• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang.

Kelangkaan ketersediaan air merupakan salah satu masalah serius yang yang dihadapi dalam sistem produksi padi terutama di lahan kering. Masalah ini timbul karena adanya perubahan iklim, pola curah hujan serta peningkatan penggunaan air di luar sektor pertanian. Perubahan iklim menyebabkan distribusi curah hujan yang tidak merata selama musim tanam dan berkurangnya curah hujan efektif sehingga menimbulkan periode kekeringan yang cukup berat (Gani, 2001). Oleh karena itu, pemanfaatan air yang tersedia merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam teknis budidaya padi di lahan kering.

Pemanfaatan air pada lahan kering sudah dilakukan dengan usaha-usaha untuk memanen air hujan. Cara yang umum dilakukan adalah membuat parit atau embung di sekitar lahan dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sehingga mampu meningkatkan kadar air tanah (Idjudin dan Marwanto, 2008). Selain usaha untuk mendapatkan air lebih banyak, pengelolaan air juga harus lebih difokuskan pada pemanfaatan kandungan air tanah yang tersedia dan efisiensi penggunaannya untuk pertumbuhan, pembentukan biomas dan produksi biji (Ng, 2009).

Hasil percobaan sebelumnya mengindikasikan bahwa genotipe yang toleran cekaman ganda memiliki perakaran yang lebih panjang dan bobot akar yang lebih berat. Karakter ini kemungkinan berhubungan dengan kemampuan genotipe tersebut dalam memanfaatkan ketersediaan air yang ada secara lebih efisien. Program pengembangan pemuliaan padi di Indonesia telah banyak dilakukan untuk padi tipe baru (Herawati et al., 2010; Susilawati et al., 2010; Lestari et al., 2010), karakter ketahanan terhadap cekaman aluminium (Utama, 2010), karakter ketahanan kekeringan (Mulyaningsih et al., 2010), dan karakter ketahanan cekaman salinitas (Situmorang et al., 2010; Utama et al., 2009). Kajian tentang efisiensi penggunaan air pada genotipe padi tampaknya belum banyak dilakukan di Indonesia.

Padi merupakan tanaman yang banyak mengkonsumsi air dan kurang efisien. Diperkirakan untuk menghasilkan 1 kg beras diperlukan air sebanyak 5 000 liter (Gani, 2001), 1 000 liter diantaranya digunakan untuk transpirasi.

Bouman (2009) secara rinci menyatakan bahwa untuk menghasilkan 1 kg gabah diperlukan 500 sampai 1 000 liter air transpirasi atau kira-kira 1 432 liter air evapotranspirasi.

Seperti diketahui bahwa konsumsi air antar varietas yang dirakit untuk lahan sawah dan untuk lahan kering akan sangat berbeda. Padi sawah diarahkan untuk dapat tumbuh dengan baik pada lahan dengan status air tanah berada di atas

kapasitas lapang dengan kebutuhan air sekitar 6-8 mm hari-1 atau curah hujan

lebih dari 200 mm bulan-1 sepanjang pertumbuhan tanaman. Padi gogo masih

dapat tumbuh dan berproduksi pada kondisi lahan status air tanah berada di bawah

kapasitas lapang dengan kebutuhan air 4-6 mm hari-1 atau curah hujan lebih dari

100 mm bulan-1 (Puslitbang Tanaman Pangan, 2006). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui efisiensi penggunaan air antar genotipe padi.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Percobaan dilakukan di rumah plastik Departemen Agronomi dan Hortikultura Kebun Percobaan Sawah Baru Darmaga pada bulan Mei sampai dengan September 2010.

Metode

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih 5 genotipe padi, kontainer plastik berukuran panjang 67 cm, lebar 47 cm dan dalam 37 cm dan tanah kering angin yang telah diayak. Alat yang digunakan antara lain ember, gelas ukur, oven dan timbangan. Pengukuran tebal daun dan penghitungan jumlah stomata menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Pengukuran kehijauan daun dilakukan dengan menggunakan SPAD.

Percobaan ini merupakan percobaan faktor tunggal dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan. Faktor yang diuji adalah 5 genotipe padi yang terdiri atas : Jatilihur (padi gogo), Silugonggo (padi gogo), IPB 97 (padi sawah), IR 64 (padi sawah) dan Way Apo Buru (padi amfibi). Dengan demikian terdapat 15 satuan percobaan. Masing-

masing satuan percobaan terdiri atas 1 buah kontainer. Dalam satu kontainer terdapat 6 rumpun padi yang ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.

Model statistik yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut: Yij = µ + βi + δj + έij

Dimana : Yij : nilai pengamatan kelompok ke i genotipe ke j µ : nilai rata-rata umum

βi : nilai pengaruh kelompok ke i

δj : nilai pengaruh perlakukan genotipe ke j έij : nilai pengaruh galat

Tanah untuk media tanam diayak dengan saringan kawat ukuran 1 cm x 1 cm. Tanah yang telah halus dimasukan ke dalam kontainer dengan bobot total tanah masing-masing kontainer mencapai 83.1 kg tanah kering udara. Kontainer selanjutnya disusun pada masing-masing ulangan dengan posisi yang horizontal (kontainer dibenamkan ke dalam tanah). Selanjutnya kontainer disawahkan dengan menambahkan air ke dalam kontainer. Masing-masing kontainer diisi dengan air sebanyak 39 liter (untuk membuat tinggi genangan 2 cm di atas permukaan tanah). Untuk mendapatkan struktur lumpur, tanah dan air diaduk secara merata dan didiamkan selama 2 hari. Selanjutnya bibit yang berumur 12 hari ditanam dan permukaan air dipertahankan tetap berada pada ketinggian 2 cm di permukaan tanah. Penambahan air dilakukan setiap 2 atau 3 hari sekali. Kondisi bibit yang telah ditanam dapat dilihat pada Gambar 3.

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemberian pupuk dengan dosis 250 kg Urea, 200 kg SP-18 dan 100 kg KCl/ha. Pupuk Urea diberikan sebanyak 3 kali, sedangkan pupuk SP-18 dan KCl diberikan sekaligus pada 1 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan tingkat serangan yang ada di lapangan.

Pada percobaan ini peubah-peubah yang diamati meliputi peubah pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, bobot kering tajuk, luas daun), komponen produksi (jumlah malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi), produksi (bobot gabah isi per rumpun, indeks luas daun), konsumsi air (setiap kali penambahan air ke dalam kontainer) dan karakter daun (kehijauan daun, tebal daun dan jumlah stomata).

Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setiap dua minggu sekali, sedangkan peubah yang lain diamati pada saat tanaman dipanen.

Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis Uji F dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanah yang digunakan pada percobaan ini adalah tanah lahan kering di kebun percobaan Sawah Baru. Dari hasil analisis tanah diketahui bahwa tekstur tanah yang digunakan adalah lempung liat berpasir dengan kandungan pasir sebesar 21%, debu 24 % dan liat 25 %. Tekstur ini termasuk tekstur tanah yang sesuai untuk budidaya padi sawah (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

Secara umum, tanah yang digunakan memiliki kandungan bahan organik yang rendah dengan kandungan P2O5 yang tinggi, K2O sedang dan kation-kation

yang rendah sampai tinggi (Lampiran 3). Kapasitas tukar kation tanah yang digunakan termasuk sedang dengan tingkat kejenuhan basa yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah yang digunakan termasuk sedang.

Dari pengamatan terhadap unsur iklim, maka suhu udara pada siang hari berkisar antara 26 sampai 31oC. Pada tahap awal pertumbuhan sampai hampir 40 hari setelah tanam dimana tanaman mulai memasuki tahap pertumbuhan reproduktif suhu udara masih cukup tinggi yaitu antara 30 sampai 31oC. Untuk kelembaban udara tidak banyak terjadi perubahan dari awal penanaman yaitu berkisar 70 % (Lampiran 4). Seperti diketahui semua genotipe yang digunakan pada percobaan ini memiliki umur tanaman kurang dari 125 hari. Yoshida (1981) menyatakan bahwa suhu optimum berbeda-beda tergantung dari fase pertumbuhan tanaman padi. Suhu 30-31 oC sebenarnya sudah bukan termasuk suhu optimum lagi, tetapi juga belum termasuk suhu maksimum untuk tanaman padi. Suhu yang tinggi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, proses pembungaan dan penyerbukan yang menyebabkan produksi akan menurun.

Berdasarkan hasil Uji F (ragam) diperoleh bahwa genotipe berbeda nyata pada semua peubah yang diamati selama percobaan.

