama sekali tidak tervisualisasi walaupun keduanya divisualisasi dengan konsentrasi DNA yang sama sebesar 100 ng/μ l (data tidak ditampilkan). Konsentrasi DNA hasil ekstraksi juga menunjukkan hasil yang tidak berbias antar ulangan dibandingkan dengan metode FDEK. Kualitas DNA yang baik juga diperoleh dengan menggunakan metode PFMDIK. Rasio A260/280 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada metode FDEK (Tabel 2). Kontaminasi protein lebih direduksi dengan melakukan ekstraksi metode PFMDIK. Nilai A260/230 yang diperoleh dari kedua metode ekstraksi tergolong sangat kecil (Tabel 2). Walaupun nilai ini pada hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK sangat kecil dibandingkan dari metode FDEK, kontaminasi bahan organik tidak banyak berkontribusi sebagai inhibitor proses PCR (Gambar 4).

Tabel 2 Konsentrasi DNA dan rasio A260/280 dan A260/230 untuk hasil ekstraksi dengan menggunakan metode FDEK dan PFMDIK.

Sampel Rata-rata Kons DNA(ng/μ l) ± SD

(n=3)

Rata-rata Rasio A260/280 ± SD (n=3) Rata-rata Rasio A260/230 ± SD (n=3) TU-FDEK 3.47 ± 1.55 1.05 ± 0.20 0.95 ± 0.14 TU-PFMDIK 6.9 ± 0.60 1.50 ± 0.03 0.29 ± 0.18

Uji Penghambatan PCR. Kualitas DNA hasil ekstraksi perlu dianalisis lebih lanjut untuk melihat kemungkinan terbawanya inhibitor PCR. Inhibitor PCR akan mengganggu proses amplifikasi sehingga gambaran komunitas mikroba yang ada pada suatu lingkungan menjadi terbatas. Amplifikasi DNA dilakukan terhadap gen 16S rRNA. Metode PFMDIK lebih memungkinkan diperolehnya hasil amplifikasi gen 16S rRNA yang lebih baik (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa inhibitor PCR lebih banyak tereduksi dengan menggunakan metode ini dibandingkan metode FDEK. Walaupun nilai A260/230 dari hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK rendah (Tabel 2), tetapi inhibitor proses PCR asal makanan telah direduksi selama proses ekstraksi DNA. Kontaminasi bahan organik yang ada tidak berpengaruh terhadap proses PCR karena inhibitor PCR yang berasal dari makanan telah dihilangkan. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA dari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK sebaliknya akan semakin menipis bila templat DNA yang digunakan disimpan dalam waktu lama.

Validasi metode terbaik perlu dilakukan dengan melihat profil ARISA (Gambar 5 dan 6) yang dihasilkan oleh kedua metode. Metode PFMDIK lebih memberikan gambaran komunitas OTU mikroba pada tempe secara lebih baik (Tabel 3).

ProfilAutomated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis(ARISA).

Gambar 4 Amplifikasi PCR gen 16S rRNA dari sampel tempe. Lajur 1. Marker Molekuler (1 Kb ladder), 2. TU1-PFMDIK, 3. TU2- PFMDIK, 4. TU3- PFMDIK, 5. TU1-FDEK, 6. TU2- FDEK, 7. TU3- FDEK.

Nilai keragaman Index Shannon-Wienner (H’) yang lebih tinggi untuk keragaman OTU pada profil BARISA type maupun FARISA type diperoleh dari metode PFMDIK. Jumlah OTU dalam ARISAtype yang lebih baik juga diperoleh dengan metode PFMDIK (Tabel 3). OTU dalam ARISA type yang lebih bervariasi ditemukan dengan metode ekstraksi PFMDIK dibandingkan dengan metode FDEK (Gambar 5,6).

Table 3 Perbandingan profil OTU BARISAtypedan FARISAtypeyang diperoleh dari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK

Metode Jumlah OTU dalam ARISAtype Index Shannon-Wienner (H)

BARISAtype FARISAtype BARISAtype FARISAtype

FDEK 17 6 0,946 0,510

PFMDIK 79 44 1,036 0,977

Gambar 5 Profil BARISA type dari intergenic spacer yang diamplifikasi dengan dua metode ekstraksi DNA: a. PFMDIK, b. FDEK.

a.

Gambar 6 Profil FARISA type dari daerah intergenic spacer yang diamplifikasi dengan dua metode ekstraksi DNA: a. PFMDIK, b. FDEK

Reprodusibilitas metode juga perlu dilakukan untuk melihat apakah metode yang digunakan menimbulkan bias. Ulangan analisis ARISA dilakukan untuk tiga tempe yang diproduksi selama tiga hari pada satu produsen. Metode PFMDIK memberikan gambaran profil ARISA reprodusibel dan peak dengan ukuran OTU yang sama dihasilkan untuk tiga hari ulangan (Gambar 7).

a.

Gambar 7 Profil BARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK. a.

b.

Gambar 8 Profil FARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK. a.

b.

Analisis Profil ARISATypeTempe dari Sejumlah Produsen Tempe

Variasi Proses Pembuatan Tempe dari sejumlah Produsen Tempe.

Tempe diproduksi melalui proses fermentasi kacang kedelai dengan menggunakan inokulum sebagai starter. Walaupun menghasilkan produk yang sama dan umumnya dilakukan oleh produsen dengan latar belakang asal daerah Jawa, namun proses produksi tempe itu sendiri sangat bervariasi antar satu produsen dengan produsen yang lain.

Proses pengolahan tempe dilakukan dengan cara yang sangat berbeda dengan urutan proses berbeda. Perlakuan awal terhadap biji kacang kedelai sampai perlakuan fermentasi dilakukan secara berbeda. Perlakuan awal pada produsen umumnya dimulai dengan proses perebusan kacang kedelai baik sampai matang maupun hanya setengah matang. Walau demikian beberapa produsen lebih memilih untuk merendam biji kacang kedelai saja sebagai tahap awal proses. Proses perebusan dilakukan secara berbeda pula. Pada produsen tertentu, proses perebusan dilakukan sebelum perendaman dan sesudah perendaman. Pada produsen lain proses perebusan hanya dilakukan sebelum perendaman atau sesudah perendaman saja. Lama proses perendaman juga sangat bervariasi antar produsen dan berkisar antara beberapa jam hingga semalam (Tabel 4).

Hal lain yang ditemukan juga adalah penggunaan kultur starer yang berbeda pada beberapa daerah. Kultur starter meliputi kultur starter yang dibuat LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) maupun starter dari perusahan lokal. Kultur starter pada daerah Malang bahkan disediakan sendiri dengan membuat inokulum berupa spora fungi pada daun Waru (Hibiscus tiliaceus) maupun dengan membeli inokulum pada daun Waru yang telah tersedia di pasar lokal. Penggunaan komposisi starter juga berbeda khususnya pada produsen SDJD yang menggunakan dua macam starter. Produsen ini meracik kultur starter dengan mencampur starter LIPI dengan starter yang diproduksi oleh perusahaan lokal. Semua hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe di Indonesia sangat bervariasi karena selain metode yang berbeda juga digunakan kultur starter

berbeda. Kultur starter yang digunakan dapat berupa isolat murni maupun kultur dengan komposisi tidak terdefinisi. Sumber air yang digunakan juga sangat berbeda antar produsen. Produsen WJB, HTN dan WHR cenderung lebih

menggunakan sumber air dari Perusahaan Air Minum (PAM) sedangkan produsen lain menggunakan sumber air dari sumur. Proses fermentasi tempe yang dilakukan oleh produsen di Sidoarjo juga berbeda dari produsen lain. Proses fermentasi dilakukan dua kali yaitu di dalam wadah yang tertutup rapat dan fermentasi di atas rak (Tabel 4). Proses ini dilakukan dengan harapan mendapatkan tempe dengan fungi yang tumbuh seperti kapas. Tekstur tempe yang dihasilkan akan terlihat lebih mudah hancur dan bila diproses dengan menggoreng, tempe akan menyusut. Tekstur ini berbeda dengan tekstur tempe dari malang yang padat karena kedelai difermentasi dengan ditindih oleh marmer atau batu bata. Tahapan proses dan kultur starter yang berbeda tentu saja sangat berpengaruh terhadap hasil akhir bervariasi karena membuka peluang yang berbeda bagi masuknya mikroba dalam proses fermentasi tempe.

Tabel 4 Profil perbedaan perlakuan proses pembuatan tempe pada berbagai produsen Sampel Perlakuan Awal Perlakuan

Perebusan Perlakuan Fermentasi Lama Fermentasi Sumber Air Jenis Ragi yang digunakan Jenis Kedelai yang digunakan WJB Direbus, masak 2 kali 1 kali 1 malam PAM Raprima Jempol EMP Direbus, masak 1 kali 1 kali 2 hari Sumur Raprima Jempol, Gunung WHR Direndam air

panas semalam 1 kali 1 kali 3 hari PAM Raprima Jempol HTN Direndam air

panas 1 jam 1 kali 1 kali 2-3 hari PAM Raprima Jempol MLGS Direbus, tidak

mendidih 2 kali 1 kali 2 hari Sumur Daun Waru Jempol, GCU MLGA Dimasak ½

matang 2 kali 1 kali 2 hari Sumur Daun Waru Jempol SDJD Direbus 1

malam 2 kali 2 kali 2 x 1 hari Sumur Jago & Raprima

Jempol, Bola SDJK Direndam air

hangat 8 jam 1 kali 2 kali 2 x 1 hari Sumur Jago Jempol, Bola

Selain faktor-faktor yang dijelaskan di atas, faktor skala produksi juga sangat berbeda antar produsen. Produsen yang melakukan produksi dalam skala kecil cenderung lebih mampu mengontrol produksi dibandingkan dengan produsen dengan skala produksi yang besar. Produsen seperti HTN dan WJB melakukan produksi dalam skala kecil sehingga lebih menerapkan proses pengolahan pada lingkungan yang relatif bersih. Sedangkan pengolahan pada

produsen seperti EMP, MLGA dan SDJD agak kurang memperhatikan kebersihan lingkungan proses produksi. Beberapa tahapan pengolahan bahkan dilakukan di daerah dengan peluang kontaminasi tinggi seperti pada WC. Bahan baku kedelai yang digunakan juga bervariasi. Selain itu untuk mengurangi bahan baku dan untuk alasan produk yang lebih baik pemakaian bahan tambahan seperti beras, tepung beras dan jagung putih dilakukan. Penggunaan bahan tambahan akan berpengaruh terhadap komunitas mikroba yang terdapat dalam proses fermentasi dan produk akhir.

Profil ARISA type dan Keragaman OTU Komunitas Bakteri dan Fungi dari Delapan Tempe. Adanya variasi bahan baku dan proses pengolahan akan berpengaruh terhadap keragaman dan kelimpahan mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe. Keragaman dan kelimpahan mikroba pada tempe ini dapat dilihat secara menyeluruh melalui gambaran BARISA type maupun FARISA type sebagai fingerprint mikroba yang muncul pada delapan tempe berbeda. Analisis ARISA menunjukkan bahwa setiap profil OTU BARISA type

maupun FARISA type menunjukkan adanya pola komunitas berbeda sehingga dapat digunakan sebagai fingerprinting komunitas bakteri maupun fungi dari delapan tempe yang dianalisis (Gambar 9, 10, 11 dan 12). Fingerprinting

komunitas ini dapat digunakan sebagai barcoding system tempe dengan daerah asal produksi yang berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan karena komunitas mikroba pada tempe yang berasal dari kultur starter maupun dari lingkungan dan tahapan proses berbeda.

Gambar 9 Profil BARISA dariintergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. EMP (Bogor), b. WJB (Bogor), c. MLGA (Malang), dan d. MLGS (Malang).

a.

b.

c.

Gambar 10 Profil BARISA dari intergenic spaceryang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. HTN (Ambon), b. WHR (Ambon), c. SDJD (Sidoarjo) dan d. SDJK (Sidoarjo). a.

b.

c.

Gambar 11 Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. EMP (Bogor), b. WJB (Bogor), c. MLGA (Malang), dan d. MLGS (Malang). a.

b.

c.

Gambar 12 Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. HTN (Ambon), b. WHR (Ambon), c. SDJD (Sidoarjo) dan d. SDJK (Sidoarjo).

Profil OTU ARISA type sangat terbatas untuk menduga kelimpahan dan dominansi spesies, walaupun demikian keragaman OTU dapat dihitung untuk melihat pengaruh perbedaan proses fermentasi terhadap profil ARISA (Yannarell a.

b.

c.

dan Triplett 2005). Profil ARISAtypeyang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk melihat keragaman OTU dalam komunitas mikroba pada tempe. Keragaman OTU yang dianalisis berdasarkan profil BARISA type dan FARISA type (Tabel 5) menunjukkan bahwa keragaman OTU tertinggi dalam komunitas pada BARISA type yang ditunjukkan oleh nilai H’ (Index Shannon-Wienner) ditemukan pada produsen di wilayah Malang dan Sidoarjo. Keragaman OTU dalam komunitas fungi pada tempe WJB dan HTN tergolong rendah dan keragaman OTU fungi yang tinggi diperoleh pada tempe di daerah Malang (MLGA, MLGS), tempe SDJK di Sidoarjo dan tempe EMP di Bogor. Index Simpson (D) untuk semua komunitas fungi relatif rendah. Nilai D (Index Simpson) OTU bakteri pada Tabel 5 menunjukkan bahwa OTU komunitas bakteri lebih kecil dari nilai D (Index Simpson) OTU fungi. Hal ini berarti OTU komunitas bakteri lebih beragam dibandingkan OTU fungi. Data ini mendukung nilai indeks H’ dan menunjukkan adanya keragaman OTU pada profil ARISA.

Tabel 5 Keragaman OTU pada BARISA type dan FARISA type dari Berbagai Tempe Sampel Asal Sampel BARISA FARISA Index Shannon- Wienner (H’) Index Simpson (D) Jumlah OTU dalam “BARISA type” Index Shannon- Wienner (H’) Index Simpson (D) Jumlah OTU dalam “FARISA type” WJB Bogor 1,34 0,11 83 0,88 0,22 36 EMP Bogor 1,17 0,09 46 1,46 0,11 131 HTN Ambon 1,09 0,11 37 0,71 0,30 29 WHR Ambon 1,22 0,11 66 1,09 0,21 46 MLGS Malang 1,61 0,04 104 1,62 0,05 145 MLGA Malang 1,53 0,05 93 1,57 0,06 145 SDJD Sidoarjo 1,57 0,04 90 1,39 0,08 104 SDJK Sidoarjo 1,62 0,04 91 1,50 0,07 124

Pencirian tempe dapat dilakukan dengan menggunakan fingerprinting

komunitas mikroba yang ada pada tempe. Tahapan awal yang harus dilakukan adalah mencari komunitas mikroba yang bersifat diskriminatif mencirikan tempe. Analisis pengelompokan tempe dapat dilakukan dengan melihat kesamaan OTU antar komunitas mikroba pada tempe yang dianalisis. Komunitas bakteri pada delapan BARISA type yang ada lebih diskriminatif memilah tempe berdasarkan daerah asal produksinya (Gambar 13, 14). Percabangan pohon filogenetik

menunjukkan bahwa ada tidaknya OTU bakteri dalam suatu profil BARISA menyebabkan terbentuknya dua kelompok besar yang terbentuk yaitu kelompok tempe EMP dan kelompok dengan tujuh tempe lain (Gambar 13). Pada kelompok

Dokumen terkait