• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi:

- kelangkaan air irigasi

- produksi padi rendah - tingkat pendidikan petani rendah - Perilaku berusahatani padi rendah - Adopsi SRI di kalangan anggota subak belum optimal

Prioritas:

Kelangkaan sumber daya air Rendahnya kualitas sumber daya manusia INPUT OUTPUT Aktivitas Partisipasi OUTCOME - DAMPAK Pendek Mengengah Panjang

Sumberdaya manusia anggota subak Modal Usahatani Sarana Produksi Padi (Saprodi) Kebijakan Pemerintah Daerah Informasi SRI untuk subak-subak yang ada di Bali Penyuluh pertanian lapangan yang berkualitas Pembentukan Koperasi Tani Program Pelatihan System of Rice Intensifi-cation di kalangan anggota subak Demplot SRI Studi banding ke daerah yang sukses menerapkan SRI Anggota subak mengikuti pelatihan, demplot, studi banding Pengurus mengikuti pelatihan SRI, dan ”menularkan” pada anggota Penyuluh/ fasilitator menyelengga-rakan penyuluhan SRI Beru- sahatani padi lebih baik Pening- katan produksi padi Pening- katan Penda-patan Pening- katan kualitas hidup Pening- katan kesejah- teraan anggota subak Kelesta- rian sumber- daya alam dan lingku- ngan Asumsi-Asumsi Faktor Eksternal

Kelangkaan air irigasi yang menjadi faktor utama dalam usahatani padi maka secara otomatis berdampak pada penurunan hasil usahatani. Kondisi ini semakin menyulitkan petani karena minimnya pengetahuan yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, semakin menyengsarakan petani. Ada harapan untuk bertani lebih baik dengan masuknya inovasi SRI. Namun, sampai saat ini pengaadopsian SRI di subak-subak yang ada di Bali belum optimal karena berbagai faktor.

Permasalahan ini menjadi salah satu fokus kajian dalam penelitian ini. Mesti ada upaya-upaya perbaikan untuk mendapatkan kehidupan petani yang lebih baik. Untuk itu, perlu dukungan input-input sebagai investasi jika ingin mencapai hasil yang diinginkan. Input itu dapat berupa manusia, uang, metode, program-program, mesin, dan pasar. Oleh sebab itu maka perlu dipersiapkan sumberdaya manusia anggota subak yang handal, modal usahatani, sarana produksi padi (saprodi), kebijakan pemerintah daerah untuk mendukung pembangunan pertanian di Bali, Informasi SRI untuk subak-subak yang ada di Bali, penyuluh pertanian lapangan yang berkualitas, dan pembentukan koperasi tani.

Jika dikelola dengan baik, maka investasi yang ditanamkan diharapkan dapat memberikan output yang baik pula. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu program pelatihan tentang SRI di seluruh subak-subak yang ada di Bali. Jikalau saja seluruh subak yang ada di Bali dapat mengadopsi SRI, maka akan terjadi perubahan perilaku anggota subak ke arah perbaikan dalam berusahatani padi sehingga petani akan hidup lebih sejahtera.

Apa yang direncanakan tidak selamanya berjalan mulus, oleh sebab itu perlu diantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat menjadi penghambat keberhasilan. Dengan demikian dibutuhkan asumsi-asumsi ilmu ekonomi di antaranya harga-harga tidak berfluktuasi secara tajam dan lain sebagainya.

Perubahan perilaku anggota subak dalam mengadopsi SRI, diharapkan dapat menimbulkan dampak yang positif untuk pembangunan pertanian di Bali. Dampak jangka pendek yang dapat dirasakan salah satunya adalah terjadinya better farming dan better business. Dalam jangka menengah kedua dampak

yang positif ini akan diikuti dengan better environment, sehingga pada akhirnya petani dapat tersenyum menikmati kehidupan yang lebih sejahtera.

Dalam hal dampak program, juga harus diperhatikan faktor-faktor eksternal seperti kondisi politik dan keamanan di Bali, kondisi iklim dan dan cuaca dan lain sebagainya yang sedikit banyaknya dapat memengaruhi dampak dari program yang telah direncanakan.

73

Penyuluhan pembangunan adalah proses pemberian bantuan berupa: informasi, memecahkan masalah yang dihadapi, pengambilan keputusan kepada masyarakat supaya proses peningkatan mutu/kualitas hidup dapat berjalan lancar. Kegiatan penyuluhan pembangunan dilaksanakan melalui upaya sadar, terencana dan sangat membutuhkan partisipasi aktif masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan.

Menurut Hanafiah (1985:4), pembangunan sebagai proses perubahan akan melibatkan aktivitas struktur dan fungsi-fungsi pembangunan, di mana struktur pembangunan disusun oleh komponen fisik, sosial-ekonomi, dan administrasi pembangunan sedangkan aktivitas berkaitan dengan perilaku mewujudkan produktivitas manusia pembangunan. Sejalan dengan pendapat ini, Blakely (1989:28) menjelaskan bahwa keberhasilan pembangunan mensyaratkan mantapnya partisipasi pembangunan memfungsikan local identity termasuk lembaga masyarakat yang lahir dan diyakini sebagai wadah local business networks setempat dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan menjadi global network. Landis (1986:76) menambahkan bahwa sangat jarang sebuah organisasi pembangunan berfungsi tunggal, namun sekurang-kurangnya terintegrasi pada lima fungsi yaitu fungsi keluarga, pendidikan, agama, ekonomi, dan sub fungsi campur tangan pemerintah. Dengan mengadoptasi konsep tersebut, maka timbul suatu pertanyaan bagaimana potensi subak sebagai organisasi lokal Bali yang berfungsi socio-agraris-religius itu dapat menggerakkan pembangunan anggotanya, paling tidak diperlukan penelusuran unsur-unsur yang mungkin dapat sejalan mewadahi aktivitas penyuluhan pembangunan.

Pembangunan bukanlah soal teknologi tetapi pencapaian pengetahuan dan ketrampilan baru, tumbuhnya suatu kesadaran baru, perluasan wawasan manusia, meningkatnya semangat kemanusiaan dan suntikan kepercayaan diri. Kesadaran itu tidak tumbuh dengan sendirinya, karena mereka harus dibekali pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat diperoleh melalui penyuluhan pembangunan. Lionberger dan Gwin (1984:34) menegaskan kembali pendidikan non-formal untuk semua orang, helping people to help themselves, learning by doing and

seeing is believing melalui proses belajar kontinyu untuk meningkatkan kualitas hidup sasaran.

Penyuluhan pembangunan dikatakan berhasil jika sasarannya mampu memanfaatkan kesempatan dan menggerakkan sumberdaya lain menjadi produktif, sehingga penyuluhan sebaiknya dilaksanakan sebelum pembangunan dimulai dan bekerja harmonis dengan media dan budaya masyarakat (Benor, 1987:139); Mosher, 1978:5; dan Axinn, 1988:11). Soewardi (1987:10) dengan tegas mengatakan bahwa para penyuluh setidaknya mampu berdiri sendiri dan menguasai etika penyuluhan (the golden rules) dan metode penyuluhan yang benar. Berdasarkan harapan itu, timbul suatu pertanyaan seberapa besar subak berpotensi melakukan tugas itu atau potensi unsur mana yang dapat dijadikan titik tolak mengembangkan wahana belajar di subak?

Konsep yang disampaikan Uphoff (1989:202) mengetengahkan tiga cara meningkatkan mutu organisasi lokal yakni gelorakan semangat kepeloporan

(inception), perluas aktivitas anggota (expansion), dan operasikan tujuan dengan jelas (operations). Selain itu, ditawarkan juga empat teknik menggerakkan aktivitas warganya yakni tugas-tugas organisasi harus dikembangkan seluas-luasnya agar warga selalu kreatif (interorganizational tasks) kenali potensi sumberdaya warga (resource tasks), memekarkan jaringan pelayanan (service tasks) dan buka hubungan dengan organisasi luar (extraorganizational).

Telah banyak dikenal wadah-wadah pembangunan lokal, tetapi mencari dan memberdayakan unsur-unsur potensial agar efektif menjadi wahana pembangunan tidak mudah termasuk mengapa subak di Bali begitu populer menjadi lembaga tradisional yang dapat melayani anggotanya dalam hal irigasi? Potensi subak subak didukung oleh sarana fisik, nilai, sumber daya manusia, program dan aktifitas di subak serta kepemimpinan subak. Bahkan mungkin peran faktor di luar subak dapat saja sejalan ataupun mengganggu kemandirian subak dalam menerima inovasi pertanian.

Kesesuaian unsur Subak dengan unsur pembangunan yang disuluhkan memungkinkan Subak dapat efektif menerima, mengolah, dan mengembangkan serta melaksanakan isi pesan pembangunan. Mungkin ciri komunikatif seperti lokasi yang strategi, kebersamaan, panutan guru-bhakti, tuntunan perasaan

bermasyarakat dan menjunjung tinggi peran prajuru-subak (pengurus subak) khususnya pada kegiatan paruman-subak (musyawarah) serta semangat ”se-tunggal” mentaati keputusan memungkinkan subak siap menjadi wahana belajar anggota subak sekaligus wahana pembangunan pertanian di Bali.

Menyiapkan subak agar selaras dengan tujuan penyuluhan atau tujuan-tujuan pembangunan pertanian yang berciri terbuka dan selalu produktif mengolah sumberdaya mungkin berbenturan atau terhambat oleh adanya nilai-nilai subak yang sulit berubah atau diubah. Secara pragmatis mungkin azas kebersamaan dan rasa bakti menjadi anggota subak memudahkan terwujudnya kesamaan pandangan terhadap informasi pembangunan pertanian, alasan organisatoris di mana adanya pengakuan dan pembagian status, peran, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas memungkinkan warga subak meraih peningkatan kualitas hidupnya. Alasan sosiologis yakni subaklah yang menjadi perekat (sosial glue) semangat bersama sehingga tidak satupun warganya merasa dapat hidup sendiri. Berarti juga dengan subak, maka perbedaan opini pribadi, pengalaman dan nilai-nilai personal mudah lebur ke arah produktif seperti progresif perwujudan pelaksanaan Tri Hita Karana

yaitu hubungan selaras antara warga dengan Tuhan, warga dengan warga lain, dan warga dengan alam lingkungannya. Ciri komunikatif dan inovatif subak, dapat pula dijadikan alasan menggelorakan budaya getok tular sehingga adopsi-difusi pesan pembangunan pertanian sampai dengan efektif. Alasan kultural bahwa di

subaklah dijiwai ajaran Tri Kaya Parisudha yang didasari oleh semangat berpikir

(manacika), berkata (wacika), dan berbuat (kayika) yang benar.

Warga subak adalah anggota keluarga, bagian dari sekehe (kelompok-kelompok kecil satu profesi) dan tempekan (kelompok kecil bagian dari subak) dalam suatu banjar (lingkungan tempat tinggal). Kumpulan banjar membentuk satu desa, dan ragam perilaku masyarakatnya memerlukan pengaturan. Sejalan dengan ini Sarmela (1975:221) menggambarkan organisasi tradisi sebagai sistem tidaklah statis, di dalamnya terdapat aksi-aksi seperti komunikator-komunikator informasi pembangunan, aktor sosial-ekonomi, aspirator pengetahuan baru, motivator bagi individu lainnya dan agen transformator nilai menuju perubahan yang menguntungkan. Konsep ini dijadikan gambaran menganalisis subak yakni unsur-unsur mana memungkinkan subak menjadi pusat orientasi, fokus integrasi

sehingga tingkat partisipasi warganya cenderung semarak. Bagaimana ragam emosi dan aspirasi personal berupa persepsi mereka tentang pengembangan potensi subak menjadi wahana belajar menjadi pertanyaan selanjutnya.

Subak sebagai kesatuan komunitas petani, dibentuk dari fungsi unsur fisik, nilai, program dan aktivitas, dan kepemimpinan subak. Fungsi unsur fisik mencirikan kesatuan komunitas yang menjamin rasa aman di subak bahkan cenderung menjadi primordial yang merugikan. Balai subak sebagai tempat musyawarah, aktivitas keagamaan, aktivitas ekonomi seperti pembagian sarana produksi pertanian, tempat penyuluhan pertanian dan wahana komunikasi sosial lainnya. Pura subak menjadi tempat persembahyangan warga subak dan pengambilan tirta suci sebelum aktivitas dalam subak dimulai. Pura sekaligus menjadi perekat sesama anggota subak. Balai kulkul atau kentongan subak bermakna komunikatif baik intra, inter, dan antar anggota subak. Irama dan prekuensi pukulan yang berbeda menyiratkan tujuan yang berbeda. Unsur fisik lainnya adalah dapur, perangkat kesenian, sumur, papan data dan informasi.

Nilai subak mengatur perilaku anggota dan pengurus subak sekaligus sebagai tuntutan dalam berprilaku dalam mencapai tujuan hidup. Konsep nilai Tri Hita Karana sebagai tiga cara mencapai kesejahteraan (Geriya, 1993:93) yaitu menyelaraskan tiga hubungan di atas. Konsep Tat Wam Asi, artinya Ia adalah Kamu yang secara luas berarti menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Nilai kebersamaan dan kebaktian, tidak memungkinkan munculnya kreativitas individu bahkan dikorbankan demi komunal dan kolektivitas. Robinson (1989:96) mengakui pula bahwa tindakan meniadakan kreativitas, dan daya saing sebenarnya melawan pembangunan. Konsep nilai lainnya yaitu desa-kala-patra

artinya program pembangunan disesuaikan dengan tata ruang-waktu-situasi sehingga keseimbangan lahir dan bathin menjadi pedoman berperilaku di subak. Ajaran Rwa-Bhineda dan Bhineka Tunggal Ika menyiratkan agar perbedaan dijadikan alat mencapai tujuan bersama atau teknik musyawarah pada paruman

subak justru menghormati variasi pola pikir, berkata dan berbuat. Konsep Tri Guru yaitu Guru Rupaka yang mewajibkan setiap orang hormat kepada orang tua yang melahirkan; Guru Pengajian mewajibkan taat pada petunjuk guru di sekolah

dan Guru Wisesa, tunduk pada pemerintah. Konsep guru terakhir ini menjadikan subak korban induktif pemerintah dan memasung inisiatif dan subak

Masuknya metode SRI ke dalam Subak menunjukkan daya dan efektivitas subak mengenal dan mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki untuk seterusnya dijadikan pedoman mengembangkan potensi diri mencapai tujuan pribadi, subak, dan pembangunan pertanian. Oleh sebab itu diperlukan dukungan sumberdaya yang memadai. Sumberdaya menyiratkan keragaman sumberdaya manusia, alam dan sumberdaya pendukung yang memengaruhi kiprah subak. Sumbedaya manusia di subak mengatur warganya dalam status dan peran yang berbeda, yaitu

Prajuru Subak terdiri dari seorang kelian subak (Pimpinan), Penyarikan subak

(Sekretaris), Petengen (Bendahara), beberapa Kelian Tempek (Ketua kelompok kecil) dan sisanya Kerame Subak (anggota). Selain itu, kepemimpinan subak juga tidak kalah penting. Kepemimpinan ditunjukkan dari kematangan warga, hubungan prajuru dan kerame subak, struktur tugas subak, kedudukan pemimpin, gaya kepemimpinan dan struktur kekuasaan pemimpin.