Pertumbuhan Tanaman

Pertumbuhan tanaman digambarkan oleh tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan produktif dan jumlah anakan non-produktif. Pengaruh genotipe terhadap beberapa peubah pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 28. Pada peubah tinggi tanaman, genotipe Jatiluhur dan IPB 97-F-15 memperlihatkan tanaman yang paling tinggi yaitu 130.4 cm dan 126.5 cm sedangkan varietas IR 64 merupakan tanaman yang paling pendek yaitu 94.8 cm. Genotipe IPB 97-F-15 yang merupakan tanaman padi sawah tipe baru memiliki tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata dengan Jatiluhur.

Jumlah daun genotipe padi sawah IR 64 dan Way Apo Buru nyata lebih banyak jika dibandingkan dengan genotipe Jatiluhur, kecuali genotipe Silugonggo yang merupakan padi gogo tetapi memiliki daun yang sama banyaknya dengan padi sawah. Sebaliknya, walupun termasuk padi sawah genotipe IPB 97-F-15 memiliki daun yang paling sedikit yaitu 39.6 helai daun. Salah satu ciri genotipe padi sawah yang saat ini dikembangkan adalah memiliki ciri tanaman rendah, jumlah anakan sedang dan jumlah daun banyak dan tegak. Padi tipe baru (PTB) merupakan padi yang mempunyai arsitektur/tipe baru dengan sifat batang kuat, anakan sedang (9-12) tetapi produktif semua, malai panjang dengan 200-300 butir

gabah/malai, persentase gabah isi besar (90%), daun tegak, tebal, dan berwarna hijau tua, sistem perakaran dalam dan banyak, tinggi tanaman sedang pendek (100-110 cm), umur genjah (110-120 hari). Dengan sifat-sifat tersebut, PTB mampu mempunyai potensi hasil 20% lebih tinggi daripada varietas unggul yang ada (Abdullah et al., 2000). Dengan daun yang tegak dan tebal menungkinkan penetrasi cahaya yang lebih banyak sampai daun di bagian bawah kanopi. Walaupun ini akan menghasilkan indeks luas daun yang rendah, tetapi produksi yang dihasilkan sama atau lebih besar dibandingkan dengan kultivar tradisional. Tabel 28 Tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan genotipe padi pada saat panen Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah Daun Jumlah anakan produktif Jumlah anakan tidak produktif Jatiluhur 130.4 a 50.4 bc 7.3 ab 0.47 bc Silugonggo 104.5 ab 69.7 ab 13.5 a 0.40 c IPB 97-F-15 126.5 a 39.6 c 6.7 b 2.15 ab IR 64 94.8 b 67.3 ab 11.8 a 2.43 a Way Apo Buru 100.8 b 72.7 a 13.1 a 1.70 abc Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%

Genotipe padi gogo yang diwakili oleh varietas Jatiluhur dan Silugonggo memperlihatkan perbedaan respon jika genotipe tersebut ditanam di lahan sawah. Varietas Silugonggo memperlihatkan penampilan seperti padi sawah jika ditanam di sawah dengan cirri-ciri jumlah daun dan jumlah anakan yang banyak. Di dalam deskripsinya varietas Silugonggo memang dapat beradaptasi pada lingkungan gogo dan sawah (Suprihatno et al., 2009).

Jumlah anakan produktif tertinggi diperoleh dari varietas Silugonggo, Way Apo Buru dan IR 64, sedangkan genotipe IPB97-F-15 dan Jatiluhur menghasilkan jumlah anakan produktif yang paling sedikit yaitu 6.7 dan 7.3 anakan. Jumlah anakan yang lebih besar ini memang merupakan salah satu ciri dari varietas-varietas untuk lahan sawah. Jumlah anakan produktif yang dihasilkan dalam percobaan ini masih berada di bawah potensi yang dimiliki masing-masing varietas.

Komponen Hasil dan Hasil

Secara umum panjang malai varietas padi gogo (Jatiluhur dan Silugonggo) nyata lebih pendek jika dibandingkan dengan varietas padi sawah, sedang tipe amfibi (Way Apo Buru) tidak berbeda nyata dengan varietas padi sawah. Genotipe IPB97-F-15 menghasilkan malai terpanjang sedangkan varietas Jatiluhur menghasilkan malai terpendek (Tabel 29). Jumlah gabah malai-1 terbanyak dihasilkan oleh IPB97-F-15 dan Jatiluhur. Kedua genotipe ini walaupun berbeda habitat tumbuhnya tetapi memiliki jumlah gabah malai-1 yang tidak berbeda nyata yaitu lebih dari 230 butir malai-1. Tiga genotipe yang lain (Silugonggo, IR 64 dan Way Apo Buru) memiliki jumlah gabah malai-1 yang tidak berbeda nyata satu sama lain.

Varietas Jatiluhur memiliki kepadatan malai nyata paling besar (10.1 gabah cm-1) dan selanjutnya diikuti oleh IPB 97-F-15. Hal ini disebabkan varietas Jatiluhur memiliki malai yang pendek tetapi jumlah gabah malai-1 banyak sedangkan IPB 97-F-15 memiliki malai yang panjang dengan jumlah gabah malai-1 banyak. Dari Tabel 27 dan 28 terlihat bahwa varietas Jatiluhur dan IPB 97-F-15 adalah tanaman yang tinggi dengan jumlah daun, anakan produktif sedikit, tetapi memiliki jumlah gabah yang banyak dan kepadatan malai tertinggi. Tabel 29 Panjang malai, jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai genotipe padi

Genotipe Panjang malai (cm) Jumlah gabah malai-1 Kepadatan malai (butir cm-1) Jatiluhur 23.4 c 237.5 a 10.1 a Silugonggo 23.7 bc 134.4 b 5.7 b IPB 97-F-15 31.8 a 261.5 a 8.2 a IR 64 25.4 bc 122.4 b 4.8 b

Way Apo Buru 26.4 b 142.8 b 5.4 b

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%

Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa bobot total gabah per tanaman yang terbesar diperoleh pada varietas Jatiluhur, sedangkan keempat varietas yang lain tidak berbeda nyata (Tabel 30). Hal ini sesuai dengan peubah jumlah gabah malai-1 yang banyak atau kepadatan malai yang tinggi yang dihasilkan oleh varietas Jatiluhur tersebut. Bobot total gabah yang terendah dihasilkan oleh varietas IR 64. Hal ini lebih disebabkan oleh jumlah gabah malai-1

IR 64 dan kepadatan malai yang paling sedikit jika dibandingkan dengan varietas yang lain.

Jika dilihat dari persentase gabah isi, maka semua varietas yang diuji menunjukkan tingkat kehampaan yang cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas 40%. Tingkat kehampaan tertinggi dihasilkan oleh varietas Way Apo Buru, IR 64 dan Silugonggo. Hasil yang sama juga diperoleh Tubur (2011) yang melakukan penelitian respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah pada rumah plastik yang sama. Tingkat kehampaan yang diperoleh dari genotipe yang diuji berkisar antara 35 sampai 66 persen. Tingginya tingkat kehampaan pada semua genotipe yang diuji diduga disebabkan suhu rumah plastik yang tinggi (terutama pada siang hari) yang berkisar 30 – 31 oC pada 50 hari pertama pertumbuhan tanaman (Lampiran 3) terutama pada siang hari. Seperti diketahui, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan tingkat kehampaan pada tanaman padi meningkat. Hal ini berubungan dengan berkurangnya viabilitas bunga betina dan tepung sari sehingga mengganggu proses penyerbukan (Harahap dan Lubis, 1995).

Tabel 30 Bobot gabah, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir genotipe padi

Genotipe Bobot gabah tanaman-1 (g) Persentase gabah isi (%) Bobot 1000 butir (g) Jatiluhur 36.83 a 62.2 a 29.89 a Silugonggo 25.11 b 47.7 b 26.63 ab IPB 97-F-15 21.95 b 55.9 b 27.91 a IR 64 16.32 b 43.3 b 22.75 b Way Apo Buru 19.09 b 40.1 b 24.99 ab

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%

Pada kondisi ketersediaan air yang cukup, suhu yang tinggi memiliki dampak yang kecil terhadap produksi padi karena adanya proses pendinginan transpirasi. Pada kondisi tersebut, pengaruh suhu tinggi berkaitan erat dengan kelembaban relatif (RH), sedangkan tingkat pendingin transpirasi lebih ditentukan oleh defisit tekanan uap air daripada suhu tinggi saja. Abeysiriwardena et al. (2002) menyatakan terjadi peningkatan suhu gabah 1.5 ° C pada kondidi terjadi peningkatan RH dari 55-60 % menjadi 85-90%. Selain itu, Weerakoon et al.

(2008), menyatakan bahwa pada suhu tinggi (32-36 ° C) dengan RH rendah (60%) dan RH tinggi (85 %), terjadi peningkatan kehampaan gabah. Penurunan suhu gabah pada RH yang rendah merupakan mekanisme penghindaran, sedangkan varietas yang mampu mempertahankan persentase gabah isi yang tinggi pada kondisi suhu tinggi dan RH tinggi (defisit tekanan uap rendah) adalah varietas yang toleran suhu tinggi.

Bobot 1000 butir terbesar dihasilkan oleh varietas Jatiluhur diikuti oleh varietas, IPB97-F-15 dan Silugonggo. Dari beberapa peubah ini tanpak bahwa Varietas Jatiluhur dan IPB97-F-15 memiliki keunggulan pada kedapatan malai dan bobot 1000 butir, sehingga secara tidak langsung menentukan tingkat produktivitas yang dihasilkan.

Bobot gabah isi tanaman-1 terbesar dihasilkan oleh varietas Jatiluhur yaitu sebesar 24.08 g sedangkan yang terendah dihasilkan oleh varietas IR 64 dan Way Apo Buru yaitu masing-masing sebesar 7.41 g dan 7.47 g (Tabel 31). Bobot gabah isi yang besar pada varietas Jatiluhur didukung oleh bobot gabah total, bobot 1000 biji serta persentase gabah isi yang tinggi, sedangkan untuk varietas IR 64 dan Way Apo Buru lebih disebabkan oleh tingginya persentase gabah hampa. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu udara yang tinggi sangat menghambat proses penyerbukan dan pembuahan sehingga tingkat kehampaan gabah sangat tinggi. Gabah isi yang tinggi ini sangat berhubungan dengan jumlah butir polen yang berkecambah. Pada suhu tinggi ini genotipe padi merespon dengan mengekspresikan 13 protein yang berbeda antar genotipe, dimana terdapat protein yang berhubungan dengan respon terhadap suhu rendah dan suhu tinggi yang berkontribusi terhadap sifat toleran suhu tinggi selama masa anthesis pada genotipe yang toleran (Jagadish et al., 2010).

Konsumsi Air dan Efisiensi Penggunaan Air

Konsumsi air yang digunakan oleh tiap tanaman menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur paling banyak menggunakan air selama pertumbuhan tanaman yaitu mencapai 24.13 liter, sedangkan untuk varietas yang paling sedikit mengkonsumsi air adalah IR 64 yaitu 15.93 liter (Tabel 31).

Tabel 31 Produksi gabah dan total konsumsi air sejak pindah tanam hingga panen pada genotipe padi

Genotipe Bobot gabah isi tanaman-1 (g)

Total konsumsi air tanaman-1 (l) Jatiluhur 24.08 a 24.13 a

Silugonggo 12.05 bc 18.78 b

IPB 97-F-15 12.32 b 18.94 b

IR 64 7.41 c 15.93 c Way Apo Buru 7.47 c 18.02 bc

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%

Kebutuhan volume konsumsi air dari genotipe yang diuji untuk luasan satu hektar dengan asumsi sebanyak 200,000 rumpun ha-1 berkisar antara 3,639 sampai 4,827 m3 ha-1. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan melakukan pemilihan varietas yang sesuai terdapat selisih penggunaan air sekitar 1,200 m3 ha-1. Informasi tersebut merupakan temuan penting dalam rangka program penghematan air melalui pemilihan varietas yang kebutuhan airnya tetap menghasilkan produktivitas yang optimum.

Warna daun genotipe IPB 97-F-15 adalah yang paling hijau tua. Hal ini sesuai dengan deskripsi padi tipe baru yang memiliki daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua. Genotipe padi sawah yang lain termasuk Silugonggo memiliki warna daun yang sama, sedangkan Jatiluhur memiliki warna daun yang paling muda. Nilai warna daun bendera pada umur tanaman yang lebih tua pada umumnya lebih hijau tua dan lebih homogen jika dibandingkan pada tanaman yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan pengaruh akumulasi klorofil dan nitrogen yang lebih besar pada daun yang lebih tua (Gholizadeh et al., 2010). Jika dilihat dari karakter daun maka karakter daun varietas Jatiluhur yang cukup menonjol adalah daun yang tebal, jumlah stomata yang sedikit serta indeks luas daun yang kecil (Tabel 32). Genotipe padi sawah memiliki jumlah stomata yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan padi gogo (Jatiluhur). Ketebalan daun biasanya berhubungan dengan ketebalan lapisan kutikula sehingga mampu mengurangi kehilangan air. Pada tanaman padi yang toleran terhadap kekeringan jumlah stomata yang terdapat di permukaan daun lebih sedikit (Lestari, 2006). Menurut Salisbury dan Ross (1992) variasi yang besar dalam efisiensi

penggunaan air disebabkan adanya adaptasi yang bersifat anatomis dari daun yang bertranspirasi yang erat kaitannya dengan kerapatan stomata.

Tabel 32 Karakteristik daun genotipe padi

Genotipe Warna daun Ketebalan daun (nm) Jumlah stomata (mm-2) Indeks luas daun Jatiluhur 41.7 b 100 596 a 388 c 4.04 bc Silugonggo 45.7 ab 85 099 b 447 bc 3.26 c IPB 97-F-15 49.5 a 87 954 b 502 ab 4.34 bc IR 64 46.2 a 88 475 b 527 a 6.94 ab Way Apo Buru 44.4 ab 92 125 b 505 ab 7.09 a Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%

Antara padi sawah dan padi gogo memang terdapat perbedaan sifat-sifat ketahanan struktural yang ditandai dengan perbedaan susunan anatomi daun yaitu tebal daun, tebal kutikula, jumlah stomata dan jumlah sel motor tiap deret. Varietas padi gogo memiliki daun lebih tebal, kutikula lebih tebal, jumlah stomata lebih sedikit dan jumlah sel motor tiap deret lebih banyak jika dibandingkan dengan padi sawah. Sebagai ciri tahan terhadap kekeringan dimana padi gogo lebih tahan dari padi Sawah (Imaningsih, 2006). Lamina atau helaian daun yang tebal menyebabkan rasio volume terhadap luas permukaan daun menjadi tinggi, oleh karena itu pada volume jaringan yang sama luas permukaan transpirasi lebih rendah, dengan demikian laju transpirasi lebih rendah walaupun kapasitas total tetap tinggi sehingga penggunaan air lebih efisien. Nisbah volume terhadap luas permukaan daun yang tinggi berasosiasi dengan ciri anatomi yang antara lain meliputi: mesofil yang tebal dan jaringan pagar yang lebih berkembang dari pada jaringan bunga karang. Hidayat (1995) menambahkan tanaman yang hidup pada habitat kering memiliki daun dengan kutikula yang tebal. Sedangkan pada daun tanaman yang sebagian besar hidupnya tergenang air dinding sel dan kutikulanya amat tipis. Tebalnya kutikula pada daun padi gogo akan mempengaruhi ketebalan daun secara keseluruhan.

Ketebalan dan susunan daun mempengaruhi kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun. Oleh karena itu daun yang tumbuh pada intensitas cahaya tinggi sering memiliki laju fotosintesis lebih tinggi karena memiliki

kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun juga lebih tinggi, termasuk Rubisco, komponen transpor elektron dan pembentukan ATP. Walaupun demikian, perubahan juga terjadi pada tingkat kloroplas, sebagai contoh rasio PS II terhadap PS I terlihat berbeda-beda tergantung tingkat intensitas cahaya (Murchie and Horton, 1998; Yamazaki et al., 1999)

Konsumsi air yang hemat bukan satu-satunya kriteria bagi penentuan pemilihan varietas. Secara umum terlihat bahwa untuk menghasilkan bobot gabah yang lebih besar diperlukan jumlah air yang besar juga. Kriteria efisiensi penggunaan air yaitu bobot gabah yang dihasilkan untuk tiap satuan volume air yang dikonsumsi menjadi kriteria yang paling penting. Untuk melihat efisiensi penggunaan air, maka bobot gabah isi yang dihasilkan tiap tanaman dibandingkan dengan volume air yang digunakan selama masa pertumbuhan tanaman. Dari 5 genotipe yang diuji terlihat bahwa Jatiluhur merupakan varietas padi yang paling efisien menggunakan air dengan menghasilkan 0.997 g gabah kering untuk setiap liter air yang dikonsumsi (Gambar 4), sedangkan varietas yang tidak efisien adalah Way Apo Buru dan IR 64. Pada penelitian lain Sulistyono (2005) menyatakan bahwa pada kondisi kapasitas lapang efisiensi penggunaan air padi gogo mencapai 0.01 g gabah/kg air sedangan pada kondisi kekurangan air (defisit evapotranspirasi sebesar 240.06 mm) menyebabkan efisiensi penggunaan air menurun drastis menjadi 0.001 g gabah/kg air atau berkurang 90% (Sulistyono et al., 2005).

Gambar 4. Efisiensi penggunaan air genotipe padi

Dokumen terkait