• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN NASI SORGHUM

Penelitian ini menggunakan bahan baku utama sorghum varietas B 100 segar yang diperoleh dari BATAN. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan tanaman yang dilakukan BATAN dengan teknik mutasi induksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BATAN, varietas ini memiliki sifat unggul antara lain genjah, semi pendek, malai besar dan kompak, biji berwarna putih bersih dan produksi (indeks panen) tinggi. Sorghum varietas ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi varietas sorghum unggul untuk membantu menanggulangi masalah kekurangan pangan di Indonesia.

Biji sorghum yang diperoleh oleh peneliti berupa biji sorghum yang masih utuh, terbungkus oleh kulit luarnya, tapi yang sudah terlepas dari malainya. Biji sorghum utuh berbentuk bulat agak gepeng dengan warna kulit luar coklat muda. Gambar biji sorghum utuh dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Biji sorghum yang belum disosoh

Biji sorghum utuh yang diperoleh harus disosoh untuk menghilangkan sekamnya. Tujuan penyosohan sorghum ini adalah untuk memisahkan endosperm, kulit luar dan lembaga sebaik-baiknya. Penyosohan sorghum sulit untuk dilakukan karena sorghum memiliki kulit luar yang keras. Sekam dapat mengganggu proses penanakan sorghum karena sekam akan menghalangi air masuk ke dalam sorghum sehingga gelatinisasi berjalan kurang sempurna. Selain itu, sekam yang tertinggal akan meninggalkan suatu tekstur berserat pada nasi sorghum yang dihasilkan.

Penyosohan dilakukan menggunakan alat penyosoh sorghum hasil desain Purwanegara (1983). Keunggulan dari alat ini yaitu kapasitasnya yang besar (sekitar 10 kg) dan proses penyosohan yang kontinyu. Alat tersebut terdiri dari unit penggiling dengan bagian-bagiannya seperti bagian penggiling, silinder saringan dan rumah penggiling. Unit penggiling ditopang oleh suatu susunan kerangka penunjang dan dihubungkan oleh suatu sistem penyalur tenaga dengan sumber tenaga penggerak. Fungsi unit penggiling yaitu untuk mengupas kulit biji sorghum dengan gaya gesekan yang terjadi antara batu gerinda penggiling sorghum dengan biji sorghum, dan gesekan antar biji sorghum itu sendiri. Tidak seperti pada alat penyosoh beras, huller dan polisher pada mesin

penyosoh sorghum tergabung dalam satu mesin yang akan langsung menghasilkan biji sorghum sosoh, sehingga tidak menghasilkan sorghum pecah kulit.

Biji sorghum yang telah disosoh berwarna putih sedikit kekuningan dengan sedikit bintik kemerahan yang diakibatkan sebagian tanin yang tidak bisa tersosoh dengan bersih (Gambar 8). Hal ini bisa terjadi karena bentuk biji sorghum yang tidak bulat utuh. Penyosohan dilakukan selama kurang lebih 1 jam untuk 1 kilogram biji. Pada proses penyosohan, sebagian besar lembaga terbuang mengakibatkan hilangnya sebagian besar lemak sorghum.

Gambar 8. Biji sorghum sosoh

Peneliti mengharapkan lapisan testa, tempat tanin berada, tersisa cukup banyak, tapi karena letak testa yang berada di bawah endokarp dan di atas aleuron, sedangkan aleuron itu sendiri ikut terbuang pada saat penyosohan, mengakibatkan sebagian besar lapisan testa terbuang. Semakin lama penyosohan, makin banyak testa yang terbuang. Rendemen hasil penyosohan juga cukup sedikit, hanya ± 40,32 %. Banyak biji yang tercecer di lantai juga makin mengurangi rendemen. Jika waktu penyosohan makin sebentar, maka rendemennya makin banyak tapi kulit luar tidak terbuang dengan sempurna,

dan sebaliknya. Selain itu, apabila penyosohan makin lama, makin banyak biji sorghum patah yang dihasilkan. Perbandingan karakteristik biji sorghum sebelum dan sesudah disosoh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan karakteristik biji sorghum sebelum dan sesudah disosoh Karakteristik Biji sorghum utuh Biji sorghum sosoh

Bentuk Bulat agak gepeng

Bulat agak gepeng dengan lekukan di salah satu ujungnya

Warna Coklat muda Putih sedikit kekuningan

dengan sedikit bintik merah Bobot biji ± 30,5 mg ± 12,3 mg

Ukuran Diameter ± 4,5 mm Tebal ± 2,8 mm

Diameter ± 3,6 mm Tebal ± 2,2 mm

Pembuatan nasi sorghum dilakukan dengan metode aron kukus. Metode pemasakan yang dipilih adalah aron kukus karena metode inilah yang paling umum digunakan di rumah tangga selain menggunakan rice cooker. Penggunaan rice cooker tidak dilakukan karena keterbatasan bahan baku dan alat. Metode aron kukus untuk biji sorghum diadaptasi dari metode aron kukus untuk beras, sehingga tidak terlalu berbeda dari metode aron kukus beras. Yang berbeda hanyalah jumlah air untuk mengaron dan lama pengukusan. Metode ini terdiri dari dua tahap yaitu pengaronan dan pengukusan. Metode aron kukus untuk beras dapat dilihat pada Gambar 9.

Sebelum dimasak, biji sorghum yang telah disosoh dicuci dahulu untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada, misalnya daun, kerikil, kutu, maupun aleuron yang masih tersisa pada sorghum. Pada saat pencucian, biji sorghum yang telah ditimbang sebanyak 50 g, ditampung terlebih dahulu di dalam wadah. Wadah tersebut diisi dengan air, kemudian diaduk-aduk dengan arah perputaran searah jarum jam. Kotoran, biji sorghum patah, kutu serta sekam yang tertinggal akan mengambang, karena berat jenisnya yang lebih rendah daripada air, sehingga mudah dipisahkan. Proses ini diulangi kurang

lebih dua sampai tiga kali sampai biji sorghum benar-benar bersih. Berat biji sorghum yang dimasak dipilih 50 g karena jumlah ini tidak terlalu sedikit, namun juga tidak terlalu banyak sehingga biji sorghumnya tidak mubazir terbuang.

Pencucian 2-3 kali

Pengaronan dalam air 1:1 atau 1:1,2

Pengukusan selama 35-45 menit

Gambar 9. Diagram alir pemasakan beras metode aron kukus (Hubeis, 1985) Pada proses pengaronan, terjadi gelatinisasi parsial pati sorghum. Pengukusan baru akan menggelatinisasi sebagian pati yang belum tergelatinisasi sempurna pada proses pengaronan. Pengaronan dilakukan dengan volume air pada perbandingan 2:3, 1:2, 2:5, 1:3 terhadap berat biji sorghum. Digunakan perbandingan air, bukan suatu volume spesifik karena pati pada saat tergelatinisasi akan menyerap air dengan jumlah tertentu, sehingga jika jumlah sorghum makin banyak, makin banyak pula air yang dibutuhkan. Pada proses pengaronan, pertama sejumlah air dididihkan dahulu, baru kemudian sorghum dimasukkan. Api yang digunakan sedang. Api yang digunakan tidak boleh terlalu besar karena akan memberi kemungkinan sebagian air untuk menguap, bukan terserap oleh pati sorghum. Selain itu, api yang terlalu besar akan menyebabkan biji sorghum gosong dan lengketnya biji sorghum di panci. Proses ini akan menghasilkan nasi sorghum aron (Gambar 10).

Nasi Beras

Gambar 10. Nasi sorghum aron

Nasi sorghum aron kemudian dikukus. Nasi sorghum aron baru dimasukkan ke dandang tempat pengukusan setelah air mendidih dan mengeluarkan uap. Uap panas inilah yang akan menyebabkan pati sorghum yang belum tergelatinisasi sempurna menjadi tergelatinisasi. Air yang dimasukkan untuk mengukus haruslah cukup agar sorghum yang dikukus tidak gosong. Hasil dari proses ini adalah nasi sorghum (Gambar 11).

Nasi sorghum yang dihasilkan terlihat mengkilap dan lengket. Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), kadar amilosa rata-rata sorghum adalah 23- 28 %, dan tidak ada sorghum yang memiliki kadar amilosa lebih dari 28 %. Sorghum dapat digolongkan menurut kadar amilosanya yaitu sorghum jenis beras dan jenis ketan. Pada sorghum jenis beras (non-waxy) kadar amilosanya berkisar antara 21-28 %, dan pada sorghum jenis ketan (waxy) kadar amilosanya berkisar 1-2 %. Sekarang, bahkan sudah ditemui sorghum dengan kadar amilopektin 100 %. Dapat disimpulkan bahwa varietas B 100 termasuk sorghum jenis ketan. Hal ini menunjukkan kadar amilosanya rendah, sedangkan amilopektinnya tinggi.

Warna nasi sorghum yang dihasilkan agak kemerahan. Warna ini tidaklah umum dan wajar sebagai warna nasi. Warna kemerahan pada nasi hanya terdapat pada beras merah, dan beras jenis ini sekarang sulit ditemui. Warnanya yang aneh ini dikhawatirkan akan mempengaruhi preferensi konsumen akan produk ini. Hal tersebut akan dibahas kemudian.

Dari ke-12 formula yang dibuat, ternyata ada delapan formula yang menghasilkan nasi sorghum yang tidak melewati screening berdasarkan tingkat kematangannya. Formula tersebut tiga di antaranya adalah formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 2:3, dimana nasi sorghum yang dihasilkan belum matang, ditandakan dengan teksturnya yang masih keras, terutama di bagian tengahnya dan agak berasa seperti tepung. Ketidakmatangan ini diakibatkan kurangnya volume air untuk menggelatinisasi seluruh pati yang ada di sorghum. Tiga formula lainnya adalah formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 1:3, dimana nasi sorghum yang dihasilkan terlalu lembek dan hancur, hampir seperti bubur. Hal ini diakibatkan terlalu banyak air yang digunakan. Kekurangmatangan juga terjadi pada formula volume air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 20 menit. Formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 40 menit juga terlalu matang. Kedelapan formula tersebut tidak akan diikutsertakan dalam uji organoleptik. Keempat formula yang akan diorganoleptik adalah formula dengan air untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 20 menit (Formula A), air untuk

mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 30 menit (Formula B), air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 30 menit (Formula C), dan air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 40 menit (Formula D).

Dokumen terkait