• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemutusan Hubungan Kerja

Suatu perusahaan / institusi / lembaga tertentu pada dasarnya memerlukan karyawan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan usaha perusahaan / institusi / lembaga tersebut. Karyawan adalah seseorang yang bekerja di suatu perusahaan / institusi / lembaga tertentu yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu pula. Menurut Suharso (2005 : 226), karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji (upah), selain itu karyawan juga berarti pegawai / buruh / pekerja. Karyawan yang aktif bekerja pada suatu perusahaaan / institusi / lembaga tertentu akan menerima upah yang sebenarnya merupakan balas jasa dari perusahaaan / institusi / lembaga yang mempekerjakan mereka.

Dalam siklus kehidupan suatu perusahaan pasti tidak akan pernah lepas dari perekrutan karyawan, mutasi, demosi, dan promosi karyawan, bahkan juga pemberhentian karyawan dari pekerjaannya baik itu karena adanya masa pensiun wajib, ataupun karena adanya pemecatan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan.

1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pemecatan, atau lebih dikenal dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) adalah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha sehingga berakhir pula hak dan kewajiban diantara mereka (Panggabean,

2002: 17). Hal ini merupakan suatu cara untuk menghentikan seseorang dari suatu jabatan atau pekerjaan. Menurut peraturan perundang-undangan bidang ketenaga kerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan perusahaan (Triando, 2006). 2. Sebab-sebab Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pada suatu perusahaan, pemecatan ini biasa dilakukan jika pekerja melakukan kesalahan berat sebagai berikut (UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 dalam www.rcs.co.id/ketenagakerjaan_2003.htm.):

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. Melakukan perbuatan asusila di lingkungan kerja;

e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi, teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. Membongkar atau membocoran rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih.

Pemecatan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan, seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini merupakan metode yang dianggap cukup efektif untuk mengatasi kebangkrutan suatu perusahaan, karena dengan dilakukannya pemecatan maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akan jauh berkurang, apalagi untuk suatu perusahaan besar yang mempekerjakan banyak karyawan maka PHK masal terhadap karyawan dengan kemampuan yang kurang atau dengan posisi yang sudah tidak diperlukan lagi merupakan suatu pilihan yang terbaik meskipun PHK masal ini secara sadar ataupun tidak juga akan merugikan perusahaan.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para karyawan juga dilakukan jika perusahaan mengalami perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Penggabungan dan peleburan perusahaan mengakibatkan perusahaan harus menutup salah satu atau beberapa anak cabangnya yang dilakukan untuk menekan biaya yang

harus dikeluarkan akibat produksi yang tidak kompetitif lagi dan untuk meningkatkan daya saing perusahaan di pasar.

3. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Ada dua jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu menurut jangka waktu dan menurut sumber Pemutusan hubungan Kerja (PHK). Menurut jangka waktunya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terbagi menjadi dua (2), yaitu :

a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sementara, atau yang lebih dikenal dengan istilah “dirumahkan”, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara perusahaan dan karyawan yang hanya bersifat sementara. Karyawan yang “dirumahkan” ini masih memiliki kesempatan untuk kembali bekerja. Hal ini biasanya dilakukan karena adanya pengurangan produksi sementara perusahaan.

b. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetap, atau lebih dikenal dengan PHK, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara perusahaan dan karyawan yang bersifat tetap. Karyawan yang sudah benar-benar di PHK ini tidak memiliki kesempatan untuk bekerja kembali di perusahaan sebelumnya.

Sedangkan menurut sumbernya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara pekerja dan pengusaha ada 4 (empat) jenis, yaitu (Panggabean, 2002: 121 – 122):

a. Voluntary turnover, yaitu pemutusan kerja atas kehendak sendiri. Hal ini terjadi jika karyawan memutuskan diri untuk berhenti bekerja atau

mengundurkan diri dari pekerjaannya atas dasar alasan pribadi, misalnya karena karyawan mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik dari perusahaan semula.

b. Lay off, yaitu pemberhentian karyawan karena habis masa kontraknya atau karena karyawan yang bersangkutan tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.

c. Retirement atau pensiun, yaitu pemberhentian karyawan karena karyawan yang bersangkutan telah mencapai usia tertentu. Pada umumnya pemensiunan karyawan ini dilakukan jika karyawan telah mencapai usia 55 tahun sampai 65 tahun, tetapi tergantung dari program masing-masing perusahaan.

d. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas kehendak pengusaha. Hal ini dilakukan karena adanya pengurangan aktivitas atau penciutan usaha, atau karena kelalaian karyawan sehingga melanggar disiplin perusahaan. 4. Reaksi-reaksi terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Bagi para karyawan, menghadapi saat-saat berhenti bekerja merupakan suatu malapetaka yang dirasa merebut sumber daya karena pada umumnya pemberhentian kerja karyawan terjadi atas kehendak pengusaha. Oleh karena itu pada umumnya para karyawan bereaksi negatif terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), apalagi bila proses pemecatan atau PHK tersebut diawali dengan proses yang tidak mengacu pada peraturan yang ada, seperti yang sudah diatur dalam Undang-undang (UU) No. 13 tahun 2003 yang menggantikan Undang-undang (UU) No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta. Reaksi negatif tersebut antara lain:

a. Agresi

Karyawan melampiaskan kekecewaannya pada sesuatu yang ada didekatnya yang sebenarnya ditujukan kepada sumber kekecewaannya tersebut.

b. Regresi

Karyawan menyalurkan kekecewaannya dengan bentuk keluhan karena ia tidak mampu menghapus kekecewaannya tersebut. Keluhan ini dilakukan untuk mendapatkan simpati sekaligus untuk meringankan beban yang ada dalam pikirannya.

c. Fiksasi

Karyawan menyalurkan kekecewaannya dengan melakukan suatu tindakan yang tidak memliliki tujuan yang jelas, padahal ia sendiri tahu kalau tindakannya tersebut akan sia-sia saja.

d. Penyerahan / penerimaan

Karyawan menyerahkan kegagalan sepenuhnya pada nasib. Ia sama sekali tidak berusaha untuk merubah atau memperbaiki nasibnya agar menjadi lebih baik.

e. Rasionalisasi dan proyeksi

Karyawan berusaha mendapatkan toleransi/penerimaan atas kegagalannya dari pihaknya sendiri. Penerimaan tersebut atas hal yang dicari-cari, bukan berdasarkan kondisi riil yang dihadapinya. Pencarian

alasan itu dijadikan dasar bagi pembelaan diri bagi keseimbangan pribadi, yang berhubungan dengan self respect-nya. Kadang-kadang pegawai tersebut memproyeksikan kegagalannya pada orang lain. f. Disorganisasi (mengalami gangguan mental)

Karyawan menjadi tertekan dan frustrasi, sehingga ia mengalami disorganisasi pribadi. Ia mengalami emotional break down, dimana dalam keadaan ini ia dapat mengalami suatu gangguan bicara, bahkan menunjukkan suatu perilaku yang regresif.

g. Penarikan diri (withdrawal)

Karyawan mengundurkan diri dari konflik yang dihadapinya. Ia berusaha melupakan kesulitan yang dihadapinya karena ia merasa tidak akan mungkin lagi mendapatkan pekerjaan yang selayak pekerjaan sebelumnya. Karyawan yang menarik diri ini biasanya berpikir secara autistik, berkhayal yang tidak riil, melamun, atau bisa saja merubah dirinya menjadi seorang pemabuk, pecandu, dan sebagainya.

B. Menarik Diri (withdrawal)

Dokumen terkait