• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Model

Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.

Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata

Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan

Fase embriotik perkembangan destinasi pariwisata perdesaan Elit pariwisata Inklusifitas elit Pelembagaan pariwisata berbasis kultural Masyarakat lokal Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan

destinasi pariwisata perdesaan Pihak eksternal:

biro perjalanan wisata, asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan

wisatawan

DESA WISATA

2. Fase embriotik

Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat lokal terhadap program pemerintah.

3. Elit pariwisata

Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan mandeg di tahapan embriotik.

4. Lembaga pariwisata berbasis kultural

Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi. Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor

pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler, dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai

sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

5. Partisipasi masyarakat lokal

Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata. Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge.

6. Pihak eksternal

Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki

pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.

Dokumen terkait