• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Struktural

Dalam dokumen diktatteori sastra jawa (Halaman 40-44)

Bab II Pengkajian Sastra A Hakikat Kajian Sastra

B. Pendekatan Struktural

Di atas telah disebutkan bahwa karya sastra dapat dikaji dengan menitikberatkan pada karya yang bersangkutan yang disebut dengan pendekatan obyektif. Pendekatan obyektif merupakan pendekatan yang memberikan perhatian secara penuh pada suatu karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom. Oleh karena itu membicarakan pendekatan obyektif sering diidentikkan dengan pembicaraan strukturalisme pada suatu karya sastra.

Menurut Teeuw analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Analisis karya sastra yang ingin diteliti dari segi mana pun , merupakan tugas prioritas, pekerjaan pendahuluan. Analisis struktur merupakan tugas yang sulit dihindari, sebab baru dengan analisis semacam itu dimungkinkan pengertian yang optimal (Teeuw, 1983). Oleh karena itu di bawah ini akan diuraikan agak panjang mengenai analisis struktural pada karya sastra.

Penelitian struktural di bidang ilmu sastra pada mulanya dirintis oleh kelompok peneliti Rusia antara 1915-1930. Kelompok ini dikenal sebagai kaum formalis, dengan tokoh-tokohnya Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain. Pada mulanya mereka tidak dikenal di Eropa Barat dan Amerika Serikat, karena karya-karya mereka diterbitkan dalam bahasa Rusia. Bahkan kemudian setelah tahun 1930 karya-karya mereka dilarang oleh Joseph Stalin, diktaktor Rusia, yang menganggap pendekatan formalis bertentangan dengan ajaran Marxis. Baru setelah perang dunia kedua ide-ide dan karya- karya aliran formalis dikenal lebih luas, melalui karya Erlich (1965), Todorov (1965) dan Striedter (1971), serta terjemahan-terjemahan tulisan aslinya ke dalam bahasa-bahasa Barat (Teeuw, 1984)

Konsep dasar kaum formalis, pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, atau penelitian kebudayaan. Mereka mencari ciri khas suatu karya sastra (mulanya untuk puisi) yang membedakan dengan ungkapan bahasa lain. Ciri khas itu disebut literariness. Dalam hal ini menurut Erlich bahan puisi bukanlah imaji atau emosi, melainkan kata-kata……Puisi adalah tindak bahasa atau kata. Puisi adalah pemakaian bahasa yang sign-oriented, terarah ke tanda-tanda, bukan ke kenyataan.

Selanjutnya, karya sastra seluruhnya dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra dalam anggapan ini merupakan tanda yang otonom, yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tak langsung (Teeuw, 1984).

Dalam hal ini oleh karena karya sastra dipandang sebagai karya yang otonom, peneliti sastra pertama-tama bertugas untuk meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan multidimensional, di mana setiap aspek dan anasir berkaitan dengan aspek dan anasir yang lain yang semuanya mendapat maknanya secara penuh dari fungsinya dalam totalitas karya itu (Teeuw, 1984).

Suatu konsep yang penting dalam pandangan kaum formalis, ialah yang disebut dominant, yakni ciri yang menonjol atau utama. Dalam karya sastra sering kali terdapat aspek bahasa tertentu yang secara dominan menentukan ciri-ciri khas karya itu, misalnya rima, atau matra atau apapun. Dalam analisis dan interpretasi, aspek dominan itulah yang harus ditekankan, sedang aspek-spek lain bersifat menyangga hal yang dominan itu.

Aliran strukturalis kemudian berkembang di Praha dengan tokoh-tokohnya Mukarovsky, Vodicka, dll. Di Rusia berkembang dengan tokohnya Jurij Lotman. Diperancis sebenarnya analisis teks menyeluruh dan struktural telah berkembang terutama dalam bidang pendidikan dengan sebutan explication de textes. Tetapi dalam aliran sastra strukturalisme berkembang agak lambat karena pengaruh Jean-Paul sartre dengan eksistensialismenya yang menentang pendekatan strukturalis. Baru setelah 1965 strukturalisme berkembang secara luas dengan tokohnya Claude Levi-Strauss, Roland Barthes, Todorov, Greimas, Julia Kristeva, dll. Di Inggris berkembang dengan tokohnya I.A. Richards dan T.S. Eliot. Di

Amerika Serikat berkembang dengan sebutan New Criticism, dengan tokohnya Robert Penn Warren, Alan tate, Cleanth Brooks, Rene Wellek dan Austin Warren, dll. Di Jerman berkembang dengan tokohnya Wolfgang Kayser, Emil Staiger, dll. Di Nederland oleh W.Gs. Hellinga, dll. Sedang di Indonesia pernah dikembangkan oleh kelompok Rawamangun (Teeuw, 1984:).

Pemikiran stukturalisme sesungguhnya didasari oleh pemikiran Aristoteles (sekitar tahun 340 SM) ketika menulis buku Poetika (Teuw, 1984), yang mengatakan bahwa stukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan dari pada benda-bendanya itu sendiri. Dalam kesatuan hubungan itu, setiap anasirnya tidak memiliki makna sendiri-sendiri kecuali dalam hubungannya dengan anasir yang lainnya sesuai dengan posisinya di dalam keseluruhan strukturnya. Jadi struktur merupakan sebuah sistem, yang terdiri atas sejumlah anasir, yang di antaranya tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua anasir lain (Strauss via Teeuw, 1984)

Menurut Jean Piaget (Teeuw, 1984) di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan pokok, yakni: pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau anasir-anasirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yakni struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri

(self regulation), yakni tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya. Struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain Terhadap tiga gagasan itu Jean Peaget lebih eksplisit menyatakan (Veuger, 1983) bahwa struktur adalah suatu sistem transformasi yang bercirikan keseluruhan; dan keseluruhan itu dikuasai oleh hukum-hukum komposisi (rule of composition) tertentu dan mempertahankan atau bahkan memperkaya dirinya sendiri karena cara dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak memasukkan ke dalamnya unsur-unsur dari luar (Suwondo, 1994). Dari konsep dasar di

atas, dalam rangka studi sastra strukturalisme menolak campur tangan pihak luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur atau anasir yang membangun struktur secara keseluruhan.

Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktur bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, tetapi yang lebih penting adalah justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala pada keseluruhan makna, dalam keterkaitan dan keterjalinannya, antara berbagai tataran. Dalam hal ini tidak ada resep yang dapat diterapkan secara umum untuk setiap karya sastra. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat dan strukturnya masing-masing. Jadi analisis struktur tidak dapat tidak harus diarahkan oleh ciri khas karya sastra yang hendak dianalisis (Teeuw, 1984).

Berdasarkan konsep dan metode yang telah dijelaskan di atas, jelas bahwa yang menjadi pijakan utama analisis adalah teks sastra itu sendiri; bagaimana unsur-unsur pembangun strukturnya; sama sekali tidak menganalisis dan mengaitkan dengan jati diri dan pandangan-pandangan pengarang; tidak mengaitkan dengan peranan pembaca sebagai pemroduksi makna beserta tanggapan-tanggapannya; tidak mengaitkan dengan dunia nyata; juga tidak membicarakan karya sastra sebagai tanda (sign) dalam proses komunikasi. Jadi yang penting adalah unsur-unsur struktur yang ada di dalam karya itu beserta transformasinya di dalam keseluruhan sastra yang bersangkutan (Suwondo, 1994).

Dalam analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik karya sastra yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan berbagai unsur yang ada. Setelah dicobajelaskan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu (Nurgiyantoro, 1995).

Analisis struktural, dengan demikian menekankan analisis pada struktur dan sistemnya yang meliputi berbagai unsur-unsur pembentuk karya sastra yang bersangkutan.

Dalam hal ini unsur-unsurnya dibatasi pada unsur-unsur intrinsik sastra seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

Dalam dokumen diktatteori sastra jawa (Halaman 40-44)

Dokumen terkait