• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mochtar Lubis Lampu-lampu di beranda dan di kamar depan

telah dipadamkan. Ayah sedang menulis di kamar kantornya. Dan kami anak-anak berkumpul di kamar tidur Ayah dan Ibu, mendengarkan cerita Ibu sebelum kami disuruh tidur. Ibu bercerita tentang seorang pelesit pemakan orang, yang dapat menukar-nukar tubuhnya dari manusia jadi macan, dan kemudian jadi manusia kembali, berganti-ganti. Untuk mengenal pelesit ini, orang harus melihat bundar bibirnya yang licin di bawah hidungnya, dan kalau dia berjalan tumitnya yang ke depan.

Sungguh amat menakutkan dan mengasyikkan cerita Ibu, dan duduk sekelilingnya berlindung dalam selimut, enak ketakutan, amat menyenangkan benar.

Sedang kami begitulah tiba-tiba terdengar ribut di luar rumah, dan kemudian terdengar opas penjaga rumah kami berteriak-teriak memanggil Ayah dari luar. "Inyik! Inyik!"

Kami semua terkejut. Ibu berhenti berbicara. Ayah terdengar bergegas membuka pintu kamar kantornya, dan terus ke beranda.

Di masa itu Ayah bekerja sebagai demang di Kerinci dan tahun dua puluhan dan tiga puluhan itu keadaan di daerah itu seperti di masa abad per-tengahan saja. Karena soal pembagian air sawah, soal kerbau, dan sebagainya, satu kampung lalu menyatakan perang pada kampung yang lain. Senjata yang populer yang dipakai dalam perang ini ialah batu-batu sebesar telur ayam, yang diayunkan ke arah musuh dengan tali-tali istimewa untuk meng-ayunkannya. Baru seminggu yang lalu Ayah pergi ke Sungai Dewas menghentikan perang ini, dan dia kena peluru batu kesasar, yang merenggutkan topi helmnya dari kepalanya. Untunglah tidak tepat kenanya. Hanya pening juga kepala Ayah beberapa lama dibuatnya.

Baru setelah perkelahian dapat dihentikan oleh polisi dengan menembakkan senapan ber-kali-kali ke udara dan kedua kepala kampung desa yang berperang dipertemukan, dan mereka men-dengar Ayah nyaris kena lemparan batu mereka yang berperang, maka kepala-kepala kampung itu minta maaf dan ampun, dan berkata mereka tidak bermaksud memerangi Ayah sama sekali. Akhirnya, karena menyesalnya mereka dengan batu yang menyasar itu, maka dengan mudah mereka menerima usul perdamaian Ayah, dan membagi air untuk sawah-sawah mereka dengan damai.

Tiada lama kemudian, Ibu masuk dan berkata, "Nak, kini anak-anak semua tidurlah. Ayah meski pergi. Ada kuli kontrak lari." Kelihatan Ibu menekan cepat di hatinya.

Esok pagi kami mendengar dari Abdullah, opas penjaga rumah, bahwa ada lima orang kuli kontrak yang melarikan diri dari onderneming Kayu Aro, setelah menikam opzichter Belanda.

Ketika kami pulang sekolah pukul 12 siang, Ayah belum kembali. Ketika dekat magrib, Ayah belum juga pulang, Ibu mulai cemas dan sebentar-sebentar dia ke depan melihat ke jalan. Dan beberapa kali aku dengar Ibu bercakap-cakap dengan opas Abdullah. Dan Abdullah berkata supaya Ibu jangan khawatir. Ayah tiba ketika hari telah malam, dan kami semua telah disuruh tidur. Aku dengar Ayah bercakap-cakap dengan Ibu sampai jauh malam, dan kemudian rumah pun sunyi. Esoknya kami dengar bahwa kuli-kuli kontrak ini telah tertangkap semuanya dan telah dibawa ke penjara. Penjara terletak di bawah bukit kecil di belakang rumah kami. Dari kebun buah-buahan dan sayur di belakang rumah, jika kami naik pohon jeruk yang besar, dapatlah dilihat lapangan belakang penjara, tempat orang hukuman dibariskan setiap hari atau diberi hukuman. Dari kebun terdengarlah suara orang gila yang ditahan dalam penjara menyanyi-nyanyi atau memaki-maki.

Mengapa di masa itu orang gila dimasukkan penjara dan tidak ke rumah sakit, tidak jadi per-tanyaan bagiku di masa itu. Kadang-kadang asyik juga aku mendengarkan nyanyiannya yang berhiba-hiba, kemudian lantang mengeras, dan lebih hebat lagi jika telah mulai memaki-maki, amat sangat kotor-kotornya. Sungguh sedap selagi kecil itu dapat mendengar per-kataan-perkataan yang terlarang demikian.

Kemudian, Ibu bercerita bahwa Ayah dan polisi dapat menangkap tiga orang kuli kontrak yang melawan opzichter Belanda itu. Hanya tiga orang kuli kontrak yang melawan opzichter Belanda itu. Hanya tiga orang, tidak lima orang yang diceritakan semula. Mereka tertangkap di dalam hutan tidak jauh dari onderneming, separuh kelaparan, kedinginan, dan penuh ketakutan. Mereka tiada melawan sama sekali, dan ketika melihat Ayah, maka mereka segera datang menyerah dan berkata, "Pada Kanjeng kami menyerahkan nasib, dan mohon keadilan."

Menurut Ibu yang didengarnya dari Ayah, sebabnya terjadi penikaman terhadap opzichter

Belanda itu karena opzichter itu selalu mengganggu istri-istri mereka, dan rupanya kuli-kuli kontrak itu sudah gelap mata tidak dapat lagi menahan hati melihat opzichter itu mengganggu istri-istri mereka. Lalu, mereka memutuskan ramai-ramai menyerang si opzichter.

"Tidak salah mereka itu," kata Ibu yang rupanya merasa gusar sekali melihat kuli-kuli kontrak itu yang ditangkap.

"Mestinya opzichter jahat itu yang ditangkap," tambah Ibu.

"Mengapa tidak ditangkap dia?" tanya kami, anak-anak.

Ibu memandang kepada kami dan berkata dengan suara yang lunak, "Karena yang berkuasa Belanda! Belanda tidak pernah bisa kalah."

"Tapi dia yang jahat," kata kami mendesak Ibu.

"Ibu tidak mengerti," sahut Ibu, "tapi jangan kamu tanya-tanya pada Ayah tentang ini. Dia sudah marah-marah saja sejak pulang dari onderneming."

Ketika Ayah pulang dari kantor dan setelah dia makan, maka kami semua dipanggil ke kamar kerjanya. Kelihatan muka Ayah suram, dan sesuatu yang berat menekan pikirannya. Setelah kami berkumpul, maka Ayah berkata, "Esok hari pagi-pagi sampai pukul 10, Ayah larang anak-anak pergi ke kebun di belakang. Tidak seorang juga yang boleh ke sana. Ayah akan marah sekali pada siapa yang melanggar larangan ini."

"Mengapa, Ayah?" kami bertanya.

"Turut saja perintah Ayah!" sahut Ayah dengan pendek.

Kami pun mengerti. Jika Ayah telah bersikap demikian, tak ada gunanya membantah-bantah. Tetapi hati kami penuh macam-macam pertanyaan. Mengapa dilarang? Ada apa?

Segera juga Ibu kami serbu, hingga akhirnya untuk mendiamkan kami, Ibu berkata, "Bahwa esok hari ketiga orang kuli kontrak itu akan diberi hukuman. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim, maka mereka akan dilecut karena telah menyerang opzichter Belanda."

Kecut hatiku mendengar cerita Ibu. Rasanya badanku dingin dan menggigil, dan setelah masuk kamar tidur amat lama baru aku dapat tidur. Pikiranku terganggu mendengar kuli-kuli kontrak yang akan dilecut esok pagi di penjara. Ketakutan berganti-ganti dengan nafsu hendak melihat betapa manusia melecut manusia dengan cemeti.

Pagi-pagi, saudara-saudaraku yang harus ke sekolah telah berangkat. Dan kami yang belum bersekolah diberi tahu kembali oleh Ayah dan Ibu supaya jangan pergi ke kebun di belakang rumah.

Dari Opas Abdullah, aku dengar mereka akan dilecut mulai pukul sembilan pagi. Semakin dekat pukul sembilan, semakin resah dan gelisah rasa hatiku. Hasrat hatiku hendak melihat mereka dilecut bertambah besar. Dan ketika hari telah hampir lima menit sebelum pukul sembilan tak dapat kutahan hatiku, dan sambil berteriak pada Ibu bahwa aku pergi bermain-main ke rumah sebelah, maka aku berlari ke luar dari pekarangan di depan rumah ke jalan besar, berlari terus memutar, jalan ke jalan besar di belakang rumah, masuk pekarangan rumah sakit yang berbatasan dengan kebun belakang

rumah kami, memanjat pagar kawat, meloncat ke dalam kebun, dan dengan napas terengah-engah memanjat pohon jeruk, hingga sampai ke dahan di atasnya tempat aku dapat duduk dan melihat ke bawah, ke pekarangan belakang rumah penjara.

Pekarangan itu ditutupi batu kerikil. Di tengah-tengahnya telah terpasang tiga buah bangku kayu. Sepasukan kecil polisi bersenjata senapan berbaris di sisi sebelah kiri. Kemudian, aku melihat Ayah keluar dari gang menuju pekarangan belakang penjara, di sebelahnya kontrolir Belanda, asisten wedana polisi, dokter rumah sakit. Dan kemudian, dari gang lain keluar ketiga orang yang akan dilecut itu. Mereka hanya memakai celana pendek saja dan tangan mereka diikat ke belakang, diiringi oleh kepala rumah penjara dan dua orang polisi.

Hatiku berdebar-debar, dan takut kembali meremas perutku. Akan tetapi, aku tidak hendak meninggalkan tempat persembunyianku. Aku hen-dak melihat juga apa yang akan terjadi.

Ketiga kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia di tengah pekarangan belakang rumah penjara, mereka disuruh jongkok, dan kemudian kepala rumah penjara membacakan sehelai surat, dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang tidak bergerak-gerak. Kemudian, ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka ke belakang, ditidur-kan telungkup di atas, perut mereka di bangku, kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku.

Tiga orang mandor penjara kemudian maju ke depan, kira-kira dua meter dari tiap-tiap bangku, dan di tangan mereka sehelai cemeti panjang yang hitam warnanya. Kemudian kepala penjara berseru, "Satu!"

Suaranya keras dan lantang. Tiga orang mandor penjara mengayunkan tangan mereka ke belakang, cemeti panjang berlekuk ke udara seperti ular hitam yang hendak menyambar, mengerikan dan terdengarlah bunyinya membelah udara, men-denging tajam dan kemudian bunyi cemeti me-langgar daging manusia dan segera disusul oleh jerit kuli kontrak yang di tengah, yang melonjakkan

kepalanya ke belakang, dan dari mulutnya yang ternganga keluarlah suara jeritan yang belum pernah aku dengar dijeritkan manusia. Jeritnya melengking tajam membelah udara, menusuk seluruh hatiku, membikin tubuhku menjadi lemah lunglai, dan suatu ketakutan yang amat besar dan amat gelapnya menerkam aku, dan aku berpegang kuat-kuat ke dahan pohon jeruk, amat ketakutan.

"Dua!" teriak mandor penjara lagi. Bunyi cemeti mendesing membelah udara, bunyi cemeti beradu dengan punggung, dan pada cambukan kedua mereka bertiga sama-sama menjerit melengking kesakitan.

Aku tak berani melihat lagi, aku tutup mataku kuat-kuat, akan tetapi tak kuasa aku menahan bunyi desing cemeti di udara, bunyi cemeti menerkam daging, dengan giginya yang tajam, ratusan ribu banyaknya, dan jerit mereka yang kesakitan mem-belah langit, melolong minta ampun. Entah berapa lama aku hidup dan mati demikian bersama dengan mereka di atas bangku tak kuingat lagi. Ketika aku membuka mataku kembali, aku lihat dokter memeriksa ketiga kuli kontrak itu. Dan kemudian kulihat dia mengangguk pada kontrolir, dan kontrolir mengangguk pada kepala rumah penjara, dan kepala rumah penjara berteriak, "Dua puluh satu!"

Dan kembali cemeti mendesing membelah udara dan menerkam melingkar punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak menjerit lagi karena mereka telah pingsan.

Setelah sampai pada cambukan kedua puluh lima, kontrolir memberi isyarat, kepala rumah penjara mundur selangkah, dan memberi perintah, dan tiga orang mandor penjara tukang cambuk mundur, menggulung cambuk mereka yang telah merah penuh darah dan kepingan daging manusia, mundur dan masuk ke dalam rumah penjara.

Dokter kembali memeriksa kuli-kuli kontrak itu. Dan kemudian tali-tali pengikat mereka dilepas-kan, dan aku lihat kontrolir menoleh pada Ayah mengatakan sesuatu.

Pada saat itulah aku membuat kesalahan. Karena amat sangat terpengaruh dengan apa yang aku lihat, maka ketika aku hendak turun dari

pohon, aku malah meletakkan kakiku ke dahan di bawah, aku tergelincir, terjatuh ke bawah, dan menjerit terkejut, terjatuh ke tanah, dan sikuku terbentur ke tanah, amat sakitnya. Beberapa saat aku terhentak diam di tanah, dan kemudian aku menangis kesakitan. Opas Abdullah yang sedang berada di dapur datang berlari ke belakang, melihat aku berbaring di tanah, mengangkat aku, dan meng-gendong aku ke rumah. Sikuku amat sakitnya. Ibu memeriksanya, dan berkata, "Sikumu terkilir!" Dan kemudian tambahnya, "Ayahmu akan marah sekali. Engkau melanggar perintahnya. "Mengapa engkau di kebun?" Aku hanya menangis saja.

Aku segera dibawa ke rumah sakit, dan setelah manteri rumah sakit menarik-narik tanganku yang rasanya menambah sakit sikuku saja, dan kemudian tanganku diperban, maka aku disuruh tidur, tidak boleh bermain-main.

Petangnya Ayah pulang dari kantor. Aku sudah ketakutan saja menunggu Ayah pulang.

Setelah dia makan, aku dengar Ibu bercakap-cakap dengan Ayah. Tentu mengadukan aku, pikirku dengan takut.

Tiada lama kemudian Ayah datang melihat aku. Dia duduk di pinggir tempat tidur. Ditatapnya muka aku diam-diam, hingga aku terpaksa menundukkan mataku.

"Engkau lihat semuanya?" tanyanya.

"Ya, aku salah, Ayah!" kataku, suaraku gemetar ketakutan.

Ayah memegang tanganku, dan kemudian berkata dengan suara yang halus sekali, akan tetapi amat sungguh-sungguh, "Jika engkau besar, janganlah sekali-kali engkau jadi pegawai negeri, jadi pamong praja! Mengerti?"

"Ya, Ayah!" jawabku. Kemudian seakan Ayah hendak berkata lagi, dia tertegun, dan tidak jadi berkata. Segera aku disuruhnya tidur.

Sejak itu setiap kali ada kesempatan selalu Ayah berkata supaya jangan seorang jua pun anak-anaknya yang mengikuti jejaknya jadi pamong praja. Dan tiap dia berkata demikian, dia melihat padaku, dan aku pun mengerti.

1. Buatlah sebuah kritik terhadap cerpen "Kuli Kontrak" tersebut. 2. Tulislah dengan memperhatikan prinsip-prinsip penulisan kritik. 3. Buatlah esai berdasarkan puisi "Teringat Rumah" dengan

memperhatikan prinsip-prinsip penulisan esai.

4. Tukarkan pekerjaan Anda dengan teman sebangku untuk dikoreksi.

5. Pajanglah kritik dan esai yang paling bagus di mading sekolah Anda.

Rangkuman

1. Tujuan program kegiatan adalah agar pendengar mengetahui kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan.

2. Sebelum mengajukan saran terhadap informasi yang disampaikan, sebaiknya Anda mencatat hal-hal pokok informasi terlebih dahulu. 3. Kecepatan membaca seseorang dapat diukur dengan meng-gunakan rumus kecepatan membaca. Kecepatan membaca seseorang dapat ditingkatkan dengan banyak berlatih.

4. Kritik dan esai merupakan bagian dari ilmu bahasa. Kritik lebih mengedepankan penilaian secara objektif terhadap isi sebuah karya. Sementara esai lebih mengedepankan ide atau gagasan penulisnya.

Releksi Pelajaran

Dalam menyampaikan sebuah program kegiatan, Anda harus mempersiapkan beberapa hal, di antaranya adalah berlatih terlebih dahulu sebelum tampil. Dengan mempelajari pelajaran ini, Anda akan dapat melakukan presentasi program kegiatan dengan baik. Di samping itu, kemampuan Anda dalam berbicara akan sangat membantu Anda saat mengajukan saran terhadap informasi yang disampaikan. Selain itu, kemampuan berbicara Anda dalam menyampaikan pendapat Anda tuangkan dalam menulis kritik dan esai. Sudahkah Anda menguasai kemampuan tersebut? Jika ingin menguasai kemahiran dalam mempresentasikan program kegiatan dan menulis kritik atau esai, Anda harus rajin belajar dan berlatih terus­menerus.