• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6 Metode Penelitian

1.6.4. Pengalaman Penelitian

Sebelumnya, peneliti tidak mengetahui banyak hal mengenai sanitasi ataupun merencanakan meneliti studi kasus program sanitasi di kawasan yang kumuh seperti

di Belawan. Kejelasan informasi mengenai sanitasi yang diperoleh peneliti dari tempat magang saya di IUWASH-Medan. Saya mepelajari banyak hal mengenai program mereka yang berjalan di Sumatera Utara selama 2 bulan saya magang disana. Berawal dari program magang yang diwajibkan untuk mahasiswa antropologi melakukan praktek kerja di suatu perusahaan, LSM, lembaga/instansi swasta atau negeri sesuai dengan minat mahasiswa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi mahasiswa dalam mengaplikasikan kemampuannya tidak hanya di lapangan penelitian saja, tetapi pada kesempatan program magang ini mahasiswa harus mampu membuktikan bahwa ilmu antropologi yang masih kedengaran awam bagi kebanyakan orang juga dapat berkontribusi di perusahaan ataupun instansi negeri. Jadi, menurut saya program magang yang dilaksanakan oleh departemen antropologi membuka peluang dan membantu mahasiswanya untuk mengenal dunia kerja. Berdasarkan pengalaman magang sebelumnya, peneliti dapat mengeksplor banyak hal dengan menggunakan ilmu antropologi seperti mengetahui budaya organisasi/perusahan, mendapatkan kesempatan menjadi fasilitator, memberikan solusi terhadap program yang sedang berjalan, dan lainnya.

Pada waktu itu saya mendapatkan kesempatan magang di sebuah NGO Internasional yaitu IUWASH (Indonesia Urban Water Sanitation Hygiene)-Medan. IUWASH merupakan sebuah program pemberdayaan masayarakat dalam mengatasi permasalahan sanitasi di perkotaan dan daerah perkampungan yang didanai oleh USAID. Khusus di perkotaan, IUWASH lebih fokus pada instalansi penyambungan air limbah. Sementara itu di kawasan perkampungan yang jauh dari kota, program ini

lebih banyak menangani keterbatasan air bersih dan penyediaan sarana WC untuk menghentikan kebiasaan masyarakat membuang air besar sembarangan.

Awal mula saya mengetahui adanya program IUWASH regional Medan berkat bantuan dari dosen saya bernama bang farid. Sebelumnya, saya berkonsultasi dengan beliau perihal tempat magang yang tepat selama 2 bulan. Pada saat itu juga bang farid langsung memberikan kartu nama salah seorang karyawan IUWASH yang ia dapat dari sebuah pertemuan kegiatan bersama pihak IUWASH-Medan. Setelah itu, keesokan harinya saya dan kawan sekelompok bergegas mendatangi alamat kantor yang tertera dalam kartu nama tersebut. Lokasi kantornya cukup sulit ditemukan karena bangunannya tidak memilki plank nama kantor dan kami harus berkeliling disekitar bertanya kepada satpam yang saat itu sedang berdiri dipos.

Saat tiba di kantor, saya dan kawan-kawan menjumpai seorang karayawan yang namanya tertera dalam kartu nama tersebut. Sebut saja namanya Hana. Pada waktu itu mbak hana sangat terkejut dengan kedatangan kami. Tiga orang mahasiswa yang tiba-tiba ingin menjumpai beliau tanpa membuat janji pertemuan terlebih dahulu. Tanpa banyak basa-basi, saat itu juga saya dan kawan-kawan menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami ke kantor IUWASH. Dengan pertimbangan yang cukup berat, mbak hana belum bisa memastikan izin magang kepada kami pada hari itu juga. “Sebelumnya belum pernah ada anak mahasiswa yang melamar magang di kantor kami. Baru kalian yang pertama kali kesini dan kita tidak bisa menerima anak

magang sembarangan” kata mbak Hana. Kami pun bingung menjawab pernyataan mbak Hana dan memikirkan cara agar dapat diterima magang di tempat tersebut. Namun, saya mencoba meyakinkan beliau dengan menjawab sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada kami “Apa yang bisa kalian lakukan kalau saya menerima kalian? Ilmu antropologi yang kalian pelajari apakah cocok dengan program kami?” Sebelum mbak Hana mengajukan pertanyaan tersebut, ia sudah mempersentasekan bagaimana program sanitasi yang sudah berjalan 4 tahun di regional Sumatera Utara. Setelah itu satu persatu dari kami mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan tadi. Kami meyakinkan beliau bahwa selama masa perkuliahan kami mempelajari tentang manusia, pemberdayaan masyarakat, dan antroplogi pembangunan. Bahkan juga sudah melakukan training of fasilitator dalam melakukan pemberdayaan masyarakat di lapangan saat semester V. Jawaban-jawaban yang kami ajukan tersebut mencoba meyakinkannya untuk menjawab kebutuhan program yang sedang berjalan pada saat itu. Pada akhirnya ada sedikit harapan dari mbak Hana saat ia menanggapi jawaban kami “Jadi seperti itu ilmu antropologi. Saya tertarik kalau kalian bisa membantu kami memfasilitasi masyarakat di lapangan. Karena kita juga sering mengadakan kegiatan-kegiatan sosial bersama masyarakat. Coba besok kalian kirim CV beserta surat permohonan magang, selanjutnya akan saya pertimbangkan dengan kantor pusat.” Hati kami pun sedikit lega mendengar jawaban beliau. Setidaknya ada sedikit harapan untuk dapat magang disana. Sepulang dari kantor, saya dan kawan-kawan langsung mempersiapkan CV sebagai bahan pertimbangan apakah kami layak untuk diterima magang selama 2 bulan di kantor

tersebut. Selang waktu seminggu, kami juga belum mendapatkan kabar kepastian izin magang dari mbak Hana. Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi beliau. Melalui percakapan via telefon ia menyuruh kami untuk datang ke kantor bersama dosen pembimbing untuk mendiskusikan kegiatan apa saja yang seharusnya dilakukan selama magang 2 bulan di kantor IUWASH. Agar tugas-tugas yang diberikan selama magang sesuai dengan ilmu yang dipelajari. Saat itu dosen pembimbing diwakilkan oleh Bang Farid. Singkat cerita, kesimpulan dari pertemuan waktu itu bahwa kami akan lebih banyak melakukan tugas dilapangan daripada dikantor. Saya dan kawan-kawan lainnya juga ditempatkan di kota yang berbeda-beda. Kebetulan waktu itu saya memilih kota Tebing Tinggi untuk membantu koordinator kota yang bertanggung jawab atas berjalannya program IUWASH disana. Kabar yang sangat menggembirakan bagi saya dan kawan-kawan sekelompok saat mengetahui bahwa kami dapat diterima magang di IUWASH selama 2 bulan.

Selama saya mendapatkan kesempatan magang di IUWASH dan ditempatkan di Tebing Tinggi, banyak pelajaran berharga yang sebelumnya saya tidak mengenali suatu budaya kerja sebuah NGO. Mulai dari membuat rencana kerja hingga proses eksekusi di lapangan. Tentunya ada beberapa tantangan yang saya hadapi selama melakukan tugas-tugas yang diberikan. Ketika saya mendapati tugas untuk melakukan interview calon UKM Bisnis Sanitasi di 5 kelurahan tebing tinggi dalam waktu 3 hari. Interview dengan calon UKM dan hasil analisa interview harus diselesaikan dalam waktu singkat. Suatu tatangan bagi saya harus mendatangi calon ukm terpilih dan bekerjasama dengan PNPM di 5 kelurahan berbeda. Pekerjaan saya

sedikit terbantu karena seorang pekerja dari PNPM membantu saya untuk menemukan alamat dari masing-masing calon UKM tersebut. Selama 3 hari berturut-turut saya berkejaran dengan waktu agar pekerjaan tersebut dapat selesai tepat waktu. Terlebih lagi saya harus menyesuaikan jadwal interview dengan calon UKM, mengingat kesediaan waktu mereka belum tentu pasti bersedia di waktu yang saya tentukan. Dengan mencoba cara melobi dan akhirnya dihari pertama dan kedua saya dapat menyesaikan tugas interview dengan 5 calon UKM Bisnis Sanitasi di 5 kelurahan berbeda dan saat hari ketiga saya dapat menyelesaikan hasil analisa interview tersebut. Beruntung, hasil pekerjaan saya mendapatkan respon positif dari mbak Hana. Selama berada di Tebing Tinggi, saya lebih banyak fokus mengenai sanitasi perkotaan yang menangani permasalahan air. Pada saat itu program yang sedang berjalan adalah penyediaan air bersih. Beberapa kelurahan di Tebing Tinggi masih ada yang mengalami keterbatasan air bersih, sehingga IUWASH bekerjasama dengan PDAM untuk menangani masalah ini dengan membangun pipa penyambungan saluran air kerumah tangga.

Setiap regional yang ditangani oleh program IUWASH memiliki permasalahan yang berbeda-beda dalam mengatasi permasalahan sanitasi. Belawan menjadi lokasi penelitian pilihan saya untuk meneliti permasalahan sanitasi pasca pembangunan sarana sanitasi gratis. Setelah menyelesaikan masa magang selama 2 bulan di IUWASH, beruntung saya dipercaya untuk diikutsertakan membantu mereka mengerjakan beberapa project atau event yang diselenggarakan oleh pihak IUWASH. Sesekali saya diminta mereka untuk membantu project di

Medan atau Belawan. Hal ini tentu saya manfaatkan dengan baik untuk menjaga relasi hubungan kerja dengan mereka. Project pertama yang saya lakukan setelah selesai magang selama 2 bulan yaitu menjadi co-fasilitator FGD (Focus Group Discussion) Pretesting Video Sanitasi di Kecamatan Belawan Kelurahan Belawan Bahari dan Kelurahan Belawan Bahagia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui opini masyarakat menilai visualisasi dan pesan/isi video sebelum ditayangkan menjadi iklan nasional di televisi, sekaligus juga mengetahui pemahaman masyarakat tentang sanitasi melalui video yang ditampilkan. Pada kegiatan ini saya bertugas untuk membangun suatu diskusi yang menarik dengan 10 responden yang hadir pada waktu itu agar saya dapat mengetahui persepsi mereka tentang sanitasi. Kesimpulan yang saya dapatkan pada saat itu adalah mereka memahami bahwa stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) merupakan bentuk dari perubahan perilaku untuk mendukung program sanitasi. Tetapi masyarakat belum menganggap sarana sanitasi sebagai kebutuhan yang sangat penting, hanya sebagai alat pelengkap untuk rumah panggung mereka. Menurut saya hal lain yang harus diperhatikan daripada sekedar membangun sarana ialah bagaimana membangun rasa kebutuhan terhadap wc yang dibangun dan menumbuhkan rasa benar-benar memiliki agar wc yang dibangun tetap terawat sehingga dapat dipakai dalam jangka waktu yang lama. Setelah selesai melaksanakan kegiatan tersebut, saya dan fasilitator yang saya dampingi melakukan FGD sebut saja namanya Bang Roy berkeliling di sekitar Kelurahan Belawan Bahari dan Belawan Bahagia. Saya meminta Bang Roy untuk membawa saya berjalan menuju lingkungan yang menjadi sasaran

pembangunan sarana sanitasi gratis. Ini merupakan kali pertamanya saya mengelililngi lingkungan kumuh di Belawan. Sebelumnya, saya hanya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang ada di Belawan saja. Sangat berbau dan sungainya dipenuhi kotoran sampah. Bahkan sesekali saya ingin muntah ditempat karena belum terbiasa dengan baunya yang menyengat. Sempat saya juga melihat seorang anak kecil tanpa rasa malu membuang air besar di selokan. Sepertinya di lingkungan ini belum terbiasa membiasakan budaya hidup bersih dan sehat. Setelah berjalan mengelilingi kelurahan yang dituju selama 1 jam lebih, saya tertarik untuk meneliti dan live in bersama masyarakat disana dengan tantangan kondisi lingkungan dan sosial yang sangat berbeda dengan lingkungan tempat tinggal saya dan Kota Tebing Tinggi yang sebelumnya menjadi penempatan tugas selama magang.

Tiga minggu kemudian saya kembali dipanggil lagi oleh pihak IUWASH untuk ikut serta sebagai enumerator monitoring dan evaluasi (MONEV) pembangunan sarana sanitasi di Kecamatan Belawan. Kesempatan kali ini saya manfaatkan untuk mengobservasi lapangan penelitian. Saya bersama ketiga kawan lainnya yang saat itu bertugas menjadi enumerator dibagi menjadi dua kelompok. Kebetulan saya bersam teman saya wisnu bertugas mengumpulkan data di Kelurahan Belawan Bahagia. Kegiatan Monev ini bertujuan untuk mengevaluasi pembangunan sarana sanitasi gratis pasca pembangunan. Kami mendata para penerima manfaat sarana sanitasi gratis di 10 lingkungan Kelurahan Belawan Bahagia. Setibanya di lokasi penelitian saya dan wisnu menjumpai dengan Pak Junaidi untuk membantu kami mencari alamat 100 responden terpilih untuk diwawancarai. Sambil berjalan

menelusuri setiap gang yang kami lewati selalu diperhatikan oleh penduduk setempat. Mereka mengira bahwa kami akan membagi-bagikan bantuan sembako untuk warga miskin. Setelah saya menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saat itu, mereka antusias untuk diwawancarai. Walaupun nama mereka tidak muncul secara acak pada data responden yang diwawancarai tetapi saya tetap mendekati mereka. Sambil juga saya membangun rapport dengan beberapa masyarakat agar bisa lebih akrab dan tidak canggung saat melakukan penelitian. Bermacam-macam tangaapan mereka dengan kedatangan kami di Kelurahan Belawan Bahagia membuat saya semakin komunikatif antara saya dengan penduduk setempat. Saya ingat sekali, pada waktu itu ada seorang bapak yang mengatakan “Buat apa ini dek proyek wc, gak ngerti kami. Wc aku pun udah rusak dirumah” seolah-olah ia telah menerima bantuan pembangunan wc tapi tidak tahu apa-apa tentang proyek ini. Hal semacam itu sering saya temukan di lapangan ketika menjadi enumerator dan saya menjadi sangat penasaran apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan masyarakat pasca pembangunan. Ketika menjadi enumerator pun saya melihat langsung kondisi MCK yang dibangun apakah benar-benar terpakai atau tidak pasca pembangunan. Bukan hanya itu saja, sesekali saat jam istirahat saya suka berbincang-bincang dengan ibu-ibu yang sedang berkumpul di warung atau di rumah tetangganya.

Obrolan saya dengan mereka pada waktu itu lebih bersifat santai agar tidak terlalu kaku menerima saya sebagai orang asing yang datang ke kampung mereka. Sambil membeli jajanan di warung saya dan ibu-ibu bercerita tentang pengalaman mereka selam tinggal di Kelurahan Bahagia. Ada dari mereka yang tsudah tinggal

selama hampir 20 tahun, ada juga yang baru 5 tahun, 10 tahun, dan lainnya. Kata mereka tinggal di kampung ini ada suka dukanya “Sukanya kami disini udah kayak saudara. Kalau di kota pasti jarang ada yang kayak kami gini ibu-ibunya siang hari mau cakap-cakap di warung, gosip-gosip sama tetangga. Hidup bertetangganya lebih terasa disini dek.” Ibu lainnya pun bergantian menyambut obrolan saya “Kalau dukanya yaa cuma susah dapat duit aja (sambil bercanda). Berharap bantuan dari pemerintahan ajalah ini kami semua”. Begitulah sekilas obrolan saya di warung bersama ibu-ibu yang dengan senang hati menerima kehadiran saya. Mereka sangat ramah dengan orang baru. Begitu juga dengan usaha saya membangun kedekatan dengan Pak Junaidi. Selama 2 hari melakukan enumerator di Kelurahan Belawan Bahagia sering kali saya menanyakan bagaiamana cara bertahan hidup masyarakat disini yang jauh dari kota dan memiliki keterbatasan ekonomi. Ternyata Pak Junaidi sudah tinggal di kampung ini hamapir 40 tahun. “Saya dari sejak kecil sudah disini. Dibesarkan dikampung ini. Alhamdulillah ibu saya masih hidup dan masih tinggal disini.” katanya. Lanjut saya bertanya “Apa bapak tidak ingin tinggal di luar Belawan? Di Medan gitu pak” beliau menjawab “Sudah nyaman disini. Kalau mau tinggal di kota kan perlu duit banyak. Belum sangguplah saya beli tanah atau rumah disana”. Saat mencari rumah salah satu responden yang ingin saya jumpai, kami melewati rumah pangung Pak Junaidi yang sangat kecil tepatnya di pinggir sungai. Saya berkenalan dengan istrinya dan tidak berlama-lama kami melanjutkan perjalanan menuju rumah responden yang akan diwawancarai untuk mengisi data kuisoner.

Pengalaman saya menjadi enumerator dan beberapa kali ikut terlibat dalam kegiatan lapangan bersama tim IUWASH-Medan di Belawan membuat saya semakin bersemangat untuk mekakukan penelitian di Belawan. Kesimpulan yang dapat saya ambil setelah melakukan enumerator, ternyata dari hasil survey banyak dari mereka tidak menggunakan wc yang dibangun pasca pembangunan. Hal tersebut yang membuat saya tertarik dan semakin penasaran untuk meneliti dan mencari penyebabnya. Apakah proyek yang dibangun asal jadi, salah dari masyarakat yang terlalu apatis dengan pembangunan, faktor budaya masyarakat di Belawan atau ada hal penyebab lainnya. Pikiran saya masih menduga-duga saat itu. Hingga emosi saya ikut merasakan bingung bercampur kasihan dengan mereka yang tinggal disana. Bingung karena pikiran saya pada saat itu sepertinya sedang kepikiran mengapa proyek yang sudah mengeluarkan dana cukup besar belum juga dapat memuaskan masyarakat dengan bangunan wc yang sudah dibangun, padahal benda ini gratis untuk mereka. Perasaan kasihan dengan mereka yang tinggal disana karena setiap kali wawancara saya harus mengisi form pendapatan masyarakat yang sangat kecil, bahkan kadang mereka juga harus menahan lapar. Rata-rata pekerjaan kepala rumah tangga sebagai nelayan, kuli/tukang, pedagang kaki lima, tukang becak, dan pekerjaan serabutan lainnya yang pendapatannya juga tidak menentu. Paling kecil Rp.50.000,-/per hari. Belum lagi melihat tempat tinggal mereka yang seadanya tinggal di rumah panggung.

Mendekati minggu terakhir bulan Mei saya mulai melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini. Tiga hari sebelum berangkat ke Kelurahan Belawan

Bahagia, saya terlebih dahulu menghubungi bang roy (surveyor yang ikut bekerjasama saat enumerator) meminta kontak Pak Junaidi untuk janjian bertemu dengan beliau pada hari sabtu. Sedari pertama bertemu dengan Pak Junaidi, saya sudah berencana untuk menumpang tinggal di rumah beliau. Setelah mendapatkan kontaknya, saya segera menghubungi Pak Junaidi untuk meminta izin diperbolehkan menginap dirumahnya. Beruntung ia mengizinkan saya tinggal dirumahnya dan bersedia meluangkan waktu untuk bertemu saya pada hari sabtu. Sabtu siang saya tiba di rumah Pak Junaidi, namun beliau masih bekerja diluar sebagai tukang becak kata istrinya. Selang 15 menit kemudian akhirnya ia sampai juga dirumah. Wajahnya terlihat sangat lelah sepulang mencari sewa becak disaat siang hari yang panas terik waktu itu. Kami pun sedikit berbincang sambil meminum teh yang disajikan isrtrinya sambil duduk di teras rumah yang langsung berhadapan dengan sungai yang keruh. Sambil mengobrol, sesekali pandangan saya melihat ikan dan udang-udang kecil disungai yang ramai ditangkap anak-anak. Sebelum berangkat ke Belawan, dari rumah saya sudah harus berjanji untuk tidak mengeluh dengan kondisi lingkungan kumuh dan bau selama penelitian. Lingkungan tempat tinggal saya selama penelitian jauh berbeda dengan dengan tempat tinggal di kota. “Betah -betahin lah disini. Jangan-jangan kamu pun juga gak betah nanti lama-lama tinggal disini. Gak ada mall pulak kan” begitulah candaan Pak Junaidi yang menyiyir saya sebagai anak kota yang masuk kampung.

Kebetulan saat hari sabtu saya tiba di sana, pada hari itu juga kampung mereka akan kedatangan kementerian dari Bangladesh bersama rekan-rekan tim

IUWASH-Medan yang mendampingi. Saya diajak Pak Junaidi untuk ikut hadir pada waktu itu. “Acaranya dimulai pada jam 15.00 WIB. Ikut hadir saja tidak apa-apa.” kata Pak Junaidi. Saya pun merasa sedikit heran dengan informasi kedatangan para meneteri itu. Apa keperluan mereka datang ke Belawan, saya menerka apa mungkin akan ada kerjasama untuk membangun kampung ini. Tepat pukul 3 sore rombongan dari kementerian Bangladesh bersama tim IUWASH-Medan tiba dilokasi. Tempat perkumpulannya berada di musholla tidak jauh dari rumah Pak Junaidi. Tidak ada tempat pilihan lain lagi yang bisa digunakan untuk pertemuan dengan para pejabat dari Bangladesh waktu itu. Saya pun bertemu dengan bang roy yang sudah lama saya kenal sejak mengikuti agenda dengan tim IUWASH-Medan. Saya langsung menanyakan kepadanya “Apa urusan mereka mau kemari bang?” lalu bang roy menjawab “Gak ada yang terlalu penting. Bukan kerjasama. Mereka cuma mau melihat kehidupan masyarakat miskin disini, keperluan studi banding katanya mereka.” Terjawablah rasa penasaran saya dengan kedatangan para pejabat-pejabat itu. Kedatangan mereka disambut hangat oleh penduduk setempat. Lucunya, masyarakat menyapa para pejabat-pejabat itu dengan bahasa inggris yang tidak dimengerti oleh mereka. Berantakan dan bercampur-campur bahasa indonesia. Dalam forum diskusi yang berjalan selama 1 jam, IUWASH mempersantasekan program sanitasi yang sedang berjalan di Belawan dihadapan para menteri.

Setelah selesai memaparkan persentasenya, saya diminta untuk Bang Roy bersama tim lainnya dari IUWASH mendampingi para menteri Bangladesh berkeliling kampung. Saat saya mengajak mereka berkeliling di kampung sekitar,

masyarakat yang waktu itu melihat kami meminta foto bersama si pejabat layaknya seperti artis. Sambil berjalan-jalan saya yang saat itu menemani mereka berkeliling berbincang-bincang tentang tujuan mereka datang ke Kelurahan Belawan Bahagia. “Jadi, kami ingin melihat bagaimana masyarakat miskin disini dapat bertahan hidup. Kami ingin melihat mata pencaharian mereka dan potensi yang bisa dibangun. Mungkin bisa menjadi contoh yang dapat diterapkan bagi masyarakat miskin di negara kami” begitulah kata pak menteri perekonomian dari Bangladesh kepada saya. Sore itu cukup menyenangkan dan merupakan pengalaman baru bagi saya bisa bertemu dan bisa menceritakan kondisi di Belawan dengan kementerian dari Bangladesh.

Malam harinya saya diajak Pak Junaidi kerumah Ibu beliau yang tak jauh dari rumah tempat tinggal Pak Junaidi. Disana tinggal seorang ibu dan kakak perempuannya. Rumahnya bertembok dinding dan permanen, cukup bersih dan nyaman untuk saya menginap. Pak Junaidi meminta saya untuk tinggal di rumah ibunya saja karena lebih luas dan ada kamar kosong. Sementara itu di rumah Pak Junaidi padat dan sangat sempit, tidak ada lagi tempat kosong di kamar tidur. Belum lagi rumahnya ramai dengan 5 anak Pak Junaidi.

Kakak Pak Junaidi bernama Asnah. Bu Asnah sangat ramah dan menerima saya dengan senang hati. Baru pertama kali bertemu, saya sudah dianggap seperti saudara. Bahkan sepulang penelitian kami masih berhubungan melalui telfon. “Kamu

Dokumen terkait