• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Dalam dokumen Dynamics System Modeling for Rice Stock (Halaman 21-114)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada tahun 2011, Indonesia dengan sekitar 237,56 juta penduduk

negara dengan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Hampir separuh dari jumlah penduduk tersebut (sekitar 110 juta jiwa) berada di Pulau Jawa, dan selebihnya tersebar di empat pulau besar (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat) dan di ratusan pulau kecil lainnya.

Kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang tersebar tersebut sangatlah besar dan untuk itu diperlukan sejumlah besar bahan pangan, terutama beras, yang harus tersedia sepanjang tahun, di setiap lokasi dengan mutu yang baik dan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Akan tetapi, karena beras adalah komoditas yang bersifat musiman dan yang volume produksinya berfluktuasi mengikuti musim maka pada musim panen raya, produksinya melimpah, dan sebaliknya pada saat musim tanam, produksi menurun. Dari sinilah muncul persoalan klasik mengenai kecukupan pangan dan distribusi pangan, terutama beras.

Beras merupakan produk pertanian yang sangat penting di Indonesia baik sebagai makanan pokok bagi penduduknya maupun sebagai komoditas perdagangan. Sebagai makanan pokok, beras harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang besar untuk mencukupi kebutuhan harian penduduk di seluruh pelosok negeri. Dilain pihak, sebagai komoditas perdagangan, beras diproduksi oleh berjuta-juta petani dan diperdagangkan oleh banyak pihak, serta melibatkan banyak pelaku, terutama pemerintah. Selain itu, beras sering dikaitkan dengan kondisi sosial politik dan stabilitas nasional (Mulyono, 1999).

Berdasarkan sensus pertanian 2007, beras di Indonesia diproduksi oleh sekitar 25 juta rumah tangga petani, yang sekitar 52,7 persen di antaranya adalah petani kecil dengan lahan (milik sendiri atau sewa) kurang dari 0,5 Ha / keluarga. Sensus tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah petani gurem meningkat dari sekitar 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta jiwa pada tahun 2007. Jumlah petani tersebut mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Lebih dari separuhnya merupakan petani gurem dan buruh tani dengan kepemilikan lahan dibawah 0,5 hektar atau mencapai 38 juta keluarga tani. (BPS, 2009)

2

Kebutuhan penduduk Indonesia akan beras selalu meningkat, sementara produksi dalam negeri berfluktuasi, sehingga hampir setiap tahun harus didatangkan beras impor untuk menutupi kekurangannya. Kontinyuitas pasokan, ketepatan waktu tanam, efisiensi produksi, dan permodalan dengan demikian sangat mempengaruhi ketersediaan beras di masyarakat (Arifin, 1997).

Sebagai contoh, produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) pada tahun 1996 mencapai 51,10 juta ton, kemudian menurun pada tahun 1997 dan 1998 sampai masing-masing mencapai 49,37 juta ton dan 49,26 juta ton, dan meningkat lagi pada tahun 1999 mencapai 50,86 juta ton. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi penurunan produktivitas lahan, dari nilai pada tahun 1997 sebesar 4,43 ton/ha menjadi 4,19 ton/ha dan 4,25 ton/ha berturut-turut pada tahun 1998 dan 1999. Penurunan tersebut antara lain disebabkan turunnya rendemen GKG ke beras yang cukup besar yaitu dari 63,2 persen pada tahun 1996, menjadi

maksimum 62,0 persen pada tahun 1998.

Sampai penghujung tahun 1998, perdagangan beras di Indonesia diatur oleh pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diberi mandat untuk menjalankan fungsi pengadaan, pemindahan stok, penyimpanan dan penyaluran. Pada saat produksi melimpah, misalnya, Bulog melakukan pembelian (pengadaan dalam negeri) kemudian menjualnya pada masa paceklik, dengan operasi pasar. Bila produksi dalam negeri kurang, maka Bulog melakukan impor.

Saat ini dengan diberlakukannya mekanisme pasar bebas, peran Bulog menjadi sangat terbatas. Antara lain Bulog masih melakukan operasi pasar bila terjadi kelangkaan beras atau lonjakan harga, tetapi tidak lagi memonopoli hak untuk mengimpor. Terlebih lagi dengan tidak tersedianya KLBI (Kredit Lunak Bank Indonesia), Bulog harus menggunakan dana dengan bunga komersial untuk membeli beras dari petani dalam rangka mengamankan harga beras.

Sebagai akibatnya sebagian besar petani Indonesia menderita dua kesulitan sekaligus. Dari segi sarana produksi mereka harus membayar mahal, sedangkan dari segi produksi mereka tidak dapat memperoleh harga jual yang layak. Mereka terpaksa menjual sebagian besar produk mereka pada saat panen dengan harga rendah. Program pemberdayaan petani yang dapat membuat para petani mampu menahan produknya (tidak menjual pada saat panen) supaya mendapatkan harga yang lebih baik di luar musim panen, sangat diperlukan. Petani

3

seyogyanya mampu mengolah hasil panennya agar umur simpannya bertambah dan peluang mendapatkan nilai tambah meningkat. Artinya kehadiran lembaga seperti BULOG yang dapat berperan dalam pendistribusian beras dari sentra produksi ke sentra konsumen dengan efektif dan efisien masih dibutuhkan.

Kecenderungan pemerintah mengatur perdagangan beras tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya mengkonsumsi beras. Alasan utama mereka adalah untuk menjadi negara yang berswasembada beras dan untuk menjaga kestabilan harga. (Amang dan Sawit, 1999 )

Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Pada saat terjadi penurunan produksi dari tahun 1996 sebesar 3,4 persen (1997), pemerintah meningkatkan impor sampai 480 persen (1998) dan ketika produksi meningkat lagi 3,25 persen pemerintah menurunkan impor dari tahun sebelumnya hanya sebesar 31 persen. Dengan demikian, pola pengaturan perdagangan beras oleh pemerintah belum jelas arahnya, apalagi importir swasta juga sangat berperan (Amang dan Sawit, 1999; Tabor dan Soekirman, 2000).

Pemerintah ingin tetap mengontrol harga beras dalam negeri dengan cara mengimpor dalam jumlah besar, meskipun mengalami kesulitan akibat krisis moneter dan kemudian berlanjut ke krisis pangan karena berlangsung bersamaan dengan kemarau panjang akibat El Nino. Pada tahun 1998, pemerintah mengalami kesulitan impor beras karena keterbatasan

devisa dan diperburuk oleh tidak dipercayanya letter of credit (LC) yang dikeluarkan oleh

Bank di Indonesia di luar negeri sehingga impor pangan sebagian besar berasal dari hutang lunak (soft loan) dan bantuan cuma-cuma negara sahabat. Sisanya berasal dari impor komersial (Amang dan Sawit, 1999).

Tujuan impor beras dalam jumlah besar adalah untuk menumpuk stok kemudian memasok ke pasar pada tingkat harga 50-60 persen lebih rendah dari harga paritas. Namun harga beras dalam negeri tetap tidak mampu dikendalikan, sementara inflasi terus meningkat. Kebijakan konvensional berupa manajemen stok dan penyaluran tidak mampu lagi membendung kenaikan harga beras dalam negeri, karena kenaikan harga beras dalam negeri lebih dominan ditentukan oleh pengaruh merosotnya nilai rupiah yang selama ini tidak pernah dijadikan variabel penentu dalam kebijakan stabilisasi harga (Amang dan Sawit 1999).

4

Kebijakan di atas dinilai gagal karena biayanya sangat mahal (yang harus ditanggung oleh produsen) dan tidak adil terhadap pihak konsumen yang berpendapatan rendah (kelompok miskin). Subsidi harga umum 1997/98 – 1998/99 diperkirakan mencapai Rp. 14 triliun yaitu dengan menjual beras 60 persen lebih murah dari harga border ( Sawit, 2000).

Produser padi yang umumnya petani dengan lahan sempit dan miskin menanggung beban nasional, sehingga kebijakan tersebut telah memperburuk distribusi pendapatan di perdesaan. Implikasi lain dari kebijakan subsidi harga ini ternyata tidak efektif dalam mencegah terjadinya kerawanan pangan dalam negeri (Sawit, 2000).

Petani sebagai produsen beras seharusnya memiliki kemampuan untuk mengolah hasil pertaniannya sekaligus mendapatkan informasi yang jelas tentang kapan dan apa yang sebaiknya ditanam, dalam jumlah berapa, serta akan dijual kemana hasilnya nanti setelah diolah, tetapi dalam kenyataannya mereka belum memiliki hal-hal tersebut.

Keinginan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan beras sebanyak 52 juta ton GKG per tahun perlu dipertahankan. Namun, apabila jumlah tersebut sudah terpenuhi dengan perbaikan sistem produksi sedangkan beras impor masih dijumpai masyarakat di wilayah lain yang sulit mendapatkan beras, maka berarti ada faktor lain yang mempengaruhi ketahanan pangan.

Beberapa sub sistem yang mempengaruhi ketahanan pangan, adalah (1) sub sistem penunjang (sarana dan pra sarana), (2) sub sistem ketersediaan pangan (produksi), (3) sub sistem konsumsi dan (4) subsistem distribusi (Suryana, 2001). Selain itu, pada kesempatan seminar Ketahanan pangan di Yogyakarta, Menteri Pertanian Bungaran Saragih menegaskan adanya tiga masalah utama ketahanan pangan, yaitu (1) kemiskinan, (2) distribusi dan (3) kurangnya perlindungan pemerintah terhadap kepentingan petani padi (Pidato Mentan, 28/6/ 03).

Distribusi adalah salah satu variabel penentu keberhasilan dalam konsep marketing mix selain produk, harga dan promosi (Santoso, 1999). Distribusi menjadi semakin penting untuk produk yang bersifat musiman, cepat rusak dan yang diproduksi oleh banyak produsen berskala kecil seperti beras.

Distribusi memiliki pengertian pemindahan produk agar terjangkau oleh seluruh masyarakat di seluruh wilayah, baik secara fisik maupun secara ekonomi dari waktu ke waktu. Dengan adanya sistem pendistribusian produk diharapkan akan terjamin aksesibilitas antar wilayah, antar golongan pendapatan dan keterjaminan stabilitas harga (Sudaryanto, 2000).

5

Menyerahkan sepenuhnya sistem distribusi beras kepada mekanisme pasar bebas dapat berakibat pada tertekannya posisi produsen (petani) akibat lemahnya daya tawar mereka. Oleh karena itu intervensi pemerintah (regulasi) sampai batas tertentu masih sangat dibutuhkan agar petani tidak selalu dalam posisi lemah. Ketidak mampuan petani untuk menterjemahkan meningkatnya jumlah produksi menjadi peluang-peluang yang menguntungkan merupakan bukti kegagalan sistem pemasaran tradisional dalam menyesuaikan diri terhadap cepatnya perubahan kondisi ekonomi. Peran pemerintah untuk melindungi para petani terutama dalam keadaan sulit tetap diperlukan denga melakukan intervensi sampai derajat tertentu asalkan tetap berpegang pada aturan main yang berlaku (Arifin, 1997).

Perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian harus menjadi prioritas dalam pembangunan sektor pertanian. Tanpa perbaikan sistem pemasaran (termasuk didalamnya sistem distribusi) produksi komersial tidak akan dapat dikembangkan. Kondisi di atas mendorong perlunya dikembangkan sistem distribusi yang dapat menjamin ketersediaan beras di setiap daerah pada setiap saat dan adanya pembagian margin yang adil bagi setiap pelaku pemasaran produk pertanian yaitu dari produsen sampai ke konsumen.

Pengembangan sistem di atas dapat dilakukan secara efisien dengan terlebih dahulu membangun model yang dapat dijalankan mengikuti berbagai skenario mewakili kurun waktu tertentu. Pendekatan tersebut dikenal sebagai pendekatan simulasi yang dapat menghindarkan pembuat model dari konsekuensi aktual apabila pada saat dijalankan model memberikan hasil-hasil yang menyimpang. Sampai saat ini belum tersedia model distribusi beras yang dapat digunakan untuk mernprediksi berbagai ketidak seimbangan pasokan dan permintaan beras di berbagai wilayah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan model dinamis sediaan beras di Indonesia. Model sediaan beras ini dirancang-bangun agar dapat digunakan untuk memprediksi keberadaan beras di setiap subsistem distribusi dan dapat dijadikan sebagai salah satu alat manajemen untuk keperluan pengendalian sistem maupun antisipasi terhadap perubahan kebijakan.

6 Ruang lingkup

Ruang lingkup penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:

1. Distribusi beras dari produsen sampai ke konsumen dengan mengambil sampel di pulau

Jawa.

2. Sediaan beras pada setiap mata rantai saluran distribusi beras.

3. Pengembangan model sistem dinamis sediaan beras menggunakan perangkat lunak ithink.

4. Model sistem dinamis yang dibangun bersifat agregat Indonesia.

Asumsi

Adapun asumsi-asumsi yang dipergunakan di dalam studi ini dicantumkan di dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Daftar asumsi

No Variabel/parameter Nilai Keterangan

1 Luas Lahan panen tahun 2011 12,883 Juta Ha

2 Persen perubahan luas sawah 0,75 % / th

3 Produktivitas rata-rata 4,944 Ton GKG/ha

4 Benih 2,5 %

5 Susut pasca panen 4,5 %

6 Jumlah RT petani 41 juta orang

7 Porsi gabah petani yang dijual ke

pengumpul

60 – 70 %

8 Porsi gabah petani yang dijual ke

Koperasi

10 – 20 %

9 Porsi gabah petani yang dijual ke

penggiling

5 – 10 %

10 Porsi gabah petani yang dijual ke

Bulog

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Distribusi

Distribusi adalah upaya untuk menghantarkan produk (barang dan jasa) ke tempat-tempat yang paling mudah untuk dijangkau konsumen, pada saat yang tepat. Distribusi merupakan kegiatan yang tidak menimbulkan nilai tambah secara langsung kepada barang dan jasa tetapi mutlak diperlukan. Barang dengan kualitas baik yang gagal disampaikan ke tangan konsumen pada saat yang tepat pada akhirnya tidak akan mendatangkan keuntungan.

Sistem distribusi didefinisikan sebagai rangkaian dan keterkaitan secara menyeluruh dari sub-sub sistemnya yang mencakup sub sistem utama yaitu bahan, fasilitas, manusia dan lingkungan. Sub sistem bahan yang harus diperhatikan yaitu unsur mutu, jumlah, waktu, harga dan jenisnya. Sub sistem distribusi perlu didukung oleh fasilitas bangunan, alat angkut, jalan, alat komunikasi dan pasar. Sistem distribusi juga selayaknya ditunjang oleh adanya sumberdaya manusia yang handal, cakap, terampil bersikap baik dan berpengetahuan. Sub sistem lingkungan yang terdiri dari lingkungan mikro dan makro memberikan kontribusi kelancaran sistem distribusi (Anwar, 1998).

Dalam kaitannya dengan beras, distribusi terkait dengan tingkat kualitas beras yang ternyata berbeda-beda untuk pasar lokal, pasar supermarket, dan pasar stok nasional Seringkali beras ditolak di pasar karena derajat sosoh kurang dari 90 persen (Suwamo, 2001). Kualitas tersebut sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku, mesin pengolah, dan manusia sebagai pengelolanya.

Di samping subsistem bahan sebagai penentu sistem distribusi, fasilitas merupakan unsur pendukung yang sangat penting. Jika suatu daerah tidak terhubung jaringan transportasi dengan daerah lainnya atau biaya transportasi sangat tinggi, maka daerah tersebut terpaksa menggantungkan dirinya pada hasil-hasil produksi dari sumber alamnya sendiri.

Beras sebagian besar diangkut dengan kapal laut yang mencakup lebih dari 80 persen total pemindahan beras antar daerah. Di daerah Kalimantan distribusi beras banyak dilakukan melalui sungai. Distribusi melalui darat menggunakan truk biasa dilakukan untuk pemindahan antar sub Dolog atau antar Dolog yang prasarana angkutan daratnya memadai (Amang dan Sawit, 1999).

Transportasi berkaitan erat dengan pergudangan karena keduanya meningkatkan manfaat barang. Transportasi dapat menciptakan manfaat tempat, yaitu dengan memindahkan

8

barang dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak memilikinya. Di lain pihak, penyimpanan memungkinkan barang disimpan sampai pada saat dibutuhkan yang berarti menciptakan manfaat waktu. Sistem distribusi mencakup transportasi dan penyimpanan. Sistem distribusi yang baik dapat menjamin terjadinya pengiriman barang secara efisien (biaya murah dan tepat waktu), sekaligus menjamin tersedianya persediaan yang mencukupi kebutuhan untuk setiap sentra konsumen (Nasution, 2000).

Distribusi beras di Indonesia diatur oleh pemerintah, karena karakteristik kegiatan produksi dan pemasarannya tidak sama dengan produk dari sektor industri dan jasa. Sejak tahun 1983, program peningkatan produksi padi dalam negeri mengalami keberhasilan, sehinggap roduksi dan persediaan beras mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sudah lama pemerintah memiliki kebijakan untuk melindungi pendapatan riil Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Repulik Indonesia (ABRI), oleh karenanya sebagian upah PNS dan ABRI diberikan dalam bentuk natura (beras), sekaligus kebijakan distribusi ini difungsikan sebagai outlet penyaluran untuk persediaan Bulog dalam rangka mempertahankan harga dasar untuk merangsang pertumbuhan produksi. Bulog pada prinsipnya didirikan untuk menguntungkan produsen dan sekaligus tidak merugikan konsumen (Amang dan Sawit, 1999).

Pada dasarnya ada empat golongan distribusi yang pada waktu itu dilayani oleh Bulog yaitu golongana anggaran (PNS dan ABRI), BUMN, Operasi Pasar Murni (OPM) dan distribusi lain-lain. Distribusi tersebut ada yang memiliki kepastian dalam jumlah seperti distribusi untuk PNS dan ABRI ada juga yang tidak memiliki kepastian seperti untuk OPM yang ditujukan untuk menjaga batas harga beras tertinggi. Distribusi lain-lain yang dimaksud adalah untuk persediaan bencana alam dan sejenisnya.

Namun sejak tahun 2000 pemerintah merubah struktur Bulog dan melalui Keppres No 29/2000 ditegaskan bahwa tugas Bulog adalah melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan distribusi dan pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Bulog dapat memainkan dua peranan yaitu pengamanan harga gabah dan subsidi beras ke kelompok sasaran. Disamping ini, monopoli Bulog atas distribusi beras telah dihentikan sehingga Bulog harus mencari pelanggan baru yang dikenal dengan istilah

effective marketing yaitu membeli beras dengan mutu baik, merawat dengan lebih baik, dan mendistribusikan beras yang bermutu dengan baik (Alexander, 2000).

9 Beras

Beras adalah produk utama hasil penggilingan gabah kering. Beras merupakan salah satu di antara tiga jenis biji-bijian terpenting di dunia, di samping gandum dan jagung. Di Indonesia sekitar 95 persen penduduk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, sehingga kebutuhan Indonesia terhadap beras sangat besar. Kebutuhan ini secara nasional hampir dua setengah kali jumlah beras yang beredar di pasar dunia. Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi beras di Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2011. (BPS, 2009).

Tabel 2. Produksi dan impor beras Indonesia (1998-2011)

Tahun Luas Panen

(juta Ha)

Produksi GKG (juta ton)

Produksi setara beras (juta ton)

Impor beras (juta ton) 1998 11,73 49,24 31,11 2,90 1999 11,96 50,87 32,15 4,75 2000 11,79 51,90 32,80 1,36 2001 11,49 50,46 31,89 0,64 2002 11,52 51,49 32,54 1,81 2003 11,45 52,14 32,95 1,41 2004 11,92 54,09 34,18 2005 11,89 54.15 34,22 2006 11,78 54,45 34,41 1,56 2007 12,15 57,16 36,13 0,25* 2008 12,34 60,28 37,81 -* 2009 12,88 64,38 41,39 - 2010 13,253 66,469** 41,70 - 2011 13,566 65,385** 41,03 - Sumber : 1. 2. *) 3. **)

Keterangan: GKG = Gabah Kering Giling. Konversi GKG ke beras = 63,2 (sampai th 2007) Konversi GKG ke beras = 62,74% (sejak 2009)

Beras diperoleh dari tanaman padi (Oryza) yang terbagi menjadi dua jenis spesies

utama yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Jenis yang paling banyak ditanam di seluruh dunia

adalah O. sativa, yang berasal dari daerah tropis Asia dan memiliki ribuan sub species. O. glaberrima berasal dari Afrika Barat, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi.

10

Pihak yang terlibat dalam budidaya dan perdagangan beras membedakan beras berdasarkan kriteria yang berbeda. Kelompok pemulia tanaman (breeder) mengelompokkan beras ke dalam tiga varietas yaitu Indika, Javanika dan Japonika. Jenis Indika tersebar didaerah tropis berkelembaban tinggi, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Jenis Javanika yang berbiji gemuk dan berbatang tinggi tersebar di sebagian Asia dan kepulauan terdekat meliputi Indonesia, Filipina, Jepang, dan Taiwan, sedangkan jenis musim dingin Japonika, semula dikembangkan di lembah sungai Yangse di China kemudian pertama kali diperkenalkan ke Korea, Jepang dan belakangan ke Eropa Selatan, Rusia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan (FAO, 2006).

Kelompok pedagang beras (traders), di lain pihak, menggunakan bentuk biji atau kernel untuk membedakan varitas. Bentuk kernel tersebut sangat penting dalam perdagangan internasional karena untuk setiap kegunaan memerlukan bentuk kernel yang spesifik.

a. Long grain rice. Beras ini mempunyai bentuk kernel panjang dan ramping yang akanmenghasilkan nasi yang kering dan lepas-lepas (pera). Jenis ini disukai di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.

b. Medium grain rice. Beras ini memiliki bentuk kernel panjang dan gemuk, yang akan menghasilkan nasi lebih pulen (sticky and softer). Ini merupakan jenis yang disukai di RR Cina, Jepang, Korea,Italia dan Spanyol.

c. Round grain rice. Beras ini berbentuk kernel mendekati bulat. Jenis ini juga disukai di daerah yang menyakai medium grain rice.

Pada umumnya data statistik konsumsi dan perdagangan padi dinyatakan dalam bentuk beras. Sebaliknya data produksi pada umumnya dinyatakan dalam bentuk jumlah gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan faktor konversi gabah ke beras atau sebaliknya maka dua jenis data tersebut dapat dengan mudah dimanfaatkan.

11

Beras dan gabah di Indonesia secara tradisional dipasarkan dari petani ke konsumen melalui beberapa saluran seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Saluran tataniaga ini tidak mengalami banyak perubahan sampai saat ini.

Gambar 1. Saluran pemasaran beras tradisional (BULOG, 1993)

Beras dikumpulkan dari sejumlah petani yang masing-masing menjual hasil panennya kepada sejumlah pedagang perantara, penggilingan padi dan koperasi. Petani pada umumnya tidak mempunyai dana dan fasilitas untuk mengolah atau menyimpan hasil panennya sehingga harus cepat-sepat melepas produknya pada saat panen. Akibatnya petani tidak mempunyai daya tawar yang cukup kuat. Apalagi pada umunnya mereka telah terikat kepada pedagang perantara secara finansial, misalnya dengan sistem ijon.

12

Variasi saluran pemasaran gabah dari petani ke pihak lain sampai menjadi beras di tangan konsumen dapat terjadi di setiap wilayah. Sebagai contoh, Gambar 2 memperlihatkan saluran pemasaran gabah dan beras di beberapa kabupaten.

Keterangan Kabupaten: 1=Indramayu, 2=Majalengka, 3=Klaten, 4=Kediri, 5=Ngawi, 7=Sidrap

Gambar 2. Jalur pemasaran gabah/beras di tujuh Kabupaten, 2002. (Rusastra dkk., 2002)

Pengaruh Liberalisasi Perdagangan

Liberalisasi perdagangan telah mengubah peta produksi pangan dan peta impor pangan. Pasokan pangan termasuk beras bergeser dari negara-negara LDC (less Developing Countries) ke DC (Developed Countries). Laju impor pangan/ beras Negara – Negara LDC semakin meningkat, sedangkan laju ekspor negara-negar DC semakin pesat akibat dari terbukanya pasar yang selama ini ditutup dengan berbagai cara seperti adanya hambatan TB (tariff barrier) maupun hambatan NTB (non-tariffbarrier).

13

Liberalisasi perdagangan juga telah menyebabkan surplus di sejumlah negara seperti Uni Eropa, AS, Kanada dan Australia. Pada umumnya surplus tersebut dilempar ke pasar dunia sehingga menyebabkan harga terus merosot. Penurunan harga tersebut tentu telah menguntungkan konsumen secara global tidak terkecuali konsumen di negara-negara miskin yang menikmati penurunan harga ini. Sebaliknya terjadinya penurunan harga bagi petani berskala sempit seperti Jepang, Korsel, Indonesia yang luas usaha taninya tidak lebih dari 1,5 Ha, tidak akan mampu bersaing dengan petani AS/Kanada/Australia yang rata-rata luas usaha taninya 100 - 200 Ha/petani.

Negara-negara terakhir ini di samping telah menggunakan teknologi produksi yang cukup efisien, mereka juga diperkuat oleh infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien, sehingga mereka mampu menghemat biaya pemasaran/ekspor. Kecuali Jepang, Taiwan dan Korsel, pada umumnya negara-negara importir beras didukung oleh infrastruktur pertaniannya yang buruk terutama untuk pengolahan dan distribusi hasil, sehingga telah meningkatkan ongkos transaksi seperti kerugian akibat kerusakan, waktu menunggu dan sebagainya, yang akhimya meningkatkan ongkos pemasaran atau perdagangan sehingga berpengaruh kepada nilai jualnya (Sawit, 2000).

Posisi perdagangan beras dalam kerangka GATT atau WTO sangat unik mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan

Dalam dokumen Dynamics System Modeling for Rice Stock (Halaman 21-114)

Dokumen terkait