Widiarso Riaukepri.com, 28 Oktober 2020
RiauKepri.com, Pekanbaru—Matahari tepat di atas kepala. Tampak tiga orang tengah menggali lahan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tengku Mahmud, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru. Topi tersemat di kepala mereka sebagai pelindung dari terik siang itu.
Seorang di antaranya, berbaju kuning dan bercelana panjang, tangannya cekatan menyerok tanah dengan sekop, menggali tanah dan membuat lubang. Gundukan yang tak terpakai disisihkan di samping lubang yang baru saja berhasil dibuat.
Ia adalah Suryanto yang sejak 2010 melakoni pekerjaan sebagai penggali kubur. Meski usia kerjanya sudah hampir satu dasawarsa, tapi status kepegawaiannya tak berubah. Tetap saja ia menjadi tenaga harian lepas di bawah Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Pekanbaru.
Pemakaman umum tempat Suryanto bekerja itu berdiri sejak 2000 lalu. Mulanya, lahan seluas lebih 10 hektare itu merupakan
pemakaman biasa. Tapi belakangan, sejak wabah virus corona menjangkiti Indonesia, bagian belakang TPU digunakan untuk kuburan pasien Covid-19 yang meninggal.
Namun tak ada plang atau tanda khusus yang benar-benar membedakan kuburan khusus pasien Covid-19 dengan kuburan lain. Hanya saja ketika masuk di bagian belakang, akan ada ratusan gundukan tanah yang terlihat masih basah.
Dari kejauhan, kaki-kaki penggali kubur tampak terbenam di dalam lubang galian. Suryanto tak sendiri, di tempat pemakaman umum ini, ia satu tim dengan dua pekerja harian lepas lain, Anto dan Aprianto. Lantas seorang lagi berlaku sebagai koordinator TPU, Subhan yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Seraya masih mengerjakan tugas, hanya bagian lutut ke atas mereka saja yang kelihatan.
Kuburan berjajar jadi latar belakang rutinitas para tukang gali. Ada ratusan jumlahnya. Di atas gundukan tanah itu terpacak papan kayu bertuliskan nama dan kode rumah sakit. Itulah makam demi makam yang harus mereka kerjakan setiap hari dan jumlahnya terus bertambah. “Kadang sehari itu ada 4 jenazah yang masuk, kadang satu, kadang tidak ada, yang pasti tiap harinya kami harus menggali lubang kuburan,” kata Suryanto bercerita.
Sejak tujuh bulan lalu hingga Senin (26/10/2020), ada 335 kuburan yang terisi. Suryanto tak tahu kapan wabah berakhir agar ia dan kawan-kawannya bisa ngaso dari menyiapkan lubang kuburan. Sebab, kian bertambahnya korban meninggal membuat pekerjaan penggali kubur tak mengenal libur. Bahkan hari Minggu pun, Suryanto dan kawan-kawannya tetap harus menyiapkan lubang kuburan.
Pandemi membuat hari-hari para penggali kubur lebih banyak dihabiskan di tempat pemakaman umum ketimbang pulang ke rumah. Berangkat dari rumah pukul 06.30 pagi, Suryanto harus menempuh jarak 30 kilometer. Ia baru tiba kembali di rumah sekitar pukul tujuh malam. Itu kalau sedang beruntung. Kadang,
ada kalanya jenazah baru tiba pukul 18.00 sore. “Sudah lebih dari tujuh bulan kami lebih banyak waktu di kuburan, keluarga dan saya mengetahui bahwa pekerjaan ini penuh risiko, tapi ini sudah tanggung jawab dan harus dikerjakan,” ujar Suryanto kepada wartawan Riaukepri.com di sela istirahat siang.
Hampir saban hari, kata dia, ada saja jenazah yang datang untuk dikuburkan. Bahkan ketika tengah malam. “Prosedurnya, sejak dua jam pasien meninggal, sudah harus dikuburkan,” tutur dia lagi. Setiap pekerja harus menggali satu hingga dua lubang. Sehingga, ketika jenazah tiba, bisa langsung dikubur.
Tapi ia mengakui, waktu terberat adalah bekerja di malam hari. Jika jenazah tiba malam, penerangan hanya mengandalkan lampu dari mobil ambulans. Kondisi akan bertambah runyam ketika hujan turun. Tanah kuburan bakal bercampur air sehingga memperlambat proses penutupan makam.
Dengan risiko dan aral lintang pekerjaan penggali kubur, Suryanto sebetulnya tak minta muluk-muluk. Jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan memang sudah ia dapat, meski baru didaftarkan pada Juli 2020. Namun ia masih berharap, pemerintah serius memperhatikan kebutuhan penggali kubur di tengah Covid-19 seperti ini. Misalnya saja soal ketersediaan fasilitas listrik, pondok peristirahatan di TPU, hingga vitamin atau suplemen untuk imunitas pekerja.
Kebutuhan seperti vitamin atau suplemen selama ini masih dipenuhi dari hasil patungan sesama penggali kubur. “Untuk vitamin dan makan siang kami harus patungan, dan juga membawa bekal. Untuk suplemen jarang tersedia. Paket internet juga diperlukan karena panggilan masuk untuk menguburkan jenazah tidak mengenal waktu. Kami berharap ada perhatian lebih di masa Covid,” kata Suryanto yang bergaji Rp74 ribu per hari tersebut.
Soal lain menyangkut aspek perlindungan karena para penggali kubur berisiko tertular Covid-19. “Saat bekerja kami memang diberikan baju alat pelindung diri (APD) tapi itu kami gunakan saat
menguburkan jenazah. Kalau untuk dipakai saat menggali lubang tidak bisa sebab mengganggu tubuh, tidak nyaman dan menjadi lebih lambat saat menggali,” kata Suryanto melanjutkan. Harapan lain yakni pencairan insentif Rp 200 ribu yang dijanjikan untuk para penggali kubur berjalan lancar.
Pemberian insentif tersebut sempat tertunda. Walikota Pekanbaru Firdaus menjelaskan, keterlambatan tersebut karena adanya masalah administratif regulasi. Sementara gaji bulanan, tetap diberikan sesuai jadwal. “Yang tertunda cuma insentif tambahan. Kenapa? Ini juga berkaitan dengan regulasi, sekarang tidak ada persoalan. Tadi inspektorat telah memberikan verifikasi terhadap proposal
insentif yang diajukan Dinas Perkim (Perumahan dan Permukiman), dan insyallah segera dicairkan. Uang tidak ada masalah,” tutur Firdaus kepada wartawan, Rabu (7/10/2020).
Tapi, Suryanto terlanjur berutang. Kebutuhan harian tak bisa menunggu. Selama insentif belum mengucur, ia terpaksa terlebih dulu kasbon ke warung tetangga. “Susu, beras, minyak goreng, gula, kopi dan teh yang sering berutang ke warung. Kadang sebulan utang sembako Rp500 - Rp700 ribu, tak tentu, saat gajian baru bayar,” kata dia.
Ahli Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Lancang Kuning, Indra Afrita menuturkan, perlindungan pekerja mestinya jadi prioritas, bertolak pada perintah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia menjelaskan, penggali kubur sebagai pekerja informal di tengah pandemi Covid-19, selayaknya menerima perhatian lebih. Indra lantas menyorot beberapa hal. Salah satu yang ironis menurut dia, adalah upah penggali kubur yang mengabaikan pedoman upah minimum kota (UMK).
“Jika dilihat penggajian harian berdasarkan pada harian, tapi tetap, dasarnya harus pedomannya adalah UMK. Tapi dilihat, gaji penggali kubur ini tidak sampai UMK. Kota Pekanbaru UMK-nya Rp2,9 juta, sementara gaji THL Rp75 ribu, jika dikali 30 hari maka
sekitar Rp2,250.000. Jadi jauh dari UMK, tak ketemu dia,” kata Indra menegaskan saat ditemui di ruang kerjanya pada Selasa, (6/10/2020).
Indra Afrita mengatakan, selayaknya insentif harus segera diberikan karena bagian dari kesejahteraan pekerja. Jika bekerja di luar rutinitas jam kerja atau rutinitas harian atau frekuensi bekerja lebih, maka sudah selayaknya mendapatkan (uang) lebih. “Saya lihat terlambatnya insentif terletak pada regulasinya. Kalau soal dana, saya yakin sudah ada. Diperlukan itikad baik dari pemerintah, terlebih sudah dijanjikan. Tidak ada alasan dia tidak mencairkan. Kendala pasti terkait administrasi yang belum terpenuhi,” tutur Indra lagi.
Indra Afrita berpendapat, bagi pekerja (termasuk penggali kubur), jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan adalah perlindungan utama yang wajib diberikan. Sementara soal upah yang rendah, ia tak kaget, mengingat THL di bawah pemerintah sehingga gaji pun ditentukan kemampuan keuangan instansi. Sedangkan pada masa Covid-19 ini, beban kerja penggali kubur bertambah. Maka, menurut Indra sudah selayaknya mereka mendapatkan penghasilan lebih berupa insentif lantaran bekerja di luar pekerjaan pokok.
Indra Afrita pun menjabarkan hak-hak pekerja. Selain jaminan kesehatan, pekerja harus mendapatkan jaminan ketenagakerjaan yang meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Jaminan kecelakaan, kata Indra, memiliki fasilitas perawatan berbeda dan lebih lengkap dibandingkan jaminan kesehatan. Saat pekerja mengalami kecelakaan kerja, maka ia akan memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai.
Menurut Indra, seorang penggali kuburan tentu memiliki risiko besar karena berinteraksi dengan korban Covid-19 langsung setiap harinya. “Dengan frekuensi bekerja yang tinggi juga, mestinya orang berisiko ini diberikan perlindungan yang tinggi,” katanya.
Sementara itu, penanggung jawab komunikasi BP Jamsostek Kota Pekanbaru, Dedi Supriadi mengatakan, pekerja yang terdaftar di Jamsostek akan memiliki jaminan sosial. Sebab BP Jamsostek memiliki layanan untuk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun.
Menurut Dedi, JKK bertujuan menjamin karyawan memperoleh pelayanan kesehatan dan juga santunan uang tunai jika menderita penyakit akibat kerja atau mengalami kecelakaan kerja. Jaminan kecelakan kerja digunakan untuk memberikan jaminan kepada karyawan jika terjadi risiko kecelakaan saat bekerja, mulai dari berangkat hingga pulang dari tempat bekerja. Iuran untuk JKK sepenuhnya merupakan tanggungan perusahaan.
Program JHT merupakan jaminan yang bisa diterima oleh karyawan ketika sudah berhenti bekerja ataupun memasuki usia pensiun. “Program Jaminan Hari Tua ini bertujuan untuk menjamin karyawan agar menerima uang tunai apabila sudah berhenti bekerja, memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Karyawan akan menerima hasil pengembangan dan juga iuran yang dibayarkan selama menjadi peserta.
Jaminan Kematian yaitu jaminan yang memberikan bantuan dana jika peserta mengalami kematian akibat kecelakaan kerja maupun tidak. Santunan ini akan diberikan secara langsung kepada ahli waris dari peserta.
Terakhir, Jaminan Pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
“Manfaat pensiun adalah sejumlah uang yang dibayarkan setiap bulan kepada peserta yang memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau kepada ahli waris bagi peserta yang meninggal dunia,” kata dia.
Dedy Nurdin. Menjadi jurnalis di
Tribun Jambi sejak 2014 - sekarang.
Ia juga bergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi.