• Tidak ada hasil yang ditemukan

EERP EEP

VIII. PEMBAHASAN UMUM

Kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara fungsional, terutama daging buah dan minyak kelapa. Daging buah dan minyak kelapa mengandung hampir 50% asam laurat, yang mempunyai aktivitas sebagai antimikrob terhadap bakteri, jamur dan virus (Kabara 1978; Quattara et al. 1995; Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993;Kabara 2000; Bergsson et al. 2002). Menurut Fife (2005), penggunaan minyak kelapa untuk pengobatan secara tradisional dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan seperti penyakit kulit, gangguan saluran pencernaan, penyakit kelamin dan influenza.

Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak lama sudah menggunakan minyak kelapa (minyak pliek u) dan ampasnya (pliek u) yang diperoleh dari pengolahan daging buah kelapa dengan cara fermentasi secara tradisional (Bakar et al. 1985). Pada awalnya minyak pliek u dan pliek u dihasilkan dari proses fermentasi tidak disengaja selama beberapa hari. Menurut masyarakat NAD, produk yang dihasilkan tersebut terkait dengan faktor penyimpanan, dimana panen buah kelapa yang berlimpah hanya mempunyai masa simpan yang tidak terlalu lama (paling lama dua bulan). Sampai sekarang produk tersebut masih diproduksi dengan cara yang sama dan tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat NAD sebagai makanan maupun obat. Fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan tertua setelah metode pengeringan, dimana produk yang dihasilkan bisa lebih baik dari bahan asalnya, bahkan menghasilkan senyawa aktif yang bersifat antimikrob (Battcock dan Azam-Ali 1995).

Minyak pliek u dan pliek u dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa secara tradisional, memungkinkan di dalam produk tersebut mengandung senyawa antimikrob yang bisa berasal dari bahan asal atau karena proses fermentasi. Informasi dari hasil kajian aktivitas antimikrob untuk mengetahui keberadaan dan pengaruh senyawa antimikrob yang berasal dari makanan tersebut dapat melengkapi informasi mengenai makanan tradisional Aceh (minyak pliek u dan pliek u) dan dapat mendukung manfaat produk tersebut sebagai makanan kesehatan serta berpeluang menghasilkan senyawa antimikrob sebagai produk farmasi yang dapat digunakan sebagai pencegah dan terapi berbagai penyakit melalui uji yang lebih spesifik.

Deteksi aktivitas antimikrob minyak pliek u dan pliek u diawali dengan melakukan ekstraksi terhadap pliek u, karena pengujian secara langsung dengan meletakkan pliek u diatas media agar yang mengandung mikrob uji hanya ada sedikit

hambatan pertumbuhan mikrob uji (<2 mm) (data tidak ditampilkan). Deteksi aktivitas antimikrob dari minyak pliek u dan ekstrak kasar dari pliek u menunjukkan hanya

pliek u yang diekstrak dengan etanol (96%) (EEP) yang secara sekaligus aktif terhadap bakteri dan Candida albicans. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) sangat aktif menghambat semua mikrob uji (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,

Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas fluorescens dan C. albicans).

Ekstrak kasar heksan dari pliek u (EHP) dan minyeuk brok (MB) hanya mempunyai aktivitas antimikrob terhadap C. albicans sedangkan ekstrak etanol (EERP) dari residu pliek u (setelah diekstrak dengan heksan) hanya mempunyai aktivitas antimikrob terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Minyak pliek u

(minyeuk simplah) digolongkan tidak aktif sebagai antimikrob. Perbedaan aktivitas MS, MB, EHP, EERP dan EEP dapat disebabkan perbedaan tahap proses fermentasi pada pengolahan daging buah kelapa menjadi produk minyak pliek u dan pliek u. Aktivitas antimikrob yang luas diperlihatkan oleh ekstrak dari pliek u, mungkin disebabkan proses fermentasi yang sudah sempurna.

Polaritas ekstrak mempengaruhi aktivitasnya sebagai antimikrob. Tidak ada aktivitas antibakteri EHP mungkin disebabkan komponen yang terekstrak lebih banyak didominasi oleh trigliserida minyak dan asam lemak yang tidak aktif terhadap bakteri dan bahkan dapat melindungi bakteri dari senyawa antimikrob. Akibatnya ekstrak heksan tidak mampu berdifusi dan menghambat pertumbuhan bakteri serta hanya aktif sebagai antikandida. Lain halnya dengan EERP yang hanya aktif sebagai antibakteri, kemungkinan komponen yang terlarut lebih bersifat polar dan sangat aktif sebagai antibakteri. Monogliserida dan asam lemak rantai pendek dan sedang (C8-C14) sangat aktif sebagai antimikrob.

Polaritas senyawa antimikrob merupakan sifat fisik yang penting dari antimikrob, karena polaritas optimum senyawa antimikrob akan memberikan aktivitas antimikrob yang maksimum. Adanya perbedaan kepolaran antar ekstrak uji memberikan aktivitas antimikrob yang berbeda dan hasil yang bervariasi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan keseimbangan hidrofilik dan lipofilik antimikrob (Kanazawa et al. 1995, Hilmarsson et al. 2005). Sifat hidrofilik antimikrob dapat menjamin senyawa tersebut larut dalam air dimana air merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrob, namun senyawa yang aktif dan bekerja pada membran sel yang bersifat hidrofobik memerlukan sifat lipofilik,

sehingga mutlak keseimbangan hidrofilik-lipofilik antimikrob sangat diperlukan, agar aktivitasnya sebagai antimikrob lebih optimal (Branen 1993).

Aktivitas antibakteri yang diperlihatkan oleh EEP berbeda dengan aktivitas EERP. Hal tersebut terkait dengan komponen yang terkandung di dalam kedua ekstrak tersebut. Ada komponen yang hilang dalam EERP berdasarkan metode bioautografi, kemungkinan komponen yang tidak terdeteksi tersebut sangat berperan sebagai antikandida. Menurut Kabara (2000); Bergsson et al. (2001), bahwa asam laurat

dengan konsentrasi yang kecil sekalipun mampu menghambat pertumbuhan C.

albicans, namun asam kaprat lebih cepat dan efektif sebagai antikandida. Asam lemak rantai pendek dan sedang serta monogliseridanya mempunyai aktivitas sebagai antibakteri sangat larut dalam fase air (Kabara 2000).

Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) hanya diekstrak dengan etanol mungkin juga dapat mengekstrak komponen yang aktif terhadap fungi, walaupun dalam jumlah yang sedikit (terlihat dari bentuk fisik rendemen yang dihasilkan), sehingga mempunyai aktivitas sebagai antikandida. Aktivitasnya sebagai antikandida sedikit lebih kecil dibandingkan aktivitas yang diperlihatkan ekstrak kasar EHP. Tingginya konsentrasi komponen asam laurat dalam EEP menyebabkan ekstrak ini memiliki aktivitas yang sama dengan EHP sebagai antikandida, sedangkan dalam EERP sangat sedikit (cenderung tidak berpengaruh). Aktivitas antifungi hanya disebabkan oleh asam laurat dan monogliseridanya (Řiháková et al. 2001).

Deteksi aktivitas antimikrob hanya dilakukan pada ekstrak kasar dan tidak ada proses purifikasi, sehingga faktor kombinasi beberapa senyawa antimikrob berpengaruh terhadap aktivitas antimikrob. Adanya kombinasi kerja senyawa antimikrob dapat dideteksi dengan metode bioautografi, menunjukkan bahwa EEP menghasilkan bercak zona hambatan lebih banyak (empat bercak) dibandingkan EERP (tiga bercak), sehingga esktrak kasar EEP lebih aktif sebagai antimikrob. Adanya sinergisme antara senyawa antimikrob (kemungkinan beberapa asam lemak dan derivatnya) menyebabkan aktivitas antimikrob menjadi lebih baik, misalnya gabungan dua monogliserida seperti monokaprin dengan monolaurin sangat aktif terhadap Listeria monocytogenes (Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993).

Komponen yang terdapat dalam EEP didominasi asam lemak dan derivat esternya yang terdiri golongan asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%) dan alkohol (2.81%), namun komponen utama dalam EERP didominasi oleh derivat asam lemak yaitu golongan alkohol (45.13%),

kemudian diikuti oleh golongan ester (14.89%), asam karboksilat (4.25%) dan komponen lain (35.53%).

Adanya kkomponen asam lemak dan derivat yang hampir sama antara EEP dengan EERP mungkin berpengaruh pada kesamaan aktivitas antibakteri dari kedua ekstrak tersebut sebagai antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, walaupun di dalam EERP komponen asam laurat sedikit (0.85%) dan asam laurat esternya tidak ada dibandingkan dalam EEP dimana kandungan asam lauratnya cukup besar (10.76%) dan asam laurat esternya (8.05%). Aktivitas EERP mungkin bisa disebabkan oleh komponen asam laurat kelompok alkohol yang sangat besar (31.47%). Adanya perbedaan kelompok polar dari alkohol dan asam lemak (kelompok hidroksil versus kelompok karboksil) menghasilkan aktivitas antimikrob yang bervariasi (Hilmarsson et al. 2005)

Mengingat pliek u tidak terlepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh dan sering dikomsumsi oleh masyarakat Aceh paling sedikit sekali seminggu dalam keadaan mentah maupun sebagai bumbu masak, maka kajian toksisitas awal pada EEP dapat memberi tambahan informasi mengenai produk makanan fermentasi tradisional ini. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) pada konsentrasi 3.36 mg/ml tidak toksik berdasarkan Artemia salina L bioassay. Suatu ekstrak dikatakan toksik jika memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang mampu membunuh 50% larva A. Salina L) <1000 µg/ml untuk ekstrak kasar atau <200 µg/ml untuk ekstrak murni setelah waktu kontak 24 jam (Meyer et al. 1982).

Konsentrasi 3.36 mg/ml masih berada pada rentang kisaran nilai MIC dan MMC antara 2.5-10 mg/ml dan 10-20 mg/ml terhadap mikrob uji (Staphylococcus aureus,

Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans). Rentang konsentrasi yang agak jauh bisa disebabkan perbedaan strain mikrob uji dan kepekaan masing-masing mikrob tidak sama terhadap satu jenis antimikrob. Terdapat perbedaan kepekaan antara dua bakteri Gram negatif (Helicobacter pylori dan Escherichia coli) setelah diberi perlakuan antimikrob lipid yang sama (Bergsson et al. 2002).

Pengujian lanjutan untuk mendukung penggunaan pliek u sebagai makanan kesehatan dan juga sebagai sumber antimikrob dilakukan dengan memberikan EEP secara oral pada mencit hanya dengan satu kali pemberian (acute treatment). Pengujian lanjut ini dilakukan untuk melihat toksisitas lanjutan dari EEP, yang mungkin pada uji awal tidak bisa mewakili pemakaian esktrak (EEP) pada hewan

besar. Penentuan toksisitas tahap awal suatu bahan yang diduga toksik terhadap konsentrasi moderat dan tinggi dapat dideteksi dengan bioassay menggunakan

Artemia salina L, dimana suatu senyawa yang toksik bisa menjadi tidak toksik apabila digunakan hewan coba yang lebih besar (Kiviranta et al. 2007).

Dosis EEP yang diberikan berdasarkan tiga dan enam kali konsentrasi LC50

(3.36 mg/ml) yaitu 10.08 mg/mencit (370 mg/kg bb) dan 20.16 mg/mencit (733 mg/kg bb) tidak mempengaruhi jumlah mikrob feses mencit. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan jumlah mikrob, namun terlihat sedikit penurunan jumlah pada pemberian EEP 6 x dosis LC50 yaitu 1.09 log cfu/g dibanding kontrol, sedangkan pemberian EEP 3 x dosis LC50 hanya menurunkan 0.1 log cfu/g feses. Penurunan jumlah mikrob > 1 log menunjukkan adanya aktivitas antimikrob. namun dosis 733 mg/kg berat bada mencit dapt menurunkan jumlah mikrob saluran pencernaan.

Kedua dosis EEP tersebut menyebabkan kerusakan ringan hingga sedang pada hati mencit, namun kerusakan tersebut juga terlihat pada mencit perlakuan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada ginjal mencit, dimana kerusakan ringan terjadi pada kontrol dan pemberian EEP. Hasil yang diperlihatkan pada uji toksisitas ini tidak bisa menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada organ hati dan ginjal disebabkan oleh EEP. EEP dari 370-733 mg/kg berat badan tidak toksik jika diberikan secara acute traetment dan mungkin komponen yang terdapat di dalam ekstrak kasar EEP tidak toksik terhadap tubuh.

Toksisitas ekstrak kasar EEP tidak terlihat pada hati dan ginjal, karena bisa dikatakan bahwa mungkin EEP yang diberikan secara oral terlebih dahulu akan berakumulasi dan larut dalam kandungan saluran pencernaan mencit. Menurut Kabara (2000), asam-asam lemak akan larut dalam saluran pencernaan, kemudian asam lemak dengan panjang rantai karbon pendek dan sedang beberapa saat akan diserap, berikatan dengan albumin dan dibawa langsung ke hati melalui vena porta. Dilain pihak asam lemak rantai panjang terlebih dahulu dibawa melalui sirkulasi limfatik dan sistemik dalam bentuk kilomikron, yang akhirnya akan sampai ke hati.

Asam-asam lemak dan monogliseridanya yang berasal dari trigliserida dengan panjang rantai karbon (MC6:0-MC12:0), yang diberikan dalam makanan ataupun secara intravenous tidak memperlihatkan toksisitas pada sistemik (Kabara 1978; Kabara 2000). Monolaurat (monolaurin) dan monokaprat (monokaprin) yang berasal dari lemak kelapa dan susu pada konsentrasi yang aktif terhadap bakteri dan virus dikelompokkan sebagai GRAS (generally recognized as safe), serta dinyatakan oleh

FDA (food and drug administration) sebagai senyawa antimikrob yang tidak toksik dan tidak berbahaya bagi tubuh. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa esktrak kasar EEP tidak toksik sekalipun pada dosis yang besar apabila diberikan dalam bentuk acute treatment .

Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) berpeluang sebagai produk farmasi yang bisa digunakan sebagai pencegah dan terapi infeksi, sehingga stabilitas EEP terhadap berbagai faktor sangat mempengaruhinya untuk aplikasi selanjutnya. Syarat jaminan yang diperlukan dalam mengembangkan bahan obat baru adalah efektifitasnya tetap baik (stabil) terhadap berbagai faktor luar dan dalam seperti faktor penyimpanan, suhu dan faktor fisika-kimia serta bahan pelarutnya. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kandungan bahan aktif, sifat sensorik, toksikologis dan aktivitasnya sebagai bahan obat (efek terapi) atau aplikasi lainnya (bahan pengawet) (Voight 1994).

Penentuan utama dan wajib dilakukan terhadap stabilitas bahan obat baru adalah berdasarkan dua faktor, pengaruh masa simpan dan suhu (Voigt 1994). Aktivitas antimikrob EEP dipengaruhi oleh berbagai suhu dan pemanasan, suhu dan penyimpanan serta pH. EEP stabil dan tetap aktif sebagai antimikrob pada suhu dan lama pemanasan 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, suhu dan lama penyimpanan pada suhu 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 bulan serta pH 3-11, namun tidak stabil pada suhu dan lama penyimpanan -20ºC (suhu freezer) selama 1-6 bulan. Pada penelitian ini EEP dikemas dengan kemasan berwarna gelap namun tidak kedap udara. Menurut Martindale (1982), minyak kelapa sebaiknya disimpan pada suhu 25ºC di dalam kemasan kedap udara berwarna gelap dan tertutup rapat serta terlindung dari cahaya. Selanjutnya Martindale (1982) juga menyebutkan bahwa minyak kelapa dapat disteril dengan mempertahankannya pada suhu 150oC selama satu jam dan tidak mempengaruhi komponen di dalam minyak.

Aplikasi EEP dalam susu dapat mendukung penggunaannya sebagai bahan pengawet makanan dan juga dapat dikembangkan sebagai antiinfeksi khususnya antimastitis melalui serangkaian penelitian lanjutan lainnya. Konsentrasi EEP 3.36 mg/ml dapat menurunkan jumlah S. aureus dan E. coli dalam susu yang diikubasi pada suhu 39oC (suhu tubuh sapi). Hasil penelitian yang telah dilakukan Nair et al. (2005) menunjukkan bahwa asam kaprilat dan monokaprilat di dalam susu steril

efektif membunuh lima mikrob patogen mastitis (Streptococcus agalactiae,

Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus dan

dilakukan oleh Wang dan Johnson (1992), dimana asam lemak dengan rantai karbon C12 dan C14 serta monolaurin tidak aktif terhadap L. monocytogenes di dalam susu, namun aktif di dalam broth Brain Heart Infusion.

Pada penelitian ini ekstrak digunakan adalah ekstrak kasar, tidak menggunakan ekstrak murni, sehingga kemungkinan aktivitas antimikrob disebabkan adanya kombinasi kerja dari komponen yang ada di dalam ekstrak kasar EEP. Hal ini juga didukung berdasarkan uji GC-MS, dimana komponen asam lemak dan derivatnya dengan panjang rantai karbon pendek hingga sedang lebih banyak terdapat dalam EEP. Aktivitas antimikrob asam lemak sangat dipengaruhi oleh panjang rantainya, aktivitasnya semakin berkurang apabila panjang rantainya bertambah, dimana asam lemak rantai sedang lebih besar aktivitasnya dibandingkan asam lemak rantai panjang (Wang dan Johnson 1992 dan Quattara et al. 1995). Adanya perbedaan kepekaan mikrob terhadap aktivitas antimikrob dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis antimikrob dan juga pengaruh permukaan luar mikrob. Selain itu kemungkinan dengan adanya sinergisme kerja antar beberapa antimikrob menyebabkan mikrob menjadi lebih peka.

Berdasarkan beberapa rangkaian penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil dimana EEP dapat dijadikan antimikrob yang berpotensi sebagai antiinfeksi atau aplikasinya dalam sistem pangan, namun masih harus melalui serangkaian penelitian lanjutan yang dapat mendukung aplikasi tersebut. Mengingat proses fermentasi untuk membuat pliek u tidak dalam keadaan asepsis sehingga kajian terhadap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u serta keamanan produk tersebut perlu dilakukan. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendeteksi mikrob yang berperan pada proses fermentasi berdasarkan tahap prosesnya.

IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pliek u dapat dijadikan sebagai sumber antimikrob melalui ekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% dan

heksan serta berpeluang sebagai makanan kesehatan. Pliek u yang diekstrak

menggunakan etanol 96% (EEP) aktif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan fungi (Candida albicans). Pliek u yang diekstrak dengan pelarut heksan (EHP) dan minyeuk brok hanya aktif menghambat C. albicans, sedangkan residu heksan yang diekstrak dengan pelarut etanol 96% (EERP) hanya aktif menghambat bakteri. Minyak pliek u (minyeuk simplah) tidak mempunyai aktivitas antimikrob.

Aktivitas antimikrob ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap bakteri dan fungi menghasilkan MIC dan MMC pada konsentrasi antara 2.5-10 mg/ml dan 10-20 mg/ml, serta tidak toksik pada konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) berdasarkan Artemia salina L Bioassay. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) tetap stabil dan aktif sebagai antimikrob setelah dipanaskan pada suhu 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, penyimpanan 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 enam bulan, serta tetap aktif pada pH 3-11. Penambahan EEP dalam susu pada konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) dapat menurunkan jumlah S. aureus dan E.coli.

Pemberian EEP dosis akut pada mencit secara oral dengan dosis tiga kali konsentrasi LC50 atau setara dengan 370 mg/kg bb dan enam kali konsentrasi LC50

atau setara dengan 733 mg/kg bb, tidak menurunkan jumlah mikrob feses dan juga tidak menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (tidak toksik pada dosis akut).

Senyawa antimikrob dalam EEP yang aktif berdasarkan bioautografi

memperlihatkan empat komponen aktif menghambat pertumbuhan S. aureus yang

memberikan nilai Rf (0.93, 0.71, 0.19 dan 0.10). Identifikasi komponen dalam EEP menghasilkan 22 komponen dengan jumlah 99.89 %. Kandungan utama dalam EEP adalah asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%) dan alkohol (2.81%).

9.2. Saran

Kajian lanjutan sangat perlu dilakukan terhadap isolasi dan identifikasi mikroorganisme mikrob yang berperan aktif pada proses fermentasi pada pembuatan

pliek u, sehingga pliek u dapat dibuat secara terkontrol dan dapat distandarisasi. Selanjutnya kajian EEP sangat perlu dilanjutkan pada efek terapinya serta peluangnya

sebagai antimikrob dalam makanan serta tahap isolasi, purifikasi dan identifikasi senyawa aktif yang terkandung didalamnya. Penelitian ini perlu juga dilanjutkan terhadap ekstrak heksan dari pliek u (EHP) yang berpeluang sebagai antifungi. Terkait dengan pengembangan makanan tradisional Aceh (pliek u) sebagai makanan kesehatan maka perlu dilakukan kajian terhadap keamanan dan mutu pliek u.

Dokumen terkait