• Tidak ada hasil yang ditemukan

Norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian materril permohonan a quo inkonstitusional terhadap ketentuan UUD 1945

F. Permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 66 ayat (4) Undang- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

II.2. Norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian materril permohonan a quo inkonstitusional terhadap ketentuan UUD 1945

A. Pasal 59 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Bahwa terhadap uraian pada butir II.1 huruf A dan B di atas, serta butir II.2 huruf B dan huruf C di bawah, Pemohon mohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi agar dinyatakan berlaku mutatis mutandis sebagai satu kesatuan argumentasi hukum dalam bagian II.2 butir A ini.

1. Bahwa mengenai jenis atau sifat pekerjaan yang dapat dilangsungkan dengan PKWT selalu mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan pengusaha;

2. Bahwa karakteristik dan sifat suatu pekerjaan ada yang bersifat continue dan ada yang bersifat temporer, sehingga hubungan

kerjapun ada yang bersifat tetap (PKWTT) dan ada yang bersifat sementara (PKWT);

3. Bahwa dikarenakan jenis atau sifat pekerjaan yang dapat dilangsungkan dengan PKWT selalu mengalami perkembangan, maka pemeriksaan terhadap terpenuhi atau tidaknya ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap perlu oleh Pemohon untuk dilakukan secara kompherensif (utuh-menyeluruh) dan pemeriksaan tersebut sangatlah kasuistis terhadap tiap-tiap perusahaan;

4. Bahwa pemeriksaan terpenuhi atau tidaknya suatu norma sebagaimana dimaksud oleh Pemohon adalah dilakukan oleh lembaga yang melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman dan bukan oleh pemerintah dalam hal ini instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, hal ini dalam rangka check and ballances kewenangan yang dimiliki oleh tiga organ pokok kekuasaan negara dalam rangka memperoleh kepastian hukum dan keadilan;

5. Bahwa perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu terlebih dahulu diselesaikan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berlaku di Indonesia karena pada dasarnya merupakan perselisihan hak diantara pekerja/buruh dan pihak pengusaha;

6. Bahwa yang dimaksud dengan perselisihan hak berdasarkan Pasal

1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

7. Bahwa berkaitan dengan perselisihan hak diatara pekerja/buruh dengan pengusaha akibat perbedaan pemahaman norma a quo

sepatutnya diselesaikan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

8. Bahwa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah dibentuk yaitu Pengadilan Hubungan Industiral sebagai pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial;

9. Bahwa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut telah sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia di mana, di mana konstitusi mengatur bahwa dalam penegakan hukum dan keadilan dibentuklah pranata Kekuasaan Kehakiman;

10. Bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. [vide : Pasal 24 ayat (1) UUD 1945];

11. Bahwa berdasarkan konstitusi, dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu penegakan suatu norma hukum perlulah dicapai melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam pranata kekuasaan kehakiman in casu dalam sengketa perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme dan prosedur pada Pengadilan Hubungan Industiral sebagai pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri;

12. Bahwa peran pemerintah untuk mengawasi norma

ketenagakerjaan tidak dapat dijadikan “justifikasi” untuk “memvonis”, mengadili serta menghukum pengusaha;

13. Bahwa kewenangan mengadili merupakan kewenangan lembaga yudikatif dan tidak menjadi kewenangan eksekutif (pemerintah);

14. Bahwa putusan pengadilan menjadi sesuatu yang penting dan bernilai dalam memberikan kepastian hukum, dan untuk mencegah konflik horisontal dimasyarakat khususnya akibat perbedaan pendapat diantara pekerja/buruh dengan pengusaha serta antara

pengawas pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha;

15. Bahwa pendapat Pemohon sebagaimana diuraikan pada butir 14 (empat belas) di atas tidak dapat diwujudkan sehingga perlindungan konstitusi bagi Pemohon maupun anggota Pemohon terlanggar apabila frasa: “ demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimaknai dan/atau dipertahankan seperti pada saat ini;

16. Bahwa Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan bukan merupakan permasalahan konstitusional norma apabila Frasa: “demi hukum” dimaknai mengenai terpenuhi atau tidaknya suatu norma setelah dibuktikan melalui pengadilan dan telah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

17. Bahwa tanpa adanya makna tersendiri terhadap frasa: “demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon maupun para anggota Pemohon dikarenakan Pemohon maupun para anggota Pemohon tidak dapat memperoleh ruang untuk mendapatkan keadilan terkecuali setelah dinyatakan bersalah terlebih dahulu oleh pemerintah;

18. Bahwa kekuasaan pemerintah sebagai penyelengara pemerintahan perlu dibatasi, terlebih mengenai “putusan” yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Nota Pemeriksaan dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat dijadikan pedoman untuk mengadili pengusaha;

19. Bahwa Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menyatakan terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (rechtstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (the rules of law/rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya yakni:

1. Supremasi hukum (Supremacy of Law);

2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law); 3. Asas Legalitas (due process of law);

4. Pembatasan kekuasaan;

5. Organ-organ Eksekutif Independen; 6. Peradilan bebas dan tidak memihak; 7. Peradilan Tata Usaha Negara;

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); 9. Perlindungan Hak Asasi Manusia;

10. Bersifat demokratis (Democratisch Rechtstaat);

11. Sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtstaat); 12. Transparansi dan Kontrol Sosial.

20. Bahwa memperhatikan Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum maka peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya mengenai perubahan status pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ketentuan dan mekanisme serta prosedur hukum dalam penegakan ketentuan norma hukum;

21. Bahwa Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negaranya;

22. Bahwa selanjutnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan hak kepada setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;

23. Bahwa Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi Pemohon maupun para anggota pemohon yang dibela kepentingannya oleh Pemohon dikarenakan adanya frasa: “demi hukum” dalam pasal a quo;

24. Bahwa frasa: “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang frasa: “demi hukum” tersebut tidak

dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.

B. Pasal 65 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang