• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFISIENSI BANK SYARIAH DI INDONESIA

5. Pendapatan bagi hasil

Pendapatan bagi hasil dari mudharabah dan musyarakah. 6. Pendapatan operasional lainnya

Pendapatan operasional lainnya berupa pendapatan dalam rupiah dan valuta asing yang tidak berasal dari penyaluran dana bank pelapor.

Data dan statistik deskriptif input-output diberikan pada Tabel 6 – 9 berikut. Notasi Variabel input Notasi Variabel output

x1 Dana pihak ketiga y1 Pembiayaan

x2 Biaya tenaga kerja y2 Pendapatan bagi hasil

x3 Jumlah kantor y3 Pendapatan operasional lainnya Tabel 5 Variabel input dan output

18

Rata-rata

Simpangan

baku Maksimum Minimum

Variabel input

Dana pihak ketiga 4 826 867 5 928 835 17 574 617 119 898 Biaya tenaga kerja 1 078 320 1 205 792 3 672 317 58 759 Jumlah kantor 131 153 368 5

Variabel output

Pembiayaan 25 520 203 39 861 967 103 158 402 1 497 000 Pendapatan bagi hasil 1 497 950 2 423 658 6 444 100 35 029 Pendapatan operasional lainnya 688 616 1 131 793 3 613 123 12 945

Tabel 7 Statistik variabel input dan output periode 1 DMU Variabel input Dana pihak ketigaa Biaya tenaga kerjaa Jumlah kantorb 1 2 146 614 437 134 56 2 11 155 910 1 815 792 244 3 17 574 617 3 672 317 368 4 5 729 483 1 819 623 367 5 451 236 123 849 15 6 4 212 511 1 294 216 85 7 835 459 221 570 25 8 119 898 58 759 5 9 1 216 075 261 623 14 DMU Variabel output

Pembiayaana Pendapatan bagi hasila Pendapatan operasional lainnyaa 1 8 921 984 288 338 299 969 2 86 966 355 4 931 198 879 208 3 103 158 402 6 444 100 3 613 123 4 1 864 938 160 792 491 400 5 1 497 000 35 029 93 516 6 15 027 840 1 034 459 558 563 7 4 768 855 158 053 77 563 8 1 909 611 61 653 12 945 9 5 566 838 367 927 171 261 a

Sumber: Bank Indonesia (2011), data diolah; nominal dalam juta (106) rupiah, b

Sumber: Bank Indonesia (2011).

19 DMU Variabel input Dana pihak ketigaa Biaya tenaga kerjaa Jumlah kantorb 1 4 164 848 1 223 501 72 2 15 810 613 3 273 593 291 3 24 204 509 6 050 046 462 4 5 843 680 1 951 455 391 5 874 448 212 318 25 6 6 448 603 2 046 328 103 7 1 844 021 423 923 24 8 397 102 96 905 5 9 1 357 332 284 157 16 DMU Variabel output

Pembiayaana Pendapatan bagi hasila Pendapatan operasional lainnyaa 1 20 735 798 746 295 1 203 547 2 113 992 786 6 744 144 1 986 261 3 118 452 629 7 742 088 6 327 978 4 998 235 92 195 599 806 5 2 144 645 97 741 50 682 6 19 038 327 1 075 601 915 280 7 5 770 568 389 963 37 308 8 3 568 994 193 443 28 965 9 6 562 884 422 144 193 612 a

Sumber: Bank Indonesia (2012), data diolah; nominal dalam juta (106) rupiah, b

Sumber: Bank Indonesia (2012).

Tabel 8 Data bank syariah periode 2

Rata-rata Simpangan

baku Maksimum Minimum

Variabel input

Dana pihak ketiga 6 771 684 8 080 660 24 204 509 397 102 Biaya tenaga kerja 1 729 136 1 943 508 6 050 046 96 905 Jumlah kantor 154 178 462 5 Variabel output

Pembiayaan 32 362 763 48 070 756 118 452 629 998 235 Pendapatan bagi hasil 1 944 846 3 030 701 7 742 088 92 195 Pendapatan operasional lainnya 1 260 382 2 011 833 6 327 978 28 965

20

Hasil dan Pembahasan

Masalah pengukuran efisiensi dari sekumpulan bank syariah diselesaikan menggunakan suatu metode pengukuran non-parametrik yakni Data Envelopment Analysis (DEA) dan diselesaikan dengan software DEA-Solver LV 3.0. Terdapat dua kelompok data, yaitu sembilan BUS di Indonesia periode 1 dan sembilan BUS di Indonesia periode 2. Setiap kelompok data dilakukan analisis dengan metode DEA secara terpisah. Model yang digunakan adalah model CCR berorientasi output dengan asusmsi bahwa bank sebagai unit yang dievaluasi beroperasi pada pasar persaingan sempurna.

Analisis Efisiensi Teknik

Hasil yang diberikan oleh DEA-Solver pada pengukuran efisiensi perbankan syariah pada dua periode disajikan pada Tabel 10 dan 11.

Hasil pengukuran efisiensi yang dicapai oleh bank syariah pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa terdapat lima bank yang efisien pada periode1. Lima bank tersebut adalah Bank Syariah Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank BCA Syariah, Bank Panin Syariah dan Bank Syariah Bukopin. Lima bank tersebut menjadi batas efisiensi bagi bank-bank lainnya. Adapun bank yang takefisien memiliki reference set yang dapat menjadikannya efisien dengan

DMU Skor

efisiensi Reference set ( )

1 1.000

2 1.000

3 1.000

4 0.355 DMU1 (1.403)

5 0.353 DMU1 (0.006) DMU3 (0.016) DMU8 (0.910) 6 0.618 DMU1 (0.516) DMU3 (0.086) DMU9 (1.637) 7 0.459 DMU2 (0.017) DMU8 (3.786)

8 1.000

9 1.000

Tabel 11 Skor efisiensi bank syariah periode 2

DMU Skor

efisiensi Reference set ( )

1 0.710 DMU2 (0.008) DMU3 (0.115)

2 1.000

3 1.000

4 0.414 DMU5 (12.697)

5 1.000

6 0.675 DMU2 (0.011) DMU3 (0.212) DMU9 (0.290) 7 0.641 DMU2 (0.022) DMU3 (0.022) DMU8 (1.724)

8 1.000

9 1.000

21 mengendalikan tingkat output menuju batas yang ditentukan. DMU2 yakni Bank Syariah Muamalat Indonesia menjadi reference set untuk ketiga bank lainnya yakni Bank Syariah BNI, Bank Syariah BRI dan Bank Jabar Banten Syariah. Satu lagi, Bank Syariah Mega Indonesia merupakan DMU takefesien dengan skor efisiensi terendah yakni 41.4% dan memiliki reference set Bank BCA Syariah.

Sedangkan hasil pengukuran efisiensi bank syariah di Indonesia periode 2 pada Tabel 11 juga menunjukkan lima bank yang efisien namun dengan komposisi yang berbeda, kelima bank tersebut yakni Bank Syariah BNI, Bank Syariah Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Panin Syariah dan Bank Syariah Bukopin. Untuk periode ini Bank Syariah BNI menjadi efisien dan menjadi reference set untuk tiga bank yaitu Bank Syariah Mega Indonesia, Bank BCA Syariah dan Bank Syariah BRI. Sedangkan Bank Syariah Mandiri dan Bank Panin Syariah masing-masing menjadi reference set untuk dua bank lainnya. Terakhir, Bank Syariah Muamalat Indonesia menjadi reference set untuk Bank Jabar Banten Syariah. Adapun Bank BCA Syariah mengalami penurunan skor efisien yang sangat signifikan bahkan menjadi bank dengan skor efisien terendah yakni hanya 35.3%.

Secara umum dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa terdapat empat bank yang selalu efisien selama dua periode yang diukur. Keempat bank tersebut adalah Bank Syariah Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Panin Syariah, dan Bank Syariah Bukopin.

Adapun interpretasi dari sebagai reference set merupakan acuan bagi DMU takefisien untuk meningkatkan output menuju suatu nilai agar mencapai efisien. Sebagaimana pada (21) dan (25) memberikan definisi suatu nilai projeksi yaitu ̂ Hal ini berarti untuk mencapai efisien suatu DMU harus meningkatkan setiap output-nya mencapai suatu nilai yang bergantung pada dan/atau .

Sebagai contoh, pada periode 1 terdapat DMU1 yang takefisien dengan

reference set . d .115. Untuk mencapai efisien, DMU1 harus Gambar 7 Skor efisiensi bank syariah di Indonesia periode 1 dan periode 2

S kor E fi si ens i

22

meningkatkan setiap output-nya. Projeksi pembiayaan, pendapatan bagi hasil dan pendapatan opersional lainnya berturut-turut dihitung sebagai berikut:

̂ 86 966 355 × 0.008 + 103 158 402 × 0.115 = 12 572 322.4,

̂ 4 931 198 × 0.008 + 6 444 100 × 0.115 781 284.1741,

̂ 879 208 × 0.008 + 3 168 123 × 0.115 422 698.2446.

Untuk mengetahui data dan nilai projeksi bagi DMU-DMU takefisien lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Projeksi DMU Takefisien

Tidak hanya menentukan tingkat efisiensi dari sejumlah DMU, DEA juga dapat mengukur seberapa besar penambahan output (untuk model CCR orientasi

output) atau pengurangan input (untuk model CCR orientasi input) oleh DMU takefisien agar mencapai efisien. Berdasarkan Tabel 10, terdapat empat bank yang memiliki nilai efisiensi kurang dari satu yang berarti bank tersebut takefisien. Hasil evaluasi DEA memberikan projeksi ketiga output untuk masing-masing DMU, seberapa besar output yang seharusnya dicapai oleh DMU agar menjadi efisien. Persentase besarnya penambahan output yang harus dicapai oleh setiap setiap DMU untuk periode 1 disajikan pada Gambar 8-10 dan periode 2 disajikan pada Gambar 11-13.

Gambar 8 Persentase projeksi DMU takefisien untuk pembiayaan pada periode 1

Gambar 9 Persentase projeksi DMU takefisien untuk pendapatan bagi hasil pada periode 1

23

Gambar 10 Persentase projeksi DMU takefisien untuk pendapatan operasional lainnya pada periode 1

Gambar 11 Persentase projeksi DMU takefisien untuk pembiayaan pada periode 2

Gambar 12 Persentase projeksi DMU takefisien untuk pendapatan bagi hasil pada periode 2

24

Dapat dilihat dari Gambar 8-10 bahwa penambahan output terbesar pada pembiayaan, pendapatan bagi hasil dan pendapatan operasional lainnya yang harus dilakukan terdapat pada DMU4 (Bank Syariah Mega Indonesia) berturut-turut yakni sebesar 919.22%, 176.61% dan 141.64% untuk mencapai efisien. Persentase penambahan output minimum pada periode 1 sebesar 40.91% terdapat pada DMU1 (Bank Syariah BNI).

Kemudian projeksi DMU takefisien pada periode 2 dapat dilihat pada Gambar 11-13. Persentase penambahan output minimum pada periode ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya yakni mencapai 61.83% untuk pendapatan bagi hasil dan pendapatan operasional lainnya pada DMU5 (Bank BCA Syariah). Kemudian penambahan output terbesar yakni 999.90%, ini juga terjadi pada Bank Syariah Mega Indonesia yakni output berupa pembiayaan dan pendapatan bagi hasil.

Pengendalian output ini dapat menjadi bahan pertimbangan oleh bank terkait untuk meningkatkan kinerja di periode berikutnya. Ketakefisienan tersebut disebabkan penggunaan input yang kurang maksimal. Sebagai contoh, bank bisa saja melakukan kebijakan dalam pengendalian dan alokasi sumber daya yang optimal, atau melakukan promosi lebih intensif agar mampu menarik nasabah baru.

Analisis Indeks Malmquist

Di bagian ini akan dianalis perubahan produktivitas kinerja (efisiensi dan teknologi) antarwaktu pada Bank Umum Syariah di Indonesia menggunakan indeks Malmquist. Skor indeks Malmquist M dari pengukuran sembilan bank selama dua periode ditunjukkan pada Tabel 12. Indeks Malmquist M ditentukan melalui formula M = C F di mana C dan F bertutut-turut menyatakan perubahan efisiensi (catch-up) dan perubahan teknologi (frontier-shift) dari periode 1 ke periode 2.

Gambar 13 Persentase projeksi DMU takefisien untuk pendapatan operasional lainnya pada periode 2

25

Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa dari sembilan bank yang dianalisis, terdapat empat bank yang tidak mengalami peningkatan efisiensi (C = 1), empat bank yang mengalami penurunan skor efisiensi (C < 1) dan hanya satu bank yang bergerak menuju efisien (C > 1). Demikian dapat dikatakan sebagian besar bank mempertahankan dan atau dapat meningkatkan tingkat efisiensinya. Selanjutnya, perubahan teknik dalam teknologi produksi yang dilambangkan dengan F

menunjukkan bahwa delapan bank mengalami peningkatan (F > 1) dan hanya satu bank yang megalami penurunan (F < 1). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara teknik produksi hampir semua bank memiliki inovasi dari periode ke periode berikutnya.

Secara umum bank-bank syariah mengalami pertumbuhan efisiensi karena ada enam dari sembilan (67%) bank yang memiliki M > 1. Bank Syariah BNI merupakan bank yang memiliki pertumbuhan paling baik. Sebagai perbandingan, Bank Syariah BNI memiliki skor efisiensi 0.710 pada periode 1 kemudian skornya meningkat menjadi 1 sehingga menjadi efisien pada periode 2. Sebaliknya Bank BCA Syariah dengan capaian M terendah mengalami penurunan skor efisiensi yang sangat besar. Awalnya Bank BCA Syariah mencapai skor efisiensi 1 pada periode 1 kemudian menurun hingga skor efisiensinya hanya 0.353 pada periode 2.

Perhatikan skor indeks Malmquist untuk empat DMU yang selalu memiliki skor efisiensi 1 untuk dua periode yakni Bank Syariah Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Panin Syariah dan Bank Syariah Bukopin. Ternyata empat DMU ini memiliki skor indeks Malmquist yang beragam namun dapat dipastikan memiliki skor C = 1 karena skor efisiensi tidak mengalami perubahan yakni stabil di 1. Akan tetapi perolehan skor F yang berbeda-beda, hal ini berarti setiap DMU memiliki kombinasi input-output yang berbeda pada setiap periodenya. Dari empat bank tersebut hanya ada satu bank yang mengalami penurunan secara teknologi produksi yakni Bank Syariah Muamalat Indonesia, hal ini dapat dilihat melalui kombinasi input-output, terdapat peningkatan yang signifikan pada variabel input namun peningkatan variabel output tidak sesuai yang seharusnya bisa mencapai lebih tinggi.

Dengan demikian indeks Malmquist dapat digunakan sebagai indikator perubahan efisiensi serta perubahan teknologi (kombinasi input-output) sejumlah DMU yang beroperasi selama dua periode.

DMU Catch-up C Frontier-shift F Indeks Malmquist M 1 1.409 1.198 1.688 2 1.000 0.907 0.907 3 1.000 1.102 1.102 4 0.858 1.394 1.196 5 0.353 1.112 0.393 6 0.915 1.172 1.072 7 0.716 1.128 0.808 8 1.000 1.009 1.009 9 1.000 1.019 1.019

26

Dokumen terkait