• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Hasil Pembobotan Kriteria dan Atribut

5.4.1. Mudharib BMI Cabang Bogor

Sebanyak 99 persen mudharib di BMI Cabang Bogor sampai bulan September 2006 merupakan pengurus koperasi (usaha kecil). Hanya sebanyak satu persen mudharib yang berada dalam usaha dengan skala menengah. Jenis pembiayaan yang disalurkan kepada seluruh mudharib pada BMI Cabang Bogor adalah pembiayaan mudharabah modal kerja.

Seluruh mudharib yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah mudharib yang bekerja sebagai pengurus koperasi. Koperasi yang dikelola responden mudharib berada dalam lingkungan suatu organisasi tempatnya bekerja. Dengan kata lain, koperasi ini dibentuk oleh golongan fungsional (pegawai negeri, anggota ABRI, karyawan, atau yang lainnya) dari organisasi tersebut.

Menurut Susanto dan Firdaus (2004), berdasarkan golongan fungsionalnya, koperasi antara lain terdiri dari Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI), Koperasi Karyawan (Kopkar), Koperasi Angkatan Darat (Kopad), Koperasi Angkatan Udara (Kopau), Koperasi Angkatan Laut (Kopal), Koperasi Angkatan Kepolisian

(Koppol), Koperasi Pensiunan (Koppen), Koperasi Sekolah, dan lain-lain.

Organisasi tempat responden mudharib bekerja terdiri dari organisasi profit (badan usaha) dan organisasi non-profit (lembaga). Organisasi profit tersebut terdiri dari Perusahaan Daerah, BUMN, dan Perseroan Terbatas (PT). Sedangkan organisasi non-profit terdiri dari lembaga penelitian dan sekolah tinggi. Sehingga, jenis koperasi yang berada pada organisasi tersebut antara lain Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) dan Koperasi Karyawan (Kopkar).

Jenis usaha koperasi yang dijalankan seluruh responden mudharib adalah kombinasi dari kegiatan usaha koperasi konsumsi dan koperasi simpan pinjam (kredit). Koperasi konsumsi yaitu koperasi yang anggotanya terdiri dari setiap orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam bidang konsumsi. Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang anggotanya memiliki kepentingan langsung di bidang perkreditan (Susanto dan Firdaus, 2004).

Pertimbangan yang dimiliki oleh responden mudharib sebagai pengurus koperasi pada dasarnya tidak mutlak berasal dari preferensi yang dimilikinya secara pribadi melainkan dipengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung oleh anggota atau pengurus koperasi lainnya. Oleh karena itu, keputusan yang diambil mudharib dalam menetapkan besarnya nisbah bagi hasil pun merupakan representasi dari preferensi anggota koperasi, pengurus koperasi, atau karyawan lainnya.

Responden mudharib dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan jenis kepemilikan organisasi tempat responden bekerja (organisasi induk), yaitu organisasi pemerintah dan organisasi swasta. Organisasi pemerintah dalam penelitian ini terdiri dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perusahaan Daerah, dan Lembaga Pemerintah. Adapun organisasi swasta dalam penelitian ini terdiri dari Perseroan Terbatas dan Sekolah Tinggi.

Pembagian kelompok mudharib bedasarkan jenis kepemilikan organisasi induk tersebut didasari oleh suatu presumption bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara kedua jenis organisasi tersebut mengenai tujuan utama yang hendak dicapai. Organisasi pemerintah dicirikan oleh tujuan utamanya untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, sementara organisasi swasta dicirikan oleh tujuan utamanya untuk memaksimalkan kepentingan organisasi secara individu.

Tujuan utama organisasi secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi budaya organisasi yang berlaku di dalamnya. Sehingga, walaupun karakteristik koperasi berbeda dengan organisasi induk, tetapi budaya organisasi yang dimiliki organisasi induk dapat mempengaruhi karakter mudharib sebagai pengurus koperasi.

Tidak semua responden mudharib memberikan bobot pada kriteria dan atribut yang ditetapkan peneliti. Responden mudharib yang tidak memberikan bobot pada kriteria dan atribut menganggap bahwa setiap kriteria dan atribut tersebut memiliki bobot yang sama (tidak memiliki prioritas) atau tidak termasuk ke dalam pertimbangan mereka dalam menetapkan nisbah bagi hasil. Jumlah responden mudharib yang memberikan bobot pada kriteria dan atribut penetapan nisbah bagi hasil dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Penyebaran Responden Mudharib yang Telah Memberikan Bobot pada Kriteria dan Atribut

Kriteria & Atribut Jumlah Mudharib

Kriteria 11

Atribut pada kriteria TBBS 8 Atribut pada kriteria TBBK 9 Atribut pada kriteria PMKU 7 Atribut pada kriteria JWP 6 Atribut pada kriteria BHI 8

1). Mudharib pada Organisasi Pemerintah

Mudharib yang berada dalam kelompok ini berjumlah lima orang responden yang terdiri dari seorang responden yang bekerja pada Perusahaan Daerah, dua orang responden pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan dua orang responden pada Lembaga Pemerintah. Karena seorang responden dalam Lembaga Pemerintah tidak melakukan pembobotan terhadap kriteria penetapan nisbah bagi hasil, maka urutan prioritas kriteria hanya ditetapkan oleh empat responden.

Urutan prioritas kriteria ditentukan berdasarkan besarnya bobot yang dihasilkan dari perhitungan gabungan pendapat responden yang bersangkutan. Urutan prioritas kriteria penetapan nisbah bagi hasil pembiayaan mudharabah yang dimiliki mudharib pada organisasi pemerintah terdapat pada Tabel 12.

Tabel 12. Bobot Kriteria Berdasarkan Gabungan Pendapat Mudharib Pada Organisasi Pemerintah

Kriteria Bobot Prioritas

Tingkat Marjin Bagi Hasil Perbankan Syariah

(TBBS) 0,397 I

Tingkat Suku Bunga Perbankan

Konvensional (TBBK) 0,117 V Bagi Hasil untuk Investor/Deposan/Penabung

(BHI) 0,120 IV

Perkiraan Marjin Keuntungan Usaha

Mudharib (PMKU) 0,182 III Jangka Waktu Pembiayaan (JWP) 0.183 II

Mudharib pada organisasi pemerintah memiliki pertimbangan yang sangat kuat terhadap tingkat marjin bagi hasil dan sangat lemah terhadap tingkat suku bunga. Keadaan ini mengindikasikan dua hal: Pertama, mudharib memiliki keyakinan kuat terhadap perintah agama yang dianutnya untuk meninggalkan segala bentuk transaksi yang dilarang (haram). Salah satu hal yang dilarang tersebut adalah menggunakan suku bunga dalam suatu transaksi. Kedua, mudharib percaya bahwa BMI sudah menjalankan sistem bagi hasil yang sesuai dengan

syariat agama. Eksistensi mudharib yang sensitif terhadap masalah keagamaan sebagai nasabah BMI menjadi indikator sesuainya preferensi mudharib dengan bank dalam hal tersebut.

Mudharib juga memiliki preferensi yang rendah terhadap bagi hasil untuk investor (penabung atau deposan) selain terhadap suku bunga. Keadaan ini mengindikasikan bahwa mudharib ingin memisahkan antara kepentingannya dengan bank dan kepentingan investor dengan bank. Hal ini diduga karena mudharib membutuhkan dana yang tersedia di bank tanpa memberikan perhatian yang besar terhadap besarnya imbalan yang akan diperoleh investor sebagai pemilik dana tersebut. 2). Mudharib Pada Organisasi Swasta

Mudharib yang berada dalam kelompok ini berjumlah tujuh responden yang terdiri dari empat orang responden pada sekolah tinggi dan tiga orang responden pada Perseroan Terbatas (PT). Urutan prioritas kriteria ditentukan berdasarkan besarnya bobot yang dihasilkan dari perhitungan gabungan pendapat responden- responden yang bersangkutan. Urutan prioritas kriteria penetapan nisbah bagi hasil pembiayaan mudharabah yang dimiliki mudharib pada organisasi swasta terdapat pada Tabel 13.

Tabel 13. Bobot Kriteria Berdasarkan Gabungan Pendapat Mudharib Pada Organisasi Swasta

Kriteria Bobot Prioritas

Tingkat Marjin Bagi Hasil Perbankan Syariah

(TBBS) 0.22 II

Tingkat Suku Bunga Perbankan Konvensional

(TBBK) 0.21 III

Bagi Hasil untuk Investor/Deposan/Penabung

(BHI) 0.08 V

Perkiraan Marjin Keuntungan Usaha

Mudharib (PMKU) 0.35 I Jangka Waktu Pembiayaan (JWP) 0.13 IV

Berbeda dengan mudharib pada organisasi pemerintah yang sangat memprioritaskan marjin bagi hasil untuk bank, mudharib

pada organisasi swasta sangat memprioritaskan marjin keuntungan usahanya. Keadaan ini diperkirakan merupakan indikator terhadap rasionalnya pemikiran mudharib dalam menentukan besarnya nisbah bagi hasil. Mudharib beranggapan bahwa hal ini fair baginya mengingat besar atau kecilnya bagi hasil yang akan diperolehnya bergantung pada keuntungan yang dihasilkan dari usahanya. Jika potensi marjin keuntungan usaha mudharib semakin besar, maka semakin besar pula bagi hasil yang akan mudharib dapatkan. Oleh karena itu, pertimbangan terhadap marjin keuntungan usaha menjadi prioritas pertama dalam menetapkan nisbah bagi hasil.

Mudharib pada organisasi swasta memiliki pertimbangan yang sangat lemah terhadap imbalan yang akan diperoleh investor. Sama seperti mudharib pada organisasi pemerintah, alasan mudharib pada organisasi swasta melakukan transaksi pembiayaan di BMI adalah semata-mata karena membutuhkan dana yang tersedia pada bank tersebut. Oleh karena itu, mudharib memisahkan antara persoalannya sebagai pihak yang membutuhkan dana kepada bank dan persoalan investor sebagai pihak yang memberikan dana kepada bank. Sebagai konsekuensinya, pertimbangan terhadap imbalan untuk investor pun menjadi prioritas terakhir mudharib dalam menetapkan nisbah bagi hasil.

Bagi hasil untuk investor yang semakin besar di lain pihak akan menyebabkan bertambahnya besarnya bagi hasil yang diharapkan bank dari kegiatan pembiayaan. Keadaan ini dapat membebani mudharib dalam mengembalikan dana yang disalurkan bank untuk usahanya. Sehingga, jika mudharib bersifat rasional, maka seharusnya kriteria ini dapat menjadi pertimbangan yang lebih kuat dalam menetapkan besarnya nisbah bagi hasil.

Dokumen terkait