• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Rekonstruksi Filogeni

V. PEMBAHASAN

A. Kongruensi Identifikasi Morfologi dan Molekuler

Ukuran tubuh sampel berudu O. hosii dan L. microdiscus sekitar 1-2 kali lebih kecil daripada berudu L. hasseltii pada tahap perkembangan yang sama. Perbedaan ukuran tubuh tersebut diduga sebagai akibat dari perbedaan peletakan telur oleh induk betina. Pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk meletakkan telur di genangan air di lantai hutan, katak betina L. hasseltii dapat meletakkan telur pada tempat lain seperti di tepi sungai berarus lambat atau tenang. Fenomena seperti ini juga terlihat pada jenis katak pohon (Kusrini et al. 2009). Berudu yang hidup pada kolam temporer, misal genangan air, akan lebih cepat tumbuh dan bermetamorfosis dibandingkan dengan berudu yang hidup pada kolam permanen, misal sungai. Hal ini dikarenakan kolam temporer memiliki kelebihan dalam hal potensi pakan (Wassersug 1975; Wilbur 1987) dengan lebih sedikit jumlah predator (Brendonck et al. 2002; Petranka & Kennedy 1999). Sifat sementara dari kolam menguntungkan dari aspek tersebut namun mengharuskan berudu untuk bermetamorfosis pada waktu tertentu.

Formula geligi O. hosii berbeda satu baris pada geligi atas dengan L. hasseltii. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa pada berudu terdapat variasi formula geligi dalam satu spesies yang sama. Formula geligi berudu sempurna pada awal fase larva, namun proporsi relatif formula geligi dan oral disc terus berubah selama metamorfosis. Pada berudu Scaphiopus dan kelompok Ranid jumlah baris geligi bertambah selama metamorfosis (Gosner 1960).

Genus Philautus merupakan salah satu Anura yang seluruh fase metamorfosisnya terjadi di dalam telur sehingga pada akhir metamorfosis telur menetaskan katak muda (Inger 1996). Metamorfosis pada spesies P. vittiger diketahui memiliki berudu yang hidup bebas di dalam air (Kusrini et al. 2008), sehingga pengelompokkan spesies ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk memastikan posisinya dalam taksonomi Anura.

Pada awal perkembangannya, data molekuler hanya digunakan oleh para taksonomis sebagai alat untuk mempelajari kekerabatan antar taksa dan proses evolusi sebuah kelompok organisme. Namun, saat ini data molekuler telah

berkembang penggunaannya, salah satunya dalam proses penentuan spesies oleh para ekologis untuk mempelajari keanekaragaman hayati suatu wilayah tertentu. Data molekuler dapat dengan cepat dan akurat dalam penentuan spesies, terutama pada spesies kriptik, spesies sibling dan spesies dengan variasi morfologi akibat pengaruh lingkungan. Sumber data molekuler tidak hanya dapat diperoleh dari darah atau jaringan otot saja, melainkan juga dari rambut, feses atau urin. Hal ini merupakan keuntungan lain dari data molekuler terutama pada kegiatan penelitian dengan target hewan yang jarang dan/atau sulit ditemukan secara langsung. Data molekuler merupakan data dasar yang tidak subjektif dan dapat dianalisis kembali.

Data molekuler mempunyai beberapa tantangan dalam penerapannya. Pertama, memerlukan keahlian khusus terutama pada teknik laboratorium molekuler, di mana tidak semua peneliti mampu melakukannya. Kedua, biaya relatif mahal bagi negara berkembang seperti Indonesia, tidak hanya peralatan mesin PCR dan sekuensing tetapi juga bahan kimia dan komponennya. Ketiga, jumlah basa minimal yang digunakan pada saat identifikasi spesies (>500 pb) sulit dicapai pada sampel bangkai atau DNA terdegradasi.

Hasil yang diperoleh dari data molekuler masih lebih besar bila dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan jika identifikasi spesies dilakukan dengan pendekatan ini. Selain identifikasi spesies, data molekuler juga dapat digunakan untuk mengetahui biodiversitas masa lampau (Paleoecology), mempelajari interaksi inter-spesies, mempelajari evolusi dan kekerabatan antar taksa, serta mengetahui jenis pakan satwa. Karakter morfologi kadang sudah tidak mampu lagi untuk menggambarkan proses evolusi suatu organisme karena karakter yang sangat kompleks. Selain itu, sering terjadi tentangan pada hubungan filogeni antara taksa berdasarkan karakter morfologi karena perbedaan pembobotan karakter dalam analisis. Alasan-alasan inilah yang menjadi dasar mengapa pendekatan molekuler perlu digunakan sebagai pelengkap dan penguat data morfologi.

B. Filogenetik

Dukungan nilai bootstrap yang rendah, ketidakstabilan topologi dapat terjadi karena gen yang digunakan dalam analisis hanya satu gen saja dan

berukuran lebih pendek (parsial). Cao et al. (1994) telah menunjukkan bahwa set data gen yang besar, seperti serangkaian gen-gen yang berurutan memberikan hasil analisis yang lebih kuat dibandingkan dengan analisis yang didasarkan pada gen tunggal.

Hasil analisis molekular sebelumnya mendukung bahwa kelompok Rhacophorid merupakan kelompok monofiletik (Li et al. 2008; Yu et al. 2009). Namun berdasarkan data morfologi, Channing (1989) menyatakan bahwa Rhacophorinae (Rhacophorus dan Polypedates) merupakan kelompok yang polifiletik. Hubungan yang dekat antara Rhacophorus dan Polypedates didukung dengan baik pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya baik berdasarkan morfologi (Wilkinson dan Drewes 2000) maupun molekular (Wilkinson et al. 2002; Frost et al. 2006). Dubois (1986) menggabungkan genus Polypedates ke dalam genus Rhacophorus karena menganggap karakter morfologi kedua genus tersebut tidak cukup berbeda untuk dipisahkan. Sedangkan Duellman (1993) dan Frost et al. (2000) memisahkan kedua genus tersebut berdasarkan karakter morfologi yang dipakai oleh Channing (1989) karena Rhacophorus dan Polypedates bukan merupakan sister group. Berdasarkan uraian tersebut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hubungan kekerabatan antara kedua genus tersebut dalam kelompok Rhacophorid.

Rekonstruksi filogeni berdasarkan morfologi menunjukkan bahwa Ranid dan Dicroglossid dapat membentuk cabang parafiletik (Ford and Cannatella, 1993). Hasil tersebut juga didukung oleh Haas (2003) dengan menggunakan seluruh karakter morfologi larva Anura. Namun, hasil rekonstruksi filogeni dengan mengeluarkan 4 karakter morfometri dari analisis menghasilkan percabangan monofiletik pada kedua taksa tersebut. Optimasi karakter yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 3 karakter synapomorfi pada Ranidae, yaitu firmisterny, adanya basihyal dan fenestrae parietals. Hubungan monofiletik kelompok ini didukung dengan kuat berdasarkan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Kelompok Dicroglossid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik berdasarkan data morfologi (Anderson 1871; Emerson and Berrigan 1993) dan data DNA mitokondria (Emerson et al. 2000; Evans et al. 2003; Frost et al. 2006).

Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan penyebaran yang sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut terlalu sulit untuk dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F. limnocharis (Dubois, 1984, 1987; Inger and Voris, 2001). Veith et al. (2001) berhasil mendeskripsikan satu spesies kriptik yang dideteksi oleh Toda et al. (1998) sebagai spesies baru, yaitu F. iskandari, berdasarkan data sekuen Allozyme dan DNA mitokondria. Data molekuler tersebut menunjukkan bahwa tidak ada aliran gen antara F. iskandari dan F. limnocharis.

Fejervarya iskandari dideskripsi pertama kali di Bandung dan Sukabumi, Jawa Barat namun diperkirakan spesies ini menyebar lebih luas di Pulau Jawa (Iskandar dan Mumpuni 2004) sehingga sangat mungkin jika sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berudu F. iskandari.

Bufonid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik oleh bootstrap pada penelitian ini. Hubungan filogenetik tersebut juga dihasilkan oleh Liu et al. (2000) dan Pramuk et al. (2001) berdasarkan data sekuen DNA mitokondria dan Haas (2003) berdasarkan data morfologi larva. Posisi spesies P. aspera pada topologi pohon filogeni berdasarkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA berbeda dengan posisi spesies tersebut pada topologi pohon berdasarkan gen 12S-16S rRNA. Phrynoidis aspera dipindahkan dari sinonimnya, yaitu Bufo asper berdasarkan data DNA inti dan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa B. asper berhubungan lebih dekat dengan genus Pedostibes dibandingkan dengan spesies Bufo lainnya. Frost et al. (2006) memasukkan B. asper ke dalam genus Phrynoidis juga berdasarkan pada karakter sinapomorfi yang dimiliki oleh genus Phrynoidis yang menguatkan percabangan kelompok B. asper.

Dokumen terkait