• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haplotipe Mikrosatelit Kloroplas

Penelitian pendahuluan dilakukan menggunakan dua sampel per populasi dan sepuluh primer mikrosatelit kloroplas (cpSSR), yaitu ccmp1 sampai ccmp10

(Weising & Gardener 1999). Dari sepuluh primer yang diuji, lima primer (ccmp4, ccmp5, ccmp7, ccmp8 dan ccmp9) tidak menghasilkan amplifikasi. Lima primer (ccmp1, ccmp2, ccmp3, ccmp6 dan ccmp10) berhasil mengamplifikasi semua sampel, seperti terlihat pada Gambar 5.

[a] [b] [c]

[d] [e]

Gambar 5 Lima primer yang berhasil diamplifikasi dengan PCR.

Keterangan : a) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp1. b) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp2. c) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp3. d) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp6. e) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp10.

Dari lima primer yang berhasil diamplifikasi dengan PCR, tiga primer (ccmp1, ccmp2 dan ccmp10) menunjukkan pola monomorfik dengan ukuran fragmen berturut-turut adalah 113, 150 dan 101 bp. Pada primer ccmp3 dan ccmp6

menunjukkan pola polimorfik, seperti terlihat pada Gambar 6. Hasil amplifikasi

ccmp3 memberikan 4 tipe ukuran panjang fragmen (100, 101, 102 dan 104 bp) dan hasil ccmp6 memberikan 2 tipe ukuran panjang fragmen (97 dan 98 bp), dengan demikian didapatkan jumlah total 6 haplotipe seperti terlihat pada Table 4.

Gambar 6 Hasil GeneScan primer ccmp3 dan ccmp6 yang menunjukkan pola polimorfisme.

Keterangan :

a) Polimorfisme yang terdeteksi pada primer ccmp3, yaitu 104 bp, 102 bp, 101 bp dan 100 bp.

b) Polimorfisme yang terdeteksi pada primer ccmp6, yaitu 98 bp dan 97 bp.

Tabel 4 Definisi haplotipe dan ukuran fragmen cpSSR Ukuran amplifikasi fragmen cpSSR (bp) Haplotipe ccmp3 ccmp6 A B C D E F 101 101 100 102 104 100 97 98 98 97 97 97 [a] [b] 104 102 101 100 98 97

21 Variasi Haplotipe

Berdasarkan hasil genescan DNA kloroplas diperoleh haplotipe umum masing- masing jenis Shorea yaitu haplotipe D untuk S. acuminata, haplotipe A untuk S. leprosula dan haplotipe C untuk S. parvifolia. Detail hasil genescan untuk S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia dapat dilihat pada Lampiran 1. Ketiga jenis Shorea tersebut hanya dibedakan oleh 1-2 pasang basa seperti terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil studi ini, ada dua tipe mutasi yang menyebabkan perbedaan diantara mereka yaitu delesi dan insersi.

Tabel 5 Perbedaan antara S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia berdasarkan tipe mutasi

Jenis Perbedaan Tipe mutasi

S. acuminata vs S. leprosula 1 bp pada ccmp3 (102-101) Delesi

S. acuminata vs S. parvifolia 2 bp pada ccmp3 (102-100) 1 bp pada ccmp6 (97-98)

Delesi Insersi

S. leprosula vs S. parvifolia 1 bp pada ccmp3 (101-100) 1 bp pada ccmp6 (97-98)

Delesi Insersi

Terjadinya delesi dan insersi basa pada ketiga jenis Shorea tersebut kemungkinan karena adanya seleksi alam melalui fluktuasi lingkungan yang ekstrim pada waktu lampau dan/atau waktu sekarang. Waktu terjadinya mutasi tersebut secara tepat sulit ditentukan, tetapi berdasarkan sifat DNA kloroplas yang konservatif dan kecepatan mutasi yang rendah yaitu 3.2 x 10-5 dan 7.9 x 10-5 (Provan et al. 1999) boleh jadi peristiwa mutasi terjadi pada masa lampau. Gen yang mengalami mutasi satu basa dapat mengakibatkan perubahan asam amino yang dihasilkan sehingga berdampak pada perubahan fenotipe tanaman di lapangan.

Detail frekuensi haplotipe DNA kloroplas masing- masing jenis Shorea

ditunjukkan pada Tabel 6. Variasi haplotipe dalam studi ini tergolong rendah, dimana Shorea acuminata memiliki variasi haplotipe yang lebih tinggi dibandingkan dengan S. leprosula dan S. parvifolia. S. acuminata memiliki enam haplotipe (A, B, C, D, E dan F), S. leprosula tiga haplotipe (A, C dan F) dan S. parvifolia juga tiga haplotipe (C, D dan F). Hasil studi genetika populasi oleh Indrioko (2005) yang menggunakan penanda PCR-RFLP dan mikrosatelit

berdasarkan DNA kloroplas, pada S. leprosula ditemukan hanya satu haplotipe, sedangkan pada S. parvifolia ditemukan tiga haplotipe. Variasi haplotipe DNA kloroplas yang rendah juga diamati pada jenis Oak (Petit et al. 2002); Tolmiea menziensis (Soltis et al. 1989); dan Lupinus texensis (Banks & Birky 1985). Petit

et al. (2002) meneliti 12214 individu dari 2614 populasi hanya menemukan 32 haplotipe, sedangkan variasi DNA kloroplas yang cukup tinggi diamati pada common ash (Fraxinus excelsior L.) (Heuertz et al. 2001) dan Pinus pinaster

(Vendramin et al. 1998).

Tabel 6 Frekuensi haplotipe S. acuiminata, S. leprosula dan S. parvifolia pada setiap populasi Haplotipe Jenis N A B C D E F ACU-BR ACU-TNBT ACU-PM ACU-NM 7 7 6 7 0.714 0.143 0.000 0.000 0.143 0.143 0.000 0.000 0.143 0.143 0.000 0.143 0.000 0.286 0.833 0.857 0.000 0.286 0.000 0.000 0.000 0.000 0.167 0.000 LEP-HB LEP-TNBT LEP-PM LEP-NM LEP-AS LEP-TR LEP-SBK LEP-SM 6 6 5 5 2 6 5 5 1.000 1.000 0.800 1.000 1.000 0.833 1.000 0.800 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.200 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.167 0.000 0.200 PAR-BA PAR-AS PAR-PM PAR-TNBT PAR-NM PAR-SBK PAR-SM 5 10 5 6 5 7 6 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.286 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.143 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.571 0.000 Keterangan : 1

: Jenis Shorea (ACU = S. acuminata, LEP = S. leprosula, PAR = S. parvifolia).

2

: Nama populasi (BR = Berau, PM = Pasir Mayang, TNBT = Taman Nasional Bukit Tiga puluh, NM = Nanjak Makmur, AS = Asialog, HB = Haurbrntes, BA = Batu Ampar, TR = Tering, SBK, Sari Bumi Kusuma, SM = Sumalindo)

Kecilnya variasi haplotipe DNA kloroplas dalam studi ini erat kaitannya dengan karakteristik DNA kloroplas yang konservatif, kecepatan mutasi yang rendah (Provan et al. 2001; Birky 1995) dan pewarisannya secara maternal pada

23

Shorea (yang termasuk kelo mpok angiosperma). Transfer DNA kloroplas melalui migrasi gen pada jenis Shorea hanya terjadi melalui biji. Penyebaran biji pada jenis Shorea terbatas, disebabkan oleh biji Shorea yang relatif berat, sehingga jatuh tidak jauh dari pohon induknya, yaitu sekitar 50 m untuk S. leprosula

(Ashton 1982) dan 20 m untuk S. curtisii (Obayashi et al. 2002). Hal ini kemungkinan juga akan dapat mengurangi variasi DNA kloroplas di dalam populasi.

Variasi Genetika di Dalam dan Antar Populasi

Keragaman genetika di dalam dan antar populasi ketiga jenis Shorea

ditunjukkan pada Tabel 7. Nilai diferensiasi genetika antar populasi (Gst) berdasarkan Nei (1972) yang tertinggi terdapat pada S. parvifolia, yaitu 58 % dan yang terendah terdapat pada S. leprosula, yaitu 14 %. Sedangkan nilai total diferensiasi populasi (δT) berdasarkan Gregorious (1987) yang tertinggi terdapat pada S. acuminata, yaitu 32 % dan yang terendah terdapat pada S. leprosula, yaitu 7 %.

Tabel 7 Nilai keragaman genetika di dalam dan antar populasi pada S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia.

Jenis Ht* Hs* Gst* δT**

S. acuminata 0.314 0.213 0.319 0.323

S. leprosula 0.060 0.052 0.143 0.077

S. parvifolia 0.074 0.031 0.582 0.131 Keterangan :

* : Perhitungan dilakukan dengan program POPGEN versi 32 (Yeh et al. 1999). ** : Perhitungan dilakukan dengan program GSED versi 1.1k (Gillet 2005). Ht : Keragaman genetika total populasi

Hs : Keragaman genetika subpopulasi

Gst : Diferensiasi genetika antar populasi δT : Diferensiasi genetika antar populasi

Nilai Gst S. leprosula hasil studi ini lebih tinggi dibandingkan dengan studi Lee et al. (2000b) berdasarkan DNA nuklear dan penanda isozim, yaitu Gst = 0.085; Prihatini et al. (2001) berdasarkan DNA nuklear dan penanda RAPD, yaitu

Gst=0.152; dan Siregar et al. (2005) berdasarkan DNA nuklear dan penanda AFLP, yaitu Gst=0.25. Sedangkan nilai Gst S. parvifolia hasil studi ini lebih tinggi dibandingkan dengan studi Siregar et al. (2005) berdasarkan DNA nuklear dengan

penanda AFLP, yaitu Gst=031, dan studi Indrioko (2005) berdasarkan DNA kloroplas menggunakan penanda PCR-RFLP dan mikrosatelit, yaitu Gst=0.15.

Analisis keragaman molekuler (AMOVA) terhadap S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia dari populasi Sumatra dan Kalimantan juga dilakukan, hasilnya disajikan pada Tabel 8. Persentase keragaman ketiga jenis Shorea antara pulau Sumatra dan Kalimantan yang tertinggi diamati pada S. Acuminata, dan yang terendah pada S. leprosula, berturut-turut nilai persentase keragamannya adalah 35% (p = 0.000) untuk S. acuminata, 13% (p = 0.048) untuk S. parvifolia

dan 0.63% (p = 0.278) untuk S. leprosula. Persentase keragaman di dalam populasi berkontribusi secara signifikan, yaitu 55% untuk S. acuminata, 45% untuk S. parvifolia. Tingginya persentase keragaman dalam populasi pada S. acuminata disebabkan oleh bervariasinya haplotipe yang ditemukan pada tiap-tiap populasi, terutama pada populasi TNBT ditemukan lima haplotipe. Tingginya variasi haplotipe pada TNBT disebabkan oleh populasi ini adalah kawasan konservasi, yang tidak boleh dilakukan penebangan.

Tabel 8 Analisis keragaman molekuler (AMOVA) Sumber variasi df Jumlah

kuadrat Komponen variasi % variasi p S. acuminata Antar pulau 1 2.29 0.167 35.63 0.00**

Antar populasi dalam pulau 2 1.09 0.043 9.19 0.04* Dalam populasi

S. leprosula

Antar pulau

Antar populasi dalam pulau Dalam populasi

S. parvifolia

Antar pulau

Antar populasi dalam pulau

23 1 6 32 1 5 5.97 0.06 0.32 2.43 0.71 1.83 0.259 0.0005 -0.0043 0.0760 0.015 0.049 55.18 0.63 -5.97 105.35 13.26 42.24 0.00** 0.29ns 0.12ns 0.52ns 0.04* 0.00** Dalam populasi 39 2.00 0.051 44.50 0.00** Keterangan: ns : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf α 5%,

** : berbeda nyata pada taraf α = 1%

Tingginya persentase keragaman antar populasi pada S. acuminata, yaitu 35% kemungkinan disebabkan oleh variasi haplotipe antar pulau yang cukup tinggi yaitu 3 haplotipe di Kalimantan (diwakili oleh populasi Berau) dan 6

25

haplotipe di Sumatra. Pada S. parvifolia persentase keragaman dalam populasi (45%) dan antar populasi dalam pulau (42%) hampir sama, hal ini disebabkan oleh adanya haplotipe F dan D yang ditemukan pada populasi SBK dan aliran gen antar populasi di sekitar Sari Bumi Kusuma masih berjalan baik.

Pada S. leprosula, di dalam populasi, antara populasi dalam pulau dan antar pulau (Sumatra dan Kalimantan) tidak berbeda nyata secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa semua populasi memiliki keragaman haplotipe yang sama secara statistika meskipun pada populasi Pasir Mayang, Tering dan Sumalindo ditemukan variasi haplotipe.Nilai negatif pada keragaman antara populasi dalam pulau pada S. leprosula mengindikasikan bahwa sampel populasi pada tiap-tiap pulau tidak beragam secara statistik, hal ini tercermin dari nilai p = 0.12 yang tidak berbeda nyata. Koefisien korelasi yang negatif secara biologis menunjukkan bahwa individu sampel populasi pada level dalam pulau lebih dekat (nilai p = 0.28 tidak berbeda nyata) dibandingkan dengan level antara pulau (Schneider et al. 2000). Pada S. leprosula, persentase keragamannya dalam populasi sangat tinggi, yaitu 105 % tetapi tidak berbeda nyata secara statistik. Tingginya nilai keragaman ini disebabkan oleh tidak terpenuhi asumsi–asumsi dalam analisis AMOVA tersebut. Asumsi yang tidak terpenuhi adalah ukuran populasi yang tidak sama dengan 0.5 dan nisbah jumlah generasi terhadap ukuran populasi (T/No) yang lebih besar 0.5 (Schneider et al. 2000)

Distribusi geografis haplotipe dapat dilihat pada Gambar 7. Distribusi geografis haplotipe hasil penelitian ini tidak mencerminkan secara jelas perbedaan antar populasi. Pada S. acuminata ditemukan enam haplotipe (A, B, C, D, E, dan F). Lima haplotipe ditemukan di populasi TNBT, tiga haplotipe ditemukan di populasi Berau, dan dua haplotipe masing- masing ditemukan di populasi Pasir Mayang dan Nanjak Makmur. Pada S. leprosula, haplotipe A ditemukan pada semua populasi, sedangkan haplotipe F ditemukan pada tiga populasi yaitu populasi Tering, Sumalindo dan Sari Bumi Kus uma pada S. parvifolia. Haplotipe C pada S. parvifolia juga ditemukan pada semua populasi. Pada ketiga jenis

Shorea tidak ditemukan haplotipe diagnostik untuk masing- masing populasi, sehingga haplotipe DNA kloroplas hasil penelitian ini belum dapat digunakan untuk mendeteksi asal geografis species yang bersangkutan.

Gambar 7 Distribusi geografis dan frekuensi haplotipe kloroplas mikrosatelit pada Shorea spp: 2a) Shorea acuminata, 2b) Shorea leprosula, 2c) Shorea parvifolia. Keterangan haplotipe: A B C D E F TNBT PM SM SBK BA NM AS TNBT BR PM NM TNBT SM SBK HB TR NM PM AS a) Shorea acuminata b) Shorea leprosula c) Shorea parvifolia.

27

Penggunaan metode DNA molekuler untuk mendeteksi asal geografis species telah dikembangkan oleh Deguilloux et al. (2002); (2003); (2004b) pada jenis Oak dan oleh White et al. (2000) pada red ceder (Thuja plicata). Sejarah kolonisasi dan migrasi tumbuhan dapat diamati dari distribusi haplotipe, antara lain telah diamati pada Pinus pinaster (Vendramin et al. 1998); Franxinus excelsior L (Heuertz et al. 2004); Oak (Petit et al. 2002); dan Armeria

(Plumbagiaceae) (Larena et al. 2002).

Sampai saat ini, sangat sedikit informasi atau mungkin belum ada studi tentang kolonisasi famili Dipterocarpaceae di Indonesia atau di Asia Tenggara. Dari hasil penelitian ini diduga bahwa kolonisasi Shorea spp di Indonesia berawal dari pulau Sumatra dan menyebar ke pulau Kalimantan. Hal ini tercermin dari semua haplotipe yang ditemukan di pulau Kalimantan juga ditemukan di pulau Sumatra.

Maury-Lenchon dan Curtet (1998) me nyatakan bahwa Dipterocarpaceae di Asia Tenggara berasal dari daratan Afrika kemudian menyebar ke India terus bergerak ke daratan Sunda, Malaysia, Kalimantan dan sampai ke sebagian papua New Guinea pada akhir masa Cretaceous sampai masa Tertiary (100 sampai 5.5 juta tahun yang lalu). Bukti paleogeografi menyatakan bahwa sebelum periode

glacial, pulau Kalimantan bersatu dengan daratan utama Asia Tenggara, Jawa dan Sumatra (Morley 2000 dalam Kamiya et al 2005). Kondisi ini tentunya memungkinkan kolonisasi dan aliran gen dipterokarp dari pulau Sumatra ke Kalimantan dan sebaliknya dapat terjadi. Berkaitan dengan kondisi iklim saat itu yang berfluktuasi secara drastis, mungkin telah mempengaruhi pola dan tingkat variasi interspesifik, diferensiasi jenis dan interspesifik hibridisasi yang diamati dalam jenis Shorea sekarang ini.

Jarak genetika merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan indikasi adanya hubungan kekerabatan antar populasi. Dendogram UPGMA berdasarkan jarak genetika (Nei 1972) dan Gregorio us & Roberds (1986) dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Pada Gambar 8 terlihat bahwa ketiga jenis

Shorea terpisah membentuk kelompok tersendiri. S. parvifolia terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu S. parvifolia dari populasi Sari Bumi Kusuma sebagai kelompok pertama, dan S. parvifolia dari populasi lain sebagai kelompok kedua.

S. acuminata juga terdiri dari dua kelompok, yaitu S. acuminata dari populasi Pasir Mayang dan Nanjak Makmur sebagai kelompok pertama, dan S. acuminata

dari populasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sebagai kelompok kedua.

Gambar 8 Dendogram UPGMA S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia

berdasarkan jarak genetik a Nei (1972)

Gambar 9 Dendogram UPGMA S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia

29

S. leprosula terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompak pertama yaitu S. leprosula dari populasi Sari Bumi Kusuma, Nanjak Makmur, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Asialog dan Haurbentes, S. leprosula dari populasi Tering dan Sumalindo sebagai kelompok kedua adalah, serta S. leprosula dari populasi Pasir Mayang sebagai kelompok ketiga. S. acuminata dari populasi Berau berada dalam satu kelompok dengan S. leprosula dari populasi Pasir Mayang, hal ini disebabkan oleh banyaknya haplotipe S. acuminata dari populasi Berau yang sama dengan S. leprosula dari populasi Pasir Mayang seperti terlihat dari Gambar 7 dan Tabel 6.

Pengelompokan ketiga jenis Shorea berdasarkan Gregorious & Roberds (1986) ditemukan sedikit perbedaan dengan Nei (1972), yaitu pada S. acuminata

dari populasi Berau berada dalam satu kelompok dengan S. acuminata dari populasi Pasir Mayang, sedangkan pada dendogram berdasarkan Nei (1972), S. acuminata dari populasi Berau berada satu kelompok dengan S. leprosula dari Pasir Mayang. Perbedaan lain juga terlihat dari penempatan S. acuminata dari populasi TNBT. Pada Gambar 9, S. acuminata dari populasi TNBT ditempatkan satu kelompok dengan S. parvifolia dari populasi Sari Bumi Kusuma, sedangkan pada Gambar 8, S. acuminata dari populasi TNBT dan S. parvifolia dari populasi Sari Bumi Kusuma tidak berada dalam satu kelompok.

Dari kedua dendogram terlihat adanya populasi dari pulau Sumatra dan Kalimantan yang berada dalam satu kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa

Shorea spp telah menyebar merata di pulau Sumatra dan Kalimantan sebelum periode glacial. Pemisahan pulau Sumatra dan Kalimantan yang terjadi setelah periode glacial, tidak membuat banyak perubahan pada DNA kloroplas Shorea

spp, sehingga variasi haplotipe antar pulau tidak berbeda.

Pembagian Haplotipe antar jenis

Sepuluh individu S. acuminata, tiga individu S. leprosula dan lima individu S. parvifolia memiliki haplotipe yang sama dengan jenis Shorea lain. Haplotipe tersebut tidak mengkonfirmasi identifikasi morfologis. Haplotipe D pada S. acuminata terdapat pada S. parvifolia di populasi Sari Bumi Kusuma, haplotipe A pada S. leprosula juga terdapat pada S. acuminata di populasi Berau dan populasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Haplotipe C pada S. parvifolia

juga ditemukan pada S. acuminata di populasi Berau, populasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan populasi Nanjak Makmur serta pada S. leprosula di populasi Pasir Mayang seperti terlihat pada Tabel 6 dan Gambar 7. Haplotipe F adalah dominan ditemukan pada S. parvifolia di populasi Sari Bumi Kusuma. Haplotipe ini juga terdapat pada S. acuminata di populasi Pasir Mayang dan pada S. leprosula di populasi Tering dan populasi Sumalindo. Terdapatnya haplotipe yang sama diantara ketiga jenis Shorea, kemungkinan disebabkan oleh terjadinya interspesifik hibridisasi diantara mereka atau dengan jenis Shorea lain.

Meskipun hibridisasi dan introgresi pada jenis Shorea adalah langka, karena tingginya derajat inkompatibilitas antar jenis, tetapi Ashton (1982); Ishiyama et al. (2003); dan Kamiya et al. (2005) telah melaporkan adanya jenis hibrid dalam genus Shorea. Ashton (1982) menemukan dua spesimen koleksi hibrid antara S. acuminata dan S. parvifolia di Sumatra Tenggara dan hibrid antara S. leprosula dan S. curtisii dari beberapa lokasi di Semenanjung Malaysia dan Singapura. Ishiyama et al. (2003) telah melakukan DNA sekuensing terhadap gen Glyceraldehide-3-phosphate dehydrogenase (GapC) empat jenis Shorea (S. acuminata, S. curtisii, S. leprosula dan S. parvifolia) dan menemukan beberapa individu mengandung tipe haplotipe lain yang tersusun atas sekuen DNA jenis berbeda.

Chan (1981) dalam Indrioko (2005) menemukan adanya pembentukan buah yang sukses dari hasil persilangan antara S. splendida dan S. stenoptera. Hal ini mengindikasikan adanya potensial hibridisasi alami antara jenis Shorea. Ada beberapa faktor yang mendukung kemungkinan terjadinya hibridisasi, yaitu ketiga jenis Shorea yang diinvestigasi tumbuh bersama dalam hutan (membentuk tegakan campuran) dan waktu pembungaan yang tumpang tindih (overlaping). Mereka tidak berbunga setiap tahun, tetapi pada interval waktu yang tidak teratur dan intensitas pembungaan massal yang bervariasi (selang 2 sampai 5 tahun) (Ashton 1982).

Pembungaan massal (mass flowering) biasanya berlangsung hanya beberapa bulan, pada saat ini hampir semua jenis dipterokarpa berbunga. Pembungaan massal species Shorea seksi Mutica berlangsung bulan Maret sampai Juni dengan waktu pembungaan yang berbeda-beda dan tumpang tindih antar

31

jenis. Waktu pembungaan S. acuminata tumpang tindih dengan pembungaan S. parvifolia dan S. leprosula seperti terlihat pada Gambar 10. Di tambah lagi dengan mekanisme reproduksi jenis Shorea adalah outcrossing, dengan polinator utama mereka adalah kelompok serangga (thrips) dan kumbang (Ashton 1982; Bawa 1998; Sakai et al. 1999) sehingga pertukaran gen antar jenis memungkinkan terjadi. Transfer polen pada jenis Shorea dilakukan oleh polinator.

Gambar 10 Waktu pembungaan pada beberapa jenis Shorea seksi Mutica famili Dipterocarpaceae di Semenanjung Malaysia (Ashton 1988).

Sakai et al. (1999) melaporkan bahwa dari 74% kumbang yang mengunjungi bunga S. parvifolia, 30% diantara mereka membawa polen, sedangkan dari 16% thrips yang mengunjungi bunga S. parvifolia, 12% diantara mereka membawa polen. Arnold (1992) mengatakan bahwa polen adalah media yang dapat menyebabkan terjadinya introgresi. Introduksi polen asing kepada bunga tanaman lain akan menghasilkan turunan (hibrid) yang membawa DNA inti bukan DNA kloroplas.

Grant (1975) menyatakan bahwa pada peristiwa interspesifik hibridisasi terjadi juga introgresi DNA kloroplas (yang dikenal dengan istilah chloroplast capture) seperti terlihat pada Gambar 11. Penangkapan kloroplas (chloroplast capture) adalah introgresi genom kloroplas satu jenis tanaman ke dalam populasi lain diikuti oleh hibridisasi diantara jenis, dimana tanaman secara morfologis

dapat diidentifikasi sebagai satu jenis tanaman tetapi tanaman tersebut mempunyai genom kloroplas jenis tanaman lain. Dari Gambar 11 terlihat bahwa setelah

backcrossing beberapa generasi (BC) diperoleh individu yang mengandung genotipe nuklear jenis A dan cytoplasm (genom kloroplas) jenis B. Jumlah kontribusi cytoplasm oleh tetua betina ha mpir konstan melalui beberapa

backcrossing, tetapi proporsi DNA nuklear dari tetua A meningkat secara eksponensial dalam generasi berikutnya, sedangkan proporsi DNA nuklear tetua lain menurun.

Gambar 11 Mekanisme penangkapan kloroplas (Chloroplast capture) pada Eucalyptus spp (Jackson et al. 1999)

Fenomena penangkapan kloroplas telah dilaporkan antara lain pada Sunflower genus Halianthus (Rieseberg et al. 1990): Oaks (Whittemore & Schaal 1991); Eucalyptus (Jackson et al. 1999) dan Mitella (Okuyama et al. 2005). Rieseberg et al. (1990) menemukan dari 154 individu Halianthus annuus ssp.

33

Adanya haplotipe yang sama diantara ketiga jenis Shorea dapat disebabkan oleh kesalahan identifikasi di lapangan. Pada koleksi sampel di lapangan, tenaga kolektor memiliki keahlian identifikasi morfologis di lapangan yang dipakai, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya salah identifikasi. Untuk sampel yang meragukan secara morfologis di lapangan, dikirim ke herbarium Bogoriensis untuk diidentifikasi secara lebih teliti.

Implikasi Terhadap Konservasi Sumber Daya Genetika Shorea spp di Indonesia.

Salah satu tujuan konservasi adalah mencegah punahnya suatu jenis. Konservasi sumber daya genetika jenis dipterokarp dapat dilakukan secara in situ

dan ex situ. Konservasi secara in situ membutuhkan ukuran populasi yang besar, sedang konservasi ex situ, individu yang dikoleksi hendaknya memiliki keragaman genetika yang mewakili konservasi in situ sehingga keragaman genetika dalam populasi tetap tersimpan dan terpelihara.

Berdasarkan nilai diferensiasi genetika S. acuminata (Gst = 0.3185), S. leprosula (Gst 0.143) dan S. parvifolia (Gst 0.5821), dan AMOVA S. acuminata

dan S. parvifolia pada semua tingkat (dalam populasi, antar populasi dalam pulau dan antar pulau) berbeda nyata secara statistik, maka strategi konservasi untuk S. acuminata dan S. parvifolia berbeda dengan S. leprosula. Untuk S. acuminata dan

S. parvifolia, konservasi dilakukan di banyak populasi dalam tiap pulau, sedang S. leprosula dilakukan di pusat-pusat keragaman (diversity hotspots) di masing-masing pulau, yaitu populasi Pasir Mayang di pulau Sumatra, populasi Tering dan Sumalindo di pulau Kalimantan.

Konservasi S. acuminata dapat dilakukan pada populasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Pasir Mayang di pulau Sumatra dan populasi Berau di pulau Kalimantan, sedang untuk S. parvifolia, konservasi dapat dilakukan di populasi Sari Bumi Kusuma. Untuk keamana n konservasi sumberdaya genetika, lebih baik memilih kawasan Taman Nasional untuk dikonservasi, karena kawasan ini dilindungi oleh Undang-Undang dari aktivitas penebangan.

SIMPULAN

1. Ketiga jenis Shorea ini memiliki haplotipe diagnostik, yaitu haplotipe D untuk S. acuminata, haplotipe A untuk S. leprosula dan haplotipe C untuk

S. parvifolia yang dibedakan oleh 1-2 pasang basa.

2. Jumlah total haplotipe yang ditemukan pada ketiga jenis Shorea adalah enam haplotipe, yaitu haplotipe A, B, C, D, E, dan F .

3. Variasi haplotipe dalam populasi tertinggi diamati pada S. acuminata, yaitu enam haplotipe, dan masing- masing tiga haplotipe pada S. leprosula

dan S. parvifolia.

4. Nilai diferensiasi genetika tertinggi ditemukan pada S. parvifolia (Gst = 0.58) diikuti oleh S. acuminata (Gst = 0.31) dan S. leprosula (Gst = 0.14). 5. Semua haplotipe menyebar merata pada populasi yang ada di setiap pulau,

sehingga tidak ditemukan asosiasi antara distribusi haplotipe dengan pemisahan secara geografis.

35 DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyid H, Marfuah, Wijayakusuma H, Hendarsyah D, 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan.

Anonymous. 04 Des 2005. Kerusakan hutan 2.6 sampai 2.8 juta hektar per tahun.

www.kompas.com. [16 Maret 2006].

Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae, in: Van Steenis, CGGJ. (Editor). Flora Malesiana, Series 1, Spermatophyta, Vol. 9, Part 2. Martinus Nijhoff. The Hague, Boston, London. pp.237-552.

Ashton PS. 1988. Dipterocarp biology as a window to the understanding of tropical forest structure. Annu. Rev. Ecol. Syst. 19: 347-370.

Ayala FJ. 1976. Molecular genetic and evolution, in Ayala FJ. (Editor.). Molecular evolution. Sunderland Massahusetts, Sinauer Associates, Inc. pp.1-7.

Arnold ML. 1992. Natural hybridization as an evolutionary process. Ann. Rev. Ecol. Syst, 23: 237-261

Balding D. 1999. Forensic applications of microsatellite markers, in: Golstein, DB. and Schlötterer, C. (Eds.). Microsatellite: evolution and applications. Oxford University Press. pp. 198-210.

Banks, JA and Birky, CW. 1985. Chloroplast DANN diversity is low in a wild plant, Lupinus texensis. Proc. Natl. Acad. Sci USA. 82: 6950-6954

Bawa KS. 1998. Conservation of genetic resources in the Dipterocarpaceae, in:

Dokumen terkait