• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amplifikasi Gen CP-SCSMV dan Kloning CP-SCSMV pada pTZ57R/T

Proses amplifikasi menggunakan teknik PCR merupakan metode enzimatis yang dilakukan untuk melipatgandakan (amplifikasi) molekul DNA dalam waktu singkat secara in vitro. Gen penyandi protein selubung Sugarcane streak mosaic virus (CP-SCSMV) berhasil diamplifikasi sesuai target, yaitu menghasilkan amplikon berukuran ±850 pb (Gambar 4).

Gambar 4 Visualisasi hasil amplifikasi gen CP-SCSMV. M : penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific), K : Kontrol positif koleksi laboratorium virologi, IPB, S : sampel SCSMV.

Gen CP-SCSMV selanjutnya berhasil dikloning pada plasmid pTZ57R/T. Transformasi pTZ-SCSMV pada E. coli JM107 berhasil dilakukan dengan metode kejut panas yang ditunjukkan dengan munculnya koloni berwarna putih pada media LBA-ampisilin yang merupakan ciri morfologi pertumbuhan bakteri E. coli. Penggunaan antibiotik ampisilin pada media LBA disebabkan pTZ57R/T membawa gen resisten ampisilin.

Faktor penting yang mempengaruhi efisiensi transformasi adalah kualitas sel kompeten. Pada proses transformasi, DNA plasmid melekat pada lipopolisakarida di permukaan luar sel E. coli dan akan masuk ke dalam sel akibat rusaknya dinding sel oleh ion Ca2+ dan kejut panas (Lodge et al. 2007). Mekanisme transformasi yang melibatkan CaCl2 dan kejut panas diduga merusak dinding sel bakteri pada lokasi tertentu yang memudahkan plasmid masuk ke dalam bakteri (Glick et al. 2009).

Konfirmasi transforman dengan PCR koloni menunjukkan teramplifikasinya pita DNA berukuran ±850 pb yang merupakan DNA target CP-SCSMV (Gambar 5a). Hasil isolasi plasmid pTZ-SCSMV menunjukkan 5 koloni mengandung pita DNA berukuran ±3700 pb yang merupakan fusi antara pTZ57R/T (±2886 pb) dan CP-SCSMV (±850 pb) (Gambar 5b). Isolasi plasmid merupakan proses pemisahan DNA plasmid dari DNA kromosom bakteri yang terdapat dalam sel didasarkan pada perbedaan konformasi antara DNA plasmid dan DNA bakteri (Brown 2010).

±850 pb M K S

pb

750 1000 1500 2000 500

Gambar 5 Konfirmasi transforman hasil TA-kloning. a) Visualisasi DNA hasil PCR koloni pTZ-SCSMV pada E. coli JM107 yang diambil dari 6 koloni tunggal hasil transformasi (lajur 1-6), b) Visualisasi hasil isolasi plasmid 6 klon pTZ-SCSMV yang positif pada PCR koloni (lajur 1-6). M : penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific).

Perunutan nukleotida dari 5 plasmid pTZ-SCSMV menunjukkan 3 plasmid memiliki orientasi yang benar (klon 1, 2, dan 6) dan 2 plasmid memiliki orientasi yang terbalik (klon 3 dan 4). Perunutan nukleotida 3 klon pTZ-SCSMV dengan orientasi yang benar menunjukkan gen CP-SCSMV berukuran 855 pb dan mengode 285 asam amino. Homologi antara 3 klon pTZ-SCSMV mencapai 99.7% dan 100% berturut-turut untuk sikuen nukleotida dan asam amino (Tabel 2). Klon 2 dan 6 memiliki homologi asam amino sebesar 100%, sedangkan pada klon 1 ditemukan stop kodon pada posisi asam amino ke 130 (Lampiran 4), sehingga hanya mengode 130 asam amino, yang seharusnya 285 asam amino. Klon 2 selanjutnya dipilih sebagai klon yang digunakan untuk tahapan penelitian berikutnya.

Tabel 2 Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2 dengan CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari GenBank

Isolat Homologi Nomor aksesi

Nukleotida Asam amino

SCSMV_Klon_1 99.7 99.6 - SCSMV_Klon_6 99.4 100.0 - SCSMV_Indonesia 97.3 98.5 AB563503 SCSMV_Cina 92.8 98.9 KT257289 SCSMV_India 92.5 98.2 AM749393 SCSMV_Pakistan 92.5 98.2 U75456 SCSMV_Thailand 85.8 95.4 JN163911 SCMV_India* 42.8 13.3 DQ842502 * SCMV digunakan sebagai pembanding di luar grup

SCSMV dalam penelitian ini memiliki tingkat homologi nukleotida berdasarkan gen CP yang tinggi dengan isolat SCSMV Indonesia disusul dengan isolat SCSMV asal Cina, India, Pakistan dan menunjukkan hubungan kekerabatan yang rendah dengan isolat asal Thailand dengan nilai homologi nukleotida yang paling rendah yaitu 85.4%. Asam amino SCSMV pada penelitian ini memiliki ±3700 pb ±850 pb

a b

750 1000 3000 4000 0 pb pb 2000 1500 1500 500

homologi tertinggi dengan isolat Cina (KT257289). Asam amino CP-SCSMV klon 2 dan CP-SCSMV_Cina hanya berbeda pada 2 posisi yaitu posisi 7 (pro 7 ser) dan posisi 29 (iso 29 tre) (Lampiran 4). Pada Famili Potyviridae, homologi sikuen nukleotida ≥76% dan asam amino ≥ 80% digolongkan dalam satu spesies virus (King et al. 2012).

Subkloning Gen CP- SCSMV pada pET-28a

Gen CP-SCSMV dari plasmid pTZ-SCSMV berhasil disubkloning ke dalam vektor ekspresi pET-28a dan ditransformasi ke dalam bakteri ekspresi E. coli BL21(DE3) dan E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS. Hal ini ditunjukkan dengan teramplifikasinya DNA berukuran ±850 pb hasil PCR koloni (Gambar 6).

Gambar 6 Visualisasi 8 klon DNA hasil PCR koloni pET-SCSMV (lajur 1-8) pada

E. coli BL21(DE3) (a) dan E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS (b). M : penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific).

Vektor ekspresi pET-28a digunakan untuk mengekspresikan gen CP-SCSMV karena memiliki beberapa elemen penting dalam rangka ekspresi gen seperti gen lacI yang mengode protein lac repressor, promoter T7 yang hanya spesifik dengan T7 RNA polimerase, multiple cloning site yang mengandung beberapa enzim restriksi, dan histidina (His-Tag) yang penting untuk purifikasi protein (Papaneophytou dan Contopidis 2014). Selain itu, penyisipan CP-SCSMV pada pET-28a mampu menyebabkan terekspresinya protein CP-SCSMV secara utuh. Ekspektasi fusi protein pET-28a dan CP-SCSMV berukuran ±35.4 kDa yang merupakan fusi protein pET-28a (±3.8 kDA) dan CP-SCSMV (±31.6 kDa) (Gambar 7a). Berdasarkan hasil analisis sikuen asam amino pET-SCSMV diketahui

±850 pb

b

a

750 1000 750 1000 ±850 pb pb pb 1500 500 1500 500

bahwa tidak terdapat kodon stop di dalam urutan DNA CP-SCSMV klon 2 yang akan diekspresikan, sehingga diperkirakan gen CP tersebut dapat diekspresikan menjadi asam amino CP-SCSMV (Gambar 7b).

Ekspresi protein dengan menyisipkan gen target pada pET-28a telah dilakukan untuk Tobacco yellow dwarf virus (Chanson 2009), Citrus leprosis virus C (Calegario et al. 2013), dan Potato virus Y (Jeevalatha et al. 2013). Pada pET-28a terdapat T7 promotor yang akan dikenali oleh T7 RNA polimerase. T7 RNA polimerase merupakan enzim hasil ekspresi inang E. coli yang mengandung DE3

lisogen sehingga untuk mendapatkan protein yang optimal diperlukan pemilihan

bakteri ekspresi yang mengandung gen DE3 lisogen (Novagen 2006).

Gambar 7 Ekspektasi fusi protein pET-28a ( ) dan CP-SCSMV ( ) yang akan terekspresi dari kodon metionin (ATG) situs NcoI pada pET-28a dan berlanjut hingga kodon stop (TGA) yang terdapat pada akhir sikuen CP-SCSMV (*) (a); susunan nukleotida (baris pertama) dan asam amino (baris kedua) pET-SCSMV yang akan terekspresi yang mengandung His-Tag 6 : asam amino histidina (H) (garis bawah). Cetak tebal merupakan nukleotida dan asam amino CP-SCSMV (b).

(a)

Ekspresi Gen CP-SCSMV Rekombinan pada Bakteri Ekspresi

Gen CP-SCSMV rekombinan (pET-SCSMV) berhasil diekspresikan, baik pada fraksi pelet (insoluble fraction) E. coli BL21(DE3) maupun pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS yang ditandai dengan terbentuknya pita protein berukuran ±35.4 kDa. Ekspresi protein CP-SCSMV tidak ditemukan pada fraksi supernatan (soluble fraction) (data tidak ditampilkan). E. coli digunakan sebagai inang dalam produksi protein rekombinan karena membutuhkan biaya media yang relatif murah, cepat berkembang biak, serta teknologinya sudah berkembang luas (Kristensen et al. 2005; Lombardi et al. 2005).

E. coli BL21(DE3) dipilih sebagai bakteri ekspresi disebabkan gen lon dan ompT penyandi enzim protease pada bakteri ini sudah dimutasi sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang intensif. E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS juga mampu menghasilkan T7 RNA polymerase yang akan dikenal oleh T7 promoter pada pET-28a. T7 RNA polymerase sangat aktif berperan dalam ekspresi jika dibandingkan dengan RNA polymerase E. coli pada umumnya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa DNA sisipan yang terdapat setelah T7 promoter akan terekspresi dengan sangat tinggi (over ekspresi).

Ekspresi gen CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) optimal didapatkan pada suhu inkubasi 25 oC dengan konsentrasi IPTG 0.25-1.00 mM dan dipanen 9-12 jam setelah induksi IPTG. Pada bakteri E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS, ekspresi gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 30 oC dengan konsentrasi IPTG 0.25-1.00 mM IPTG, dan dipanen 9-12 jam setelah induksi IPTG (Tabel 3). Ekspresi gen protein rekombinan CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu inkubasi. Peningkatan konsentrasi IPTG dan waktu inkubasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan ekspresi gen CP-SCSMV. Penggunaan IPTG dengan konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat ekspresi gen. Hal ini juga dilaporkan oleh Rostami et al. (2015) untuk ekspresi Cucumber mosaic virus pada E. coli. Waktu inkubasi selama 18 jam setelah induksi IPTG cenderung menyebabkan penurunan protein yang dihasilkan.

Konsentrasi IPTG memiliki peran utama dalam ekspresi protein. Konsentrasi IPTG yang terlalu tinggi dapat mengurangi laju pertumbuhan bakteri dan meningkatkan produksi proteinase yang dapat mendegradasi protein rekombinan. Selain itu, penggunaan konsentrasi IPTG yang terlalu tinggi membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan berpotensi sebagai racun bagi sel bakteri (Akbari et al. 2015). Konsentrasi IPTG yang optimal dalam ekspresi gen dapat meningkatkan produksi protein rPsaA pada E. coli BL21(DE3). Konsentrasi IPTG yang meningkat 10x lipat dari yang umumnya digunakan dapat menurunkan tingkat ekspresi gen (Larentis et al. 2011).

Faktor penting lain yang berpengaruh terhadap ekspresi gen protein rekombinan adalah suhu inkubasi. Santala dan Lamminmäki (2004) melaporkan bahwa ekspresi antithyroid stimulating hormone (TSH) ScFv pada E. coli Origami B yang optimal terjadi pada temperatur rendah yaitu 24 °C. Volontè et al. (2011) melaporkan bahwa ekspresi protein rekombinan HIV-1 protease optimal terjadi pada suhu 37 °C dengan pemberian IPTG pada fase pertengahan pertumbuhan eksponensial (the middle-exponential phase) E. coli.

Tabel 3 Tingkat ekspresi protein rekombinan CP-SCSMV pada bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS pada suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu inkubasi setelah pemberian IPTG yang berbeda

Bakteri Suhu (oC) Waktu inkubasi (jam) Konsentrasi IPTG (mM)

a 0.25 0.50 0.75 1.00 E. coli BL21 (DE3) 25 3 ++ ++ ++ ++ 6 ++ ++ ++ ++ 9 +++ +++ +++ +++ 12 +++ +++ +++ +++ 18 ++ ++ ++ ++ 30 3 ++ ++ + + 6 ++ ++ ++ ++ 9 ++ ++ ++ ++ 12 ++ ++ ++ ++ 18 ++ ++ ++ + 37 3 ++ ++ ++ ++ 6 ++ ++ ++ ++ 9 ++ ++ ++ ++ 12 ++ ++ ++ ++ 18 ++ ++ ++ ++ E. coli Rosetta-gami (DE3)pLysS 25 3 ++ ++ ++ ++ 6 ++ ++ ++ ++ 9 ++ ++ ++ ++ 12 ++ ++ ++ ++ 18 ++ ++ ++ ++ 30 3 ++ ++ ++ ++ 6 ++ ++ ++ ++ 9 +++ +++ +++ +++ 12 +++ +++ +++ +++ 18 ++ ++ ++ + 37 3 ++ ++ ++ ++ 6 ++ ++ ++ ++ 9 ++ ++ ++ ++ 12 ++ ++ ++ ++ 18 ++ ++ ++ ++

a Tingkat ketebalan pita protein : tipis (+), tebal (++), dan sangat tebal (+++). Kotak abu-abu: ekspresi protein optimal

Ekspresi protein dalam penelitian ini diperoleh dalam bentuk insoluble, baik itu pada bakteri E. coli BL21(DE3) maupun pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS. Terbentuknya protein dalam bentuk insoluble dapat disebabkan oleh ikatan hidrofobik pada asam amino yang lebih kuat antarsesama asam amino dibandingkan terhadap air yang membuat protein membentuk agregat pada tingkat ekspresi yang sangat tinggi. Upaya untuk membuat protein insoluble menjadi soluble dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat ekspresi gen yaitu dengan menggunakan promotor yang lebih lemah, menggunakan vektor ekspresi yang bersifat low copy number, menumbuhkan bakteri pada suhu rendah, atau menumbuhkan bakteri pada media dengan kandungan nutrisi yang rendah (Lodge et al. 2007). Langkah untuk membuat protein menjadi soluble dalam penelitian ini

adalah dengan optimasi ekspresi pada suhu rendah dan konsentrasi IPTG yang rendah, namun protein tetap terekspresi dalam bentuk insoluble. Hal ini juga terjadi untuk ekspresi protein selubung Potato virus Y yang tetap berbentuk insoluble dari bakteri yang diinkubasi pada suhu 20 oC dengan induksi IPTG konsentrasi 0.2 mM (Jeevalatha et al. 2013).

Purifikasi protein rekombinan yang optimal menunjukkan protein rekombinan CP-SCSMV berukuran ±35.4 kDa (Gambar 8). Purifikasi bertujuan menghilangkan protein lain selain protein rekombinan CP-SCSMV sehingga pembentukan antiserum CP-SCSMV lebih optimal. Purifikasi menggunakan column Ni-NTA juga memungkinkan protein insoluble menjadi soluble dengan bufer yang mengandung urea. Urea berfungsi untuk mendenaturasi protein sehingga dapat menjadi soluble (Holzinger et al. 1996). Elusi protein pada tahap akhir purifikasi merupakan tahap pelepasan protein rekombinan target dari resin yang memiliki 6xHis-tag. Hasil purifikasi menunjukkan bahwa pita protein lebih tebal pada sampel yang dielusi dengan bufer elusi yang ditambah imidazol dibandingkan dengan elusi dengan bufer elusi pH rendah (Gambar 8). Protein rekombinan CP-SCSMV dari E. coli Rosetta-Gami(DE3)pLysS tidak berhasil dipurifikasi menggunakan bufer elusi pH rendah.

Gambar 8 Protein rekombinan pET-SCSMV hasil purifikasi dari E. coli BL21 (DE3) (lajur 2-5) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS (lajur 6-9). M: Marker protein unstained (Thermo scientific), 1: E. coli BL21(DE3) pembawa plasmid pET-SCSMV sebelum purifikasi, lajur 2-3 & 6-7: protein hasil elusi dengan bufer elusi + imidazole, lajur 4-5 & 8-9: protein hasil elusi dengan bufer elusi pH 4.5, 10: E. coli Rosetta-gami(DE3) pLysS pembawa plasmid pET-SCSMV sebelum purifikasi. E1: Elusi ke-1 dan E2: Elusi ke-2.

Penggunaan imidazol dalam tahap elusi protein memiliki keunggulan, yaitu dapat digunakan pada kondisi asli (native condition) maupun kondisi terdenaturasi (denaturing condition). Penggunaan imidazol juga tidak akan merusak protein target akibat adanya penurunan pH maupun keberadaan ion logam (ion nikel/Ni2+ atau ion kobalt/Co2+) yang terlepas dari resin ketika protein dipurifikasi pada kondisi asli (native condition) (Kneusel et al. 2000). Penggunaan imidazol tersebut

M E1 E2 E1 E2 E1 E2 E1 E2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

dikarenakan strukturnya mirip dengan residu histidina (His), sehingga penggunaan imidazol pada konsentrasi tinggi (lebih dari 200 mM) dapat menyebabkan protein rekombinan 6xHis-tag terdisosiasi. Hal tersebut dikarenakan protein 6xHis-tag tidak mampu lagi berkompetisi dengan imidazol untuk berikatan pada situs pengikatan resin (QIAexpressionist 2003). Penurunan pH sampai 4.5 juga dapat menyebabkan protein rekombinan 6xHis-tag tidak mampu lagi berikatan dengan kompleks ion logam-resin sehingga akan terlepas dari resin. Berdasarkan kedua metode yang dapat digunakan dalam proses elusi protein maka penggunaan imidazol lebih disarankan dalam proses elusi dikarenakan tidak akan merusak protein rekombinan akibat penurunan pH (Kneusel et al. 2000). Hasil pengukuran konsentrasi protein CP-SCSMV hasil elusi 1 dengan imidazol yang dianalisis menggunakan metode Bradford menunjukkan konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 728 µg mL-1.

Produksi Antiserum SCSMV

Pemilihan kelinci betina untuk produksi antiserum SCSMV disebabkan kelinci betina lebih jinak dan memberikan respon imun yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci jantan (Khattab dan Abdelkader 2015). Pengecekan keberadaan antiserum SCSMV pada serum darah dengan metode serologi AGPT dari pengambilan darah pertama menunjukkan reaksi yang negatif, baik itu serum dari kelinci pertama maupun kelinci kedua. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya garis presipitasi pada gel. Reaksi negatif dengan metode AGPT juga terjadi pada pengujian serum dari pengambilan darah kedua (data tidak ditampilkan). Menurut Sere et al. (2005) untuk reaksi positif pada AGPT diperlukan konsentrasi antigen dan antibodi yang sangat tinggi karena tingkat sensitivitasnya yang sangat rendah. Oleh karena itu, pengujian keberadaan antiserum SCSMV pada serum darah kelinci selanjutnya dilakukan dengan metode I-ELISA.

Pengecekan serum dari pengambilan darah kedua dan ketiga dengan metode I-ELISA menunjukkan hasil yang positif yang ditandai dengan NAE sampel SCSMV yang 2x lebih besar dibandingkan dengan NAE kontrol negatif (tanaman tebu sehat) (Tabel 4). Namun, NAE sampel SCSMV masih sangat rendah (tidak lebih dari 3x kontrol negatif) yang dapat mengindikasikan konsentrasi antiserum SCSMV dalam serum darah yang masih rendah. Oleh karena itu dilakukan penyuntikan antigen keempat pada pembuluh darah kelinci. Penyuntikan antigen yang dilakukan pada pembuluh darah menyebabkan distribusi antigen yang lebih cepat sehingga mempercepat respon antibodi pada hewan coba (FSU 2007).

Pengujian serum dari pengambilan darah keempat menunjukkan NAE yang tinggi, yaitu mencapai 8x kontrol negatif, sehingga dilakukan pemanenan total darah kelinci. Total darah yang diperoleh dari kelinci 1 dan 2 masing-masing ±75 mL dan ±70 mL dengan total serum yang diperoleh masing-masing ±35 mL dan ±30 mL. Panen darah total segera dilakukan untuk menghindari terjadinya penurunan titer antiserum dalam darah kelinci. Gulati-Sakhuja et al. (2009) melaporkan bahwa antiserum dari pengambilan darah pertama lebih sensitif dalam mendeteksi Pelargonium zonate spot virus dibandingkan dengan antiserum yang diambil dari pengambilan darah kedua hingga keempat. Koohapitagtam dan Nualsri (2013) melaporkan bahwa titer antiserum Blackeye cowpea mosaic virus dari

pengambilan darah kedua hingga ketujuh mengalami peningkatan dan mengalami penurunan titer hingga 4x lebih rendah pada pengambilan darah kedelapan. Tabel 4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) hasil I-ELISA menggunakan serum yang

diperoleh dari waktu pengambilan darah yang berbeda Pengambilan

darah ke-

Pengenceran serum

Nilai absorbansi ELISA (NAE) Kontrol negatif Sampel SCSMV

2 1 : 100 0.088 0.199 (+) 1 : 500 TDb 0.117 3 1 : 100 0.161 0.346 (+) 1 : 500 0.072 0.144 (+) 4 1 : 100 0.141 1.149 (+) 1 : 500 0.120 0.612 (+) a

NAE yang dihitung pada 45 menit setelah penambahan substrat pewarnaan. Hasil positif apabila NAE sampel SCSMV 2x lebih besar dari kontrol negatif.

b TD: ELISA untuk kontrol negatif dengan pengenceran antiserum 1 : 500 tidak dilakukan

Antiserum yang diproduksi selanjutnya dipurifikasi menggunakan amonium sulfat. Purifikasi antiserum menggunakan amonium sulfat merupakan proses pemisahan komponen protein pada serum dengan komponen non protein lainnya melalui proses pengendapan. Penambahan garam amonium sulfat akan menurunkan kelarutan protein karena terjadi kompetisi antara ion garam yang ditambahkan dengan protein yang terlarut sehingga terjadi efek salting out. Pemberian garam dengan konsentrasi tinggi juga akan melepaskan molekul air dari protein sehingga akan terjadi pengendapan protein. Pada tahap ini antibodi yang terdapat dalam serum akan mengendap.

Setelah pengendapan dengan amonium sulfat, dilakukan proses dialisis. Dialisis merupakan proses pertukaran ion menggunakan tabung dialisis yang mempunyai pori yang sangat kecil yang hanya dapat meloloskan molekul-molekul yang sangat kecil (< 5000 Da), sedangkan molekul protein yang mempunyai ukuran yang lebih besar tidak dapat melewati tabung dialisis (Ford 2004). Sehingga dengan proses dialisis, antiserum yang diperoleh dapat lebih murni.

Konsentrasi antiserum kasar SCSMV tanpa purifikasi hasil pengambilan serum terakhir adalah 2.43 mg mL-1 dan konsentrasi antiserum setelah purifikasi adalah 2.37 mg mL-1. Hasil ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan konsentrasi antiserum Chrysanthemum B virus (CVB) kasar dan hasil purifikasi masing-masing 1.12 mg mL-1 dan 0.48 mg mL-1 (Temaja 2008).

Penggunaan Antiserum Rekombinan SCSMV dalam Deteksi Serologi

Tingkat sensitivitas antiserum rekombinan SCSMV diuji dengan metode AGPT, I-ELISA, dan DBIA. Uji serologi dengan AGPT menunjukkan bahwa garis presipitasi hanya terbentuk apabila menggunakan antigen yang berasal dari hasil purifikasi protein rekombinan CP-SCSMV dan tidak terbentuk apabila menggunakan antigen yang berasal dari sap daun yang terinfeksi SCSMV. Tingkat

sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV dengan deteksi AGPT menggunakan protein rekombinan hasil purifikasi telah menunjukkan reaksi negatif pada pengenceran 1/8 (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa untuk terbentuknya ikatan antara antigen dan antibodi dengan metode AGPT dibutuhkan konsentrasi antigen SCSMV dan antiserum yang tinggi sehingga presipitasi tidak terbentuk apabila menggunakan antigen SCSMV langsung dari tanaman terinfeksi.

Tidak terbentuknya garis presipitasi antara antiserum poliklonal SCSMV dengan antigen dari sap daun terinfeksi SCSMV juga dapat disebabkan oleh mobilitas partikel SCSMV yang berbentuk batang lentur. Menurut Hull (2014), difusi antigen dalam gel selain dipengaruhi oleh konsentrasi, juga sangat dipengaruhi oleh bentuk partikel virus. Virus dengan bentuk isometrik dan berukuran kecil sangat sesuai untuk metode AGPT sedangkan virus yang berbentuk batang kaku akan berdifusi sangat lambat atau tidak berdifusi sama sekali.

Tabel 5 Sensitivitas antiserum rekombinan poliklonal SCSMV dalam I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran antigen SCSMV

Pengenceran antigen SCSMV Pengenceran antiserum 1:100 1:250 1:500 1:750 1:1000 1 : 2000 Antiserum kasar Bufer - - - - - - Kontrol negatif - - - - - - 1:10 +++ +++ ++ +++ ++ + 1:50 ++ ++ + ++ ++ + 1:100 ++ ++ ++ ++ + + 1:500 ++ ++ ++ ++ ++ - 1:1000 + + + + + -

Antiserum hasil purifikasi

Bufer - - - - - - Kontrol negatif - - - - - - 1:10 ++ +++ +++ +++ ++ + 1:50 ++ ++ ++ ++ ++ - 1:100 ++ ++ ++ ++ + + 1:500 ++ ++ ++ ++ ++ - 1:1000 + ++ ++ ++ + - - Reaksi negatif

+++ Reaksi kuat bila nilai absorbansi ELISA (NAE) ≥ 6 kali NAE kontrol negatif

++ Reaksi sedang bila NAE 4 – 5.99 kali NAE kontrol negatif + a Reaksi lemah bila NAE 2 – 3.99 kali NAE kontrol negatif

Uji serologi dengan I-ELISA menunjukkan sensitivitas antiserum yang cukup tinggi dalam mendeteksi SCSMV, baik dalam bentuk antiserum kasar maupun antiserum hasil purifikasi. Reaksi positif ditunjukkan oleh antigen dari daun terinfeksi SCSMV dengan pengenceran sampai 1:1000 dan pengenceran antiserum 1:1000 (Tabel 5). Pengenceran antigen yang optimal dan efisien untuk deteksi SCSMV dalam penelitian ini adalah 1:10 dengan pengenceran antiserum 1:750. Pengenceran antiserum 1:100 masih menunjukkan nilai absorbansi ELISA (NAE)

yang relatif tinggi pada kontrol negatif sehingga penggunaan antiserum pengenceran 1:100 tidak disarankan (Lampiran 9 dan 10). Tingginya NAE pada tanaman kontrol dengan menggunakan antiserum poliklonal rekombinan juga dilaporkan untuk Prune dwarf virus dan Blackeye cowpea mosaic virus (Abaou-Jaudah et al. 2004, Koohapitagtam dan Nualsri 2013). NAE kontrol negatif yang tinggi menunjukkan adanya reaksi silang dengan tanaman sehat yang dapat dikurangi dengan meningkatkan pengenceran antiserum dan modifikasi pada bufer coating (Abaou-Jaudah et al. 2004).

Proses purifikasi dapat meningkatkan sensitivitas antiserum (Temaja 2008) dan dapat pula menurunkan sensitivas antiserum dalam mendeteksi virus (Abou-Jawdah et al. 2004). Deteksi SCSMV dengan I-ELISA menggunakan antiserum kasar pada penelitian ini menunjukkan sensitivitas yang tidak jauh berbeda dengan antiserum hasil purifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa antiserum SCSMV yang diproduksi dapat efektif dalam mendeteksi SCSMV dengan baik walaupun tanpa melalui proses purifikasi.

Antiserum poliklonal SCSMV yang diproduksi juga menunjukkan selektivitas yang cukup baik yang ditandai dengan tidak terdeteksinya SCMV. Hal ini ditunjukkan dengan NAE sampel SCMV yang tidak mencapai 2x NAE kontrol negatif (Tabel 6). Selektifitas antiserum SCSMV terhadap SCMV ini menjadi penting karena SCMV juga menyebabkan gejala mosaik pada tanaman tebu yang mirip dengan gejala yang disebabkan oleh SCSMV.

Tabel 6 Selektivitas antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCMVa Pengenceran

antiserum Bufer

Nilai absorbansi ELISA Kontrol negatif (Sehat) Antigen SCSMV 1:10 Antigen SCMV 1:10 1 : 100 0.173 0.195 / - 0.726 / + 0.253 / - 1 : 250 0.148 0.172 / - 0.629 / + 0.236 / - 1 : 500 0.136 0.145 / - 0.484 / + 0.223 / - 1 : 750 0.137 0.144 / - 0.419 / + 0.215 / - 1 : 1000 0.131 0.138 / - 0.367 / + 0.206 / - 1 : 2000 0.135 0.134 / - 0.294 / + 0.188 / - a

Nilai absorbansi ELISA (NAE) yang dihitung pada 45 menit setelah penambahan substrat pewarnaan. Uji dinyatakan positif (+) jika NAE sampel uji 2x NAE kontrol negatif (tanaman sehat). Uji serologi dengan metode DBIA lebih sensitif dibandingkan dengan deteksi I-ELISA. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya perubahan warna sampel menjadi ungu hingga pengenceran antiserum 1:10 000 (Gambar 9). Namun pada deteksi DBIA, pengenceran antiserum 1:100 hingga 1:1000 menunjukkan terjadinya perubahan warna menjadi ungu pada tanaman sehat (kontrol negatif). Perubahan warna juga terjadi pada sampel daun tebu yang hanya terinfeksi SCMV hingga pengenceran antiserum 1:1000 dengan intensitas warna ungu yang sangat rendah jika dibandingkan dengan sampel kontrol positif SCSMV. Pengenceran

antiserum yang optimal untuk mendeteksi SCSMV dengan metode DBIA adalah 1:2000 ≤ x ≤1:10 000 yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna

Gambar 9 Uji sensitivitas dan selektivitas antiserum SCSMV dengan deteksi serologi DBIA pada pengenceran antiserum 1:100 – 1:10 000 dan penggunaan SCMV sebagai pembanding

Berdasarkan ketiga uji serologi menggunakan antiserum rekombinan SCSMV menunjukkan bahwa DBIA memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi, namun terdapat peluang terjadinya reaksi silang pada pengenceran antiserum yang rendah. Untuk mengurangi terjadinya reaksi silang pada tanaman sehat tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan pengenceran antiserum dengan tetap memberikan reaksi positif pada kontrol positif. Kelebihan penggunaan deteksi dengan DBIA dibandingkan dengan ELISA adalah waktu yang dibutuhkan lebih singkat, tingkat sensitifitas lebih tinggi, biaya yang lebih murah, dan jumlah bahan kimia yang diperlukan lebih sedikit (Hull 2014).

Pembahasan Umum

Sugarcane streak mosaic virus yang menginfeksi tebu di Indonesia menunjukkan penyebaran penyakit yang sangat cepat. Selain penyebaran yang

Dokumen terkait