• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Pola dan Model Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan

5.3.2 Model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan

Sesunguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk mengelola hasil tangkapan sampingan di laut. Menentukan model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan penangkapan udang setempat (Slavin 1981), karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda- beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar, dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh yang telah dilaksanakan di berbagai tempat di luar negeri, diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua.

Merencanakan model pemanfaatan yang paling sesuai untuk Laut Arafura di antaranya harus mempertimbangkan kondisi geografis, karakter pengusaha, keinginan anak buah kapal dan harapan pemerintah sebagai regulator pengelolaan sumberdaya perikanan. Ada 4 model pendekatan teknis pengelolaan untuk memanfaatkan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dilaksanakan di Laut Arafura, Provinsi Papua, yaitu:

(1) Model 1

Kapal pukat udang sebagai penghasil ikan hasil tangkapan sampingan beroperasi sebagai kapal penangkap sekaligus sebagai kapal pengumpul ikan hasil tangkapan sampingan, tetapi di kapal tersebut tidak dilakukan pengolahan. Pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan akan dilakukan di darat.

(2) Model 2

Ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang akan ditampung oleh kapal pengumpul khusus yang dioperasikan untuk menampung sekaligus melakukan pengolahan di atas kapal. Pada kapal penampung khusus ini tentunya dilengkapi dengan sarana pengolahan ikan, seperti mesin pemisah tulang (meatbone machine), dengan demikian ikan hasil tangkapan yang didaratkan sudah dalam bentuk daging lumat (minced fish).

(3) Model 3

Ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang ditampung oleh kapal pengumpul, tetapi pengolahan tidak dilakukan di atas kapal seperti Model 2. Pada model ini, kapal penampung hanya berfungsi sebagai pengumpul dan tidak difungsikan sebagai kapal pengolah. Pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan akan dilakukan di darat seperti pada Model 1.

(4) Model 4

Kapal pukat udang sebagai penghasil ikan hasil tangkapan sampingan dioperasikan sekaligus sebagai kapal pengumpul dan pengolahan. Perbedaannya dengan Model 1 yaitu tidak dilengkapi dengan sarana pengolahan. Model ini, kapal pukat udang dilengkapi dengan sarana pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan sehingga pengolahannya dapat dilakukan langsung di atas kapal.

Secara umum model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang tersebut dapat disarikan dalam bentuk diagram seperti ditunjukkan dalam Gambar 19. Jenis model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan manapun, tentunya akan banyak melibatkan pemenuhan kebutuhan input, proses produksi, distribusi dan proses pemasaran produk tersebut, oleh sebab itu aspek teknologi, modal awal (investasi finansial), kelembagaan pengelolaan juga harus mendapat perhatian serta dipersiapkan dengan baik. Khusus aspek kelembagaan, pada tahap awal pengembangannya sebaiknya dibangun oleh pemerintah daerah melalui pendekatan kemitraan dengan perusahaan pukat udang yang ada dan industri pengolahan baik industri berskala besar maupun industri rumah tangga.

74

Gambar 19. Diagram model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap kapal pukat udang (trawl) untuk menggunakan alat pemisah ikan (API) untuk mengatasi permasalahan hasil tangkapan sampingan, tetapi kenyataannya hasil tangkapan sampingan masih tetap ada, apalagi dalam pelaksanaan peraturan tersebut diduga terjadi pelanggaran-pelangaran oleh kapal-kapal pukat udang. Secara umum diketahui bahwa kelompok ikan demersal merupakan kelompok dominan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, secara kuantitatif potensi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di perairan ini menunjukkan jumlah yang cukup besar (332.186 ton pertahun). Dengan jumlah yang demikian besar sangat memungkinkan untuk dikelola, sehingga akan memberikan manfaat bagi semua pihak terutama masyarakat Papua yang tinggal di pesisir Laut Arafura serta tercapainya pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dan lestari. Skema pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura secara sederhana disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Skema pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura

Pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura merupakan suatu sistem kegiatan yang terintegrasi. Agar dapat berjalan efektif dan efisien serta memberikan manfaat yang optimal harus mendapat dukungan dari para

stakeholder. Beberapa alternatif model pemanfaatan dianalisis menggunakan alat bantu (tool) proses analisis heirarki (AHP). Tidak disebutkan bahwa dalam proses penyusunan hierarki diperlukan suatu aturan khusus. Hierarki diperlukan hanya untuk dapat memahami permasalahan dan menstrukturnya ke dalam bagian-bagian sehingga menjadi elemen pokok yang cukup rinci untuk pengambilan keputusan yang logis. Yang terpenting fokus proses analisis harus ditentukan. Dalam melakukan pemilihan model pengelolaan yang paling sesuai mengacu pada empat kriteria yang sangat mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan, yaitu modal awal (investasi), infrastruktur, biaya operasional (modal kerja), hukum dan kelembagaan. Hierarki dari model pengelolaan hasil tangkapan sampingan ini secara ringkas disajikan pada Gambar 21. Untuk mempermudah dalam pengolahan data dan menganalisis AHP terhadap elemen- elemen tersebut, penulis menggunakan alat bantu softwareExpert Choice.

76

Gambar 21. Proses hierarki analisis untuk pemilihan model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura

Dari keempat kriteria tersebut, modal awal merupakan hal yang penting diperhatikan. Hal ini disebabkan implementasi pemanfaatan hasil tangkapan sampingan tergantung pada ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana, dimana pengadaan komponen-komponen sarana dan prasarana sangat ditentukan oleh ketersediaan modal awal. Model pengelolaan yang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup banyak dengan tingkat teknologi yang tinggi tentunya akan memerlukan modal awal yang cukup besar. Di samping modal awal, tiga kriteria lainnya yaitu infrastruktur, biaya operasi (modal kerja), hukum dan kelembagaan sesungguhnya merupakan elemen-elemen yang saling memiliki keterkaitan.

(3) Hasil analisis pengolahan data horizontal

Pengolahan data horizontal pada tingkat 2 dilakukan untuk melihat prioritas dari berbagai aspek yang berpengaruh terhadap model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura Provinsi Papua. Hasil pengolahan data horizontal tingkat 2 berdasarkan analisis gabungan para responden dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2

Aspek Bobot Prioritas

- Modal Awal - Infrastruktur - Biaya Operasional

- Hukum dan Kelembagaan

0,204 0,386 0,168 0,242 3 1 4 2 Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,07

Berdasarkan hasil analisis pengolahan data horizontal di atas terlihat bahwa Infrastruktur merupakan aspek yang memiliki bobot paling besar pengaruhnya, yaitu 0,386. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh aspek hukum dan kelembagaan (0,242), aspek modal awal (0,204) dan aspek biaya operasional (0,168).

Analisis hierarki tingkat selanjutnya adalah pada tingkat 3. Pengolahan data horizontal pada tingkat ini untuk memperoleh model prioritas pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor di atasnya. Hasil analisis pengolahan data horizontal pada tingkat 3 disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3

Aspek Alternatif RI Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 - Modal Awal - Infrastruktur - Biaya Operasional - Hukum & Kelembagaan

0,157 0,147 0,123 0,256 0,414 0,449 0,432 0,108 0,135 0,228 0,137 0,472 0,295 0,176 0,309 0,164 0,08 0,06 0,03 0,02

Dari hasil analisis di atas (Tabel 22) terlihat bahwa model 2 adalah model prioritas pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura karena berdasarkan aspek-aspek modal awal (0,414); infrastruktur (0,449); biaya operasional (0,432) merupakan pilihan dengan prioritas pertama. Jika dilihat dari faktor hukum dan kelembagaan, maka pilihan alternatif dengan bobot terbesar adalah model 3 dengan bobot nilai 0,472.

78

(4) Hasil analisis pengolahan vertikal

Pengolahan data vertikal adalah menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap target utama atau tujuan utama. Pengolahan data vertikal dilakukan setelah matriks pendapat responden diolah secara horizontal. Adapun analisis pengolahan data vertikal dilakukan juga pada setiap tingkat, seperti yang dilakukan pada pengolahan data horizontal tingkat 2 dan tingkat 3.

Hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 2 akan memberikan nilai yang sama dengan hasil pengolahan data horizontal pada tingkat yang sama, karena pada tingkat ini langsung berada dibawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan. Hasil analisis pengolahan data vertikal tingkat 2 dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2

Eigen Faktor Bobot Prioritas

- Modal Awal - Infrastruktur - Biaya Operasional

- Hukum dan Kelembagaan

0,204 0,386 0,168 0,242 3 1 4 2 Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,06

Selanjutnya analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 3 untuk menentukan alternatif kebijakan pemanfatan hasil tangkapan yang akan dipilih. Secara lebih lengkap hasil analisis pengolahan vertikal pada tingkat 3 dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3

Alternatif Pemanfaatan Bobot Prioritas

- Model 1 - Model 2 - Model 3 - Model 4 0,171 0,357 0,252 0,220 4 1 2 3 Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,06

Berdasarkan hasil analisis vertikal di atas, maka dapat diketahui bahwa prioritas pertama diantara alternatif model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua adalah Model 2 dengan bobot nilai sebesar 0,357, prioritas kedua yaitu Model 3 dengan bobot nilai sebesar 0,252, prioritas ketiga yaitu Model 4 dengan bobot nilai 0,220 dan prioritas keempat atau terakhir yaitu Model 1 dengan bobot nilai (0,171). Hasil akhir dari analisis, diperoleh Model 2 merupakan model yang paling efisien untuk dilaksanakan, karena memiliki nilai prioritas tertinggi dibandingkan dengan ketiga model lainnya. Tingkat efisiensi model 2 tersebut ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur, biaya operasi yang memadai serta modal awal yang cukup. Meskipun bila dilihat dari sisi hukum dan kelembagaan Model 2 memiliki bobot nilai lebih kecil, tetapi masih memungkinkan untuk diimplementasikan, karena aspek hukum dan kelembagaan dapat dibangun dan dikembangkan secara bertahap seiring dengan pelaksanaan Model 2 ini. Dengan demikian, pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua dilakukan dengan kapal pengumpul dan penampung khusus yang dilengkapi dengan sarana pengolah ikan di atas kapal.

5.4 Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut

Dokumen terkait