• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Penelitian ini diarahkan untuk sistem pendederan sehingga keluaran yang diharapkan berupa benih untuk pendederan selanjutnya. Harga benih yang diberlakukan untuk keluaran penelitian ini adalah harga benih. Berdasarkan hasil perlakuan ini diketahui bahwa padat penebaran berpengaruh terhadap terhadap tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan bobot harian namun tidak berpengaruh pertumbuhan panjang mutlak, efisiensi pemberian pakan, dan koefisien keragaman panjang.

Nilai kelangsungan hidup benih ikan maanvis pada akhir penelitian berkisar 75% hingga 100%. Hasil analisis ragam padat penebaran memberikan pengaruh yang terhadap tingkat kelangsungan hidup (Lampiran 3). Kematian yang terjadi diduga kondisi fisika-kimia air pada media pemeliharaan menjadi faktor pembatas terhadap kelangsungan hidup benih ikan maanvis. Selama 30 hari pengamatan, kematian terbanyak terjadi pada minggu ketiga masa pemeliharaan (Lampiran 3). Selain itu, ruang gerak yang semakin sempit karena bertambahnya bobot dan panjang ikan maanvis.

Persaingan makanan juga yang sangat ketat menjadikan saling berebut satu sama lain, akibatnya banyak dari benih ikan maanvis pada perlakuan 2 dan 3 ekor/liter mengalami cacat pada beberapa bagian tubuhnya. Kecacatan pada benih ikan maanvis berupa luka pada tubuhnya yang mengakibatkan timbul jamur keesokan hari dan ketidaklengkapan sirip-sirip. Permasalahan tersebut juga dapat dijadikan sebagai tema penelitian selanjutnya mengenai pengaruh padat penebaran terhadap kecacatan sirip. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa peningkatan kepadatan akan berakibat terganggunya proses fisiologis dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis ikan akibatnya pemanfaatan makanan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup mengalami penurunan. Hal yang sama juga dinyatakan Hepher dan Pruginin (1981), bahwa padat penebaran ikan yang tinggi dapat mempengaruhi lingkungan budidaya dan interaksi ikan. Penyakit dan kekurangan oksigen akan mengurangi jumlah ikan secara drastis, terutama ikan yang berukuran kecil.

Selama pemeliharaan, laju pertumbuhan bobot pada perlakuan padat penebaran 1, 2, dan 3 ekor/l berturut-turut didapat nilai sebesar 7,44, 6,32, dan 6,39%, dalam hal ini perlakuan kepadatan memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan bobot harian. Sedangkan bobot rata-rata pada akhir pemeliharaan ikan berkisar antara 2,09±0,07 sampai 1,53±0,08 gram (Lampiran 5). Hal yang sama juga didapat oleh penelitian Sarah (2002); Bugri (2006); Rahmadani (2007); Hidayat (2007) bahwa semakin tinggi padat penebaran ikan maka laju pertumbuhan bobot semakin menurun (Tabel 2).

Penurunan laju bobot disebabkan faktor lingkungan yang sudah tidak dapat mendukung untuk pertumbuhan benih ikan maanvis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hepher dan Pruginin (1981), bahwa peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan (critical standing crop) dan jika telah sampai pada batas tertentu pertumbuhannya akan terhenti. Hal tersebut dapat dicegah dengan penentuan padat penebaran sesuai dengan daya dukung lingkungan (carrying capascity). Faktor-faktor yang mempengaruhi carrying capascity antara lain kualitas air, pakan, dan ukuran ikan. Daya dukung lingkungan yang optimum dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan akan disertai dengan peningkatan hasil.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pertumbuhan panjang mutlak pada padat penebaran 1, 2, dan 3 ekor/liter berturut-turut didapat nilai sebesar 0,88±0,53, 0,57±0,31, dan 0,47±0,33 cm (Tabel 4). Panjang rata-rata akhir ikan berkisar antara 3,07±0,02 sampai 3,66±0,03 cm (Lampiran 7). Penurunan pertumbuhan panjang mutlak terjadi diduga karena ruang gerak ikan yang semakin sempit dengan meningkatnya padat penebaran sehingga mempengaruhi kompetisi pakan dan kondisi fisiologis ikan. Kompetisi pakan mengakibatkan peluang ikan memperoleh makanan secara merata menjadi lebih kecil. Saat diberi pakan, ada ikan yang kalah (persaingan) dalam memperoleh pakan sehingga lebih memilih untuk tidak makan. Peningkatan padat penebaran juga akan memberikan peningkatan stres pada ikan sehingga akan mengganggu kondisi fisiologis ikan. Akibat lanjut dari proses tersebut adalah penurunan nafsu makan ikan yang berdampak pada penurunan pemanfaatan makanan dan pertumbuhan. Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses

fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis ikan. Akibat lanjut dari proses tersebut adalah penurunan pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mengalami penurunan.

Secara umum peningkatan kepadatan selain akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan juga akan berpengaruh terhadap efisiensi pakan (Allen, 1974 dalam Irawan, 2007). Efisiensi pemberian pakan yang diperoleh pada setiap tingkat kepadatan 1, 2, dan 3 ekor/liter berturut-turut adalah 20,22, 19,15, dan 21,41% (Gambar 7 dan Tabel 4). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap efisiensi pemberian pakan (Lampiran 8). Berbedanya nilai efisiensi pakan tersebut diduga karena faktor ruang gerak yang semakin sempit menyebabkan peningkatan stres pada ikan akibat dari kompetisi ikan dalam mencari makan. Akibat lanjut dari peningkatan stres tersebut yaitu energi yang didapat dari pakan cenderung digunakan untuk bertahan dari stres sehingga efisiensi pakan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk tumbuh menjadi tidak optimum.

Pada umumnya peningkatan kepadatan ikan cenderung menurunkan efisiensi pakan (Suresh dan Lin, 1992 dalam Nurhamidah, 2007). Tetapi pada penelitian ini padat penebaran tidak memberikan pengaruh terhadap efisiensi pakan (Lampiran 8). Faktor lain yang menyebabkan berbedanya efisiensi pakan ikan yaitu menurunnya fisika-kimia air terutama kelarutan oksigen (Gambar 10 dan Lampiran 10). Faktor yang mempengaruhi stres adalah kondisi fisika-kimia air, khususnya oksigen dan amoniak. Kandungan oksigen yang rendah dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan (nafsu makan) (Lampiran 2), karena oksigen sangat dibutuhkan untuk respirasi, proses metabolisme di dalam tubuh, aktivitas pergerakan dan aktivitas pengelolaan makanan. Menurunnya nafsu makan ikan juga dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan. Selain itu, konsentrasi amoniak hasil metabolisme yang meningkat pada media pemeliharaan juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena menurunkan konsumsi oksigen akibat kerusakan pada insang, penggunaan energi yang lebih akibat stres yang ditimbulkan, serta mengganggu proses pengikatan oksigen dalam darah (Boyd, 1990) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Nilai yang diperoleh pada setiap tingkat kepadatan 1, 2, dan 3 ekor/liter berturut-turut adalah 8,08, 10,13, dan 7,63% (Gambar 8 dan Tabel 4). Koefisien keragaman panjang menunjukkan seberapa besar variasi ukuran panjang ikan dalam pemeliharaan. Pada pengamatan ini, perbedaan padat penebaran tidak memberikan pengaruh terhadap koefisien keragaman panjang (Lampiran 9). Semakin besar nilai koefisien keragaman panjang maka dalam populasi tersebut ukuran antar individu akan semakin beragam. Nilai koefisien keragaman dalam percobaan ini masih di bawah 20%, sehingga masih dapat dianggap seragam. Maruto (2008) menjelaskan bahwa keragaman ukuran ikan dalam suatu populasi sangat penting, karena apabila terjadi keragaman yang tinggi maka ikan yang berukuran lebih besar akan lebih mudah memperoleh pakan sedangkan ikan yang lebih kecil akan kalah bersaing dalam memperoleh pakan. Sebagai produk, keragaman dapat mempengaruhi harga jual ikan karena ikan yang memiliki ukuran yang seragam harganya akan lebih tinggi daripada ikan yang ukurannya tidak seragam.

Perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi setiap individu diduga bahwa faktor ruang gerak yang semakin sempit menyebabkan kompetisi (persaingan saat pemberian pakan) ikan dalam mencari makan mengalami peningkatan. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah pakan ikan yang dikonsumsi adalah kandungan oksigen terlarut dalam media pemeliharaan (Lampiran 11). Faktor tersebut memberikan tekanan (stressor) terhadap ikan pada kepadatan yang tinggi, sehingga energi yang dihasilkan dari metabolisme untuk pertumbuhan sebagian digunakan terlebih dahulu untuk bertahan dari stress. Dalam hal ini, tingkat stres yang ditimbulkan belum mencapai keadaan dimana ikan tidak mau makan (Lampiran 2), sehingga pertumbuhan tetap berjalan (Gambar 3). Hal ini terjadi pada perlakuan padat penebaran tinggi bahwa saat pengamatan terdapat beberapa ikan yang tidak makan. Kejadian tersebut diduga karena ikan mengalami stres, terlihat gerakan berenang yang tidak menentu dan lambat.

Parameter fisika-kimia air pada perlakuan 1, 2, dan 3 ekor/l yang terlihat menurun berturut-turut pada akhir masa pemeliharaan adalah oksigen terlarut sebesar 6,02, 5,22, dan 4,75 mg/l. Selama pemeliharaan, konsentrasi oksigen terlarut terlihat menurun pada setiap perlakuan seiring bertambahnya waktu

pemeliharaan (Gambar 10 dan Lampiran 10). Penurunan oksigen diduga karena digunakan untuk proses respirasi dan metabolisme, semakin meningkat padat penebaran akan menyebabkan oksigen terlarut menurun. Apabila menggunakan sistem resirkulasi diduga dapat menjaga kondisi fisika-kimia air selama masa pemeliharaan, seperti DO, amoniak, pH, dan suhu. Dari Lampiran 11 terlihat, bahwa kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut antara perlakuan berbeda. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh biomassa antar perlakuan yang berbeda, sehingga saat pengukuran setiap 10 harinya pada media pemeliharaan nilainya berbeda pula. Lampiran 11 menunjukkan bahwa penurunan kisaran konsentrasi oksigen setiap kali dilakukan uji fisika-kimia air. Pada perlakuan 1 ekor/liter, konsentrasi oksigen pada akhir pengamatan berkisar 6,60-7,30 mg/l, perlakuan 2 ekor/liter berkisar 5,60-7,10 mg/l, dan perlakuan 3 ekor/liter berkisar 4,71-6,03 mg/l, sedangkan pada awal pemelihaaraan 7,50 mg/l.

Dalam budidaya intensif, oksigen terlarut dan akumulasi hasil metabolisme menjadi faktor pembatas, karena pada kepadatan yang tinggi menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan meningkatnya akumulasi hasil metabolisme (Hepher, 1978 dalam Nurhamidah, 2007). Pergantian air yang dilakukan setiap hari sebanyak 2/3 dari volume air (12 liter) serta aerasi mampu mengatasi masalah tersebut, karena dapat menambah suplai oksigen. Dengan demikian oksigen yang terlarut masih berada dalam kisaran yang layak untuk kebutuhan pertumbuhan ikan.

Selain oksigen terlarut, suhu juga merupakan faktor yang dapat mendukung pertumbuhan ikan, tingkat nafsu makan ikan tergantung oleh suhu. Suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme ikan (NRC, 1977 dalam Nurhamidah, 2007). Kenaikkan suhu yang masih ditolerir oleh ikan akan diikuti oleh peningkatan derajat metabolisme dan kebutuhan oksigen. Menurut Goddard (1996), kenaikkan suhu akan meningkatkan kebutuhan energi pemeliharaan dan ikan akan lebih aktif mencari makan. Selama pemeliharaan benih ikan maanvis menggunakan thermostat sehingga suhu air berkisar antara 26,1-28,7 °C (Gambar 9 dan Lampiran 11). Penurunan suhu yang terjadi menjelang minggu akhir masa pemeliharaan diduga karena mati listrik yang berlangsung ±2-5 jam. Peristiwa ini sering terjadi pada saat menjelang sore dan malam hari selama hampir dua

minggu. Hal tersebut mengakibatkan aerator dan thermostat tidak dapat berfungsi optimal dalam mengontrol fisika-kimia air wadah pemeliharaan.

Dalam budidaya secara intensif, amoniak sering kali menjadi faktor pembatas, karena merupakan zat yang beracun terhadap ikan. Nilai amoniak pada akhir pemeliharaan pada perlakuan 1, 2, dan 3 ekor/l berturut-turut 0,0035, 0,0098, dan 0,0610 mg/l (Lampiran 10). Konsentrasi amoniak di air tergantung pada tingkat kepadatan ikan serta proses pengelolaan air pada media pemeliharaan. Peningkatan konsentrasi amoniak di dalam wadah pemeliharaan yang seiring dengan meningkatnya padat penebaran diduga karena buangan sisa metabolisme yang dihasilkan semakin banyak pula pada perlakuan 3 ekor/liter. Hal ini diketahui saat pagi hari terdapat sedimentasi feses dalam jumlah yang banyakdan keruhnya air pada akuarium perlakuan 3 ekor/liter. Dalam mengurangi bahan-bahan yang bersifat toksik pada ikan di dalam media pemeliharaan dilakukan pergantaian air sebanyak 2/3 dari volume air (12 liter) setiap hari. Konsentrasi amoniak dalam air selama pemeliharaan bernilai kecil (Gambar 12 dan Lampiran 11). Konsentrasi amoniak di dalam air secara umum dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH) dan suhu air media. Pada pH 7 atau kurang dari 7 sebagian besar amoniak akan terionisasi, sehingga yang banyak berada dalam perairan adalah bentuk ion amonium (NH4+). Amonium tidak bersifat toksik pada ikan.

Perhitungan keuntungan usaha pemeliharaan benih ikan maanvis dilakukan pada saat mencapai umur 30 hari. Ukuran ikan di akhir pemeliharaan pada percobaan ini berkisar antara 3,07±0,02 cm sampai 3,66±0,03 cm (Lampiran 7). Harga benih ikan maanvis pada ukuran ini di pasaran berkisar antara Rp.500- Rp.900. Perbedaan ukuran panjang pada akhir masa pemeliharaan (30 hari) mengakibatkan perbedaan harga per ekornya. Pada Tabel 5 dan Lampiran 12 perlakuan 1 ekor/l terdapat 10 ekor yang berukuran 3-4 cm (M) dan 2 ekor yang berukuran 4-5 cm (L), sedangkan perlakuan yang lain belum ada yang dapat mencapai ukuran maksimal (L). Rata-rata ukuran panjang pada perlakuan 2 dan 3 ekor/l yang dominan pada ukuran benih 3-4 cm (M) sebanyak 12 dan 17 ekor, bahkan masih terdapat benih yang memiliki ukuran 2-3 cm (S) sebanyak 8 dan 10 ekor pada perlakuan 2 dan 3 ekor/l.

Keuntungan rata-rata yang diperoleh pada perlakuan padat penebaran 1 ekor/l sebesar Rp. 3740,2, 2 ekor/l sebesar Rp. 2668,8, dan 3 ekor/l sebesar Rp. 2764,9 (Tabel 5 dan Lampiran 12). Dengan demikian, perlakuan padat penebaran 1 ekor/l menghasilkan efisiensi usaha yang paling tinggi di antara perlakuan lainnya. Keuntungan akan dapat bertambah jika dilakukan penjarangan benih ikan maanvis setiap 2 minggu. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan panjang maupun bobot tergolong cepat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait