• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap fungsi hati dan kuantitas sel darah merah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar yang dipapari dengan karbon tetraklorida (CCl4) diperoleh hasil sebagai berikut:

4.1. Gambaran Morfologi Hati Tikus

Tabel 4.1. Data morfologi hepar tikus setelah pemberian ekstrak kulit manggis

Perlakuan Pengamatan Warna Permukaan KC10 100 (A) 50 (N) 50 (A) KC24 100 (A) 25 (N) 75 (A) KB 100 (N) 100 (N) KP10 100 (N) 100 (N) KP24 75 (N) 25 (A) 100 (N P1 75 (N) 25 (A) 75 (N) 25 (A) P2 75 (N) 25 (A) 75 (N) 25 (A) P3 75 (N) 25 (A) 100 (N)

Keterangan: Normal (N) dan Abnormal (A)

Pada Tabel 4.1, gambaran morfologi hati dapat dilihat bahwa pada kontrol blank semua hati normal baik warna dan permukaan hati sebesar (100 %), sedangkan yang diinduksi kerusakan hati pakai CCl4 selama 10 hari dan 24 hari terlihat warna hati mencapai 100% abnormal dan permukaan hati pada KC10 abnormal (50 %) abnormal dan KC24 abnormal (75 %), sedangkan yang diberi minyak kelapa sebagai pelarut karbon tetraklorida warna dan permukaan hati pada KP10 normal (100 %), pada KP24 warna hati abnormal (25 %) tetapi permukaan hati 100 % normal, sehingga dapat diketahui bahwa yang mengakibatkan kerusakan hati adalah karbon tetraklorida dan minyak kelapa hanya sebagai pelarut. Karbon tetraklorida merupakan salah satu jenis hepatotoksin yang dapat menghasilkan

senyawa radikal bebas. Karbon tetraklorida tertimbun dalam lemak tubuh, hati dan sumsum tulang belakang. Karbon tetraklorida diaktifkan oleh enzim sitokrom P 450 menjadi radikal triklorometil peroksi yang reaktivitasnya tinggi dapat menyebabkan autooksidasi pada asam lemak yang terdapat dalam membran sel (Klassen, 2001 dalam Adikusuma & Moch, 2014). Dalam proses metabolisme tubuh, terjadi reaksi oksidasi dan reduksi sehingga terbentuk radikal bebas yang bersifat oksidator dengan oksigen yang reaktif. Karena kereaktifannya, radikal bebas itu mengoksidasi zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh, sehingga menyebabkan sejumlah jaringan tubuh rusak (Yatman, 2012).

Menurut Robins & Kumar (1992), permukaan hati yang normal memilki permukaan yang rata dan halus serta berwarna merah kecoklatan, sedangkan hati yang abnormal memiliki permukaan bintik-bintik dan mengalami perubahan warna. Menurut Sulistianto dkk. (2004), di dalam hati zat kimia akan mengalami metabolisme yang dapat mengurangi sifat toksik. Hati memiliki daya regenerasi yang sangat baik, tetapi bila kerusakan terjadi berulang, maka akan mengakibatkan kerusakan hati seperti struktur hepar yang tidak teratur, dan CCl4 dapat mengakibatkan perubahan warna dan perlemakan pada hati karena CCl4 bersifat hepatotoksik.

Pemberian ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi 60 mg, 80 mg dan 100 mg/100 g BB setelah terjadinya kerusakan hati oleh CCl4, gambaran hati dapat dilihat pada P1, P2 dan P3 warna hati 75 % normal dan permukaan hati pada P1 dan P2 normal 75 % tetapi pada P3 permukaan hati 100 % normal. Kulit buah manggis mengandung senyawa xanthon, tanin dan flavonoid. Xanthon merupakan senyawa ketin siklik polifenol dengan rumus molekul C15H8O2 yang memiliki aktifitas sebagai antioksidan, antiinflamasim antibakteri, dan antikanker. Ekstrak kulit manggis dapat memberikan efek protektif terhadap gambaran histologi hepar yang mengalami pembengkakan sel setelah diinduksi dengan rifampisin (Clarianta & Fiana, 2014) .

Penelitian yang dilakukan oleh The National Research Institute of Chinese Medicine di Taiwan menyatakan bahwa garcinone E (derivat xanton), efektif untuk menghambat kanker hati, kanker lambung, dan kanker paru. Khasiat garcinone E lebih efektif untuk menghambat sel kanker bila dibandingkan

dengan obat kanker seperti flauraucil, cisplatin, vincristin, metohotrexete, dan mitoxiantrone (Yatman, 2012). Gambaran morfologi hati tikus yang normal dan abnormal dapat dilihat pada gambar 4.1

(a) (b)

Gambar 4.1 Morfologi hepar tikus setelah pemberian Karbon tetraklorida. (a) Hepar normal dengan warna merah kecoklatan

(b) Hepar abnormal dengan warna coklat gelap dan permukaan berbintik

4.2 Kadar Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT)

Pengamatan terhadap kadar SGPT tikus yang diberi ekstrak kulit manggis dapat dilihat pada lampiran 2, berdasarkan hasil uji anova diperoleh hasil yang signifikan, artinya setiap perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar SGPT. Nilai Kadar SGPT dapat dilihat pada kontrol blank sebesar 205,2 U/L, sedangkan yang diinduksi kerusakan hati pakai CCl4 pada KC10 nilai SGPT sebesar 308,7 U/L dan pada KC24 sebesar 343,7 U/L, sedangkan nilai SGPT pada pelarut minyak kelapa pada KP10 sebear 242,6 U/L dan pada KP24 sebesar 215,6 U/L, sehingga dapat diketahui yang mengakibatkan peningkatan kadar SGPT adalah karbon tetraklorida dan minyak kelapa hanya sebagai pelarut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Surya (2009) pemberian karbon tetraklorida selama 24 jam dapat mengakibatkan peningkatan kadar SGPT.

Pemberian ekstrak kulit manggis setelah terjadinya peningkatan SGPT oleh CCl4, diperoleh hasil pada P1 kadar SGPT sebesar 153,3 U/L, pada P2 sebesar 230 U/L dan pada P3 sebesar 263,4 U/L, masing-masing hasil dari perlakuan pemberian ekstrak kulit manggis mengalami penurunan mendekati normal. Penurunan kadar SGPT akibat pemberian ekstrak kulit manggis

disebabkan karena pada kulit manggis mengandung senyawa flavonoid xanthon yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menangkap radikal bebas yang ditimbulkan oleh CCl4, sehingga kadar SGPT turun.

Gambar 4.2 Kadar SGPT tikus putih yang diberi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi yang berbeda. KC10= Kontrol CCl4 10 hari; KC24=Kontrol CCl4 24 hari; KP10= Kontrol pelarut kelapa 10 hari; KP24= Kontrol pelarut minyak kelapa 24 hari; KB= Kontrol Blank; P1, P2 dan P3= Ekstrak kulit manggis masing-masing 60 mg, 80 mg dan 100 mg.

Menurut Zarena (2009) dalam Dewita (2015), kulit manggis yang diekstrak dengan menggunakan ethyl asetat dapat sebagai sumber antioksidan yang baik dengan cara mendonasikan elektron kepada radikal bebas untuk membentuk produk stabil sehingga tidak menimbulkan reaksi lanjut. Antioksidan dapat mencegah terjadinya peroksidasi lipid baik pada tahap inisiasi, propagasi maupun pada tahap terminasi. Pada tahap inisiasi, peroksidasi lipid dapat dicegah oleh peredam radikal bebas, dan pada tahap propagasi diputus oleh peredam radikal peroksi seperti antioksidan flavonoid sedangkan pada tahap terminasi, radikal lipid seperti radikal lipid peroksi dan radikal alkoksil dapat diredam oleh antioksidan fenol yang ada pada kulit manggis (Middleton et al. 2000 dalam Arsana, 2014). Ekstrak kulit manggis mengandung gula sakarosa, dekstrosa xanton, tannin, dan katekin. Buah manggis merupakan buah yang bermanfaat,

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 KC10 KC24 KP10 KP24 KB P1 P2 P3 Rerata kad ar SGP T (U /L ) Perlakuan ab ab ab a ab b ab ab

pada kulit buah manggis ditemukan zat xanthon, yang memiliki aktifitas sebagai antioksidan, antibakteri, dan antiinflamasi (Nurchasanah, 2013 dalam Clarianta & Fiana, 2014).

4.3 Kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)

Pengamatan terhadap kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) tikus putih yang diberi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi 60 mg, 80 mg dan 100 mg dapat dilihat pada lampiran 3, berdasarkan hasil uji anova diperoleh hasil yang signifikan yang artinya perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar SGOT. Nilai Kadar SGOT dapat dilihat pada kontrol blank sebesar 228,6 U/L, sedangkan yang diinduksi kerusakan hati pakai CCl4 pada KC10 nilai SGOT sebesar 392,3 U/L dan pada KC24 sebesar 418,6 U/L, sedangkan nilai SGOT pada pelarut minyak kelapa pada KP10 sebesar 343,2 U/L dan pada KP24 sebesar 330,8 U/L, sehingga dapat diketahui yang mengakibatkan peningkatan kadar SGOT adalah karbon tetraklorida dan minyak kelapa hanya sebagai pelarut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handoko (2005) terjadinya peningkatan kadar SGOT setelah pemberian karbon tetraklorida.

Pemberian ekstrak kulit manggis setelah terjadinya peningkatan SGOT oleh CCl4, diperoleh hasil pada P1 kadar SGOT sebesar 240,4 U/L, pada P2 sebesar 301,9 U/L dan pada P3 sebesar 247,6 U/L, masing-masing hasil dari perlakuan pemberian ekstrak kulit manggis mengalami penurunan mendekati normal. Penurunan kadar SGOT pada perlakuan ekstrak kulit manggis dikibatkan karena senyawa fenol yang terdapat pada kulit manggis bersifat antioksidan yang dapat mencegah adanya radikal bebas dalam tubuh sehingga dapat menurunkan kadar SGOT dan mencegah kerusakan hati yang diakibatkan oleh karbon tetraklorida, sehingga bersifat sebagai hepatoprotektor.

Menurut Wilmana (1995 dalam Haki, 2009) gangguan hati ditandai dengan peningkatan aktivitas serum transaminase berupa SGPT dan SGOT. Enzim SGOT merupakan salah satu enzim aminotransferase yang sering digunakansebagai indikator adanya gangguan fungsihati, karena enzim AST yang terdapat di intraselular akan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah bila terdapat nekrosis atau kerusakan sel hati secara akut.

Gambar 4.3 Kadar SGOT tikus putih yang diberi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi yang berbeda. KC10= Kontrol CCl4 10 hari; KC24=Kontrol CCl4 24 hari; KP10= Kontrol pelarut kelapa 10 hari; KP24= Kontrol pelarut minyak kelapa 24 hari; KB= Kontrol Blank; P1, P2 dan P3= Ekstrak kulit manggis masing-masing 60 mg, 80 mg dan 100 mg.

Antioksidan yang terdiri dari flavonoid, tannin, triterpene, saponin, dan polifenol menunjukkan aktivitas antioksidan yang menyebabkan peroksida lipid yang ditimbulkan oleh radikal bebas CCl4 berkurang, sehingga fungsi membran sel tetap terjaga (Hodgsons, 2000 dalam Haki, 2009). Menurut Maulina (2011), pemberian ekstrak kulit manggis selama 14 hari dapat memperbaiki fungsi hati, meskipun mencit tersebut telah terpapar sebelumnya dengan MSGselama 21 hari, sesuai dengan penelitian (Weecharangsan et al. 2006), kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) mengandung senyawa yang memiliki aktifitas farmakologi sebagai antioksidan, yaitu senyawa flavonoid, tanin dan xanthones. Mekanisme kerja senyawa xanthone yaitu dengan cara menghambat produksi Reactive Oxigen Spesies intraseluler secara signifikan (Moongkardi et al. 2004). Menurut Arsana (2014), Antioksidan pada kulit manggis akan menangkal atau meredam dampak negatif bebas dalam tubuh dengan cara mendonorkan elektronnya kepada radikal bebas sehingga aktivitasnya bisa dihambat.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), kadar normal SGPT tikus adalah 17,5–30,2 U/L dan kadar normal SGOT tikus adalah 45,7-80,8 U/L, pada penelitian ini kadar SGPT dan SGOT pada kelompok kontrol nilai nya lebih besar

0 200 400 600 KC10 KC24 KP10 KP24 KB P1 P2 P3 Re rat a k ad ar S G OT (U/L)

a c

a ab

b b

ab

b

Perlakuan

dibandingkan dengan nilai normal tikus, perbedaan hasil analisis tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor stres yang dapat terjadi melalui peningkatan aktivitas syaraf simpatik perifer (Arakawa et al. 1996), perbedaan bobot tikus, hemolisis, keadaan fisiologis dan makroenzim yang berbeda, alat dan metode analisis dan perbedaan kit reagen yang digunakan (Arakawa et al. 1996., Hollans &Logan, 1996 dalam Adikususma, 2014).

4.4 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

Pengamatan terhadap jumlah sel darah merah (Eritrosit) terhadap tikus putih yang diberi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi 60 mg, 80 mg dan 100 mg dapat dilihat pada lampiran 4. Berdasarkan hasil uji Anova yang telah dilakukan hasil yang didapat tidak signifikan yang artinya perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah eritrosit, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut. Jumlah sel darh merah dapat dilihat pada kontrol blank sebesar 7,56 x 106/mm3, sedangkan yang diinduksi kerusakan hati pakai CCl4 pada KC10 jumlah sel darah merah sebesar 7,49 x 106/mm3, dan pada KC24 sebesar 5,71 x 106/mm3, sedangkan jumlah sel darah merah pada pelarut minyak kelapa pada KP10 7,62 x 106/mm3, dan pada KP24 sebesar 7,61 x 106/mm3, sehingga dapat diketahui yang mengakibatkan penurunan jumlah eritrosit adalah karbon tetraklorida dan minyak kelapa hanya sebagai pelarut.

Pemberian ekstrak kulit manggis setelah terjadinya penurunan jumlah eritrosit oleh CCl4, diperoleh hasil pada P1 jumlah eritrosit sebesar 7,60 x 106/mm3 pada P2 sebesar 7,86 x 106/mm3 dan pada P3 sebesar 8,29 x 106/mm3, masing-masing hasil dari perlakuan pemberian ekstrak kulit manggis mengalami peningkatan jumlah eritrosit mendekati normal. Peningkatan jumlah eritrosit pada perlakuan pemberian ekstrak kulit manggis diduga disebabkan karena adanya senyawa flavonoid yaitu xanthon yang terdapat di dalam kulit manggis yang bersifat antioksidan dan dapat membantu pembentukan sel darah merah di dalam tubuh sehingga jumlahnya dalam tubuh normal, dengan cara menghambat pembentukan radikal bebas yang diakibatkan oleh CCl4.

Kekurangan eritrosit dalam tubuh akan mengakibatkan anemia, karena kandungan hemoglobin rendah dalam tubuh dan menurunnya volume darah dari

normal, sedangkan kelebihan eritrosit dalam tubuh akan menimbulkan polistemia, karena meningkatnya viskositas (kekentalan) darah. Eritrosit tidak memiliki nukleus, organel, atau ribosom, tetapi dipenuhi oleh hemoglobin, yaitu molekul mengandung besi yang dapat berikatan dengan O2 secara longgar dan reversibel. Oksigen sukar larut dalam darah sehingga hemoglobin merupakan pengangkut oksigen dalam darah. Didalam eritrosit matang terdapat sedikit enzim glikolitik dan karbonat anhidrase yang berperan untuk menghasilkan energi dan CO2 dalam darah dan umur eritrosit 120 hari (Zulkifli dkk., 2014).

Senyawa xanthone yang terkandung dalam kulit buah manggis memiliki antioksidan yang tinggi serta bersifat sebagai immunomodulator yang bisa menstabilkan sel-sel di dalam tubuh serta dapat membantu dalam proses pembentukan eritrosit (Fauziah, 2013). Immunomodulator adalah senyawa yang dapat menormalkan atau mengoptimalkan kerja sistem imun sehingga komponen dalam darah stabil (Ruslami, 2010). Menurut Yunitasari (2011), kulit buah manggis mengandung senyawa xanthone yang penting bagi tubuh yang berperan dalam membantu pembentukan eritrosit.

4.5 Kadar Hemoglobin (Hb)

Pengamatan terhadap kadar hemoglobin (Hb) tikus yang diberi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi 60 mg, 80 mg dan 100 mg dapat dilihat pada lampiran 5, berdasarkan hasil uji anova diperoleh hasil yang signifikan artinya perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar hemoglobin.

Nilai Kadar Hb dapat dilihat pada kontrol blank sebesar 12,3 g/100mL, sedangkan yang diinduksi kerusakan hati pakai CCl4 pada KC10 nilai Hb sebesar 15,5 g/100mL dan pada KC24 sebesar 14,4 g/100mL, sedangkan nilai Hb pada pelarut minyak kelapa pada KP10 sebesar 13,9 g/100mL dan pada KP24 sebesar 13,4 g/100mL, sehingga dapat diketahui yang mengakibatkan peningkatan kadar Hb adalah karbon tetraklorida dan minyak kelapa hanya sebagai pelarut.

Pemberian ekstrak kulit manggis setelah peningkatan kadar Hb oleh CCl4, diperoleh hasil pada P1 kadar Hb sebesar 12,4 g/100mL, pada P2 sebesar 12,0 g/100mL dan pada P3 sebesar 11,6 g/100mL, masing-masing hasil dari perlakuan pemberian ekstrak kulit manggis mengalami penurunan kadar hemoglobin

mendekati normal. Dari penelitian yang telah dilakukan, adanya peningkatan kadar hemoglobin pada masing-masing perlakuan, disebabkan karena senyawa flavonoid yang terdapat dalam kulit manggis dapat membantu proses pembentukan hemoglobin serta dapat mengurangi atau menetralkan dan menstabilkan sel-sel yang telah dirusak oleh radikal bebas yang ada dalam tubuh yang ditimbulkan oleh karbon tetraklorida. Xanthon merupakan senyawa ketin siklik polifenol dengan rumus molekul C15H8O2 yang memiliki aktifitas sebagai antioksidan (Clarianta & Fiana, 2014).

Gambar 4.4 Kadar Hb tikus putih yang diberi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi yang berbeda. KC10= Kontrol CCl4 10 hari; KC24=Kontrol CCl4 24 hari; KP10= Kontrol pelarut kelapa 10 hari; KP24= Kontrol pelarut minyak kelapa 24 hari; KB= Kontrol Blank; P1, P2 dan P3= Ekstrak kulit manggis masing-masing 60 mg, 80 mg dan 100 mg.

Menurut Evani (2013), Kulit buah manggis yang mengandung senyawa xanthon memiliki fungsi antioksidan tinggi sehingga dapat menetralkan dan menghancurkan radikal bebas yang memicu munculnya penyakit. Radikal bebas akan mengoksidasi zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh, menyebabkan sejumlah jaringan tubuh rusak dan radikal peroksil akan mengoksidasi xanthon dengan cepat, sehingga radikal peroksil akan berubah menjadi R-H. Perubahan terjadi karena molekul oksigen direduksi oleh garcinon B sebagai derivat xanthon, sehingga dapat menghambat radikal bebas (Yatman, 2012).

0 5 10 15 20 KC10 KC24 KP10 KP24 KB P1 P2 P3 Re rat a k ad ar Hem oglob in ( g/d L) Perlakuan a ab

ab

ae bde

bde

cde ce

BAB 5

Dokumen terkait