• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Total dan Fraksi Aktif Cd dan Pb dalam Tanah

Dalam penelitian eksplorasi, penilaian kecemaran (tingkat kontaminasi atau pencemaran) Cd dan Pb dalam tanah didasarkan pada kadar totalnya. Hanya sebagian kecil dari total logam berat tanah yang terekstrak berada dalam bentuk fraksi aktif. Bahkan, logam berat dalam tanah lebih sering dijumpai sebagai fraksi terikat bahan organik atau terpresipitasi secara inorganik. Segera setelah tertam- bahkan ke dalam tanah, maka kemudahan logam berat untuk diekstraksi akan menurun dengan waktu. Hal ini mengindikasikan kemungkinan terjadinya peru- bahan fraksi logam berat dalam sistem tanah yang selanjutnya mempengaruhi keterserapannya oleh tanaman.

Berdasarkan perbedaan keterserapan antar fraksi-fraksi kation logam dalam tanah, oleh karena itu, penilaian dampak biologis pencemaran logam berat seperti Cd dan Pb sebenarnya tidak sepenuhnya tepat jika didasarkan pada kadar totalnya, karena hanya fraksi aktifnya yang berpengaruh terhadap makhluk hidup. Sebagian fraksi lainnya, yaitu fraksi terjerat (occluded), terkopresipitasi maupun yang menjadi bagian struktural mineral akan tetap inert dan berada dalam sistem tanah. Namun, hasil-hasil penelitian juga membuktikan adanya korelasi positif yang sangat kuat antara kadar fraksi aktif dengan kadar total. Dengan demikian, penilaian kecemaran logam berat berdasarkan hasil analisis tanah terhadap kadar total logam berat tetap sahih dilakukan. Hasil interpretasinya yang menunjukkan kecemaran potensial oleh karenanya dapat digunakan sebagai strategi preventif pengendalian pencemaran logam berat.

Di sisi lain, penerapan prosedur analisis fraksi aktif relatif lebih rumit, memerlukan waktu lebih lama dan biaya lebih mahal. Oleh karena itu, penilaian kecemaran pada tingkat eksplorasi dapat didasarkan pada hasil analisis kadar total dengan pertimbangan lebih praktis, cepat dan murah. Selanjutnya, manakala dari suatu titik contoh tanah didapatkan hasil interpretasi yang menunjukkan terjadinya kecemaran pada kategori pencemaran berat sampai sangat berat misalnya, maka pada titik contoh tersebut perlu dilakukan analisis kadar fraksi aktif atau analisis

lebih rinci lainnya seperti analisis fraksional atau analisis sekuensial sebagai dasar pemilihan tindakan remediasi yang akan diterapkan.

Dalam disertasi ini, pada penelitian eksplorasi digunakan metode analisis total aqua regia sedangkan pada percobaan rumah kaca digunakan metode aqua

regia dan analisis fraksi aktif menggunakan pengekstrak NH4OAc-EDTA.

Metode aqua regia hanya mengekstrak 70-90% dari kadar total Cd, Co, Cr, Cu, Fe, Mn, Ni dan Pb (Ure 1995). Oleh karena itu, dalam disertasi ini digunakan terminologi pseudo-total untuk hasil analisis Cd dan Pb menggunakan aqua regia

(CdAR dan PbARatau Cdaqua regia dan Pbaqua regia).

Kecemaran Cd dan Pb dalam Tanah

Pelepasan logam berat ke biosfer dapat terjadi melalui proses alami mau- pun secara antropogenik, terutama dalam bentuk molekul atau partikulat melalui atmosfer dan umumnya dalam skala ruang yang luas (Komarnicki 2005). Inten- sitas deposisi atmosferik logam berat ke tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor kadarnya di udara, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, intensitas dan distribusi hujan serta jaraknya dari sumber pencemar.

Selain aktivitas industri, sumber utama emisi Pb dalam beberapa dekade terakhir berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan BBM yang mengandung aditif anti-letupan tetraethyl- dan tetramethyl-Pb, sedangkan sumber utama emisi Cd adalah sisa oksidasi BBM dan pembuangan limbah tak-ramah lingkungan dari aktivitas domestik maupun industri. Penggunaan aditif tetraethyl- dan tetra- methyl-Pb di luar negeri sudah dihentikan sejak tahun 1970an. Meskipun demi- kian, dampak yang ditimbulkannya masih terukur hingga saat ini. Hal ini berke- naan dengan sifat akumulatif dan waktu-tinggal (residence time) maupun waktu- paro Pb yang lama di alam. Waktu-tinggal Pb di litosfer 400-3000 tahun dan waktu-paro Pb di jaringan keras tubuh manusia (tulang) 5-20 tahun (Fergusson 1991). Di Indonesia, penggunaan BBM tanpa aditif Pb baru dimulai sejak 1 Juli 2006. Oleh karena itu, dampak akumulatif emisi Pb dari sumber tak-teridentifi- kasi (kendaran bermotor) maupun sumber teridentifikasi (industri) yang menggu- nakan BBM dalam operasinya masih akan menjadi isu penting lingkungan dan kesehatan di Indonesia.

Lokasi studi kasus eksplorasi kecemaran Cd dan Pb yang dipilih dalam penelitian disertasi ini merupakan kawasan dengan karakteristik yang sangat me- mungkinkan terjadinya emisi Cd dan Pb ke biosfer, pedosfer dan hidrosfer karena merupakan kawasan perkotaan dengan kepadatan penduduk serta aktivitas domes- tik, industri dan transportasi yang tinggi. Lebih lanjut, penggunaan lahan domi- nan di kawasan tersebut adalah untuk aktivitas budidaya pertanian. Oleh karena itu, tanah-tanah pertanian, penduduk maupun ekosistemnya secara keseluruhan rentan terhadap kontaminasi Cd, Pb maupun logam-logam berat lainnya, baik melalui proses kontaminasi in situ berkenaan dengan pemanfaatan dan pembu- angan limbah produk-produk yang mengandung Cd dan Pb maupun melalui proses deposisi atmosferik partikulat secara kering maupun basah.

Hasil penelitian eksplorasi menunjukkan kisaran kadar pseudo-total Cd

(CdAR) dan Pb (PbAR) pada tanah-tanah pertanian lapisan permukaan (0-30 cm) di lokasi penelitian pada musim hujan Februari 2006 berturut-turut <1.00-9.11 mg Cd.kg-1 dan 20.04-129.03 mg Pb.kg-1 dengan nilai indeks c/p hingga sebesar 11.65 untuk Cd dan 1.14 untuk Pb. Nilai maksimum indeks c/p tersebut menunjukkan potensi kecemaran tanah oleh Cd dan Pb hingga tingkat pencemaran sangat ringan sampai berat. Artinya, menurut kriteria Lacatusu (2000), kecemaran Cd dan Pb dalam tanah di lokasi penelitian telah mengakibatkan dampak negatif atau toksi- sitas yang signifikan terhadap sebagian atau seluruh komponen lingkungan.

Secara lebih rinci diperoleh hasil eksplorasi bahwa potensi kecemaran maksimum tanah di areal dengan elevasi lebih rendah, dan posisinya berhadapan dengan arah datangnya angin dari sumber pencemar tak-teridentifikasi pada musim hujan lebih tinggi daripada pada musim kemarau untuk Cd, namun relatif sama untuk Pb. Kecemaran tertinggi untuk Cd terukur pada lahan sawah tadah hujan, sedangkan untuk Pb pada lahan kering dan pekarangan. Penggunaan lahan kebun campuran menunjukkan tingkat kontaminasi yang rendah baik untuk Cd maupun Pb. Fakta ini juga menunjukkan perilaku Cd dalam tanah di lokasi pene- litian yang lebih mudah larut, lebih mobil, lebih mudah ditransportasikan dan lebih reaktif dibandingkan dengan Pb, sehingga potensi dampak dan risiko ling- kungan dari pencemaran Cd lebih besar daripada Pb, terutama di areal dengan penutupan lahan yang lebih terbuka.

Koreksi terhadap Prosedur Lacatusu (2000)

Dalam penelitian eksplorasi, penilaian dan interpretasi terhadap kecemaran Cd dan Pb dalam tanah merujuk pada prosedur Lacatusu (2000). Selain kadar total logam berat, dalam aplikasi prosedur ini juga diperlukan data kadar liat dan bahan organik tanah melalui perhitungan nilai indeks c/p sehingga memungkinkan peng- kategorian status kontaminasi (nilai c/p <1) atau pencemaran (nilai indeks c/p >1) secara kuantitatif masing-masing dalam 5 skala dari sangat ringan sampai sangat berat. Dengan demikian, prosedur ini telah mempertimbangkan secara langsung sifat-sifat tanah selain kadar total logam berat dari setiap contoh tanah yang diana- lisis dalam proses penilaian dan interpretasi potensi kecemaran logam berat dalam tanah. Oleh karena itu, hasil interpretasinya menjadi lebih bersifat spesifik lokasi dan waktu atau spesifik terhadap kondisi sifat dan ciri tanah dan spesifik terhadap kondisi faktor-faktor pembentuk tanah (bahan induk, waktu, iklim, topografi dan organisme atau aktivitas biologis) yang memang bersifat dinamis.

Pada periode sebelum prosedur Lacatusu (2000) diusulkan, penilaian dan interpretasi terhadap status kecemaran logam berat dalam tanah di luar negeri ha- nya didasarkan pada kadar totalnya dengan cara pembandingan terhadap satu nilai tunggal yang berlaku untuk semua kondisi tanah berupa nilai baku mutu atau ambang batas kadar maksimal yang diperbolehkan atau yang dianggap dapat ditoleransikan oleh ekosistem (disebut sebagai maximum allowable limit, MAL). Di Indonesia bahkan hingga saat ini belum tersedia kriteria kecemaran logam berat dalam media tanah. Di sisi lain, fakta empiris telah membuktikan bahwa dampak biologis dan lingkungan dari pencemaran logam berat dalam ekosistem daratan terhadap berbagai komponen lingkungan dan rantai makanan yang dipe- ngaruhinya ditentukan baik oleh jumlah asupan maupun kapasitas retensi atau sorpsi tanah terhadap logam berat yang bersifat spesifik lokasi dan dinamis dengan waktu. Oleh karenanya, penggunaan satu nilai ambang batas seperti MAL

sebagai kriteria penilaian tidak menggambarkan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan mengenai dampak biologis kecemaran logam berat di lingkungan.

Prosedur Lacatusu dikembangkan dan diusulkan olehnya pada tahun 1998 untuk organisasi pangan dan pertanian sedunia (FAO) dan sejak tahun 2000 telah diadopsi untuk digunakan sebagai prosedur formal di negara-negara Uni Eropa

untuk mengeksplorasi potensi kecemaran logam berat dalam tanah. Manakala berdasarkan prosedur Lacatusu (2000) diperoleh nilai c/p >1 yang menunjukkan kategori telah terjadinya pencemaran, apalagi pada skala berat hingga sangat berat, maka selanjutnya dilakukan penilaian secara lebih rinci sebagai dasar penetapan tindakan remediasi yang lebih operasional. Pada kondisi demikian,

salah satu diantaranya adalah dengan menerapkan prosedur TCLP (toxic

characteristic leaching procedure) seperti yang diadopsi oleh United States

Environmental Protection Agency (USEPA) di Amerika Serikat.

Dalam aplikasi prosedur Lacatusu (2000), untuk menilai kecemaran Cd dan Pb yang didasarkan pada nilai indeks c/p, digunakan data kadar liat dan bahan organik untuk menetapkan nilai rujukan A menurut rumus [A = 0.4 + 0.007 (kadar liat + 3 x kadar bahan organik)] untuk Cd dan [A = 50 + kadar liat + kadar bahan organik] untuk Pb. Berdasarkan analisis regresi linier berganda untuk mengeva- luasi pengaruh faktor antropogenik dan faktor pedogenik secara simultan terhadap kadar CdAR dan PbAR diperoleh persamaan yang menunjukkan bahwa nilai pH merupakan salah satu kontributor signifikan. Terhadap kadar PbAR, nilai pH tanah bahkan merupakan kontributor terbesar (PbAR = 0.535 pH +0.132 KL 0.197 BO

+0.369 JS –0.252 JR –0.170 JT +0.093 JSI (R2=0.363, p<0.01, n=45). Artinya, dengan

koefisien persamaan terstandarisasi bertanda negatif, penurunan nilai pH tanah akan meningkatkan kadar PbAR secara signifikan karena ion H+ akan bersaing dengan kation logam untuk menempati tapak negatif koloid tanah sehingga penurunan nilai pH atau peningkatkan kadar H+ akan meningkatkan pelepasan kation logam ke larutan tanah.

Penetapan rumus untuk menghitung nilai rujukan A berdasarkan prosedur Lacatusu (2000) dengan hanya melibatkan faktor kadar liat dan bahan organik dan tanpa melibatkan pengaruh signifikan dari perubahan nilai pH, dengan demikian menunjukkan salah satu kelemahan dari prosedur tersebut. Dengan menambah- kan nilai pH sebagai faktor penentu nilai rujukan A akan mengubah nilai indeks c/p yang akan diperoleh dan hal tersebut akan meningkatkan ketepatan prediksi mengenai kecemaran Pb dalam tanah. Dengan demikian, terbuka peluang dan ranah penelitian lanjutan untuk mengoreksi koefisien rumus penetapan nilai

rujukan A untuk Pb menurut Lacatusu (2000) dengan melibatkan baik kadar liat, kadar bahan organik maupun nilai pH sebagai faktor penentu.

Penerapan prosedur Lacatusu (2000) merupakan solusi bagi Indonesia yang hingga saat ini belum memiliki kriteria kecemaran tanah oleh logam berat. Dengan melakukan eksplorasi dan pemetaan potensi kecemaran logam berat menggunakan prosedur Lacatusu (2000) terutama pada tanah-tanah pertanian akan diperoleh data yang sangat bermanfaat dalam rangka penetapan prioritas wilayah pengendaliannya. Selain itu, dari hasil eksplorasi dan pemetaan tersebut juga akan diperoleh akumulasi data yang lebih komprehensif untuk keperluan mengoreksi rumus penetapan nilai rujukan A dari prosedur Lacatusu (2000), sehingga lebih sesuai untuk kondisi tanah Indonesia yang sangat beragam karakteristiknya.

Berkenaan dengan keragaman karakteristik tanah yang sangat tinggi di Indonesia, pemahaman mengenai keterkaitan antara kondisi faktor pembentuk tanah dengan karakteristik tanah yang terbentuk dapat dimanfaatkan pada tahap lebih hulu untuk mendelineasi wilayah prioritas untuk dieksplorasi dan dipetakan kecemarannya terhadap logam berat. Dalam hal ini, misalnya, kegiatan eksplorasi dan pemetaan lebih diprioritaskan pada wilayah pertanian yang tanahnya berkembang dari bahan induk sedimen daripada pada tanah yang berkembang dari bahan induk ultrabasa. Hal ini dikarenakan pada tanah yang berkembang dari bahan induk ultrabasa telah diketahui bahwa secara alamiah akan memiliki kadar logam berat tinggi.

Efektivitas dan Prospek Inaktivasi In Situ sebagai Teknik Remediasi Pencemaran Cd dan Pb pada Tanah Pertanian

Penurunan Kadar Cd- dan Pb-NH4OAc-EDTATanah

Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa dibandingkan tanah kontrol (tanpa ameliorasi dan pemupukan), pada perlakuan 100% DRAP terjadi penurunan yang sangat nyata terhadap kadar fraksi aktif Cd (CdNH4OAc-EDTA) [dari 13.35 menjadi 8.77 mg.kg-1 atau menurun 34%] dan Pb tanah (PbNH4OAc-EDTA) [dari 11.57 menjadi 5.78 mg.kg-1 atau menurun 50% pada tanah tanpa perlakuan pengkayaan Pb]. Namun, pada tanah dengan perlakuan pengkayaan Pb, tindakan

ameliorasi dan pemupukan pada taraf 100% DRAP terukur meningkatkan kadar

PbNH4OAc-EDTA meskipun tidak secara nyata, bahkan cenderung meningkat dengan bertambahnya taraf perlakuan pengkayaan Pb tanah. Dibandingkan kontrol, pada tanah dengan perlakuan pengkayaan Pb 187.5, 375 dan 750 mg.kg-1, perlakuan 100% DRAP meningkatkan kadar PbNH4OAc-EDTA berturut-turut dari 44.51 menjadi 45.46, dari 79.61 menjadi 111.74, dan dari 203.13 menjadi 214.62 mg.kg-1. Di sisi tanaman, perlakuan 100% DRAP secara sangat nyata menurunkan kadar Cd tajuk tanaman (Cdtt) [dari 8.66 menjadi 5.46 µg.g-1 atau menurun 37%] dan kondisi serupa juga terjadi terhadap kadar Pb tajuk tanaman (Pbtt) [dari 47.57 menjadi 36.24 µg.g-1 atau menurun 24%].

Dari sisi budidaya tanaman, ukuran keberhasilan remediasi pencemaran logam berat didasarkan pada terjadinya penurunan serapannya yang berkenaan dengan tiga hal, yaitu: (1) akibat penurunan kadar fraksi aktif logam berat dalam tanah, atau (2) peningkatan selektivitas tanaman dalam penyerapan unsur dengan mekanisme lebih menyerap hara esensial dan menekan serapan unsur toksik dari tanah, atau (3) kombinasi keduanya (Alloway 1995a). Sesuai dengan kriteria tersebut, maka kombinasi penurunan kadar CdNH4Oac-EDTA dan Cdtt secara sangat nyata yang terukur dalam percobaan ini menunjukkan efektivitas dari perlakuan ameliorasi dan pemupukan pada dosis rasional untuk budidaya tanaman dalam menginaktivasi secara in situ pencemaran Cd tanah. Terhadap Pb, penurunan

PbNH4Oac-EDTA yang hanya terjadi pada tanah tanpa perlakuan pengkayaan Pb menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan ameliorasi dan pemupukan pada dosis rasional untuk budidaya tanaman sebagai upaya remediasi pencemaran Pb melalui mekanisme inaktivasi in situ Pb tanah hanya efektif pada tanah percobaan dengan kisaran kadar PbAR 31.06 – 53.11 mg Pb.kg-1 (Lampiran 3).

Penurunan Persentase Cd- dan Pb-NH4OAc-EDTA terhadap CdAR dan PbAR Dari hasil penelitian eksplorasi diperoleh data kisaran kadar PbAR yang lebih tinggi daripada CdAR, yaitu <1.00 – 9.11 mg Cd.kg-1 dan 20.04 – 129.03 mg Pb.kg-1. Fakta ini menunjukkan bahwa kapasitas sorpsi tanah terhadap Pb lebih tinggi daripada terhadap Cd, sehingga Pb terakumulasi dengan kadar lebih tinggi daripada Cd.

Dari percobaan rumah kaca diperoleh kisaran nilai Cd-NH4OAc-EDTA/CdAR [5.88 – 97.12%] (Tabel 15) yang relatif lebih besar daripada kisaran nilai Pb- NH4OAc-EDTA/PbAR [16.60 – 32.36%] (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa nis- bah kadar fraksi aktif Cd terhadap kadar pseudo-totalnya relatif lebih tinggi dari- pada hal yang sama untuk Pb. Dengan demikian, kedua nilai kisaran tersebut me- nunjukkan bahwa sorpsi tanah percobaan rumah kaca terhadap Cd juga lebih ren- dah daripada terhadap Pb. Peningkatan sorpsi yang diinterpretasikan berdasarkan penurunan nilai L-NH4OAc-EDTA/LAR juga menunjukkan terjadinya peningkatan inaktivasi in situ terhadap fraksi aktif Cd dan Pb untuk diubah menjadi fraksi yang lebih rendah keterserapannya bagi tanaman.

Lebih tingginya kapasitas sorpsi tanah terhadap Pb daripada Cd berkenaan dengan: (1) radius ionik terhidrasi dari Pb (Pb2+= 0.401 nm) lebih kecil daripada Cd (Pb2+= 0.426 nm); (2) elektronegativitas Pb (2.33) lebih tinggi daripada Cd (1.69); (3) kation Pb memiliki afinitas terhadap gugus-gugus fungsional bahan organik tanah yang lebih tinggi daripada Cd; dan (4) pKH (logaritma negatif konstanta hidrolisis) Cd (11.70) lebih besar daripada Pb (7.78) (Fergusson 1991; Appel & Ma 2002). Dengan demikian, kemungkinan bagi Pb untuk terlibat dalam reaksi elektrostatik maupun pengompleksan di permukaan inner-sphere koloid tanah lebih besar daripada Cd (McBride 1994).

Penurunan Kadar Cdtt dan Pbtt

Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa dibandingkan tanah kontrol (0% DRAP), pada perlakuan 100% DRAP terjadi penurunan yang sangat nyata terhadap kadar Cd dalam tajuk tanaman [Cdtt dari 8.66 ke 5.46 µg.g-1, turun 37%] dan [Pbtt dari 47.57 ke 36.24 µg.g-1, turun 24%]. Secara umum, penurunan Cdtt dan Pbtt terjadi seiring dengan penurunan CdNH4OAc-EDTA dan PbNH4OAc-EDTA maupun peningkatan bobot kering tajuk (BKtt). Hal ini menunjukkan terjadinya tiga hal secara simultan, yaitu: (i) inaktivasi secara in situ fraksi aktif Cd dan Pb dalam tanah, (ii) selektivitas tanaman uji dalam menekan serapan Cd dan Pb, serta (iii) efek pengenceran kadar Cdtt danPbttakibat peningkatan BKtt.

Tabel 15 Pengaruh inaktivasi in situ dari ameliorasi dan pemupukan pada taraf 0, 50 dan 100% dosis rasional amelioran dan pupuk (DRAP) untuk budi- daya tanaman uji tomat pada tanah diperkaya dengan Cd terhadap kadar CdNH4OAc-EDTA, CdAR dan persentase CdNH4OAc-EDTA / CdAR

Ameliorasi dan Pemupukan Perlakuan Cd (mg.kg-1) % DRAP # 0 10 20 40 Rataan Kadar CdNH4Oac-EDTA (mg.kg-1) 0 0.53 8.34 19.85 24.67 13.35 50 0.80 9.42 20.22 27.73 14.54 100 0.41 5.16 10.13 19.36 8.77 Kadar CdAR (mg.kg-1) 0 9.01 14.88 22.87 34.99 20.44 50 4.65 12.91 22.31 28.55 17.11 100 2.53 10.15 19.02 26.02 14.43 CdNH4Oac-EDTA / CdAR (%) 0 5.88 56.05 86.78 70.50 65.30 50 17.22 72.97 90.62 97.12 85.01 100 16.18 50.85 53.25 74.39 60.73

# lihat keterangan Tabel 14.

Tabel 16 Pengaruh inaktivasi in situ dari ameliorasi dan pemupukan pada taraf 0, 50 dan 100% dosis rasional amelioran dan pupuk (DRAP) untuk budi- daya tanaman uji tomat pada tanah diperkaya dengan Pb terhadap kadar PbNH4OAc-EDTA, PbAR dan persentase PbNH4OAc-EDTA / PbAR

Ameliorasi dan Pemupukan Perlakuan Pb (mg.kg-1) % DRAP # 0 187.5 375 750 Rataan Kadar PbNH4Oac-EDTA (mg.kg-1) 0 11.57 44.51 79.61 203.13 84.71 50 9.26 58.12 124.41 234.73 106.63 100 5.78 45.46 111.74 214.62 94.40 Kadar PbAR (mg.kg-1) 0 47.15 250.38 436.45 801.90 383.97 50 39.66 236.43 405.95 799.08 370.28 100 34.81 212.50 345.31 786.41 344.76 PbNH4Oac-EDTA / PbAR (%) 0 24.54 17.78 18.24 25.33 21.47 50 23.35 24.58 30.65 29.38 26.99 100 16.60 21.39 32.36 27.29 24.41

Penurunan kadar logam berat dalam jaringan tanaman menunjukkan terjadinya mekanisme soil-plant barrier. Mekanisme ini membatasi pengalihan logam berat dari tanah ke rantai makanan baik melalui proses kimiawi, misalnya untuk Pb, maupun melalui penghambatan pertumbuhan tanaman sebelum serapan logam berat mencapai kadar yang dapat meracuni konsumen, misalnya untuk Zn (Chaney & Giordano 1977). Menurut Basta et al. (2005), mekanisme ini tidak berlaku efektif terhadap Cd sehingga kadar Cd dalam jaringan tanaman umumnya dengan lebih mudah mencapai taraf yang berpotensi meracun bagi konsumen daripada logam berat lainnya, misalnya Pb (Hettiarachchi & Pierzynski 2002). Namun, hasil percobaan rumah kaca bahkan menunjukkan terjadinya penurunan kadar Cdtt yang lebih besar daripada Pbtt. Artinya, hasil penelitian disertasi ini membuktikan bahwa mekanisme soil-plant-barrier juga berlaku terhadap Cd, paling tidak dalam kondisi di rumah kaca.

Indeks Ti dan Koefisien ct

Dalam poercobaan rumah kaca, pengaruh biologis perlakuan pengkayaan kadar Cd dan Pb tanah terhadap tanaman uji dapat dievaluasi berdasarkan nilai

Indeks Toleransi (Ti). Indeks Ti didefinisikan sebagai nisbah antara bobot kering tajuk pada tanah yang diberi perlakuan logam berat dengan bobot kering tajuk pada tanah tanpa perlakuan logam berat (Verloo & Willaert 1986). Nilai Ti yang lebih tinggi menunjukkan tingkat toleransi tanaman yang lebih tinggi terhadap cekaman logam berat.

Tabel 17 menunjukkan bahwa pada perlakuan 0-100% DRAP, kisaran nilai Ti akibat perlakuan Cd (kisaran Ti 0.55-1.33) lebih rendah daripada Pb (kisaran Ti 0.81-1.38) dan semakin tinggi kadar perlakuan pengkayaan Cd maupun Pb semakin rendah rataan nilai Ti (0.93-0.83 untuk Cd dan 1.27-0.98 untuk Pb). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman uji lebih toleran terhadap pencemaran Pb (dengan perlakuan pengkayaan hingga 750 mg Pb.kg-1 tanah) daripada Cd (dengan perlakuan pengkayaan hingga 40 mg Cd.kg-1 tanah). Artinya, dampak toksisitas Cd terhadap tanaman uji lebih besar daripada Pb. Perlakuan 40 mg Cd.kg-1 menurunkan bobot kering tajuk 17%, sedangkan perlakuan 750 mg Pb.kg-1 menurunkan bobot kering tajuk hanya 2% dibandingkan tanah kontrol.

Tabel 17 Pengaruh inaktivasi in situ dari ameliorasi dan pemupukan pada taraf 0, 50 dan 100% dosis rasional amelioran dan pupuk (DRAP) untuk budi- daya tanaman uji tomat pada tanah diperkaya Cd atau Pb terhadap nilai indeks toleransi Ti

Ameliorasi dan Pemupukan Perlakuan pengkayaan kadar Cd atau Pb tanah (mg.kg-1) 0 ke 10 Cd 0 ke 20 Cd 0 ke 40 Cd % DRAP # 0 ke 187.5 Pb 0 ke 375 Pb 0 ke 750 Pb Indeks Ti Cd 0 0.99 1.33 1.07 50 0.98 1.07 1.05 100 0.88 0.63 0.55 Rataan 0.93 0.90 0.83 Indeks Ti Pb 0 1.23 0.97 0.81 50 1.18 1.09 0.84 100 1.38 1.20 1.16 Rataan 1.27 1.12 0.98

Perilaku pengalihan (transfer) Cd dan Pb dari tanah ke tajuk tanaman uji dievaluasi berdasarkan nilai Koefisien Pengalihan (ct). Koefisien ct didefinisikan sebagai nisbah antara peningkatan kadar logam berat pada jaringan tanaman dengan peningkatan kadar logam berat yang sama dalam tanah (Verloo & Willaert 1986). Nilai ct yang semakin tinggi akibat suatu perlakuan menunjukkan semakin tingginya pengalihan logam berat dari tanah ke tanaman, sehingga meningkatkan risiko bagi konsumen produk tanaman melalui mekanisme rantai makanan. Hal ini berkenaan dengan mobilitas suatu logam berat dari akar ke tajuk tanaman, kadar fraksi aktifnya dalam tanah serta tingkat selektivitas tanaman dalam serapan ion.

Berdasarkan telaah pustaka, kisaran nilai ct Cd 1-10 sedangkan untuk Pb 0.01-1 (Alloway 1995b; Davies 1995; Fergusson 1991). Artinya, peningkatan 1 satuan kadar Cd dalam larutan tanah diikuti oleh peningkatan 1 sampai 10 kali lipat satuan kadar Cd dalam jaringan tanaman, sedangkan peningkatan 1 satuan kadar Pb dalam larutan tanah hanya diikuti oleh peningkatan 0.1 sampai 1 kali lipat satuan kadar Pb dalam jaringan tanaman. Dengan demikian, risiko lingkungan dan kesehatan melalui rantai makanan dari Cd lebih besar daripada Pb.

Tabel 18 menunjukkan bahwa secara umum peningkatan kadar perlakuan pengkayaan Cd dan Pb menurunkan nilai ct Cd (dari 0.35 ke 0.20 dan 0.15)