• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian Kualitas Perairan

Suhu. Nilai suhu yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 28-29 oC (Lampiran 2 dan Gambar 8). Berdasarkan Lampiran 2 dan Gambar 8, maka dapat dikatakan bahwa suhu pada setiap stasiun pengamatan tidak menunjukkan perbedaan nilai yang besar. Suhu yang diperoleh dalam pengukuran ini masih dalam kisaran yang ditetapkan dalam Kepmen. KLH No. 51 (2004) untuk kehidupan biota laut. Nilai suhu pada masing-masing stasiun juga tidak melewati hasil pengukuran yang dilakukan oleh Edi (2006) dan Anjas (2005). Menurut Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, suhu untuk pertumbuhan spons laut berkisar antara 26-31 oC , artinya fluktuasi suhu yang terjadi selama penelitian di setiap stasiun mendukung bagi pertumbuhan spons Demospongiae. 29 29 29 29 28 28 29 27 28 29 30 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun Suhu (oC)

Gambar8 Kisaran nilai suhu (oC) pada stasiun pengamatan.

Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi. Kekeruhan dan padatan tersuspensi (TSS) merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi TSS akan meningkatkan kekeruhan air. Parameter tersebut merupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai TSS pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 2-50 mg/l dengan kekeruhan berkisar antara

0,78-10,72 NTU (Lampiran 2). TSS yang tertinggi pertama berada di stasiun 3 BPP yaitu 50 mg/l dengan kekeruhan 10,06 NTU. Kemudian nilai TSS tertinggi kedua berada di stasiun 5 TPR sebesar 17 mg/l dengan kekeruhan 10,72 NTU (Gambar 9 dan Gambar 10). Dari hasil pengukuran tersebut, sudah melewati nilai ambang batas untuk biota laut seperti yang ditetapkan dalam Kepmen. KLH No. 51 Tahun 2004. Tingginya kekeruhan dan TSS di dua stasiun tersebut disebabkan oleh pengaruh arus yang kuat di kedua stasiun. Dengan adanya arus memungkinkan terjadi resuspensi terhadap sedimen dari dasar perairan untuk tetap berada dalam kolom air. Sementara itu pada perairan yang tenang, resuspensi sedimen tidak terjadi. Kekeruhan dan TSS di stasiun tersebut juga dipengaruhi oleh aktifitas penduduk yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, kegiatan budidaya rumput laut serta substrat yang didominasi oleh pasir berlumpur di stasiun 3 BPP. Sedangkan di stasiun 5 TP R selain kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan kimia juga pengaruh tingkat hunian yang sangat tinggi.

2 4 50 4 17 5 3 0 10 20 30 40 50 60 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun TSS (mg/l)

Gambar 9 Kisaran nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamata n.

1.45 0.99 10.06 0.78 10.72 0.88 0.79 0 2 4 6 8 10 12 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun Kekeruhan (NTU)

TSS dengan kisaran 25-80 mg/l hanya memberikan pengaruh yang kecil bagi kehidupan organisme akuatik (Albaster dan Llyod 1982, diacu dalam Effendi 2000). Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa konsentrasi rata -rata TSS yang terukur menunjukkan kisaran yang tidak memberikan pengaruh bagi kehidupan spons Demospongiae.

Kecepatan arus. Arus adalah gerakan massa air secara horizontal yang ditimbulkan oleh kekuatan angin yang bertiup melalui permukaan air (Nybakken 1992). Ketchum (1967) menyatakan, limbah atau bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut akan mengalami proses perpindahan yang dilakukan oleh arus laut, seperti proses percampuran. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kecepatan arus pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,026-0,055 m/det (Lampiran 2 dan Gambar 11) dan masih dalam batas pengukuran kecepatan arus yang dilakukan oleh Edi (2006). Nilai ini tidak menunjukkan perbedaan yang besar, meskipun di stasiun 3 BPP dengan nilai 0,055 m/det dan 5 TPR dengan nilai 0,047 m/det, kecepatan arus relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun-stasiun lainnya. Tingginya kecepatan arus di dua stasiun-stasiun tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh faktor angin. Faktor angin merupakan faktor yang dominan mempengaruhi gerak arus (Wetzel 1982).

0.039 0.034 0.055 0.028 0.047 0.026 0.027 0 0.02 0.04 0.06 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun

Kecepatan arus (m/det)

Gambar 11 Kisaran nilai kecepatan arus (m/det) pada stasiun pengamatan.

Salinitas. Hasil pengukuran salinitas di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 31-33 o/oo (Lampiran 2 dan Gambar 12). Kisaran nilai ini tidak menunjukkan perbedaan nilai yang besar dan masih dalam batas yang ditetapkan dalam Kepmen. KLH No. 51 (2004). Nilai salinitas selama penelitian juga lebih

kecil dari salinitas yang diukur oleh Edi (2006) dan Anjas (2005) meskipun di stasiun 4 UPR lebih tinggi 33 o/oo dibandingkan pengukuran salinitas yang dilakukan Anjas (2005), akan tetapi nilai salinitas tersebut masih mendukung bagi pertumbuhan spons yakni sebesar 28-36 o/oo (Gerrodette dan Flechsig 1979, diacu dalam De Voogd 2005). 32 33 32 33 32 32 31 30 31 32 33 34 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun Salinitas (%o)

Gambar 12 Kisaran nilai salinitas(o/oo) pada stasiun pengamatan.

pH ( Derajat Keasaman). Nilai pH disetiap stasiun pengamatan berkisar antara 8-8,23 (Lampiran 2 dan Gambar 13). N ilai tersebut masih tergolong normal sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kepmen. No. 51 (2004).

8.2 8 8.1 8.23 8.15 8.23 8.12 7.8 7.9 8 8.1 8.2 8.3 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun pH

Gambar 13 Kisaran nilai pH pada stasiun pengamata n.

Hasil pengukuran pH yang dilakukan Edi (2006) menginformasikan bahwa nilai pH di Pulau Lancang 8,02 (pada penelitian stasiun 1 UPL), sedangkan di Pulau Pari 8,03 (pada penelitian stasiun 2 UPP dan 3 BPP). Nilai pH yang diukur selama penelitian tidak begitu berbeda jauh dengan nilai pH yang

dilakukan oleh Edi (2006) meskipun di stasiun 1 UPL dan stasiun 3 BPP akan tetapi nilai tersebut relatif tidak begitu berbeda jauh. Nilai pH di Pulau Pramuka (pada penelitian stasiun 4 UPR, 5 TPR, 6 BPR dan 7 SPR) yang diinformasikan oleh Anjas (2005) sebesar 8,23, artinya nilai pH yang dicatat selama penelitian tidak banyak menunjukkan variasi. Hal ini disebabkan adanya sistem karbon dioksida dalam laut menyebabkan air laut mampu bersifat sebagai penyangga (buffering capasity) yang kuat (Boli 1994).

Oksigen Terlarut (DO). Konsentrasi DO selalu merupakan parameter penting untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan, karena disamping merupakan faktor pembatas dengan lingkungan juga dapat dijadikan petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik (Nybaken 1992).

Terjadinya penurunan kadar DO dalam air laut akan menurunkan kegiatan fisiologis mahluk hidup didalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Effendi (2000), bahwa penurunan kadar oksigen diperairan selain karena proses respirasi juga diakibatkan oleh keberadaan limbah organik yang membutuhkan oksigen untuk proses perombakan (dekomposisi). Oleh karena kelarutan oksigen di air relatif rendah, maka kadar DO cepat sekali mengalami pengurangan bila pada perairan terdapat limbah organik dengan kadar yang cukup tinggi. Variasi kadar DO di perairan dapat dijadikan petunjuk ada tidaknya pencemaran bahan organik.

Menurut Sutamihardja (1987), kriteria tingkat pencemaran berdasarkan kandungan DO dibagi menjadi tiga kelompok perairan, yaitu :

• Tercemar ringan : kadar DO > 5 mg/l

• Tercemar sedang : kadar DO berkisar antara 2-5 mg/l

• Tercemar berat : kadar DO < 2 mg/l

Berbagai kegiatan disekitar perairan dapat menyebabkan kadar DO menurun, seperti pembuangan berbagai limbah yang kaya bahan organik. Limbah ini biasanya berbentuk kotoran dan berasal dari bermacam sumber seperti limbah rumah tangga, pengolahan makanan dan bermacam industri kimia lainnya.

Hasil pengukuran konsentrasi DO untuk organisme di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 7,2-8,1 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 14).

Berdasarkan hasil tersebut memperlihatkan bahwa perairan untuk semua stasiun telah tercemar pada tingkat tercemar ringan.

7.8 7.8 7.9 8.1 7.2 7.6 7.5 6.5 7 7.5 8 8.5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun DO (mg/l)

Gambar 14 Kisaran nilai DO (mg/l) pada stasiun pengamata n.

TOM (Total Organic Matter). Bahan organik yang masuk dalam perairan terdiri dari bahan organik yang dapat terurai dan bahan organik yang tidak dapat terurai oleh mikroorganisme. Bahan organik ini terbawa oleh arus menuju ke tempat lain sehingga konsentrasinya akan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Selain itu adanya proses sedimentasi yang mengakibatkan bahan organik mengendap di dasar perairan. Hasil pengamatan dan pengukuran selama penelitian diperoleh nilai TOM berkisar antara 3,16-15,17 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 15). Edi (2006) menginformasikan nilai TOM di Pulau Lancang sebesar 19,07 mg/l sedangkan di Pulau pari sebesar 16,68 mg/l. Nilai TOM yang di ukur selama penelitian lebih rendah daripada nilai TOM yang di ukur oleh Edi (2006). Akan tetapi nilai TOM di stasiun 7 SPR lebih tinggi 15,17 mg/l dari nilai TOM yang di ukur oleh Anjas (2005) yakni sebesar 15,4 mg/l. Tingginya nilai TOM di stasiun tersebut, kemungkinan disebabkan oleh akumulasi bahan-bahan organik yang berasal dari buangan penduduk kelaut melalui parit-parit.

BOD5 (Biochemical Oxygen Demand). Biochemical Oxygen Demand

atau kebutuhan oksigen biologi adalah banyaknya oksigen yang digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air selama 5 hari (Azad 1976). Semakin tinggi nilai BOD5, maka semakin tinggi pula aktivitas organisme untuk menguraikan bahan organik atau dapat dikatakan semakin besar kandungan bahan organik diperairan tersebut. Hasil pengukuran BOD5 pada lokasi penelitian berkisar antara 3,16-6,8 mg/l (Lampiran 2 dan

Gambar 16). Nilai BOD5 di semua stasiun relatif sama, kecuali stasiun 1 UPL sangat rendah dengan nilai 3,16 mg/l. Edi (2006) menginformasikan nilai BOD5 di Pulau Lancang sebesar 3,56 mg/l sedangkan di Pulau Pari sebesar 2,93 mg/l. Berdasarkan nilai tersebut maka nilai BOD5 yang dilakukan selama penelitian lebih tinggi terutama di stasiun 2 UPP dan 3 BPP. Demikian pula hal nya nilai BOD5 di semua stasiun Pulau Pramuka lebih tinggi daripada nilai BOD5 yang diukur oleh Anjas (2005) yakni sebesar 0,548 mg/l. Berdasarkan nilai ambang batas baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan, maka BOD5 untuk semua stasiun pengamatan masih dalam keadaan baik dan belum melewati nilai ambang batas baku mutu untuk biota laut (Kepmen. KLH No. 51 2004).

3.16 5.69 8.22 10.74 10.11 5.69 15.17 0 2 4 6 8 10 12 14 16 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun TOM (mg/l)

Gambar 15 Kisaran nilai TOM (mg/l) pada stasiun pengamatan.

3.16 6.8 6.2 5.4 6 5.7 5.6 0 2 4 6 8 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun BOD5

Gambar 16 Kisaran nilai BOD5 (mg/l) pada stasiun pengamatan.

COD (Chemical Oxygen Demand). Chemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam air secara kimiawi. Nilai COD dapat dijadikan petunjuk adanya pencemaran lingkungan (Mahida 1984).

Hasil pengukuran COD pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 14-42 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 17). Nilai COD tertinggi berada di stasiun 1 UPL yaitu 42 mg/l, sedangkan yang terendah di stasiun 5 TPR yaitu 14 mg/l. Tingginya nilai COD di stasiun 1 UPL kemungkinan disebabkan oleh buangan dari pabrik-pabrik industri yang berasal dari daratan Jakarta melalui sungai-sungai dan bermuara ke laut. Anjas (2005) menginformasikan, nilai COD di Pulau Pramuka sebesar 22 mg/l. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan nilai yang dilakukan selama penelitian terutama stasiun 6 BPR dan 7 SPR. Berdasarkan nilai ambang batas baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan, maka COD untuk semua stasiun pengamatan masih dalam keadaan baik dan belum melewati nilai ambang batas baku mutu untuk biota laut (Kepmen. KLH No. 51 2004).

