• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Usaha Penetasan Ternak Itik

Usaha penetasan di Kabupaten HSU terpusat di Desa Mamar yang umumnya sudah menggunakan mesin tetas untuk menetaskan telur itik. Pada usaha penetasan itik, telur ditetaskan pada mesin tetas selama 14-15 hari, kemudian dua minggu berikutnya diletakkan di balai penetasan sampai telur menetas. DOD (Day Old Duck) dipelihara peternak sampai lebih kurang umur sepuluh hari baru kemudian dijual ke pasar atau peternak pembesaran.

Pada skala 1000 telur tetas yang ditetaskan, dengan daya tetas 60% menghasilkan 600 ekor yang terdiri dari 300 ekor DOD betina dijual dengan harga Rp. 6.500,- per ekor dan 300 ekor DOD jantan dengan harga lebih murah yaitu Rp. 3.500,- Penerimaan usaha penetasan itik berasal dari penjualan anak itik, sedangkan biaya variabel yaitu biaya pembelian bibit, pakan dan vitamin, listrik serta peralatan. Untuk biaya tetap dari biaya pembuatan kandang dan pembelian mesin tetas. Biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan karena seluruh peternak menggunakan tenaga kerja sendiri dalam menjalankan usahanya. Pada satu periode penetasan pada skala 1000 butir telur yang ditetaskan, penerimaan yang diperoleh sebesar Rp. 3.000.000,- dan biaya variabel rata-rata Rp. 2.070.000,- dan biaya tetap sebesar Rp. 4.000.000 maka peternak masih belum kembali modal yaitu minus Rp. 3.070.000,-

68

Tabel 26 Pendapatan Usaha Penetasan Itik skala 1000 butir telur

No Uraian Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Variabel Tetap 1 1 periode penetasan 3.000.000 2.070.000 4.000.000 -3.070.000 2 1 tahun (12 kali penetasan) 36.000.000 24.540.000 4.000.000 7.460.000

Satu periode penetasan dalam waktu satu bulan, maka dalam satu tahun dapat dilakukan sampai 12 kali penetasan, karena selama telur dipindah ke balai penetasan, dapat dimasukkan kembali telur yang baru ke mesin tetas. Pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun atau 12 kali penetasan yaitu sebesar Rp. 7.460.000,-

b. Usaha Pembesaran Ternak Itik

Satu kali periode usaha pembesaran itik dilakukan selama 6 bulan, karena itik dipelihara mulai umur 1 minggu sampai umur 6 bulan. Penerimaan usaha pembesaran diperoleh dari penjualan itik betina produktif umur 6 bulan dengan harga Rp. 60.000,- per ekor. Pada pemeliharaan ternak pembesaran sebanyak 500 ekor, dengan mortalitas sekitar 3% maka penerimaan yang diperoleh yaitu Rp. 25.500.000,- dan total biaya sebesar Rp. 18.075.000,- sehingga total pendapatan untuk satu kali periode pembesaran sebesar Rp. 7.425.000,- dalam satu tahun dapat dilakukan dua kali periode pembesaran. Rata-rata pendapatan dalam satu tahun sebesar Rp. 19.050.000,-

Tabel 27 Pendapatan Usaha Pembesaran Itik skala 500 ekor

No Uraian Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Variabel Tetap 1 1 periode pembesaran 25.500.000 13.075.000 5.000.000 7.425.000 2 1 tahun (2 kali pembesaran) 51.000.000 26.950.000 5.000.000 19.050.000

c. Usaha Penghasil Telur Konsumsi

Usaha penghasil telur konsumsi dimulai dari umur bibit enam bulan selama satu periode usaha 12 bulan atau sampai umur itik mencapai 18 bulan. Penerimaan untuk usaha penghasil telur konsumsi dari penjualan telur dan itik afkir. Pada pemeliharaan skala 500 ekor ternak itik, biaya untuk pembelian bibitnya mencapai Rp. 30.000.000,-. Biaya paling besar yaitu pada pembelian pakan, vitamin dan obat-obatan sebesar Rp. 97.500.000,-. Penerimaan yang

69

diperoleh dari penjualan telur dan itik afkir sebesar Rp. 161.861.000,- sehingga pendapatan yang diperoleh selama 1 tahun yaitu Rp. 25.311.000,-. dapat dilihat pada Tabel 28.

d. Usaha Penghasil Telur Tetas

Usaha penghasil telur tetas membutuhkan bibit ternak jantan, sehingga ada biaya pembelian untuk bibit ternak jantan. Perbandingan jantan dan betina sekitar 1 : 9. Harga bibit jantan lebih murah dibandingkan harga bibit betina. Bibit jantan sebesar Rp. 30.000,- sedangkan bibit betina mencapai Rp. 60.000,-. Pada skala pemeliharaan 500 ekor, penerimaan diperoleh dari penjualan telur dan itik afkir yaitu Rp. 177.418.000,-. Harga penjualan telur tetas lebih mahal dibandingkan harga telur konsumsi yaitu Rp. 1.500,- per butir. Biaya yang diperlukan sekitar Rp. 151.060.000,- sehingga pendapatan yang diperoleh yaitu Rp. 26.358.000,-

Tabel 28 Pendapatan Usaha Penghasil Telur Konsumsi dan Telur Tetas Skala 500 ekor per tahun

No Spesialisasi Usaha Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Tetap Variabel 1 Penghasil telur konsumsi 161.861.000 128.550.000 8.000.000 25.311.000 2 Penghasil telur tetas 177.418.000 151.060.000 7.000.000 26.358.000 5.9 Kelayakan Finansial

a. Usaha Ternak Penetasan Itik

Usaha penetasan ternak itik dilakukan dalam periode satu bulan. Analisis kelayakan finansial untuk usaha penetasan itik dilakukan selama 5 tahun (60 bulan) dan dihitung per bulan. Perhitungan kelayakan finansial usaha penetasan dilakukan dengan pengurangan antara manfaat dengan biaya. Faktor diskonto menggunakan tingkat suku bunga rata-rata pada tahun 2010 yaitu sebesar 12%.

Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial diperoleh nilai NPV sebesar Rp.36.971.946,-. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pendapatan bersih saat ini yang diterima peternak selama 5 tahun (60 bulan). Nilai B/C ratio sebesar 1,38 artinya perbandingan penerimaan yang diperoleh peternak lebih besar dari biaya

70

yang dikeluarkan yaitu peternak mendapatkan Rp.1,38 dari pengeluaran sebesar Rp.1.00,- Nilai IRR yang diperoleh menunjukkan 16,50% sehingga investasi yang ditanamkan pada usaha penetasan itik dinilai masih layak dan menguntungkan dilakukan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan suku bunga yang berlaku.

b. Usaha Pembesaran Ternak Itik

Usaha pembesaran dilakukan peternak dalam 1 periode selama 6 bulan. Perhitungan analisis kelayakan finansial usaha pembesaran itik dilakukan selama 10 periode pembesaran atau sekitar 5 tahun. Hasil perhitungan NPV pada faktor diskonto 12% sebesar Rp. 63.406.243,-. Nilai tersebut merupakan pendapatan bersih nilai saat ini yang diterima peternak selama 5 tahun. Nilai B/C ratio 1,58, artinya peternak akan mendapatkan Rp.1.58,- setiap biaya pengeluaran sebesar Rp.1,00,- Nilai IRR menunjukkan angka 65,25%. Hal ini berarti investasi yang ditanamkan untuk usaha ternak pembesaran itik dinilai layak dan sangat menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan suku bunga yang berlaku.

c. Usaha Penghasil Telur Konsumsi

Periode usaha penghasil telur konsumsi selama 1 tahun, setelah itu ternak itik diafkir karena produksinya sudah menurun dan membeli ternak itik yang siap produksi. Analisa usaha kelayakan finansial dihitung selama 10 tahun. Hasil perhitungan analisis finansial yaitu nilai NPV sebesar Rp. 41.739.329,- yang berarti nilai tersebut merupakan pendapatan besih nilai saat ini yang diterima peternak selama 10 tahun. Nilai B/C ratio sebesar 1,05 yang berarti perbandingan penerimaan yang diterima peternak selama 10 tahun lebih besar dari biaya yang dikeluarkannya. Nilai IRR sebesar 19,66% berarti investasi yang ditanamkan pada usaha ternak penghasil telur konsumsi dinilai layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dari suku bunga yang berlaku.

d. Usaha Penghasil Telur Tetas

Periode usaha ternak penghasil telur tetas sama dengan usaha penghasi telur konsums yaitu selama 1 tahun. Hasil analisis kelayakan finansial usaha

71

ternak itik selama 10 tahun menunjukkan nilai NPV sebesar Rp. 22.949.982,- yang artinya nilai tersebut merupakan pendapatan bersih nilai saat ini yang diterima peternak selama 10 tahun. Nilai B/C ratio sebesar 1,02 menunjukkan bahwa penerimaan yang diterima peternak 10 tahun lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Nilai IRR sebesar 15,88% berarti nilai investasi yang ditanamkan pada usaha ternak penghasil telur tetas dinilai masih layak dan menguntungkan, karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan suku bunga yang berlaku.

5.10 Ekonomi Basis

Analisis LQ digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan berdasarkan jumlah populasi ternak menurut wilayah kecamatan yang ada. Hasil analisis LQ yang diidentifikasi pada tujuh komoditas ternak di 10 kecamatan di Kabupaten HSU yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, ayam buras, ayam ras dan itik menunjukkan bahwa peternakan itik menjadi basis di Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Amuntai Selatan. Nilai LQ paling tinggi untuk komoditas ternak itik di Kecamatan Sungai Tabukan. Walaupun jumlah populasi ternak itik di kecamatan ini tidak terlalu besar namun jumlah populasi ternak lainnya juga tidak terlalu banyak maka nilai LQ nya paling tinggi.

Tabel 29 Nilai LQ Populasi Ternak di Kabupaten HSU

No Kecamatan Sapi Kerbau Kambing Domba Ayam Buras Ayam Ras Itik 1 Danau Panggang 0,00 0,00 0,32 0,00 1,53 0,20 1,04 2 Paminggir 0,00 213,66 0,00 0,00 0,14 0,00 0,80 3 Babirik 0,11 0,00 0,45 0,00 1,72 0,05 0,97 4 Sungai Pandan 2,07 0,16 2,03 1,22 0,22 0,32 2,01 5 Sungai Tabukan 0,19 0,00 1,68 0,43 0,28 0,21 2,02 6 Amuntai Selatan 0,46 0,00 0,73 0,00 1,13 0,81 1,01 7 Amuntai Tengah 1,16 0,05 1,15 2,84 0,44 2,07 0,85 8 Banjang 8,55 0,00 3,64 7,50 1,71 0,26 0,84 9 Amuntai Utara 1,34 0,00 1,02 0,58 0,64 2,36 0,54 10 Haur Gading 0,52 0,00 1,00 0,00 0,70 2,43 0,44 Data dianalisis berdasarkan sumber data dari Dinas Peternakan Tahun 2009

72

Gambar 19 Peta Pewilayahan Basis Komoditas Ternak Itik di. Kab. HSU

Lokasi Penelitian

73

5.11 Arahan Pengembangan

Arahan pengembangan peternakan itik di Kabupaten HSU ditentukan berdasarkan tiga skenario yaitu skenario pertama berdasarkan indeks daya dukung (IDD) pakan dedak dengan wilayah basis, skenario kedua berdasarkan IDD pakan sagu dengan wilayah basis dan skenario ketiga berdasarkan IDD pakan dedak dan sagu dengan wilayah basis.

a. Skenario pertama

Penentuan wilayah potensi pengembangan usaha peternakan itik berdasarkan IDD pakan dedak dengan wilayah basis. Berdasarkan hasil analisis diperoleh tiga potensi pengembangan peternakan itik yaitu 1) IDD aman dan non basis; 2) IDD sangat kritis dan basis; 3) IDD sangat kritis dan non basis. Hasil analisis tidak ada kecamatan yang memiliki IDD aman dan basis.

Tabel 30 Potensi Pengembangan Ternak Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Dedak dan Wilayah Basis

No Kecamatan IDD Dedak

Nilai LQ

Itik Keterangan

1 Danau Panggang 0,31 1,04 IDD sangat kritis dan basis 2 Paminggir 22,84 0,80 IDD aman dan non basis 3 Babirik 0,24 0,97 IDD sangat kritis dan non basis 4 Sungai Pandan 0,25 2,01 IDD sangat kritis dan basis 5 Sungai Tabukan 0,15 2,02 IDD sangat kritis dan basis 6 Amuntai Selatan 0,08 1,01 IDD sangat kritis dan basis 7 Amuntai Tengah 0,16 0,85 IDD sangat kritis dan non basis 8 Banjang 0,66 0,84 IDD sangat kritis dan non basis 9 Amuntai Utara 0,39 0,54 IDD sangat kritis dan non basis 10 Haur Gading 0,29 0,44 IDD sangat kritis dan non basis

Secara spasial kecamatan yang memiliki daya dukung aman dan non basis yaitu Kecamatan Paminggir. Pada kecamatan ini pengembangannya diarahkan sebagai wilayah penyangga bagi penyediaan pakan. Kecamatan yang memiliki IDD sangat kritis dan basis yaitu pada Kecamatan Danau Panggang, Amuntai Selatan, Sungai Tabukan dan Sungai Pandan. Pada kecamatan tersebut preferensi masyarakatnya dalam beternak itik tinggi, namun daya dukungnya sudah tidak mencukupi kebutuhan pakan ternak itik, sehingga

74

diarahkan sebagai daerah budidaya dengan penyediaan pakan ternak dari kecamatan lain. Kecamatan yang status daya dukungnya sangat kritis dan non basis yaitu Kecamatan Babirik, Amuntai Tengah, Amuntai Utara dan Haur Gading dan Banjang. Pada kelima kecamatan ini daya dukungnya sudah tidak mencukupi kebutuhan pakan ternak itik meskipun masyarakatnya banyak yang bermata pencaharian sebagai beternak itik, namun banyak juga yang beternak ayam dan sapi sehingga menjadi wilayah non basis. Kelima kecamatan tersebut diarahkan pada kegiatan perdagangan dan pengolahan hasil ternak itik terutama di Kecamatan Amuntai Tengah yang merupakan daerah perkotaan.

b. Skenario Kedua

Skenario kedua berdasarkan perhitungan IDD pakan sagu dengan wilayah basis. Hasil analisis menunjukkan kecamatan dengan IDD aman dengan wilayah basis yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Tabukan, dan Amuntai Selatan. Pada kecamatan tersebut daya dukungnya masih mampu menampung tambahan populasi ternak itik. Pada Kecamatan Sungai Pandan yang memiliki IDD sangat kritis dan basis, merupakan kecamatan yang masyarakatnya memiliki preferensi beternak itik tinggi namun di kecamatan tersebut tidak potensial pengembangan sagu sehingga nilai IDD sagunya 0, maka diarahkan sebagai daerah budidaya.

Tabel 31 Potensi Pengembangan Ternak Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Sagu dengan Wilayah Basis

No Kecamatan IDD Sagu Nilai LQ

Itik Keterangan

1 Danau Panggang 42,37 1,04 IDD aman dan basis 2 Paminggir 1959,32 0,80 IDD aman dan non basis 3 Babirik 2,47 0,97 IDD aman dan non basis 4 Sungai Pandan 0,00 2,01 IDD sangat kritis dan basis 5 Sungai Tabukan 4,88 2,02 IDD aman dan basis 6 Amuntai Selatan 13,92 1,01 IDD aman dan basis 7 Amuntai Tengah 11,75 0,85 IDD aman dan non basis 8 Banjang 84,89 0,84 IDD aman dan non basis 9 Amuntai Utara 0,00 0,54 IDD sangat kritis dan non basis 10 Haur Gading 1,47 0,44 IDD kritis dan non basis dan

75

Untuk kecamatan yang memiliki IDD aman dan non basis yaitu pada Kecamatan Paminggir, Babirik, Amuntai Tengah, Banjang, dan Haur Gading diarahkan untuk penyediaan pakan, perdagangan dan pengolahan hasil. Sementara Kecamatan Amuntai Utara yang IDDnya sangat kritis dan non basis, serta Kecamatan Haur Gading yang IDDnya kritis dan non basis diarahkan sebagai wilayah perdagangan dan pengolahan hasil.

c. Skenario Ketiga

Skenario ketiga berdasarkan IDD pakan dedak, sagu dan wilayah basis. Perhitungan IDD dedak dan sagu dari potensi pengembangan padi dan sagu. Kecamatan yang menjadi wilayah basis diarahkan untuk wilayah budidaya yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Amuntai Selatan. Kecamatan Paminggir dengan IDD dedak dan sagu aman diarahkan sebagai wilayah penyediaan pakan. Sementara kecamatan lainnya diarahakan untuk wilayah perdagangan dan pengolahan hasil.

Tabel 32 Potensi Pengembangan Ternak Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Sagu dengan Wilayah Basis

No Kecamatan IDD Dedak IDD Sagu Nilai LQ Itik Keterangan

1 Danau Panggang 0,31 12,85 1,04 IDD dedak sangat kritis, IDD sagu aman dan basis

2 Paminggir 22,84 144,06 0,80 IDD dedak dan sagu aman, non basis 3 Babirik 0,24 - 0,97 IDD dedak dan sagu sangat kritis, non

basis

4 Sungai Pandan 0,25 - 2,01 IDD dedak dan sagu sangat kritis, basis 5 Sungai Tabukan 0,15 - 2,02 IDD dedak dan sagu sangat kritis, basis 6 Amuntai Selatan 0,08 11,43 1,01 IDD dedak sangat kritis dan IDD sagu

aman, basis

7 Amuntai Tengah 0,16 - 0,85 IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis

8 Banjang 0,66 - 0,84 IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis

9 Amuntai Utara 0,39 - 0,54 IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis

10 Haur Gading 0,29 1,76 0,44 IDD dedak sangat kritis dan IDD sagu rawan, non basis

76

Gambar 20 Peta Arahan Pengembangan Peternakan Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Wilayah Basis.

Lokasi Penelitian

77

Gambar 21 Peta Arahan Pengembangan Peternakan Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Sagu dan Wilayah Basis

Lokasi Penelitian

78

Gambar 22 Peta Arahan Pengembangan Peternakan Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Sagu dengan Wilayah Basis.

Lokasi Penelitian

79

5.12 Strategi Pengembangan

Analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik. Untuk menyusun strategi tersebut perlu dilakukan analisa yang mendalam.

Faktor Strategi Internal

Faktor internal merupakan faktor yang ada di Kabupaten HSU yang terdiri atas kekuatan dan kelemahan.

a. Faktor Kekuatan

Faktor kekuatan adalah faktor strategis yang dapat mendukung pengembangan di Kabupaten HSU.

1. Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam Kabupaten HSU sebagian besar wilayahnya berupa hutan rawa yaitu seluas 29.711 ha (32,52%), sawah 25.492 Ha (27,91%), kebun campuran 5.051 ha (5,53%) sedangkan yang dimanfaatkan sebagai pemukiman seluas 4.285 ha (4,69%), selebihnya 26.811 ha (29,35 %) berupa hamparan rumput rawa dan danau (BPS HSU, 2009). Ketersediaan air yang melimpah di rawa merupakan habitat yang paling disukai ternak itik. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak ini dibandingkan pada lahan irigasi atau lahan kering karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan yang banyak tersedia secara alami di lahan rawa lebak seperti sagu (Metroxylon spp) dan berbagai sumber pakan berupa gulma air seperti kangkung, enceng gondok, rumput rawa; dan hewan air misalnya siput, gondang/keong mas, ikan-ikan kecil (Noor, 2007). Selain itu posisi Kabupaten HSU yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah memberikan kemudahan dalam pemasaran ke luar provinsi.

2. Sumberdaya Manusia

Sumberdaya Manusia Peternak merupakan salah satu faktor kekuatan dalam pengembangan peternakan. Beternak itik salah satu mata pencaharian yang banyak digeluti masyarakat di Kabupaten HSU. Jumlah peternak itik sekitar 4.902 orang. Paling banyak dibandingkan peternak komoditas ternak lain.

80

3. Plasma Nutfah asli daerah

Itik Alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan terutama Kabupaten HSU. Itik Alabio termasuk itik lokal unggul dwi fungsi, karena selain mampu memproduksi telur yang tinggi, rata-rata 215 butir/tahun juga potensial sebagai penghasil daging dibandingkan itik lokal lain di Indonesia (Suryana, 2007). Populasi ternak itik di Kabupaten HSU paling banyak dibandingkan di kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari populasi ternak di Kalimantan Selatan tahun 2009 sebanyak 4.158.452 ekor, populasi ternak itik di Kabupaten HSU mencapai 30,16% dari populasi itik di Provinsi Kalimantan Selatan.

4. Dukungan Pemerintah

Pemerintah kabupaten sampai dengan pemerintah pusat sangat mendukung pengembangan peternakan itik di Kabupaten HSU tersebut. Setiap tahunnya selalu ada kegiatan dan bantuan lembaga sosial dalam upaya peningkatan usaha peternakan itik. Pemerintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara melakukan penyebaran ternak itik setiap tahunnya. Penyebaran ternak diarahkan pada peningkatan usaha, populasi dan pendapatan petani peternak dalam upaya otonomi daerah yang berpedoman kepada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan. Sejak tahun 2006 pemerintah pusat melalui dana tugas pembantuan memberikan bantuan lembaga sosial APBN untuk usaha peternakan itik, pada tahun 2006 sebesar Rp. 125.000.000,-, tahun 2007 sebesar Rp. 314.000.000,- dan pada tahun 2008 sebesar Rp. 115.000.000,-. Melalui dana APBD juga telah diberikan bantuan penyebaran ternak itik, pengadaan mesin pemarut paya, mesin pemecah keong, obat-obatan, handsprayer, desinfektan, spuit otomatis. Adanya lembaga pembina seperti Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan, Dinas Perikanan, dan dinas/instansi lain yang terkait. Diharapkan menjadi fasilitator utama dalam pembinaan baik dari semua aspek, dari pakan sampai pasca panen baik dari pemeliharaan, pemasaran sampai manajemen usaha.

5. Dukungan sosial budaya masyarakat

Faktor dukungan sosial masyarakat sangat berperan dalam pengembangan peternakan itik. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakatnya mempunyai usaha peternakan itik baik skala besar maupun kecil.

81

6. Terdapat Pusat Penetasan

Usaha peternakan itik di Kabupaten HSU sudah berspesialisasi, untuk menghasilkan bibit itik terdapat pusat penetasan dan pembibitan yaitu di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan. Teknologi untuk penetasan di desa ini telah berkembang, dimana mereka sudah menggunakan mesin tetas untuk penetasan tidak secara tradisional. Jumlah bibit yang tersedia di pusat penetasan ini cukup besar mencapai 60.000 ekor/minggu. Dengan demikian ketersediaan bibit itik alabio relatif mudah.

7. Terdapat Pusat Pemasaran

Di Kabupaten HSU terdapat pusat pemasaran itik (telur, bibit pakan) dan peralatan pemeliharaan itik yang terletak di Alabio Kecamatan Sungai Pandan. Peternak dari Kabupaten HSU maupun dari luar kabupaten bahkan luar provinsi biasanya mencari bibit itik yang bagus di pasar ini. Ternak itik diperjualbelikan secara langsung, namun untuk pembelian skala besar, pembeli umumnya hanya melihat contoh ternak di pasar dan selanjutnya transaksi jual beli dilakukan dengan dikirim oleh penjual atau langsung diambil oleh pembeli. Dengan semakin mudahnya akses komunikasi sebagian peternak dari luar umumnya cukup hanya memesan lewat telepon ke peternak yang sudah dipercaya. Wilayah pemasaran telur sekitar 30% di Provinsi Kalimantan Selatan, 55 % dari Provinsi Kalimantan Tengah dan 15% dari Provinsi Kalimantan Timur, sedangkan wilayah pemasaran untuk anak itik betina sekitar 60% di dalam kabupaten dan sisanya luar Kabupaten HSU (Disnak Kab. HSU, 2009).

8. Informasi Pasar

Adanya siaran televisi lokal (Amuntai TV) dan radio yang memberikan informasi harga-harga sarana produksi, hasil produksi, sehingga para pelaku usaha dengan cepat mengetahui perkembangan harga di pasar sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melakukan transaksi dan analisa usaha peternakan. Selain itu, Dinas Peternakan Kabupaten HSU juga mempunya website yang selalu memberikan informasi perkembangan harga, sehingga pelaku usaha dari luar kabupaten dan provinsi dapat dengan cepat mengaksesnya. Hal ini memudahkan calon pembeli dari luar daerah untuk mengetahuinya

82

9. Tingkat Keuntungan Usaha

Dilihat dari analisis pendapatan peternak per spesialisasi usaha penetasan, pembesaran, penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas, semuanya menguntungkan peternak.

b. Faktor Kelemahan

Faktor kelemahan adalah faktor yang dianggap sebagai kendala dalam pengembangan usaha peternakan itik di Kabupaten HSU.

1. Sarana dan Prasarana

Beberapa daerah di sentra pengembangan ternak itik cukup sulit dijangkau karena belum ada akses jalan yang memadai, bahkan hanya dapat dilalui dengan titian panjang dari kayu dengan kondisi sudah cukup memprihatinkan, sehingga sangat menyulitkan untuk membawa ternak itik dan hasil produksinya. Bahkan ada daerah yang hanya dapat dijangkau dengan menggunakan perahu kecil (klotok).

Belum berfungsinya tempat pemotongan unggas karena keterbatasan sarana prasarana RPU (Rumah Potong Unggas), sehingga masyarakat lebih menyukai memotong unggas di rumah masing-masing, padahal di rumah potong unggas sudah disediakan alat pencabut bulu. Hal ini menyebabkan sedikitnya pengawasan yang dapat dilakukan pada penjual daging itik. Belum adanya puskeswan di kecamatan-kecamatan, sehingga masyarakat kesulitan untuk melaporkan ternak itik yang sakit, karena memerlukan waktu yang cukup jauh untuk ke kabupaten, sehingga lambat dalam penanganan penyakit.

2. Kemampuan Modal Usaha

Modal yang dimiliki peternak umumnya berasal dari modal sendiri, sehingga mereka memiliki keterbatasan untuk meningkatkan skala usaha apalagi modal yang dibutuhkan untuk usaha peternakan itik cukup besar terutama untuk biaya pembelian bibit dan pakan. Biaya pakan bisa mencapai 60-70% dari biaya produksi. Sementara bantuan modal yang disediakan oleh pemerintah masih terbatas.

3. Keterbatasan Tenaga Pembina

Dinas Peternakan Kabupaten HSU masih memiliki sumbardaya manusia yang terbatas dalam membina peternakan terutama pembinaan usaha

83

peternakan itik. Tercatat saat ini hanya ada 3 orang dokter hewan, 10 orang sarjana peternakan dan 13 orang penyuluh peternakan.

4. Kurangnya Koordinasi antar Lembaga Terkait.

Masih kurangnya koordinasi antar lembaga dalam pembinaan maupun pemberian bantuan sosial ke peternak itik menyebabkan tidak terdapat kegiatan yang sinergis, sehingga kadang terjadi tumpang tindih bantuan.

Faktor Strategi Ekternal

Faktor eksternal terdiri dari peluang yang dimanfaatkan dan ancaman yang harus dihindari untuk keberhasilan pengembangan usaha peternakan

a. Peluang

1. Meningkatnya Permintaan Telur dan Daging Itik

Dokumen terkait