• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum KPSBU Lembang

Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 22 km di sebelah utara Kota Bandung dan 4 km dari ibu kota Kecamatan Lembang. Wilayah kerja KPSBU memiliki ketinggian rata-rata 1 200 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah mayoritas andosol. Berdasarkan kondisi geografis dan topografinya, wilayah tersebut merupakan dataran tinggi. Data klimatologis rata-rata wilayah KPSBU Lembang adalah temperatur maksimal 24.6oC, temparatur minimal 13.8oC, kelembaban rata-rata 80.5%, curah hujan rata-rata 2 393 mm/tahun, evaporasi 3.4 mm/hari, dan radiasi 285 cal/cm (BMKG 2009).

KPSBU Lembang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971 dengan jumlah anggota pada saat pendirian sebanyak 35 orang. Produksi susu KPSBU Lembang pada awal pendiriannya adalah sebesar 650 liter/hari. Saat ini kegiatan usaha yang dilakukan oleh KPSBU Lembang meliputi penerimaan susu dari peternak sampai dengan penyetoran ke industri pengolahan susu (IPS), pelayanan kesehatan hewan, penyediaan hijauan pakan ternak (kerjasama dengan Perum Perhutani melakukan penanaman rumput gajah, kaliandra, dan jagung seluas 500 Ha), fermentasi jerami, pendirian warung serba ada (waserda), kredit lunak, dan pelayanan kesehatan anggota. Pelayanan kredit sapi bergulir mandiri (tanpa bunga) telah dilaksanakan sejak tahun 2006 sebanyak 40 ekor, tahun 2007 sebanyak 39 ekor, dan tahun 2008 sebanyak 40 ekor. Selain pemasaran ke IPS, koperasi juga melakukan pengolahan dan memasarkan olahan susu secara langsung ke konsumen dalam skala kecil, misalnya yoghurt dan susu pasteurisasi. Pelayanan keuangan dan perkreditan juga dilakukan dengan proses yang mudah dan cepat. Pelayanan kesehatan bagi anggota dan keluarganya dilakukan dengan pemberian kartu sehat sebanyak lima kartu untuk satu tahun.

Pelayanan kepada ternak sapi yang diberikan oleh KPSBU Lembang meliputi pelayanan teknis, seperti pelayanan kesehatan hewan, dan inseminasi buatan (keswan-IB), pelayanan potong kuku, dan pelayanan penyuluhan kepada

para anggota. Penyuluhan dilaksanakan dari kandang ke kandang, melalui siaran radio, melalui alat peraga, dan dengan mengadakan pendidikan dasar-dasar perkoperasian. KPSBU Lembang juga telah melaksanakan pembibitan sapi yang hasilnya dijual kepada anggota dengan harga terjangkau untuk menanggulangi kekurangan bibit sapi perah berkualitas.

Jumlah anggota KPSBU Lembang sampai akhir tahun 2009 adalah sebanyak 6 907 orang dengan produksi susu rata-rata 125 000 kg/hari. Populasi sapi perah pada tahun 2007 mencapai 16 741 ekor, kemudian mengalami penurunan sehingga pada tahun 2008 tercatat sebanyak 16 469 ekor, dan populasi sapi pada tahun 2009 meningkat kembali menjadi 19 045 ekor.

Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis

Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 2007- 2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 2a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan kejadian endometritis (Gambar 2b) pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 sebanyak 134 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Juli sebanyak 189 kasus.

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Oktober, November, dan Desember adalah sebanyak 179, 198, dan 184 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah sebanyak 188 kasus.

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember angka kejadian endometritis yaitu 297 dan 277 kasus. Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus,

sedangkan pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni kejadian endometritis sebanyak 246 dan 303 kasus.

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap kejadian endometritis dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.013 (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae menyebabkan 0.017% kejadian endometritis.

Gambar 2 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada dasarnya retensio plasenta adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal (Manan 2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta, pemisahan dan

pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi pertautan. Sebanyak 0.3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan, dan 98% kasus karena gangguan pelepasan sekundinae dari karankula induknya (Hardjopranjoto 1995). Sebanyak 16.55% retensio sekundinae disebabkan oleh faktor pakan. Pada periode postpartus dengan defisiensi vitamin A, D, dan E serta defisiensi mineral selenium, iodin, zink, dan kalsium dapat menyebabkan retensio sekundinae (Alsic

et al. 2008).

Sekitar 75-80% penderita retensio sekundinae tidak menunjukkan tanda- tanda sakit, sedangkan sekitar 20-25% memperlihatkan gejala metritis dan metritis septik seperti anoreksia, depresi, suhu badan meninggi, pulsus meningkat, produksi susu dan berat badan menurun (Manan 2002). Presentase tingginya kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya sistem manajemen kandang yang kurang baik, kurangnya exercise (latihan) pada sapi yang sedang bunting, dan kualitas pakan yang rendah (Ilham 2004).

Retensio sekundinae merupakan salah satu predisposisi terjadinya endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Hardjopranoto 1995). Hal ini bisa disebabkan karena penanganan yang tidak aseptis dan adanya infeksi bakteri dari luar yang mengakibatkan peradangan. Saat penanganan kelahiran apabila karankula terputus maka terjadi perlukaan dan dengan adanya infeksi mikroorganisme maka dapat mengakibatkan terjadinya endometritis. Pada kasus yang berat retensio sekundinae dapat disertai dengan metritis, metritis septik, perimetritis, peritonitis, vagina nekrotik, paresis puerpuralis, dan asetonemia.

Berdasarkan analisis korelasi dapat diketahui bahwa kejadian retensio sekundinae hanya menyebabkan sekitar 0.017% kejadian endometritis di KPSBU Lembang. Kejadian endometritis tidak hanya disebabkan oleh retensio sekundinae, masih banyak faktor-faktor penyebab kejadian endometritis. Beberapa penyebab endometritis meliputi infeksi mikroorganisme pada endometrium akibat penanganan postpartus yang tidak benar, perkawinan alam,

inseminasi buatan intrauterin, dan semen pejantan yang mungkin membawa mikroorganisme patogen (Hardjopranjoto 1995).

Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi

Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 2007- 2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 3a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 3b) dan S/C (Gambar 3c) pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 yaitu CR (52.30%) dan S/C (1.95). Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Juli yaitu CR (28%) dan S/C (3).

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Oktober, November, dan Desember adalah CR (60.76%, 59.69%, dan 59.04%) dan S/C (1.62, 1.7, dan 1.69). Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah CR (52.85%) dan S/C (1.86).

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (56.66% dan 58.47%) dan S/C (1.75 dan 1.72). Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni yaitu CR (50.39% dan 50.73%) dan S/C (1.94 dan 1,99). Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap CR (r = 0.279) dan S/C (r = -0.119) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae mempengaruhi 7.78% CR dan 1.42 S/C.

Tingginya kejadian retensio sekundinae dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Hardjopranoto 1995). Hal ini dapat terjadi akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi infeksi uterus sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina. Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI), menurunkan nilai

conception rate (CR), meningkatkan service per conception (S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran reproduksi. Penurunan fertilitas mempengaruhi tingkat keberhasilan IB menjadi menurun, sehingga jumlah kebuntingan menurun, dan jumlah anakan yang dihasilkan juga menurun.

Gambar 3 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada grafik bulan Agustus nilai CR sangat rendah dan nilai S/C sangat tinggi. Hal ini diduga pada KPSBU Lembang nilai CR sangat rendah karena pada

saat itu banyak IB yang gagal, ketrampilan petugas IB yang kurang, dan deteksi estrus yang kurang tepat. Sehingga banyak terjadi kegagalan perkawinan yang dapat menurunkan nilai efisiensi reproduksi (Peters & Ball 1986, Jainudeen & Hafez 2000a).

Hubungan Retensio Sekundinae dengan Curah Hujan

Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 2007- 2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 4a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan jumlah curah hujan (Gambar 4b) pada bulan tersebut sebanyak 361/mm/bulan. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut sebanyak 72/mm/bulan.

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut adalah sebanyak 54, 54, dan 176/mm/bulan. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut sebanyak 129/mm/bulan.

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan yaitu 11, 154, dan 301/mm/bulan. Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus, sedangkan pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan sebanyak 418 dan 196/mm/bulan.

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap curah hujan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.085 (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa 0.72% retensio sekundinae dipengaruhi oleh curah hujan.

Hubungan retensio sekundinae dengan curah hujan terkait dengan sanitasi lingkungan. Lingkungan yang buruk dengan sanitasi kandang yang buruk dapat

meningkatkan kejadian retensio sekundinae. Pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi, kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi mendukung mikroorganisme untuk berkembang baik. Sehingga infeksi mikroorganisme dapat menyerang sapi khususnya pada saluran reproduksi (Hardjopranjoto 1995). Kondisi lingkungan yang buruk dapat menurunkan ketahanan tubuh ternak. Meskipun pakan tercukupi namun ketahanan tubuh menurun dapat meningkatkan tingkat kesakitan. Sementara itu, pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah, banyak rumput yang tua, berkualitas buruk, dan dalam jumlah yang kurang. Hal ini bisa membuat ternak kekurangan pakan, menimbulkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun dan dapat meningkatkan kesakitan.

Gambar 4 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Hubungan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi

Kejadian endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian endometritis (Gambar 5a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Juli yaitu sebanyak 189 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 5b) dan S/C (Gambar 5c) pada bulan

tersebut yaitu CR (28%) dan S/C (3). Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 117 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan tersebut yaitu CR (40%) dan S/C (2.1).

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian endometritis terjadi peningkatan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 201 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan tersebut adalah CR (60.04%) dan S/C (1.65). Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Januari dan Februari yaitu sebanyak 138 dan 134 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan-bulan tersebut adalah CR (47.59% dan 52.30%) dan S/C (1.94 dan 1.95).

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus endometritis selama bulan Juni, Juli, dan Agustus yaitu masing-masing sebanyak 303, 301, dan 307 kasus. Pada bulan-bulan tersebut nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (50.73%, 55.29%, dan 60.57%) dan S/C (1.99, 1.8, dan 1.68). Penurunan kejadian endometritis terjadi pada bulan Februari, Maret dan April yaitu sebanyak 151, 165, dan 167 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan-bulan tersebut yaitu CR (50.45%, 52.18%, dan 51.85%) dan S/C (2.02, 1.92, dan 1.92).

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian endometritis berkorelasi terhadap CR (r = 0.264) dan S/C (r = -0.159) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa endometritis mempengaruhi 6.97% CR dan 2.53% S/C.

Endometritis merupakan peradangan pada endometrium (Ratnawati et al.

2007). Salah satu penyebab terjadinya endometritis adalah jumlah mikroorganisme yang tinggi, seperti bakteri, virus, fungi dan protozoa (dapat dilihat dari pengamatan mikroskopik kultur uteri). Organisme yang paling sering menginfeksi adalah bakteri dan fungi yang mengkontaminasi saat partus atau periode postpartus (Hardjopranjoto 1995). Kontaminasi bakteri lebih sering ditemukan pada periode postpartus, terjadi ketidakseimbangan antara infeksi bakteri asenden dengan antimikrobial dari dalam tubuh. Hal ini bisa mengakibatkan metritis purpural, endometritis subkilinis dan klinis, serta piometra (Foldi et al. 2006).

Gambar 5 Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Patogenesa terjadinya endometritis atau peradangan pada endometrium bisa disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis.

Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, betina terinfeksi dari pejantan yang menderita brucelosis, trichomoniasis,

dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri terbawa oleh alat inseminasi atau semen pejantan. Adanya infestasi mikroorganisme tersebut mengakibatkan terjadinya peradangan (Hardjopranjoto 1995). Gejalanya klinis penderita endometritis meliputi leleran lendir berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan, dan dengan palpasi uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa tampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan.

Endometritis dapat mempengaruhi fertilitas sapi perah. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya embrio karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Pada endometritis ringan sapi masih menunjukkan gejala birahi, namun apabila dikawinkan sering terjadi kegagalan, sapi tidak bunting, atau terjadi abortus. Pengaruh endometritis dalam jangka pendek dapat menurunkan kesuburan, memperpanjang CI, menurunkan nilai CR, meningkatkan jumlah S/C, dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Sedangkan pengaruh endometritis dalam jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi.

Hubungan Endometritis dengan Curah Hujan

Kejadian endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian endometritis (Gambar 6a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Juli yaitu sebanyak 189 kasus, sedangkan jumlah curah hujan (Gambar 6c) pada bulan tersebut yaitu 2/mm/bulan. Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 117 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut yaitu 72/mm/bulan.

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian endometritis terjadi peningkatan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 201 kasus. Sedangkan curah hujan pada bulan tersebut adalah 54/mm/bulan. Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Januari dan Februari yaitu sebanyak 138 dan 134 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut adalah 230 dan 129/mm/bulan.

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus endometritis selama bulan Juni, Juli, dan Agustus yaitu masing-masing sebanyak 303, 301, dan 307 kasus. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan yaitu 55, 31, dan 1/mm/bulan. Penurunan kejadian endometritis terjadi pada bulan Februari, Maret, dan April yaitu sebanyak 151, 165, dan 167 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut yaitu 205, 418, dan 196/mm/bulan.

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian endometritis berkorelasi terhadap curah hujan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.198 (Tabel 2).

Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa 3.92% endometritis dipengaruhi oleh curah hujan.

Hubungan endometritis terhadap curah hujan terkait dengan manajemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Retensio sekundinae sebagai predisposisi terjadinya endometritis juga berkontribusi terhadap terjadinya endometritis pada musim penghujan. Penanganan postpartus yang kurang baik dan tidak lege artis

didukung dengan kondisi lingkungan pada musim penghujan yang buruk dapat meningkatkan terjadinya endometritis sebagai kelanjutan dari retensio sekundinae.

Gambar 6 Frekuensi kejadian endometritis dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk (Manan 2002). Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi.

Hubungan Efisiensi Reproduksi dengan Curah Hujan

Nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 7a) dan S/C (Gambar 7b) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Pada bulan November dan Desember nilai CR adalah 46.41% dan 47.84%, sedangkan nilai S/C adalah 2.06 dan 2.01. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 456 dan 361/mm/bulan (Gambar 7c). Pada bulan Juli, Agustus, dan September nilai CR adalah 28%, 10%, dan 48.92%, sedangkan nilai S/C adalah 3, 9.9 dan 2.07. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 2, 4, dan 16/mm/bulan.

Selanjutnya pada tahun 2008, pada bulan Maret dan April nilai CR adalah 54.22% dan 52.85%, sedangkan nilai S/C adalah 1.85 dan 1.86. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 310 dan 278/mm/bulan. Pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September nilai CR adalah 61.41%, 61.41%, 60.04%, dan 58.95%, sedangkan nilai S/C adalah 1.64, 1.64, 1.65, dan 1.67. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 25, 0, 54, dan 54/mm/bulan.

Selama tahun 2009, pada bulan Februari, Maret, dan April nilai CR adalah 50.45%, 52.18%, dan 51.85%, sedangkan nilai S/C adalah 2.02, 1.92, dan 1.94. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 205, 418, dan 196/mm/bulan. Pada bulan Juli, Agustus, September 2009 nilai CR adalah 55.29%, 60.57%, dan 55.99%, sedangkan nilai adalah S/C 1.8, 1.68, dan 1.81. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 31, 1, dan 11/mm/bulan.

Analisis statistika menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi ringan terhadap CR (r = 0.103) dan S/C (r = -0.222) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa 1.06% CR dan 4.93% S/C dipengaruhi oleh curah hujan.

Hubungan gangguan reproduksi terhadap curah hujan terkait dengan manajemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002).

Pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah ketersediaan rumput menjadi berkurang, rumput tua, dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, dan pertumbuhan lambat. Mekanisme kerja kekurangan pakan mengakibatkan fungsi semua kelenjar tubuh menurun, hipofungsi kelenjar hipofisa anterior, sekresi hormon gonadotropin (FSH, LH) menurun, aktivitas ovarium rendah, mengakibatkan terjadinya gangguan reproduksi.

Gambar 7 Nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi mempengaruhi pertumbuhan rumput yang tinggi dan kualitas yang baik (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Ternak yang sakit mengurangi tingkat

produktivitas termasuk kemampuan untuk kawin, bunting, dan melahirkan anak, sehingga dapat menurunkan nilai efisiensi reproduksi.

Tabel 2 Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) antara retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, dan curah hujan di KPSBU Lembang.

Retensio sekundinae r (r2%) Endometritis r (r2%) CR r (r2%) S/C r (r2%) Curah hujan r (r2%) Retensio sekundinae Endometritis 0.013 (0.017) CR 0.279 (7.78) 0.264 (6.97) S/C -0.119 (1.42) -0.159 (2.53) Curah hujan -0.085 (0.72) -0.198 (3.92) 0.103 (1.06) -0.222 (4.93)

Dokumen terkait