42 28 30 22 14 34 32 0 10 20 30 40 50 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun COD (mg/l)

Gambar 17 K isaran nilai COD (mg/l) pada stasiun pengamatan.

Nitrat (N-NO3). Hasil pengukuran nitrat pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,347-0,572 mg/l (Lampiran 2 danGambar 18). Kandungan nitrat di semua stasiun pengamatan terlalu tinggi jika dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut yaitu lebih besar dari 0,008 mg/ l (Kepmen. KLH No. 51 2004). Kadar nitrat tertinggi berada di stasiun 5 TPR dengan nilai 0,572 mg/l dibandingkan stasiun lainnya. Menurut Kiswara (1995), salah satu penyebab meningkatnya kadar nutrien dalam perairan diakibatkan oleh masukan nutrien dari sungai ke perairan teluk. Tingginya kadar nitrat di stasiun 5 TP R bukan disebabkan oleh masukan nutrien dari sungai, tetapi karena akumulasi nutrien yang berasal dari buangan penduduk kelaut melalui parit-parit didekat darmaga.

Edi (2006) menginformasikan nilai N-NO3 di Pulau Lancang dan Pulau Pari sebesar 0,07 mg/l sedangkan Anjas (2005) menginformasikan nilai N-NO3 di

Pulau Pramuka sebesar 0,448 mg/l. Nilai N-NO3 yang diukur selama penelitian lebih tinggi dibandingkan nilai N-NO3 yang diukur oleh Edi (2006) dan Anjas (2005). Bila dilihat dari konsentrasinya, jumlah nitrogen dalam bentuk N-NO3 sangat kecil yaitu ± 0,3 mg/l pada perairan yang tidak tercemar. Berdasarkan tingkat kesuburan perairan N-NO3 dibagi dalam tiga kategori yaitu oligotr ofik (0-1 mg/ l), mesotrofik ((0-1-5 mg/l) dan eutrofik (50 mg/l) (Vollenweider (0-1968, diacu dalam Wetzel 1982). Berdasarkan hal tersebut maka kualitas perairan di setiap stasiun pengamatan masih normal bila ditinjau dari variasi kadar senyawa nitrogennya seperti yang dikatakan oleh Welch dan Lindell (1980), bahwa kandungan N-NO3 potensial untuk mendukung produktivitas primer perairan berkisar antara 0,5-1,0 mg/l. 0.414 0.414 0.347 0.448 0.572 0.482 0.459 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun N-NO3 (mg/l)

Gambar 18 Kisaran nilai N-NO3 (mg/l) pada stasiun pengamatan.

Ortofosfat (P-PO4). Hasil pengukuran ortofosfat pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,039 - 0,497 mg/l (Lampiran 2 danGambar 19). Edi (2006) menginformasikan nilai P-PO4 di Pulau Lancang sebesar 0,013 mg/l dan Pulau Pari sebesar 0,008 mg/l sedangkan Anjas (2005) menginformasikan nilai P-PO4 di Pulau Pramuka sebesar 0,46 mg/l. Kandungan ortofosfat pada semua stasiun pengamatan secara umum masih tergolong layak bagi kehidupan biota laut, kecuali distasiun 5 TP R dengan nilai 0,497 mg/l dan stasiun 2 UPP dengan nilai 0,256 mg/l, dimana kandungan ortofosfatnya sangat tinggi. Tinggin ya kandungan P -P O4 yang ditemukan di dua stasiun tersebut menunjukkan bahwa perairannya berada pada tingkat kesuburan yang sangat tinggi, hal ini disebabkan kandungan P-PO4 berada pada kisaran lebih dari 0,003-0,1 mg/l (Effendi 2000).

0.068 0.256 0.039 0.046 0.497 0.059 0.039 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun P-PO4 (mg/l)

Gambar 19 Kisaran nilai P -P O4 (mg/l) pada stasiun pengamatan.

Silikat. Silikat adalah salah satu unsur yang melimpah dan tidak ditemukan dalam bentuk bebas tetapi berikatan dengan oksigen. Bentuk umumnya adalah SiO2. Air laut sebagian besar mengandung SiO2. Banyak diantaranya merupakan hasil pelapukan batuan didaratan yang diangkut oleh sungai atau angin ke laut. Hasil pengukuran silikat pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 1,93-3,61 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 20). Edi (2006) menginformasikan nilai silikat di Pulau Lancang sebesar 0,432 mg/l dan Pulau Pari sebesar 0,344 mg/l. Nilai silikat yang diukur selama penelitian untuk stasiun 1 UPL, stasiun 2 UPP dan stasiun 3 BPP lebih tinggi daripada nilai silikat yang diukur oleh Edi (2006). Nilai silikat tertinggi dijumpai pada stasiun 3 BPP dengan nilai 3,61 mg/l. Tingginya silikat di stasiun tersebut berasal dari Enhalus yang banyak dijumpai.

Enhalus ini membawa nutrien penting bagi pertumbuhan fitoplankton, pembentukan struktur pada silicoflagellata, diatom, radiolaria dan spons yang berasal dari SiO2 (Riley dan Skirrow 1975).

1.93 2.49 3.61 2.25 2.41 2.49 2.81 0 1 2 3 4 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun silikat (mg/l)

Komposisi dan Distribusi Spons Demospongiae

Jenis spons Demospongiae yang terinventarisasi dan teridentifikasi berjumlah 30 jenis dengan 9 Ordo, 18 Famili dan 25 Genera (Tabel 5, Lampiran 3 dan Lampiran 4). Berdasarkan komposisi dan kelimpahan spons, daerah pertumbuhan spons Demospongiae yang terbaik di stasiun pengamatan berada pada stasiun 7 SPR pada kedalaman 15 m. Hal ini terlihat dari jumlah jenis dan Genera yang ditemukan sebanyak 14 Genera dengan 17 jenis spons Demospongiae. Jenis-jenis spons Demospongiae yang dominan dan melimpah dijumpai pada stasiun ini adalah Paratetilla bacca dan Cinachyra cylindrica.

Tabel 5 Jumlah jenis, Ordo, Famili dan Genera spons Demospongiae pada stasiun pengamatan di Kepulaua n Seribu DKI Jakarta

Jenis Genera Famili Ordo

Stasiun Lokasi 7 m 15 m 7 m 15 m 7 m 15 m 7 m 15 m 1 UPL 5 - 3 - 3 - 3 - 2 UPP 7 12 7 9 6 7 3 5 3 BPP 13 14 10 11 7 8 5 6 4 UPR 11 13 9 10 7 5 4 5 5 TPR 9 12 8 10 7 9 5 5 6 BPR 7 14 7 12 5 9 3 6 7 SPR 10 17 9 14 7 10 6 7

Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi Spons Demospongiae . Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 21, nilai rata-rata kelimpahan spons Demospongiae pada kedalaman 7 m berkisar antara 0,23-0,83 ind/m2, sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,35-0,84 ind/m2. Nilai kelimpaha n tertinggi berada distasiun 7 SPR kedalaman 15 m dengan nilai 0,84 ind/m2, hal ini dibuktikan dengan jumlah Genera dan jenis dari spons Demospongiae yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya dengan jenis yang dominan dan melimpah dijumpai adalah Paratetilla bacca dan Cinachyra cylindrica (Tabel 5 dan Lampiran 3).

Tabel 6 Data kelimpahan, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) spons pada stasiun pengamatan

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun Kelimpahan (ind/m2) 7 m 15 m

Gambar 21 Kelimpaha n (ind/m2) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.

Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman (H’) terhadap jenis -jenis spons Demospongiae yang teramati pada semua stasiun pengamatan pengambilan spons, secara umum berada dalam kisaran 1<H’<3. Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 22, nilai rata -rata H’ spons pada kedalaman 7 m berkisar antara 1,27-2,10 sedangkan pada kedalaman 15 m antara 2,11-2,94. Nilai H’ tertinggi berada di stasiun 7 SP R dengan nilai 2,94 pada kedalaman 15 m. Hal ini terlihat dari jumlah spesies sebesar 17 spesies yang teramati selama penelitian lebih besar di stasiun 7 SPR kedalaman 15 m dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 5 dan Lampiran 3).

Kelimpahan (ind/m2) H’ E C Stasiun 7 m 15 m 7 m 15 m 7 m 15 m 7 m 15 m 1 0.17 - 1.94 - 0.56 - 0.22 - 2 0.28 0.71 1.28 2.11 0.40 0.52 0.44 0.18 3 0.29 0.72 2.09 2.47 0.55 0.52 0.18 0.12 4 0.35 0.35 1.53 2.15 0.37 0.54 0.17 0.44 5 0.44 0.49 1.46 2.18 0.41 0.54 0.35 0.17 6 0.23 0.51 1.27 2.50 0.40 0.55 0.45 0.13 7 0.83 0.84 2.10 2.94 0.53 0.59 0.16 0.06

0 1 2 3 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun Indeks Keanekaragaman (H') 7 m 15 m

Gambar 22 Indeks keanekaragaman (H’) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.

Hasil perhitungan indeks keseragaman (E) dan dominansi (C) spons Demospongiae yang teramati pada semua stasiun pengamatanberada dalam range 0-1. Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 23, nilai kisaran rata-rata E pada kedalaman 7 m adalah antara 0,37-0,56 sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,52-0,59. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai indeks (mendekati satu), maka semakin besar pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu sama dan tidak ada kecendrungan terjadi dominasi oleh satu spesies spons. Nilai E tertinggi berada di stasiun 7 SP R dengan nilai 0,59 kedalaman 15 m. 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun

Indeks Keseragaman (E)

7 m 15 m

Gambar 23 Indeks keseragaman (E) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.

Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 24, maka kisaran nilai rata-rata C spons Demospongiae pada kedalaman 7 m antara 0,16-0,45 sedangkan pada kedalaman

15 m antara 0,06-0,44. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak ada spesies spons yang mendomin asi. Nilai C tertinggi 0,45 berada pada kedalaman 7 m di stasiun 6 BPR.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun Indeks Dominansi (C) 7 m 15 m

Gambar 24 Indeks dominansi (C) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.

Senyawa Bioaktif Antibakteri Ekstrak Spons

Hasil pengujian senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae menunjukkan bahwa dari 17 ekstrak spons Demospongiae yang di uji aktivitas senyawa bioaktif antibakterinya di Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka pada setiap stasiun pengamatan memberikan respon aktivitas yang berbeda-beda. Aktivitas tersebut ditunjukkan dengan adanya area zona bening di sekitar paper disc (kertas cakram) sebagai zona hambat senyawa bioaktif antibakteri yang mampu menghambat aktivitas kedua bakteri yaitu Eschericia coli dan

Staphylococcus aureus (Lampiran 5 dan 6).

Ekstrak spons di stasiun 1 UP L yang diuji aktivitas senyawa bioaktif antibakterinya berjumlah tiga sampel. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 25, kisaran diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri spons terhadap bakteri E. coli di Pula u Lancang (1 UPL) adalah 1-2,71 mm, sedangkan terhadap bakteri S. aureus 2,9-5,78 mm. Ekstrak spons yang aktif terhadap bakteri E. coli ada tiga spesies yaitu Petrosia sp (p23 1,88 mm), Clathria rendrawti (p8 1 mm) dan Xestospongia sp1 (p28 2,71 mm) sedangkan yang aktif terhadap S. aureus hanya dua spesies yaitu Petrosia sp (p23 5,78 mm) dan

Xestospongia sp1 (p28 2,9 mm). Ekstrak spons yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi dibandingkan dengan ekstrak spons lainnya adalah

aureus, tetapi bila dibandingkan terhadap ampicillin tidak ditemukan adanya spesies yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi.

1.88 1 2.71 2.72 5.78 2.9 5.8 0 1.5 3 4.5 6 7.5 p23 p8 p28 Amp p23 p28 Amp E. coli S. aureus St 1 (Stasiun)

Diameter zona hambat (mm)

Gambar 25 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Lancang kedalaman 7 m terhadap bakteri

E. coli dan S. aureus.

Ekstrak spons yang diuji aktivitas senyawa bioaktif antibakterinya di Pulau Pari pada seluruh stasiun berjumlah 14 sampel. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 26, kisaran diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons pada kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli di Pulau Pari (2 UPP dan 3 BPP) adalah 1,77-4 mm, sedangkan pada kedalaman 15 m adalah 0,56-2,4 mm. Pada kedalaman 7 m, yang aktif terhadap E. coli ada empat spesies yaitu Clathria sp (p9 4 mm) dan Callyspongia sp (p6 1,77 mm) yang keduanya berada di stasiun 2 UPP serta Clathria sp (p9 1,88 mm) dan

Xestospongia sp2 (0,99) di stasiu n 3 BPP. Pada kedalaman 15 m yang aktif terhadap E. coli ada delapan spesies yaitu Clathria rendrawti (p8 1 mm) berada di stasiun 2 UPP, sedangkan Petrosia sp (p23 0,79 mm), Callyspongia aerizusa (p5 2,04 mm), Adocia sp (p3 0,56 mm), Liosina sp (p18 0,62 mm), Acantella cavernosa (p2 1,11 mm), Clathria vulpina (p10 0,78 mm) Neo petrosia (p20 6 2,4 mm) semuanya berada di stasiun 3 BPP.

4 1.77 1 2.72 0.99 1.88 0.79 2.04 0.560.621.11 0.78 2.4 0 1 2 3 4 5 p9 p6 p8 Amp p29 p9 p23 p5 p3 p18 p2 p10 p20 7 m 15 m 7 m 15 m St 2 St 3 Stasiun

Diameter zona hambat (mm)

Gambar 26 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan

15 m terhadap bakteri E. coli.

Bila dilihat antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya, maka ekstrak spons yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi adalah Clathria sp (p9), sedangkan pada kedalaman 15 m tidak ada. Spesies ini terdapat di stasiun 2 UPP. Pada stasiun 3 BPP hanya ditemukan spesies spons dengan aktivitas antibakteri tertinggi antar spesies tetapi terhadap ampicillin tidak ditemukan. Spesies tersebut adalah Neopetrosia (p20) di kedalaman 15 m.

Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 27, di Pulau Pari pada kedalaman 7 m pada seluruh stasiun yang aktif terhadap S. aureus ada dua spesies yaitu Clathria sp (p9 0,44 mm) di stasiun 2 UPP dan Xestospongia sp2 (p29 6,36 mm). Pada kedalaman 15 m ada delapan spesies dengan kisaran rata-rata diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri antara 0,11-4,32 mm. Kedelapan spesies tersebut adalah Neopetrosia (p20 0,67 mm) di stasiun 2 UPP, Petrosia sp (p23 2,09 mm), Adocia sp (p3 0,11 mm), Paratetilla bacca (p22 0,22 mm),

Liosina sp (p18 4,32 mm), Acantella cavernosa (p2 4,17 mm), Clathria vulpina

0.44 0.67 5.8 6.36 2.09 0.11 0.22 4.32 4.17 0.33 0.44 0 1 2 3 4 5 6 7 p9 p20 Amp p29 p23 p3 p22 p18 p2 p10 p20 7 m 15 m 7 m 15 m St 2 St 3 Stasiun

Diameter zona hambat (mm)

Gambar 27 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan

15 m terhadap bakteri S. aureus.

Bila dilihat antar spesies spons yang aktif dan terhadap ampicillinnya, maka pada kedalaman 7 m hanya spesies Xestospongia sp2 (p29) yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi di stasiun 3 BPP sedangkan pada kedalaman 15 m tidak ada. Akan tetapi spesies Liosina sp (p18), adalah spesies yang tertinggi antar spesies spons yang aktif di kedalaman 15 m tapi tidak terhadap ampicillinnya. Spesies ini juga ditemukan di stasiun 3 BPP.

Ekstrak spons yang diuji aktivitas senyawa bioaktif antibakteri di Pulau Pramuka (4 UPR, 5 TPR, 6 BPR dan 7 SPR) berjumlah 18 sampel. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 28, pada kedalaman 7 m kisaran diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri E. coli di Pulau Pramuka adalah antara 0,11-5,19 mm, sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,33-6,84 mm. Pada kedalaman 7 m di Pulau Pramuka pada seluruh stasiun, spesies yang aktif terhadap bakter i E. coli ada tujuh spesies yaitu Xestospongia

Dokumen terkait