• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1 Skema Proses Pembuatan Tepung Ikan Lokal ( LIPI, 2000)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Pellet Broiler Finisher

Perbedaan warna terlihat antara pellet pada perlakuan R1, R2 dan R3. Warna pellet perlakuan R1 terlihat lebih coklat gelap dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Warna pellet perlakuan R2 terlihat lebih gelap dibandingkan R3, dengan demikian warna pellet R3 lebih terang dibandingkan R1 dan R2, hal ini disebabkan bahwa semakin tinggi level CGM yang digunakan maka warna pellet semakin coklat terang. Warna pellet yang semakin terang disebabkan CGM memiliki warna lebih terang (kuning) karena mengandung xantophyll (Indartono, 2003b). Perbedaan warna antara pellet penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Keterangan : R1 = Ransum mengandung 0% CGM dan 8% tepung ikan R2 = Ransum mengandung 4% CGM dan 4% tepung ikan R3 = Ransum mengandung 8% CGM dan 0% tepung ikan Gambar 6. Penampilan Fisik Pellet Broiler Finisher

Bentuk fisik pellet perlakuan R1 lebih kokoh dibandingkan R2 saat dipegang dengan tangan, dengan demikian tekstur pellet R3 merupakan pellet yang paling mudah rapuh dibandingkan R1 dan R2. Tekstur pellet yang dihasilkan semakin mudah rapuh seiring dengan taraf penggunaan CGM dalam ransum yang semakin tinggi. Tekstur pellet ditentukan oleh komponen pati, lemak, dan serat serta kondisi bahan meliputi kandungan air bahan, ukuran partikel, dan suhu (Balagopalan et al., 1988).

Pembuatan pellet broiler finisher dengan substitusi tepung ikan dengan CGM dibuat dengan menggunakan sistem produksi kontinu. Disamping pengujian sifat fisik, dilakukan juga analisis proksimat terhadap pellet penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kandungan nutr isi pellet penelitian hasil analisis proksimat yang dibandingkan dengan hasil perhitungan. Kandungan nutrisi pellet penelitian hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kandungan Zat Nutrisi Pellet Broiler Finisher Hasil Analisis Proksimat

Perlakuan Zat Nutrisi

R1 R2 R3

Energi Bruto (kkal/kg)2 4120 4095 4038

Protein Kasar (%)1 21,13 22,45 22,06

Serat Kasar (%)1 3,27 3,14 2,98

Kalsium (%)1 0,71 0,55 0,57 Sumber : 1. Hasil Analisis Laboratorium Pusat Studi Ilmu Hayati PAU IPB (2005)

2. Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2005)

Keterangan : R1 = Ransum dengan 0% CGM + 8% tepung ikan R2 = Ransum dengan 4% CGM + 4% tepung ikan R3 = Ransum dengan 8% CGM + 0% tepung ikan

Tabel 8 memperlihatkan adanya perbedaan kandungan zat nutrisi pellet penelitian hasil analisis proksimat dengan hasil perhitungan sebelum penelitian (Tabel 6). Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan kandunga n zat nutrisi dalam bahan pakan yang digunakan dengan bahan pakan pada literatur, baik sumber energi, protein, serat, asam amino atau mineral.

Kandungan protein kasar pellet penelitian hasil analisis proksimat pada perlakuan R1, R2, dan R3 berturut -turut adalah 21,13%, 22,45%, dan 22,06%. Kandungan protein kasar hasil analisis proksimat lebih tinggi dibandingkan kandungan protein kasar hasil perhitungan (Tabel 6), hal ini diduga karena jenis bahan pakan dengan kandungan nutrisi yang digunakan dalam ransum berbeda dengan yang tercantum pada literatur. Ransum dengan substitusi tepung ikan dengan CGM menghasilkan protein kasar yang masih berada dalam batas toleransi kebutuhan protein kasar untuk broiler finisher pada Scott et al. (1982).

Kandungan serat kasar hasil analisis proksimat untuk pellet perlakuan R1, R2, dan R3 berturut-turut adalah 3,27%, 3,14%, dan 2,98%, berdasarkan hasil analisis proksimat maka kandungan serat kasar dalam ransum masih di bawah batas toleransi kebutuhan dalam SNI 01-3931-1995 (Direktorat Bina Produksi, 1997), kebutuhan serat kasar untuk broiler finisher maksimum 5,5%. Kandungan serat kasar yang rendah ini berpengaruh positif bagi ternak, karena meningkatkan kecernaan.

Waktu Proses Produksi

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu proses produksi (menit). Waktu proses produksi 50 kg pellet pada penelitian ini adalah R1: 31,00 menit, R2: 31,00 menit dan R3: 26,33 menit. R1 (31,00) merupakan waktu proses produksi terlama dan yang tercepat adalah R3 (26,33). Tercantum pada Tabel 9 data yang didapat pada setiap perlakuan mengalami penurunan, dengan demikian substitusi tepung ikan dengan CGM menghasilkan waktu produksi yang semakin cepat pada setiap perlakuan. Hasil pengamatan waktu proses produksi dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Hasil Pengamatan Waktu Proses Produksi Pellet Broiler Finisher (menit) Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 1 26,00 36,00 28,00 2 30,00 28,00 25,00 3 37,00 29,00 26,00 Rataan 31,00± 5,56B 31,00 ± 4,35B 26,33 ± 1,52A

Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) R1 = Ransum dengan 0% CGM + 8% tepung ikan

R2 = Ransum dengan 4% CGM + 4% tepung ikan R3 = Ransum dengan 8% CGM + 0% tepung ikan

Substitusi tepung ikan dengan CGM berpengaruh terhadap waktu proses produksi pellet pada sistem produksi kontinu dan pada substitusi tepung ikan dengan

CGM pada taraf 8% menghasilkan waktu proses produksi yang lebih cepat, hal ini disebabkan ukuran partikel CGM (0,72 mm) lebih halus dibandingkan dengan ukuran pertikel tepung ikan, sehingga pergerakan bahan pada perlakuan R3 lebih lancar karena memiliki waktu proses produksi paling cepat.

Daya Ambang Bahan

Dari uji sidik ragam diketahui bahwa daya ambang dari ketiga perlakuan dalam penelitian ini tidak berbeda nyata. Daya ambang diukur dengan menjatuhkan bahan pada ketinggian 3 meter dari lantai, kemudian diukur lamanya waktu (detik) yang diperlukan untuk mencapai lantai. Hasil pengamatan daya ambang mash adonan pellet dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Hasil Pengamatan Daya Ambang Ransum Broiler Finisher yang Masih Berbentuk Mash (m/detik)

Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 1 3,33 4,28 3,53 2 3,75 3,75 3,75 3 4,28 4,28 4,28 Rataan 3,78 ± 0,47 4,10 ± 0,30 3,85 ± 0,38

Keerangan : R1 = Ransum dengan 0% CGM + 8% tepung ikan R2 = Ransum dengan 4% CGM + 4% tepung ikan R3 = Ransum dengan 8% CGM + 0% tepung ikan

Data yang diperoleh pada pengukuran daya ambang mash adonan menunjukkan substitusi CGM dengan tepung ikan dalam arus prosesnya sebelum pelleting dan setelah menjadi pellet pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pa da setiap perlakuan, dengan demikian pergerakan bahan pada conveyor terhadap semua perlakuan sama.

Ketepatan pengukuran sangat berpegaruh pada hasil pengukuran, karena alat yang digunakan masih relatif sederhana. Metode yang sederhana ini diharapkan dapat dilakukan secara praktis di lapangan. Ketepatan pengukuran daya ambang juga

dipengaruhi oleh kecepatan angin dalam ruangan, sebaiknya pengukuran daya ambang dilakukan dalam ruang tertutup.

Ukuran Partikel

Tabel 11 menunjukkan pengaruh substitusi tepung ikan dengan CGM sangat nyata terhadap ukuran partikel (P<0,01). R1 (6,66 mm) merupakan ukuran partikel terbesar dan yang terkecil adalah R3 (5,60 mm). Penambahan CGM pada setiap perlakuan mengalami penurunan ukuran partikel, hal ini diduga karena ukuran partikel CGM lebih kecil (0,72 mm) dari pada ukuran partikel tepung ikan (1,29 mm), sehingga akan mempengaruhi ukuran partikel pakan (pellet). Ukuran partikel pellet dipengaruhi oleh kehalusan bahan pakan yang digunakan dalam formulasi ransum (McEllhiney, 1994). Secara keseluruhan ukuran partikel R1, R2 dan R3 masih termasuk kasar , nilai rataan kadar kehalusan tertinggi adalah R1 (5,99) dan terendah adalah R3 (5,75). Hasil kadar kehalusan pelet penelitian pada setiap perlakuan termasuk dalam kategori kasar (coarse) hal ini sesuai dengan kebutuhan ukuran partikel untuk ayam broiler (Pfost, 1976). Hasil analisis dari pengukuran ukuran partikel pellet tercantum pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Hasil Pengujian Ukuran Partikel Pellet Broiler Finisher (mm) Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 1 6,66 5,60 5,56 2 6,66 5,53 5,72 3 6,66 5,80 5,53 Rataan 6,66 ± 0,00B 5,64 ± 0,14A 5,60 ± 0,10A

Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) R1 = Ransum dengan 0% CGM + 8% tepung ikan

R2 = Ransum dengan 4% CGM + 4% tepung ikan R3 = Ransum dengan 8% CGM + 0% tepung ikan

Berat Jenis Pellet

Hasil sidik ragam substitusi tepung ikan dengan CGM pada penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (p<0,01) terhadap berat jenis. Ransum perlakuan R1 (1,36 ton/m3) mempunyai kisaran nilai rataan berat jenis tertinggi,dan

R2 (1,11 ton/m3) mempunyai nilai rataan berat jenis terkecil. Hasil analisis dari pengukuran berat jenis pellet tercantum pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan Hasil Pengujian Berat Jenis Pellet Broiler Finisher (ton/m3) Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 1 1,36 1,30 1,11 2 1,30 1,30 1,11 3 1,42 1,25 1,11 Rataan 1,36± 0,06A 1,28 ± 0.03A 1,11± 0,00B

Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01) R1 = Ransum dengan 0% CGM + 8% tepung ikan

R2 = Ransum dengan 4% CGM + 4% tepung ikan R3 = Ransum dengan 8% CGM + 0% tepung ikan

Penambahan CGM pada setiap ransum penelitian ini memberikan perbedaan yang sangat nyata terhadap berat jenis. Perbedaan berat jenis ini diduga karena ukuran dan bentuk butiran tiap pellet yang berbeda, sehingga volume antar butiran dalam wadah juga berbeda. Ruang antar partikel didalam pellet juga dapat menyebabkan perbedaan berat jenis ini. Pellet mempunyai berat jenis yang kecil jika ruang antar partikelnya besar. Penambahan CGM pada setiap perlakuan mengalami penurunan berat jenis, hal ini diduga karena ukuran partikel CGM lebih kecil (0,72 mm) dari pada ukuran partikel tepung ikan (1,29 mm).

Hasil pengamatan kadar air pellet pada penelitian ini berkisar antara 10,53% (R1) sampai 14,33% (R3) (Angraini, 2005). Meningkatnya kadar air mempengaruhi penurunan berat jenis.

Dokumen terkait