Berdasar ciri Subak di atas, maka sangat penting dibuktikan apakah potensi Subak menjadi wahana belajar petani di Bali dipengaruhi oleh fungsi unsur dan semangat subak? Sebagai wahana belajar berarti tempat pelaksanaan proses belajar mengajar (Kochhar, 1981:25-26). Ciri aktivitas belajar dan mengajar adalah integrasi peran penyuluh, materi, sarana dan sasaran agar lebih produktif (Bertz, 1983:19-20; dan Kunzik, 1983:123). Ciri lain menurut Sutjipta (1994:1) bahwa penyuluhan adalah usaha terencana dan dilaksanakan dalam hubungan terbuka, tanpa adanya kesenjangan dalam menumbuhkan motivasi internal masyarakat. Sejalan dengan itu Kaufman (1979:31) menggambarkannya sebagai interrelasi, kooperasi dan partisipasi antar komponen belajar. Rogers (1983:290) menekankan adanya interkoneksi, dan Bertrand (1974:108) menyebut sebagai sosialisasi yang dinamis antar elemen kelompok. Roberts (1987:82) menekankan prinsip learning by doing ditingkatkan menjadi learning by interaction.

Faktor yang diduga dapat memberikan pengaruh terhadap petani untuk mengadopsi atau menerapkan suatu inovasi dalam usahataninya adalah faktor yang berkaitan dengan karakteristik petani dan keluarganya, faktor yang berkaitan

dengan usahatani yang dijalankan dan faktor lingkungan. Apabila dilihat dari faktor yang memengaruhi percepatan adopsi, maka faktor yang memengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri yang akan diintroduksi harus mempunyai kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, dan budaya yang ada di petani (Musyafak dan Ibrahim, 2005:49).

Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui peubah-peubah yang termasuk ke dalam faktor-faktor yang memengaruhi petani menerapkan inovasi tertentu. Faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik petani dan keluarganya antara lain umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, sikap (Yanuar, 2002:10; Suharyanto et.al., 2005:15; Yuliarmi 2006:39; dan Basuki, 2008:40).

Pendidikan diukur berdasarkan lamanya petani mengenyam pendidikan formal. Lama pendidikan formal mempunyai hubungan yang tidak langsung terhadap sikap petani dalam mengadopsi inovasi. Petani yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam mengadopsi inovasi, sebaliknya petani yang berpendidikan rendah agak sulit untuk mengadopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988:60).

Makin muda umur petani biasanya mempunyai semangat dan keinginan untuk mengetahui apa yang belum diketahui/mencoba-coba hal baru, sehingga berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi (Soekartawi, 1988:60). Selanjutnya jumlah anggota keluarga diduga memengaruhi pengadopsian suatu inovasi. Semakin banyak keluarga maka tingkat pengadopsian semakin cepat karena kebutuhan hidup dan biaya hidup semakin besar, untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah maka petani mengadopsi suatu inovasi agar dapat meningkatkan produktivitas usahataninya.

Lahan pertanian merupakan penentu dari pengaruh faktor produksi komoditas pertanian. Luas lahan berkorelasi positif dengan sikap adopsi petani, artinya luas lahan petani, semakin besar peluang petani dalam mengadopsi teknologi. Beberapa kemajuan teknologi baru mesyaratkan operasi dalam skala usaha yang besar dan memerlukan sumberdaya ekonomi yang substansial untuk menerapkannya, dengan demikian petani yang memiliki lahan yang luaslah yang akan mampu secara ekonomi untuk menerapkan praktik usahatani yang lebih modern (Lionberger dan Gwin, 1984:54).

Pemilik lahan mempunyak kuasa yang lebih luas daripada penyewa lahan. Pemilik lahan dapat langsung membuat keputusan dalam mengadopsi suatu inovasi, namun penyewa lahan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari pemilik lahan sebelum menerapkan suatu praktik baru apabila penyewa lahan masih mendapat bantuan finansial dari pemilik lahan (Lionberger dan Gwin, 1984:61)

Keikutsertaan anggota subak dalam pelatihan memungkinkan anggota subak mendapatkan informasi mengenai teknologi yang belum diketahuinya dan merupakan sarana pendidikan non formal. Anggota subak yang selalu mengikuti berbagai pelatihan baik di daerahnya maupun di luar mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengadopsi inovasi, dikarenakan mempunyai pengetahuan yang lebih lengkap. Khusus untuk penelitian ini pelatihan yang diikuti anggota subak harus mengenai pelatihan atau penyuluhan tentang SRI.

Pengalaman usahatani adalah lamanya anggota subak dalam melakukan usahatani padi dari sejak pertamakali memulai sampai penelitian dilakukan. Peubah ini merupakan gambaran dari budaya atau kebiasaan yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Anggota subak yang sudah lama bertani diperkirakan sulit bahkan tidak bersedia mengubah sistem pertaniannya, sehingga semakin lama pengalaman anggota subak maka semakin sulit untuk mengubah pola pikirnya untuk dapat menerapkan suatu inovasi. Pengalaman menyimpulkan bahwa praktik usahatani yang dilakukan selama bertahun-tahun adalah yang paling baik, sehingga ketika inovasi pertanian diperkenalkan anggota subak membutuhkan waktu yang lama untuk menerimanya.

Pendapatan usahatani padi merupakan perolehan bersih petani dinilai dalam bentuk yang diterima dari hasil usahatani padinya. Semakin tinggi pendapatan yang akan diterima petani akibat penerapan teknologi tertentu diduga semakin cepat petani untuk beralih menerapkan inovasi dalam usahataninya. Pendapatan usahatani padi yang tinggi berhubungan dengan inovasi pertanian (Soekartawi, 1988:61). Dalam penelitian ini pendapatan usahatani dihitung berdasarkan satuan rupiah/musim tanam/ha.

(1) Umur

(2) Pendidikan formal (3) Luas lahan usahatani

(4) Pengalaman

(5) Jumlah tanggungan keluarga

(6) Motivasi berusaha (7) Tingkat subsistensi (8) Modal usahatani (9) Partisipasi dalam subak

(1) Lebih baik dari metode konvensional (2) Memberikan banyak keuntungan

(3) Tidak bertentangan dengan aturan subak (awig-awig) (4) Tidak memiliki tingkat kesulitan untuk diterapkan (5) Tidak bertentangan dengan norma

(6) Tidak bertentangan dengan tata nilai (7) Tidak bertentangan dengan adat istiadat (8) Sesuai dengan kebiasaan setempat (9) Tidak terlalu rumit

(10)Mudah dicoba

(11)Hasilnya dapat dilihat langsung

Sikap anggota subak tentang SRI (Y2)

(1) Sri irit air (2) Ramah lingkungan

(3) Menggunakan lebih sedikit benih (4) Masa tanam lebih cepat

(5) Menggunakan bibit lebih muda (6) Jumlah anakan lebih banyak (7) Kualitas batang dan daun lebih baik (8) Tahan terhadap hama dan penyakit (9) Bulir padi lebih bernas

(10)Rasa nasi lebih enak (11)Produktivitas tinggi

Kompetensi Fasilitator/Penyuluh (X5)

(1) Kemampuan mengemukakan pendapat (2) Kejelasan bahasa yang digunakan (3) Daya adaptasi

(4) Kesistematisan dalam menyampaian materi (5) Kemampuan memberi semangat klien (6) Pemahanan kebutuhan anggota subak (7) Alat bantu penyuluhan yang digunakan (8) Penampilan menarik

(9) Efisiensi waktu memberi penyuluhan (10)Penguasaan Materi SRI

(11)Pengalaman yang bagus dengan SRI

Kompetensi Pengurus (X4)

(1) Menyebarluaskan informasi (2) Menganjurkan menerapkan SRI (3) Mempengaruhi anggota subak (4) Memberikan contoh

(5) Melibatkan anggota dalam pengambilan keputusan

(6) Memberikan semangat

(7) Mencarikan jalan pemecahan masalah (8) Memiliki pengetahuan dan wawasan tentang

SRI

(9) Sifat jujur dan terbuka

(10)Membuka diri dari segala macam kritikan

Pengadopsian Paket Teknologi SRI oleh Anggota Subak(Y4) (1) Persiapan dan Pengolahan

Lahan (2) Pemilihan Benih (3) Persemaian (4) Penanaman (5) Penyiangan (6) Pengairan (7) Pemupukan

(8) Pengendalian hama dan penyakit

(9) Panen

Gambar 15. Kerangka berpikir penelitian

Kemandirian Anggota Subak (Y3)

(1) Akses informasi (2) Dapat belajar mandiri (3) Kerjasama dengan pedagang (4) Penyediaan modal usaha tani (5) Penguasaan lahan (sewa) (6) Akses pada kredit usahatani (7) Berani menanggung risiko (8) Proses pengambilan keputusan (9) Ketepatan pengambilan keputusan

Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah penjelasan sementara tentang suatu tingkah laku, gejala-gejala, atau kejadian tertentu yang telah terjadi atau yang akan terjadi. hipotesis adalah harapan yang dinyatakan oleh peneliti mengenai hubungan antara peubah-peubah di dalam masalah penelitian (Sevilla dkk., 1993:13).

Hipotesis umum penelitian ini adalah derajat pengadopsian SRI di kalangan anggota subak masih rendah walaupun anggota subak telah mendapatkan informasi yang memadai tentang SRI, dan derajat pengadopsian SRI tersebut ditentukan oleh beberapa faktor internal dan faktor eksternal anggota subak.

Hipotesis:

(1) Karakteristik individu anggota subak, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus berpengaruh terhadap persepsi anggota subak tentang SRI.

(2) Karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, dan persepsi anggota subak tentang SRI berpengaruh terhadap sikap anggota subak terhadap SRI.

(3) Karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, persepsi anggota subak tentang SRI, dan sikap anggota subak terhadap SRI berpengaruh terhadap kemandirian anggota subak menerapkan SRI.

(4) Karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI berpengaruh terhadap pengadopsian SRI di kalangan anggota subak.

83

Desain Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian Ex post facto. Ex post facto

berarti ”setelah kejadian” (Gay, 1976 dalam Sevilla, 1993:124). Peneliti menyelidiki permasalahan dengan mempelajari atau meninjau peubah-peubah. Peubah terikat dan persoalan utama peneliti dalam penelitian ini segera dapat diamati selanjutnya menemukan penyebab yang menimbulkan akibat tersebut. Kerlinger (1990:604) mendefinisikan Ex post facto adalah telaah empirik sistematis di mana ilmuan tidak dapat mengontrol secara langsung peubah bebasnya karena manifestasinya telah muncul, atau karena sifat hakekat peubah itu menutup kemungkinan manipulasi. Inferensi relasi antar peubah dibuat, tanpa intervensi langsung, berdasarkan variasi yang muncul seiring dalam peubah bebas dan peubah terikatnya. Gay (Sevilla, 1993:124) menyatakan bahwa dalam metode penelitian ini, peneliti berusaha untuk menentukan sebab, atau alasan adanya perbedaan dalam tingkah laku atau status kelompok individu. Dalam artian, peneliti mengamati bahwa kelompok-kelompok yang berbeda pada beberapa peubah dan kemudian diidentifikasi faktor utama penyebab perbedaan tersebut.

Setelah tahapan tersebut di atas dilalui, selanjutnya penelitian ini dilanjutkan dengan model Structural Equation Model (SEM) yaitu suatu model yang juga disebut A Covariance Structure Model yang digunakan untuk menguji model-model empiris untuk menjelaskan varian dan korelasi antara suatu set peubah-peubah yang diobservasi (observe) dalam suatu sistem kausal (sebab akibat) dari faktor-faktor yang tidak diobservasi (unobserve). Dengan demikian pengukuran model menspesifikasikan seberapa jauh peubah-peubah yang

Dokumen terkait