• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Studi tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah mulai banyak

Benefit Impact

2.12 Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Studi tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah mulai banyak

dilakukan setelah Williamson pada tahun 1965 melakukan studi tingkat kesenjangan di berbagai negara (yang dinyatakan dengan PDB - Produk Domestik Bruto) yang berbeda. Williamson menilai tingkat kesenjangan dengan memperkenalkan indeks Williamson yaitu suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan pendapatan per kapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan per kapita nasional. Indeks Williamson ini sebenarnya merupakan suatu modifikasi dari standar deviasi.

Dengan demikian makin tinggi indeks Williamson (Vw), berarti

kesenjangan senakin besar, bagitu pula sebaliknya jika indeks semakin rendah berarti kesenjangan semakin kecil. Dari hasil penelitiannya, Williamson berkesimpulan bahwa pada waktu tingkat perkembangan ekonomi suatu negara masih rendah, tingkat kesenjangannya pun (Vw) rendah. Nilai Vw ini terus meningkat bagi negara-negara yang lebih tinggi perkembangan ekonominya. Sampai pada suatu saat tercapai titik balik, dimana tingkat perkembangan

ekonomi suatu negara makin tinggi, nilai Vw nya makin rendah.

Bagi negara-negara yang telah maju, ternyata nilai Vw rendah. Dari hasil

penelitian Williamson tersebut dapat disimpukan bahwa pada waktu negara sedang tumbuh dapat terjadi divergensi (kesenjangan membesar) dalam pengembangannya dan kemudian akan terjadi konvergensi (kesenjangan mengecil) apabila perkembangan negara tersebut sudah lebih tinggi lagi (Nurzaman 2002).

Memperkuat kesimpulannya, lebih lanjut Williamson melakukan penelitian secara runut waktu (time series) di Amerika Serikat dari tahun 1840 sampai tahun 1961. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata pada tahun 1948,

pada waktu ekonomi Amerika Serikat belum berkembang nilai Vw Amerika

Serikat masih rendah, yaitu sebesar 0,279 dan mencapai puncaknya pada tahun 1932 sebesar 0,410, lalu menurun terus, dan pada tahun 1961 setelah ekonomi

Amerika Serikat berkembang penuh, nilai Vw nya sebesar 0,192 yang boleh

Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada waktu suatu negara masih

berkembang, nilai Vw nya rendah, kemudian naik sejalan dengan perkembangan

ekonomi, dan kemudian menurun lagi sejalan dengan perkembangan ekonomi yang lebih tinggi, sampai boleh dikatakan merata pada waktu ekonomi sudah benar-benar berkembang. Hasil penelitian terhadap negara-negara yang sudah maju seperti Kanada, Inggris, Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman

menunjukkan hal yang sama, yaitu adanya pernurunan nilai Vw yang cukup

signifikan, sedangkan pada negara-negara yang ekonominya masih dalam tahap perkembangan seperti Italia (pengamatan sampai tahun 1960) dan Brazil

(pengamatan sampai tahun 1959), menunjukkan nilai Vw yang terus naik

(Williamson. 1966 dalam Nurzaman 2002).

Fujita dan Hu (2001) yang meneliti disparitas wilayah di Cina (wilayah pesisir dan pedalaman) tahun 1985-1994 dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil menunjukkan bahwa pada periode tahun 1980-an tingkat disparitas di Cina mengalami penurunan. Namun setelah tahun 1990-an, tingkat disparitas tersebut meningkat secara nyata. Penurunan tingkat disparitas tersebut diakibatkan oleh meningkatnya pembangunan wilayah di kawasan pesisir Cina yang semula relatif tertinggal dari kawasan pedalaman Cina. Akan tetapi setelah tahun 1990-an perkembangan wilayah pesisir Cina semakin pesat berkembang dan jauh meninggalkan wilayah pedalamannya. Akibatnya kesenjangan pembangunan antara wilayah wilayah pesisir dan pedalaman di Cina menjadi meningkat. Hal tersebut ditunjukkan Fujita dan Hu dari hasil dekomposisi ketimpangan dengan menggunakan indeks theil, dimana pada tahun 1980-an sumber ketimpangan utama berasal dari ketimpangan dalam wilayah pesisir dan pedalaman, sedangkan setelah tahun 1990-an sumber utama ketimpangannya berubah menjadi ketimpangan antar wilayah pesisir dan pedalaman.

Penelitian lain tentang disparitas di Cina juga dilakukan oleh Lee (2000), yang menguji perubahan sumber utama ketimpangan di Cina dengan menggunakan data PDRB sektor industri dan pertanian per kapita dan konsumsi rumah tangga per kapita tahun 1982 dan 1994. Pada penelitian tersebut, Lee menunjukkan bahwa sumber yang dominan dari seluruh ketimpangan wilayah sudah bergeser dari ketimpangan antar provinsi menjadi ketimpangan dalam provinsi, dari ketimpanan kota-desa menjadi antar desa dan juga dari ketimpangan dalam kawasan pesisir menjadi antara kawasan pesisir dan kawasan pedalaman. Dalam kasus konsumsi, ketimpangan antar provinsi, ketimpangan kota-desa dan ketimpangan dalam kawasan pesisir adalah faktor-faktor utama dari seluruh ketimpangan wilayah.

Di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar provinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975 (Tambuan 2003), disusul kemudian antara lain oleh Hughes dan Islami (1981), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan Khan (1986), Akita (1988), Akita dan Lukman (1995), Tambunan (1996, 2001), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998), Sjafrizal (1997, 2000) dan Booth (2000). Walaupun data yang digunakan sama, yaitu PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antar studi. Misalnya Sjafrizal dalam Tambunan (2003) menganalisis ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat (IKB) dan Indonesia Kawasan

Timur (IKT) dan perbedaan dalam kesenjangan antar provinsi antara kedua kawasan tersebut dengan indeks Williamson yang disebut wighted coefficient of variation (WCV).

Dengan menggunakan data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya tahun 1977 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar provinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 hingga 0,392 dengan tendensi yang terus menurun sejak 1990.Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara 0,396 hingga 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di IKB.

Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya tahun 2000 menunjukkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antar provinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk negara berkembang. Negara berkembang lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brazil, Kolombia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata negara berkembang. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Akan tetapi pada tahun 1998 tingkat kesenjangan sedikit mengalami penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605.

Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dimana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi krisis yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurng maju pada umunya adalah daerah-daerah pertanian, seperti Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapat keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.

Pada tingkat yang lebih disagregat, Tajudin et al. (2001) menganalisis ketimpangan regional dengan menggunakan data kabupaten/ kota tahun 1996. Dari hasil analisis tersebut mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/ kota yang memiliki PDRB per kapita sangat tinggi dan menjadikan daerah tersebut sebagai daerah kantong (enclave) dikarenakan diantaranya oleh keberadaan migas dan sumberdaya alam lainnya. Menurut mereka dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Hal yang menarik dari studi mereka adalah jika outlayers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisis, ketimpangan PDRB per kapita antar provinsi menjadi sangat rendah. Selain itu, Tajudin et al. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yaitu ketimpangan antar individu di dalam provinsi dan kesenjangan antar provinsi dengan indeks Theil dan L. Hasilnya juga menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu adanya migas dan daerah kantong memperparah kesenjangan regional mencapai 60% hingga 70%.

Studi lain yang menggunakan indeks Theil adalah Akita dan Alisjahbana (2002) dengan memakai data output dan populasi pada tingkat kabupaten/ kota untuk periode 1993-1998. Mereka melakukan analisis dekomposisi ketimpangan regional dalam tiga komponen, yaitu antar wilayah (Sumatra, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya), antar provinsi dan di dalam provinsi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa antara 1993 dan 1997, ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7%, ketimpangan pendapatan regional mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0,262 tahun 1993 ke 0,287 tahun 1997. Hasil analisis dekomposisi ketimpangan dengan indeks Theil menunjukkan bahwa kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh suatu kenaikan ketimpangan di dalam provinsi. Pada tahun 1997, komponen ketimpangan di dalam provinsi menyumbang 50% dari ketimpangan regional di Indonesia. Penyebaran dari efek krisis ekonomi yang mengakibatkan merosotnya PDB per kapita tahun 1995, ternyata tidak merata lintas provinsi dan kabupaten/ kota. Pada tahun 1998 kesenjangan pendapatan regional menurun ke tingkat tahun 1993-1994. Berbeda dengan periode 1993-1997, sekitar 75% dari penurunan tersebut diakibatkan oleh adanya suatu perubahan dalam kesenjangan antar provinsi, dengan wilayah Jawa-Bali memegang peranan yang dominan.

Selain dari studi diatas, masih banyak penelitian tentang kesenjangan atau disparitas antar wilayah yang dianalisis dengan indeks Williamson dan indeks Theil, namun pada umumnya penelitian tersebut masih dalam tingkat wilayah pada tingkat yang lebih rendah (mikro), seperti antar kabupaten/ kota, antar wilayah pengembangan atau antar kecamatan dalam wilayah kabupaten masih relatif sedikit. Padahal kajian-kajian tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah tersebut sangat diperlukan dalam memformulasikan kebijakan bagi pemerintah daerah agar tidak terjadi dampak negatif dari kesenjangan yang terjadi atau setidaknya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu, kajian tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah pada tingkat mikro (wilayah pengembangan atau kecamatan) juga perlu mendapat perhatian.

Achsani (2003) mengemukakan bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi antar wilayah yang sangat tajam di Indonesian khususnya pulau Jawa – Bali yang hanya mencakup 7,2% wilayah Indonesia ternyata dihuni oleh 64% penduduk dan menyumbang sekitar 60% PDB Indonesia. Sebaliknya Papua yang mencakup 22% wilayah Indonesia tetapi hanya dihuni 0,8% penduduk dan menyumbang sekitar 2,1% PDB Indonesia.

Nugroho (2004) mengenai Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat (Studi Kabupaten Karawang Subang – Garut Ciamis), Adifa (2007) mengenai Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor, Rahman (2009) mengenai Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Kabupaten Sambas, Gumilar (2009) mengenai Kajian Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Sebagai Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Lokal (Studi Kabupaten Garut), Pravitasari (2009) mengenai Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau Jawa Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah, Yudha (2011) mengenai Kualitas Sumberdaya Manusia, Pelayanan Publik dan Kesenjangan Pembangunan Wilayah Kabupaten Lebak-Banten, Baransano (2011) mengenai Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat.