• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Analisa protein

4.2. Metode spektrofotometer 280 nm

Nilai absorbansi dari masing-masing fraksi hasil purifikasi diukur menggunakan spektrofotometer (CE 292 Digital UV Spectrofotometer Cecil Series 2) pada panjang gelombang (λ) 280 nm. Total protein dan nilai absorbansi memiliki hubungan yang linear (Caprette 1995).

Gambar 6 Diagram alir ekstraksi, uji aktivitas, purifikasi, dan analisa protein rennet. Abomasum Daerah Kelenjar Fundus

Ekstraksi

Netralisasi dengan NaOH sampai pH 5,4

Presipitasi dengan Garam Ammonium Sulfat Uji Aktivitas Analisa Protein dengan SDS PAGE Dialisa Purifikasi dengan Kromatografi Kolom Gel Filtrasi

Analisa Protein dengan Spektrofometer

HASIL DAN PEMBAHASAN

Abomasum dan Rennet Ekstrak Kasar

Hasil penimbangan menunjukkan berat abomasum, fundus, serta mukosa fundus dari kedua sampel bervariasi (Tabel 1). Salah satu faktor yang berpengaruh dalam hal ini adalah umur domba. Semakin bertambah umur domba, maka berat abomasumnya akan semakin meningkat. Menurut Ruckebush et al. (1983), proporsi ukuran dan kapasitas masing-masing ruangan lambung ruminansia berubah sesuai dengan perubahan umur hewan.

Tabel 1 Perbandingan berat abomasum serta perbandingan persentase berat mukosa fundus terhadap berat fundus

Sampel

Berat (g)

Persentase* (%)

Abomasum Fundus Mukosa

Fundus

DM1 68,65 47,26 39,02 82,56

DM2 94,66 65,47 56,23 85,89

Rata-Rata± St. Dev 81,66±13,01 56,37±9,11 47,63±8,60 84,23±1,67

*) Persentase berat mukosa fundus terhadap berat fundus

Uji koagulasi rennet terhadap susu dari sampel ekstrak kasar DM1 dan DM2 menghasilkan curd yang kompak dan padat (Gambar 7). Enzim utama dalam rennet yang berperan dalam mengkoagulasikan susu membentuk curd yang padat serta whey adalah khimosin. Khimosin mengkoagulasikan susu dengan memotong ikatan peptida secara spesifik antara asam amino Phenilalanin (Phe) 105 dan Metionin (Met) 106 pada rantai kappa kasein (ĸ-kasein), sehingga segmen C-terminal hidrofilik (kasein makro peptida = CMP) terlepas menyisakan para kappa kasein (Kumar et al. 2006; Jiang et al. 2007). Hal ini kemudian menyebabkan misel kasein menjadi tidak stabil dan menggumpal. Koagulasi misel kasein juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion kalsium (Ca2+) yang berperan sebagai jembatan antar misel kasein. Menurut Fox (1993) ikatan peptida Phe-Met akan terhidrolisa secara optimum pada pH 5,1-5,5.

Pepsin dan khimosin sama-sama dapat mengkoagulasikan susu, namun pepsin tidak bekerja secara spesifik pada rantai ĸ-kasein (Ash 1964). Berbeda dengan khimosin, pepsin memecah substratnya dengan menghidrolisa ikatan peptida C-terminal beberapa jenis asam amino aromatik seperti phenilalanin, tiroksin dan triptofan (Kimball 1992, St. Edward’s Univ. 2005). Pepsin merupakan enzim protease yang paling umum digunakan sebagai pengganti khimosin dalam pembuatan keju, namun pepsin tidak digunakan sendiri karena waktu penggumpalan yang lama, curd yang lunak, hilangnya lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, tekstur dan konsistensi keju yang lebih lunak, serta ketidakmampuan untuk aktif pada pH 6,5 (Kilara dan Iya 1984). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Spreer (1998) bahwa pepsin memberikan efek koagulasi yang lemah dan proteolisis yang non spesifik. Proteolisis non spesifik merupakan pemutusan rantai peptida tertentu pada kasein di luar yang terjadi pada koagulasi normal dan terkadang menimbulkan rasa pahit yang tidak diharapkan. Namun pada proses koagulasi oleh rennet yang mengandung khimosin dan pepsin, khimosin secara ireversibel mengubah kasein menjadi para-ĸ-kasein dengan adanya ion kalsium. Selanjutnya pepsin akan bekerja pada para-ĸ-kasein ini (Murray 2000).

Gambar 7 Hasil koagulasi susu dengan ekstrak kasar (DM1 dan DM2) dan hasil dialisa (DM1’ dan DM2’) sama-sama menghasilkan koagulasi yang sempurna. Terbentuknya curd yang kompak dan padat dari hasil uji koagulasi terhadap sampel DM1 dan DM2 menunjukkan bahwa rennet yang diekstraksi dari abomasum domba lokal usia dewasa muda masih memiliki kandungan khimosin yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fox (1993) bahwa produksi

DM1 DM2

khimosin pada lambung ruminansia tidak pernah benar-benar terhenti bahkan setelah memasuki usia dewasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitriyani (2006) dan Nisa’ et al. (2007) diketahui bahwa pada bagian fundus abomasum domba lokal dewasa muda (5-12 bulan), sel-sel penghasil enzim khimosin ditemukan dengan jumlah masih relatif banyak dan rennet hasil ekstrasi abomasum domba pada usia tersebut masih dapat mengkoagulasikan susu dengan baik.

Rennet yang diekstraksi dari sampel abomasum DM2 mengkoagulasikan susu lebih cepat daripada DM1 (Tabel 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu koagulasi susu antara lain aktivitas enzim khimosin, suhu, pH, dan konsentrasi ion kalsium (Dalgleish 1999). Kedua sampel diuji pada suhu 35-40 °C dan pada pH 5,4 yang merupakan kondisi optimum terjadinya koagulasi enzimatis. Pada uji koagulasi, tidak dilakukan penambahan kalsium eksternal sehingga ion-ion kalsium yang berperan dalam proses koagulasi hanya didapat dari susu. Pada pengujian kedua sampel digunakan susu dari sumber yang sama yang kemudian dipasteurisasi untuk mematikan bakteri patogen (Scott 1986). Selain faktor umur, aktivitas enzim khimosin juga dipengaruhi masa sapih (Guilloteau et al. 1983). Domba yang disapih lebih awal memiliki aktivitas khimosin lebih rendah. Dengan demikian aktivitas sampel rennet DM2 bisa lebih tinggi daripada DM1 diduga akibat penundaan masa sapih, walaupun berat sampel abomasum DM2 lebih besar dan mengindikasikan umur yang lebih tua.

Tabel 2 Perbandingan waktu koagulasi antara ekstrak kasar dan hasil dialisa dari sampel rennet DM1 dan sampel rennet DM2

Sampel Waktu Koagulasi (menit.detik)

Ekstrak Kasar DM1 10.24 DM2 3.38 Rata-Rata± St. Dev 6.81±4.85 Hasil Dialisa DM1 14.56 DM2 8.25 Rata-Rata± St. Dev 11.41±4.46

Kedua sampel rennet ekstrak kasar yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami penyimpanan beku. Rennet harus dapat disimpan dalam waktu yang lama, karena rennet harus selalu tersedia untuk memenuhi kebutuhan produksi keju. Berdasarkan Sari (2009) rennet yang diekstraksi dari domba usia dewasa muda (5-12 bulan) dan telah disimpan beku (pada suhu -30ºC) selama 10 bulan masih memiliki kemampuan mengkoagulasikan susu dengan baik dan tidak berbeda dengan rennet segar. Dengan demikian, penyimpanan beku tidak berpengaruh secara signifikan pada aktivitas rennet.

Presipitasi Garam dan Dialisa Rennet

Presipitasi garam pada proses fraksinasi dilakukan untuk memisahkan enzim khimosin dan pepsin dari pelarutnya. Enzim merupakan protein dan protein sangat tidak stabil dalam larutan encer. Isolasi protein seharusnya dilakukan dengan pertimbangan sifat kimia protein, dimana protein harus dalam kondisi yang relatif stabil, yaitu berada dalam larutan pekat dan pada suhu yang relatif rendah (Northrop dan Kunitz 1924, diacu dalam Harrow 1950). Presipitasi garam dilakukan dengan prinsip salting out. Pada keadaan salting out, ion-ion garam akan berikatan dengan molekul air sehingga menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein dan mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian mengendap (Bollag dan Edelstein 1991).

Enzim pepsin dan khimosin dapat terpresipitasi dengan penambahan garam netral seperti natrium klorida (NaCl), magnesium sulfat (MgSO4), dan amonium sulfat ((NH4)2SO4) (Tauber dan Kleiner 1932). Amonium sulfat dipilih dalam penelitian ini karena garam ini efektif dalam proses salting out, memiliki daya larut tinggi, menghasilkan panas pada tingkat yang rendah, dan relatif murah (Scopes 1994). Ekstrak kasar rennet dipresipitasi dengan amonium sulfat pada konsentrasi 70% (persen saturasi) pada suhu 4ºC (Encorbio 2010). Konsentrasi ini didapat melalui uji empirik dengan membandingkan tingginya endapan pada beberapa persen saturasi yaitu 64%, 70%, 76%, dan 88%. Dari hasil uji empirik, optimasi diperoleh pada konsentrasi 70% berdasarkan pengamatan secara kualitatif terhadap tingginya endapan. Sebagian besar protein akan terpresipitasi pada 55% amonium sulfat (persen saturasi) dan terpresipitasi maksimum pada konsentrasi 85% amonium sulfat (persen saturasi) (Bollag dan Edelstein 1991).

BM (kD)

Unstained Marker

Ekstrak Kasar Hasil Dialisa Hasil Kromatografi

DM1 DM2 DM1 DM2 DM1 DM2

t (menit.detik) 10.24 3.38 14.25 8.25 162.26 161.23 57.19 19.00 14.25 23.15 57.56

Fraksi ke- 5 6 4 5 6 7 8

Gambar 8 Hasil gel elektroforesis menggunakan pewarnaan silver pada sampel rennet

DM1 (B, D, F dan G) dan DM2 (C, E, H, I, J, K, dan L). Pita pada lingkaran kuning diduga menunjukkan enzim khimosin dan pepsin. BM = bobot molekul, t = waktu koagulasi sempurna.

Endapan protein yang diperoleh dari tahap presipitasi garam dilarutkan kembali dalam buffer asetat 10 mM pH 5,4 sebanyak 4 mL dan dilakukan dialisa. Buffer dalam hal ini berperan mempertahankan pH enzim. Buffer asetat memiliki kisaran pH antara 3,6-5,6 (Kiernan 1990). Dengan demikian, buffer asetat sesuai digunakan untuk melarutkan kembali rennet yang mengandung enzim khimosin yang stabil pada pH 5,3-6,3 dan pepsin yang stabil pada pH 5,0-5,5 (Suhartono 1992). Alasan tersebut juga mendasari penggunaan buffer ini sebagai buffer pengelusi (fase gerak) dalam kromatografi kolom gel filtrasi untuk memurnikan khimosin dan pepsin dalam rennet.

Dialisa merupakan proses difusi suatu zat terlarut melalui membran selektif permeabel dengan melawan gradien konsentrasi untuk mencapai titik keseimbangan. Gradien tersebut dibentuk dari perbedaan konsentrasi buffer pelarut dan buffer pendialisa (dialysate buffer). Kantong dialisa yang digunakan memiliki ukuran pori-pori 12 kD sehingga molekul-molekul terlarut dengan bobot molekul (BM) sama dengan atau kurang dari 12 kD akan keluar melewati membran, sementara molekul dengan BM lebih besar akan tertahan di dalam kantong dialisa. Metode ini digunakan untuk memisahkan enzim khimosin dan pepsin dari amonium sulfat. Garam seperti amonium sulfat memiliki BM yang

97,4 116,3

21,5 55,4

kecil (132,14 g/mol = 132,14 D) (Encorbio 2010), sehingga amonium sulfat akan tertarik keluar. Sementara khimosin dengan BM 31 kD dan pepsin dengan BM 34,5 kD (Suhartono 1992), akan tertahan.

Berdasarkan protokol standar, dialisa dilakukan selama 16 jam dengan beberapa kali penggantian buffer pendialisa. Penggantian buffer pendialisa bertujuan mengoptimalkan pengeluaran molekul-molekul yang tidak dibutuhkan dari dalam kantong dialisa. Banyak faktor yang mempengaruhi optimasi proses dialisa antara lain koefisien difusi, pH, temperatur, waktu, konsentrasi protein sampel, volume sampel, volume buffer pendialisa, seberapa sering penggantian buffer pendialisa dilakukan, luas area permukaan kantong dialisa, ketebalan kantong dialisa, muatan molekul, serta agitasi (stirring) (Spectrumlabs 2008).

Hasil dialisa menunjukkan adanya pertambahan volume pada rennet dari volume 4 ml yang dimasukkan ke dalam kantong dialisa. Volume sampel rennet DM1 bertambah menjadi 7 ml, sementara pada sampel rennet domba DM2 volume bertambah menjadi 7,5 ml. Pertambahan volume ini disebabkan adanya reaksi kesetimbangan dimana amonium sulfat serta molekul-molekul lain yang keluar dari kantong dialisa digantikan oleh buffer pendialisa.

Pada uji aktivitas, hasil dialisa rennet sampel DM1 dan DM2 membutuhkan waktu lebih lama dalam mengkoagulasikan susu daripada ekstrak kasarnya (Tabel 2). Konsentrasi hasil dialisa yang digunakan dalam uji aktivitas memang lebih rendah daripada ekstrak kasar, yakni 1% (v/v) untuk hasil dialisa dan 4% (v/v) untuk rennet ekstrak kasar. Namun perbedaan konsentrasi dalam uji aktivitas ini diduga bukan merupakan penyebab, karena adanya pemekatan selama proses presipitasi garam sampai didapat hasil dialisa (Lampiran 2).

Pada hasil analisa protein dengan SDS-PAGE terlihat pita protein pada hasil dialisa kedua sampel rennet (DM1, DM2) lebih sedikit daripada rennet ekstrak kasarnya (Gambar 8). Pada saat dilakukan dialisa, molekul yang keluar dari kantong tidak hanya amonium sulfat tetapi juga molekul-molekul protein yang bobot molekulnya sama dengan atau di bawah 12 kD. Menurunnya aktivitas rennet dapat disebabkan tereliminasinya sebagian enzim pepsin dan khimosin selama proses presipitasi garam dan dialisa. Presipitasi garam dilakukan dengan menggunakan amonium sulfat yang merupakan garam yang paling umum

digunakan untuk mengikat berbagai jenis protein termasuk enzim pepsin dan khimosin (Scopes 1994, Tauber dan Kleiner 1932). Meskipun dalam penelitian ini tidak dilakukan uji aktivitas terhadap supernatan hasil presipitasi garam untuk membuktikan dugaan tersebut.

Faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas rennet diduga akibat dialisa yang dilakukan belum optimal dalam memisahkan ikatan antara garam amonium sulfat dan enzim. Khimosin dan pepsin yang dapat bekerja mengkoagulasikan misel kasein susu menjadi lebih sedikit, sehingga aktivitas koagulasi berlangsung lebih lambat. Waktu yang dibutuhkan untuk koagulasi susu secara sempurna berbanding terbalik dengan konsentrasi enzim (Charlson et al. 1985).

Kromatografi Kolom Gel Filtrasi

Sebanyak 175 fraksi dikoleksi dari hasil pemisahan protein sampel rennet DM1 dan DM2 dengan metode kromatografi kolom gel filtrasi. Dari fraksi-fraksi tersebut aktivitas koagulasi ditunjukkan fraksi ke-5 dan ke-6 pada hasil purifikasi sampel DM1, serta fraksi ke-4 hingga ke-8 pada hasil purifikasi sampel DM2 (Gambar 9). Jumlah fraksi yang dapat mengkoagulasikan susu dari hasil kromatografi DM1 lebih sedikit daripada hasil kromatografi DM2, karena kadar protease baik pada ekstrak kasar maupun hasil dialisa DM1 lebih rendah daripada DM2. Hal ini didasarkan pada hasil SDS-PAGE yang menunjukkan bahwa intensitas pita-pita protein ekstrak kasar dan hasil dialisa sampel DM2 lebih kuat daripada sampel DM1 (Gambar 8).

Hasil pengujian koagulasi pada hasil kromatografi sampel rennet DM1 menunjukkan fraksi ke-6 mengkoagulasikan susu lebih cepat daripada fraksi ke-5. Hasil pengujian sampel DM2 menunjukkan fraksi ke-6 mengkoagulasikan susu paling cepat, diikuti fraksi ke-5, fraksi ke-7, fraksi ke-4, dan fraksi ke-8 (Tabel 3). Pita-pita protein pada hasil SDS-PAGE memiliki korelasi positif dengan hasil pengujian koagulasi pada fraksi-fraksi tersebut (Gambar 8). Intensitas pita yang diduga menunjukkan khimosin dan pepsin pada hasil SDS-PAGE fraksi-fraksi hasil kromatografi sampel DM2 menurun dari fraksi ke-6 > ke-5 > ke-7 > ke-4 > ke-8, sebaliknya waktu yang dibutuhkan untuk mengkoagulasikan susu secara

sempurna semakin lama. Sama halnya pada hasil SDS-PAGE fraksi hasil kromatografi sampel DM1, intensitas pita protein pada fraksi ke-6 lebih kuat daripada fraksi ke-5. Selain perbandingan dari segi waktu, kualitas curd yang terbentuk juga bervariasi. Fraksi yang menunjukkan intensitas pita lebih kuat menghasilkan curd dengan kualitas yang lebih baik.

Tabel 3 Perbandingan waktu koagulasi susu fraksi-fraksi hasil purifikasi sampel rennet

DM1 dan sampel rennet DM2

Sampel Fraksi Waktu Koagulasi (menit.detik)

DM1 4 Tidak menggumpal 5 162.26 6 161.23 7 Tidak menggumpal 8 Tidak menggumpal DM2 4 57.19 5 19.00 6 14.25 7 23.15 8 57.56

Gambar 9 Hasil uji koagulasi fraksi ke- 4,5,6,7, dan 8 hasil kromatografi sampel rennet

DM1 dan DM2. Koagulasi sempurna terjadi pada fraksi ke-5 dan 6 sampel

rennet DM1 (DM1-5, DM1-6) dan fraksi ke-4 sampai ke-8 sampel rennet

DM2 (DM2-4, DM2-5, DM2-6, DM2-7, dan DM2-8).

Pemisahan campuran protein dengan kisaran BM yang luas dapat dilakukan menggunakan agar gel (Polson 1961, Andrews 1962, Steere dan Ackers 1962, diacu dalam Andrews 1964), namun campuran protein dengan kisaran BM yang lebih sempit sebaiknya dipisahkan menggunakan kromatografi kolom gel filtrasi

DM1-4 DM1-5 DM1-6 DM1-7 DM1-8

dengan matriks yang mengandung dextran (Flodin 1962, diacu dalam Andrews 1964) atau poliakrilamid (Hjerten dan Mosbach 1962, diacu dalam Andrews 1964). Matriks yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sephadex G-75 memiliki kisaran berat molekul 3-80 kD (Pharmacia) dimana BM khimosin ataupun pepsin masuk dalam kisaran tersebut.

Kromatografi kolom gel filtrasi memisahkan ekstrak protein berdasarkan berat molekulnya (Balqis 2007). Matriks yang berupa gel berpori akan menahan fraksi protein dengan berat molekul yang lebih kecil, sedangkan fraksi dengan berat molekul yang lebih besar akan terelusi lebih dulu. Dengan kata lain, protein yang terelusi pada fraksi-fraksi awal merupakan protein yang memiliki berat molekul besar. Pada hasil SDS-PAGE terlihat adanya perbedaan jumlah dan intensitas pita protein dari masing-masing fraksi (Gambar 8, F-L), hal ini membuktikan adanya pemisahan protein berdasarkan BM oleh kromatografi kolom gel filtrasi dengan matriks sephadex G-75. Namun tidak diperoleh fraksi yang menunjukkan pepsin dan khimosin benar-benar termurnikan. Kesulitan dalam memisahkan khimosin dan pepsin dengan metode kromatografi kolom gel filtrasi dapat disebabkan kedua enzim tersebut memiliki BM yang berdekatan, yaitu 31 kD dan 34,5 kD.

Analisa protein dengan metode spektrofotometri terhadap hasil kromatografi gel filtrasi dilakukan untuk mengetahui total protein dalam setiap fraksi. Panjang gelombang ( λ ) yang digunakan yaitu 280 nm karena kandungan asam-asam amino karboksilat, terutama tirosin, serta sebagian besar protein-protein mempunyai absorbsi maksimum pada panjang gelombang tersebut. Di samping itu, pada beberapa sampel protein kadar asam amino tirosin bersesuaian dengan kadar protein (Winarno 1997). Analisa pada hasil kromatografi sampel DM1 dan DM2 menunjukkan nilai absorbansi yang tinggi pada fraksi-fraksi awal (Gambar 10). Total protein dan nilai absorbansi memiliki hubungan yang linear (Caprette 1995). Dengan demikian, nilai absorbansi yang tinggi juga menunjukkan total protein yang tinggi (peak). Hasil purifikasi kedua sampel menunjukkan bahwa fraksi-fraksi dengan aktivitas koagulasi yang baik berada dalam peak protein tersebut, dengan kata lain peak protein menggambarkan keberadaan khimosin dan pepsin.

A

B

Gambar 10 Nilai absorbansi (λ = 280 nm) pada fraksi hasil kromatografi sampel rennet

DM1 (A) dan sampel rennet DM2 (B) sama-sama tinggi pada kelompok fraksi awal dibandingkan fraksi-fraksi selanjutnyas.

Fraksi-fraksi awal (fraksi ke-4, 5, 6, 7, dan 8) pada hasil kromatografi yang menunjukkan adanya aktivitas koagulasi terhadap susu menandakan bahwa enzim khimosin ataupun pepsin terelusi pada fraksi-fraksi tersebut (Tabel 3). Ukuran fraksi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3 mL (100 tetes) per tabung, dengan kata lain aktivitas koagulasi ditunjukkan pada volume elusi 12 – 24 mL (nomor fraksi x ukuran fraksi). Hasil ini kurang sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Andrews (1964) yang menunjukkan bahwa pada pemisahan protein menggunakan teknik kromatografi gel filtrasi dengan matriks sephadex G-75, protein dengan berat molekul 25 kD (Chymotrypsin) terelusi pada volume 110 mL, sementara protein dengan berat molekul 45 kD (Ovalbumin) terelusi pada volume 85 mL. Jika didasarkan pada penelitian tersebut khimosin dan pepsin yang memiliki berat molekul 31 kD dan 34,5 kD seharusnya terelusi pada volume antara 85 hingga 110 mL atau antara fraksi ke-28 hingga fraksi ke-36. Protein target yang terelusi pada fraksi yang salah dapat terjadi akibat efek eksklusi ion, yang dapat diatasi dengan meningkatkan kekuatan ion buffer gel filtrasi (Hagel

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0 50 100 150 200 a bs o rba ns i 2 8 0 nm fraksi ke-OD 280 nm 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0 50 100 150 200 a bs o rba ns i 2 8 0 nm fraksi ke-OD 280 nm

1998). Eksklusi ion merupakan pemisahan materi ionik dari materi non-ionik berdasarkan perbedaan distribusi pada dua tipe zat terlarut. Namun demikian, khimosin dan pepsin telah dapat terfraksinasi sehingga fraksi-fraksi yang didapat dalam penelitian ini dapat digunakan dalam upaya purifikasi lebih lanjut dengan metode purifikasi lain.

Penggunaan teknik kromatografi gel filtrasi biasanya dikombinasikan dengan teknik purifikasi lainnya. Kromatografi kolom gel filtrasi seringkali digunakan sebagai langkah awal sebelum dilakukan purifikasi lebih lanjut terhadap sampel dengan teknik adsorptif. Selain itu, gel filtrasi juga digunakan pada tahap akhir purifikasi untuk menghilangkan kontaminan yang masih tersisa yang kemungkinan memiliki muatan sama dengan protein target (Hagel 1998). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ahmed (2005) bahwa purifikasi protein dapat dilakukan melalui kombinasi beberapa langkah seperti fraksinasi garam, kromatografi penukar ion, dan gel filtrasi. Purifikasi protein juga dengan dapat dilakukan dengan satu langkah saja menggunakan affinity chromatography.

Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode kromatografi kolom gel filtrasi dapat memfraksinasi khimosin dan pepsin dari ekstrak rennet domba lokal namun belum optimal dalam mempurifikasi kedua enzim tersebut.

Saran

1. Perlu dilakukan purifikasi lebih lanjut dengan metode lain untk mendapatkan khimosin dan pepsin murni seperti metode isoelectric focusing atau kromatografi penukar ion

2. Perlu dilakukan pemisahan protein ekstrak rennet domba lokal yang masih segar

Adams M, Nout R. 2001. Fermentation and Food Safety. Maryland: Aspen Publisher Inc.

Ahmed H. 2005. Principles and Reaction of Protein Extraction, Purification, and Characteriztion. Florida: CRC Press.

Andrews P. 1962. Estimation of molecular weights of proteins by gel filtration. Nature 196: 36-39.

Andrews P. 1964. Estimation of the molecular weights of proteins by sephadex gel-filtration. Biochem J 91: 222-233.

Arimurti PI. 2006. Studi Morfologi Abomasum Domba Lokal Umur Lepas Sapih (3-5 Bulan) dan Uji Aktivitas Ekstrak Mukosanya dalam Mengkoagulasikan Susu [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ash RW. 1964. Abomasal secretion and emptying in suckled calves. J Physiol

172: 425-438.

Atallah AG. 2007. Characters of chymosin gene isolated from different animal sources at molecular level. J Appl Sci Res 3(9): 904-907.

[Atlantic lab equipment]. 2011. Pharmacia Chromatography Fraction Collector Frac-200. http://stores.aleoutlet.com/Items/201004-

11109?sck=5838045&caSKU=201004-11109&caTitle=PHARMACIA%20Chromatography%20FRACTION%20C OLLECTOR%20FRAC-200. [27 Oktober 2011]

Balqis U. 2007. Purifikasi Protease Dari Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[Biostad]. 2011. Pharmacia XK16/20 Chromatography Column. http://www.biostad.com/product.aspx?id=331965&desc=Pharmacia_XK16_ 20_Chromatography_Column. [27 Oktober 2011]

Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York: Wiley-Liss, Inc. Broome MC, Limsowtin GKY. 1998. Milk coagulants. Aust J Dairy Technol

53:188–190.

Caprette DR. 1995. Absorbance Assays (280 nm). http://www.ruf.rice.edu/~bioslabs/methods/protein/abs280.html [31 Oktober 2011]

Charlson A, Hill CG, Olson NF. 1985. Improved assay procedure for determination of milk-clotting enzymes. J Dairy Sci 68:290-299.

Cheeseman GC. 1981. Rennet and Cheesemaking. Di dalam: Birch GG, Blakebrought N, Parker KJ, editor. Enzyme and Food Processing. London: Applied Science Publisher Ltd.

Cmegar W, Cruegar A. 1984. Enzymes. Di dalam: Brock TD, editor. Biotechnology: a Textboox of Industrial Microbiology. Madison: Sci. Tech., Inc.

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri : Mosby, inc.

Crabbe MJC. 2004. Rennet: General and Molecular Aspects. Di dalam: Fox PF, McSweeney PLH, Cogan TM, Guinee TP, editor. Cheese: Chemistry, Physics, and microbiology. Ed ke-3. Volume 1 General aspects. London: Elsevier Ltd.

Dalgleish DG. 1999. The Enzymatic coagulation of milk. Dalam: Fox PF, editor. Cheese: Chemistry, Physics, and Microbiology. Volume ke-1 General aspects. Ed ke-2. Maryland: Aspen publisher Inc.

Daulay D. 1990. Fermentasi Keju. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi-PAU Pangan dan Gizi IPB.

Daulay D. 1995. Isolasi, Karakterisasi Fungisional Dan Penggunaan Protease Ikan Tuna Sebagai Pengganti Rennet Untuk Pembuatan Keju. Abstrak. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

[Encorbio]. 2010. Ammonium Sulfate Calculator. http://www.encorbio.com/protocols/AM-SO4.htm [ 9 Juli 2010]

Fitriyani EN. 2006. Studi Morfologi Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda (6-12 bulan) dan Uji Aktivitas Ekstrak Mukosanya dalam Mengkoagulasikan Susu [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Flodin P. 1962. Dextran Gels and their Application in Gel Filtration. Uppsala: Pharmacia.

Fox PF. 1993. Cheese. Volume ke-1, Chemistry, Physics, and Microbiology. Maryland: Aspen Publisher Inc.

Frappier BL. 2006. Digestive system. Di dalam: Eurell JAC, Eurell JA, Frappier

Dokumen terkait