• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan Umum

Logam berat nikel (Ni) masuk ke dalam tubuh ikan nila dapat melalui tiga cara yaitu secara langsung melalui insang dan kulit, dan secara tidak langsung melalui makanan pada proses rantai makanan. Karena sifatnya yang toksik, nikel akan mempengaruhi berbagai proses biokimia dan fisiologi pada jaringan tubuh ikan seperti konsumsi oksigen, sistem hematologi, sistem histopatologi, proses bioakumulasi, laju pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan nila. Pencemaran seperti logam berat atau logam masuk ke dalam tubuh melalui mulut, insang, dan kulit (Darmono 1995, diacu dalam Jalius 2008). Ikan yang hidup pada media yang tercemar oleh logam berat, secara alami akan mengakumulasi logam berat ke dalam tubuhnya, baik secara langsung melalui permukaan kulit dan insang maupun melalui makanannya (Anonim 2003, diacu dalam Marwati 2005).

59 Insang merupakan komponen utama bagi ikan unuk mengambil oksigen. Pada insang, nikel (Ni2+

Pada prinsipnya tingkat konsumsi oksigen merupakan gambaran dari tingkat metabolisme ikan. Kerusakan pada struktur insang telah menyebabkan efek yang signifikan terhadap tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan terhadap turunnya tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT seiring meningkatnya konsentrasi nikel di dalam perairan dan semakin lamanya waktu pemaparan ikan di dalam media yang tecemar oleh nikel. Pada awal pengamatan tingkat konsumsi oksigen rata-rata ikan nila GIFT pada ) bereaksi dengan lendir insang dan membentuk gumpalan lendir pada insang. Pada struktur insang ikan nila, nikel telah menyebabkan beberapa gangguan kerusakan yaitu epitel lifting, hiperplasia, hipertropi, dan mineralisasi. Kerusakan pada sel-sel epitel yang merupakan penyusun struktur lamela akan terganggunya fungsi lamela sebagai tempat pertukaran gas pada insang. Hal ini sesuai pernyataan Anonim (1985), bahwa kematian organisme khususnya ikan akibat logam berat dapat terjadi karena bereaksinya kation logam berat dengan oksigen dan fraksi tertentu dari lendir, sihingga menyebabkan insang diselimuti gumpalan lendir logam berat. Oksigen merupakan komponen yang utama bagi pernapasan, metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan serta untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Insang merupakan komponen penting dalam proses pertukaran gas (Harder 1975, diacu dalam Funjaya 2004). Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras dengan beberapa filamen insang didalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamela yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamela yang tersusun atas sel-sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi oleh epitelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Toksisitas logam-logam berat yaitu melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernafasan yakni sirkulasi dan ekskresi dari insang (Nicodemus 2003, diacu dalam Jalius 2008).

60

perlakuan 0,00 ppm (A), 1,39 ppm (B) dan 4,18 ppm (C) masing- masing 0,49 mg/gr, 0,46 mg O2/g Berat tubuh ikan, dan 0,47 mg O2

Karena sifatnya yang toksik, nikel yang masuk ke dalam darah melalui insang mulai menyebabkan beberapa gangguan pada kondisi hematologi ikan. Hasil penelitian menunjukan terjadinya perubahan beberapa parameter dari sistem hematologi ikan nila GIFT seperti turunnya persentase kadar hematokrit dan hemoglobin, turunnya jumlah eritrosit, dan meningkatnya jumlah leukosit. Turunnya persentase hematokrit sampai dibawah 22% dan turunnya jumlah eritrosit menunjukkan ikan sedang mengalami anemia, penurunan persentase hemoglobin menyebabkan ikut turunnya kemampuan darah dalam mentranspor oksigen, dan peningkatan terhadap jumlah leukosit merupakan indikator ikan nila sedang mengalami stres. Hal ini didukung oleh pernyataan Ganong (1983), bahwa gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organisme tersebut. Penyimpangan kondisi fisiologi ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya. Fungsi vital darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon, pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut

/g Berat Tubuh Ikan, dan turun menjadi masing- masing 0,43, 0,21, dan 0,14. Dua perlakuan dengan nikel masing-masing menunjukkan penurunan tingkat konsumsi oksigen yang signifikan, sedangkan pada perlakuan tanpa nikel (kontrol) perubahan tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT relatif stabil. Menurut Palar (2004), organisme perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat akan mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya, hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang sehingga insang diseliputi oleh gumpalan lendir dari logam berat yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana mestinya . Hubungan linear antara jumlah oksigen yang terlarut dalam air dan tingkat kemampuan konsumsi oksigen sebagaimana yang dinyatakan oleh Evans dan Chaiborne (2005) tidak berpengaruh terhadap penelitian ini karena kelarutan oksigen dalam air dalam media stabil pada kisaran 5,7 – 7,02 ppm.

61 oksigen dan karbondioksida. Didukung oleh Angka et al. (1985), bahwa hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22% menunjukkan terjadinya anemia. Kadar hematokrit bervariasi bergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah (Kuswardani 2006). Diperkuat pula oleh Wedemeyer dan Yasutake (1977) dalam Taufik (2005) bahwa seperti halnya pada hematokrit, jumlah eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya anemia, sedangkan jumlah tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stres. Adanya hemoglobin didalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut oksigen 30-100 kali dari pada yang dapat diangkut hanya dalam bentuk oksigen terlarut dalam darah (Fujaya 2004). Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis secara fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi “ephinephrine”, yaitu neutrofil dan limfosit dimobilisasi kedalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total sela darah putih (SDP). Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan biasanya akibat stres, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990, diacu dalam Aliambar 1999).

Nikel yang ditranspor oleh darah dari insang akan ikut mempengaruhi seluruh proses biokimia pada seluruh jaringan tubuh yang dilaluinya termasuk histologi jaringan seperti insang dan hati. Untuk mengetahui apakah terjadi kerusakan jaringan dilakukan pengamatan preparat histologis terhadap organ-organ ikan nila yaitu insang dan hati. Metode yang digunakan adalah Metode Histoteknik, dengan penguat (embedding material) parafin dan ketebalan preparat 5 mikron (Kiernan 1990, diacu dalam Siahaan 2003). Pengamatan histology hati ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan yang mandapatkan perlakuan nikel mengalami beberapa perubahan seperti hemoragi, kongesti, dan nekrosis. Kerusakan hati serta keterangannya pada masing-masing perlakuan dapat dilihat

62

pada Gambar 12. Dengan semakin bertambahnya dosis Ni yang diberikan menyebabkan semakin besar pengaruh terhadap jaringan hati. Hal ini ditunjukkan dengan kerusakan jaringan yang semakin parah seiring peningkatan konsentrasi nikel pada air wadah dalam penelitian. Perubahan histologi pada hati ikan adalah terjadinya cloudy swelling (sel hati terlihat agak keruh, sitoplasma juga keruh dan bergranular) (Hibiya 1995, diacu dalam Siahaan 2003). Hal tersebut disebabkan oleh munculnya butir hyaline eosinofil dalam sitoplasma, atropi pada sel hati, pengerutan sel, nucleus dan nucleolus sering kali menjadi mengecil, nekrosis, degradasi vakuola, degradasi lemak, stagnasi empedu, hepatitis, sirosis dan gangguan pada aliran darah pada sinusoid atau vena. Kerusakan pada hati menyebabkan terganggunya berbagai fungsi hati. Toksikan dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme lemak dan karbohidrat, biosintesis protein dan sistim enzim mikrosomal (Connel dan Miller 1995, diacu dalam Siahaan 2003). Menurut Ressang (1984), sirosis hati pada hewan akan menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi hati, terganggunya produksi dan aliran empedu serta peredaran darah.

Nikel yang masuk melalui insang, kulit, dan makanan masuk ke dalam darah dan ditranspor ke berbagai jaringan tubuh. Nikel yang ditranspor ke ginjal sebagian akan diekskresikan dan sebagian akan terakumulasi dalam jaringan. Nikel akan banyak mengalami penyerapan pada tulang, hati, ginjal, dan otot. Nikel paling banyak terakumulasi pada tulang, dan selanjutnya nikel akan banyak terakumulasi di hati, ginjal, dan otot oleh bantuan protein metalothionin. Protein metallothionin memiliki asam amino cystein dan methionin yang mudah berikatan dengan logam berat. Protein ini lebih banyak terdapat pada hati dan ginjal dibanding pada otot sehingga nikel lebih banyak terakumulasi pada hati dan ginjal dibanding pada jaringan ototnya.

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap tingkat akumulasi nikel pada jaringan otot tetapi tidak dilakukan pada ginjal dan hati, namun tingkat kerusakan pada hati menunjukan penigkatan seiring peningkatan konsentrasi nikel pada air media pemeliharaan hewan uji. Menurut Sanusi (1985), hati dan ginjal ikan memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan ototnya dalam mengakumulasi logam berat Hg dan Cd. Tingginya kandungan logam berat

63 tersebut disebabkan karena logam berat tersebut memiliki afinitas yang besar terhadap metallothionein pada organ tersebur (Goldwater dan Clarkson 1972; Miettinen 1977; Forstner dan Wittmann 1979; Boline 1980; Hodgson dan Guthrie 1980; Ward 1982a, diacu dalam Sanusi 1985). Dari hasil penelitian terhadap 21 jenis ikan laut, diketahui bahwa sejenis protein metallotionein pengikat logam berat pada hati dan ginjal ikan dijumpai lebih tinggi daripada yang terdapat pada ototnya (Takeda dan Shimizu 1982, diacu dalam Sanusi 1985). Hal tersebut diduga sebagai penyebab tingginya akumulasi logam berat (Hg dan Cd) pada hati dan ginjal ikan uji dibandingkan dengan yang terjadi pada ototnya. Selanjutnya Darmono dan Arifin (1989) menyatakan bahwa logam berat banyak terakumulasi pada tulang daripada organ lain. Hasil pengukuran akumulasi logam berat pada darah dan daging menunjukan adanya kecenderungan terhadap peningkatan tingkat akumulasi nikel seiring naiknya konsentrasi nikel pada air wadah penelitian. Pada darah ikan nila GIFT tingkat akumulasi rata-rata nikel pada konsentrasi 60,05 (E), 33,76 (D), 18, 98 (C), dan 10,67 ppm (B), masing-masing 121,38, 103,36, 86,82, dan 45,58 mg/kg, sedangkan pada 0,00 ppm (A) tidak terdeteksi adanya nikel. Pada daging ikan ikan nila akumulasi rata-rata nikel pada konsentrasi 60,05 (E), 33,76 (D), 18, 98 (C), dan 10,67 ppm (B), masing-masing 73,37, 56,08, 42,00, dan 32,90 mg/kg, sedangkan pada 0,00 ppm (A) tidak terdeteksi adanya nikel. Kandungan nikel diukur dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Semakin tinggi tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu dalam Salamah 2002). Logam berat yang masuk kedalam tubuh ikan, sebagian akan diekskresikan dan sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan organ-organ tertentu (Mokoagouw 2000).

Hasil penelitian juga menunjukkan kecenderungan terhadap turunnya laju pertumbuhan seiring meningkatnya konsentrasi nikel pada media pemeliharaan. Hal ini dapat disebabkan oleh efek stres pada ikan nila GIFT yang semakin besar seiring meningkatnya konsentrasi nikel sehingga nafsu makan ikan menjadi semakin turun. Ini dibuktikan pula dengan semakin menurunnya tingkat konsumsi pakan seiring meningkatnya konsentrasi nikel. Pemanfaatan energi yang berasal

64

dari makanan pada ikan- ikan yang terekspose oleh nikel lebih banyak digunakan untuk mepertahankan diri dari dari tekanan serta perawatan dan pergantian sel-sel yang rusak dibanding untuk pertumbuhannya. Tingkat konsumsi pakan rata-rata ikan nila GIFT pada kontrol mencapai 0,59 g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm adalah 0,18 g/ekor/hari, dan pada perlakuan dengan konsentrasi nikel 4,18 ppm adalah 0,13 g/ekor/hari.

Pada sistem syaraf nikel bersifat sebagai xenobiotik abiotik yang menyebabkan terganggunya kerja asetilkolinesterase sehingga asetilkolin terakumulasi pada syaraf pusat. Proses ini menginduksi tremor sehingga terjadi inkoordinasi, kejang-kejang, dan akhirnya menyebabkan kematian. Akumulasi asetilkolin pada neuromuscular menyebabkan kontraksi otot, lemahnya tubuh ikan, hilangnya gerak reflex, dan paralisis. Pada uji nilai kisaran penelitian ini, ikan nila menunjukkan gejala terpengaruh oleh sifat toksik nikel terhadap sistem syarafnya. Pada perlakuan dengan konsentrasi nikel yang tinggi ikan nila banyak mengalami kehilangan gerak refleks, kejang-kejang, tubuh menjadi lemas, dan akhirnya mengalami kematian.

Berdasarkan nilai LC50 96 jam sebesar 13,93 ppm, nikel termasuk dalam kategori logam berat yang mempunyai sifat toksik tinggi terhadap ikan nila. Nilai LC50 terhadap ikan nila turun seiring dengan bertambahnya lama waktu pemaparan nikel terhadap ikan. Hal ini sesuai pernyataan Balazt (1970), bahwa dari nilai LC50

Perbandingan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan nila GIFT, pada perlakuan tanpa nikel (kontrol), dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm (10% dari nilai LC

, selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi : sangat tinggi ( < 1 mg/L), tinggi (1 -50 mg/L), sedang (50 – 500 mg/L), sedikit toksit (500 – 5000 mg/L), hampir tidak toksit (5 – 15 g/L), dan relatif tidak berbahaya ( > 15 g/L).

50 96 jam), dan 4,18 ppm (30% dari nilai LC50

Berdasarkan data penelitian, ikan nila yang dipelihara pada perairan tawar/berkesadahan lunak, memiliki nilai Lc

96 jam) tidak memberikan pengaruh signifikan. Tingkat kelangsungan hidup pada kontrol rata-rata 95%, sedangkan pada 1,39 ppm dan 4,18 ppm adalah 93,33%.

50 96 jam sebesar 13,39 ppm. Ini berarti nikel termasuk dalam kategori bersifat toksik tinggi terhadap ikan nila.

65 Nilai ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabilu (2010) yaitu 11,88 ppm. Penelitian dilakukan terhadap ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal) yang dipelihara pada perairan yang berkesadahan yang lebih tinggi/air payau. Ini berarti bahwa ketoksikan nikel akan semakin rendah bila kesadahan perairan meningkat.

Pengaruh sifat toksik nikel terhadap ikan dipengaruhi pula oleh beberapa parameter fisika dan kimia air. Toksisitas nikel akan berkurang seiring dengan meningkatnya kesadahan perairan, sedangkan tingkat absorbs nikel akan turun seiring dengan meningkatnya suhu dan turunnya pH dalam air. Nilai kesadahan air media penelitian yaitu 57,66 mg/L menunjukkan bahwa air media berada pada kondisi kesadahan lunak yang mengindikasikan bahawa pada media pemeliharaan nikel bersifat lebih toksik pada ikan nila dibanding pada air payau atau air laut yang umumnya mempunyai kesadahan yang lebih tinggi. Nilai kisaran pH air pada wadah pemeliharaan sekitar 7,21 – 8,02 yang masih berada pada kondisi optimal bagi kehidupan ikan nila GIFT (6,5 – 8,5). Namun pada kisaran tersebut, karena pH masih dibawah 9 maka nikel bersifat sebagai kation bebas dan membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Hal ini diperkuat oleh Blaylock dan Frank (1979), bahwa ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain. Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979). Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC50

Kualitas air merupakan faktor yang penting dalam kehidupan ikan, sebab air berfungsi sebagai media hidup ikan. Selama uji toksisitas akut dan uji sub kronik dilakukan pengukuran kualitas air yang hasilnya disajikan pada Tabel 6.

ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0 – 12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009).

Suhu air merupakan pengatur proses-proses utama di lingkungan perairan. Daya toleransi ikan terhadap suhu sangat bergantung pada spesies dan stadia hidupnya (Pescod, 1973). Kisaran suhu air dalam wadah pemeliharaan adalah

66

antara 28–30 ˚C yang merupakan kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan ikan

nila GIFT. Suhu optimum untuk mendukung pertumbuhan ikan nila berkisar antara 25 – 30 oC (Bardach dan lelono 1986, diacu dalam Haryono et al. 2001). Hal ini diperkuat pula oleh Anonim (2011) bahwa suhu air yang disarankan untuk ikan nila adalah 28-30 ˚C . Tingkat pertumbuhan akan menurun secara dramatis jika air dingin sampai 20oC dan ikan biasanya akan mulai mati di sekitar 10 oC. Juga penting untuk diingat bahwa air dingin akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ikan dan membuatnya lebih rentan terhadap kesehatan yang buruk. Suhu air di bawah 13 ˚C, oleh karena itu, tidak pernah dianjurkan. Menurut Suyanto (1993), suhu optimal untuk ikan nila antara 25 – 30 oC. Kelarutan oksigen dalam wadah penelitian berkisar 5,70 – 7,02 ppm, masih diatas ketetapan kelarutan oksigen bagi biota air tawar. Hal ini berarti oksigen terlarut tidak termasuk salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perubahan variabel-variabel yang ada dalam penelitian. Menurut Pescod (1973) kebutuhan oksigen pada ikan bervariasi tergantung spesies, kondisi lingkungan yang ada dan aktivitas ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak boleh lebih dari 2 ppm dengan asumsi tidak ada bahan-bahan toksik yang masuk. Kisaran oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan biota air tawar menurut EPA (1991) adalah tidak boleh kurang dari 4,0 ppm, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 persyaratan kandungan minimum untuk perikanan adalah tidak boleh kurang dari 3,0 ppm. Total alkalinitas rata-rata pada setiap perlakuan yaitu berkisar antara 18-24, merupakan nilai alkalinitas yang baik bagi kehidupan ikan nila GIFT. Hal ini sesuai pernyataan Made (1989) bahwa nilai alkalinitas yang baik berkisar 10-400 ppm CaCO3

Kandungan karbon dioksida (CO

.

2) air wadah penelitian dapat berasal dari hasil pernafasan organisme dalam air sendiri dan difusi dari udara. Konsentrasi karbon dioksida yang terlalu tinggi di suatu perairan akan menimbulkan gangguan pelepasan CO2 atau pengambilan O2 waktu ikan bernafas. Sebaliknya CO2 yang terlalu sedikit akan berpengaruh negatif kepada fotosintesis karena gas ini merupakan bahan baku pembentukan. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) dalam ekosistem perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan nilai pH. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan semakin rendah. Hasil

67 pengukuran konsentrasi CO2, yaitu 9,98-12, 98 ppm selama uji akut dan selama uji sub kronis. Kandungan CO2

Kadar total rata-rata amonia air dalam wadah penelitian selama uji akut dan uji sub kronik berkisar antara 0.90-1.16 ppm. Nitrogen dalam air berada dalam bentuk nitrit (NO

yang baik untuk budidaya ikan tidak lebih dari 15 ppm.

2-N), nitrat (NO)3-N), ammonia (NH3) dan ammonium (NH4+

Dari pengukuran tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan seluruh parameter kualitas air yang terukur berada dalam kisaran yang layak dan optimum bagi kehidupan ikan nila GIFT dalam kondisi tanpa tercemar oleh logam berat nikel.

). Amonia adalah salah satu bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan perairan (Russo 1985). Boyd (1979) menyatakan bahwa sisa-sisa pakan dan kotoran ikan akan terurai menjadi nitrogen dalam bentuk ammonia terlarut yang beracun bagi ikan. Kandungan ammonia 0,6-2,0 ppm masih baik untuk kehidupan ikan (Redner dan Stickney 1979, diacu dalam Chervinsky 1982). Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat diartikan bahwa nilai ammonia air media selama uji toksisitas akut dan uji sub kronik masih berada dalam batas kisaran yang baik bagi kehidupan ikan nila GIFT.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait