• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM

1. Pengambilan hasil laut

Pengambilan hasil laut yang dilakukan oleh masyarakat meliputi rumput laut, kerang-kerangan, ikan hias dan ikan konsumsi serta berbagai jenis udang. Aktivitas melaut ini telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahu 1960an mulai dari pengambilan secara sederhana seperti menggunakan pancing, jaring hingga menggunakan perahu seperti yang ada sampai saat ini. Jumlah perahu di seluruh lokasi yang ada pada saat penelitian ± 24 buah yang diperoleh dari Dinas Perikanan setempat. Lokasi atau blok pengambilan hasil laut berada di daerah antara muara Sungai Cipangikisan hingga muara Cikolomberan, muara Cikabodasan, Cipunaga dan Ciporeang sampai Cipanglemuan.

Kegiatan pengambilan hasil laut selain pada musim barat dilakukan hampir setiap hari dari pagi sampai malam hari karena masyarakat nelayan bahwa pada musim tersebut aman dan dapat menghasilkan banyak tangkapannya. Hal ini berbeda dengan melaut pada musim barat yang kondisi angin dan gelombang lautnya tidak stabil dan diperkirakan dapat membahayakan keselamatan nelayan serta ikan, udang dan lainnya pada musim tersebut sangat sedikit, sehingga para nelayan cenderung hanya mengolah rumput laut mereka yang telah diperoleh sebelumnya untuk segera dijual kepada pengepul. Kegiatan melaut masyarakat juga didukung dengan adanya akses atau jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor yang terhubung sampai pada lokasi pengambilan hasil laut tersebut, sehingga masyarakat nelayan mendapatkan kemudahan untuk langsung mendistribusikan hasil laut mereka ke tampat pelelangan untuk menjual hasil laut tersebut.

Aktivitas keluar dan masuknya kendaraan bermotor tersebut diduga dapat mengganggu keberadaan dan aktivitas banteng didalamnya sehingga banteng memilih dan menyebar ke kawasan yang lebih aman termasuk ke luar kawasan (perkebunan PTPN VIII Mira Mare), sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab berkurangnya kehadiran banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dikarenakan banteng memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap keberadaan predator termasuk manusia. Kondisi seperti ini terjadi pada pengukuran populasi di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah (Imron et al. 2007).

2. Pemukiman

Pemukiman di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari pemukiman permanen dan semi permanen. Pemukiman permanen terdapat di Kampung Cihurang dan Cimerak, Desa Karyamukti. Pemukiman ini berawal dari gubuk-gubuk menjadi semi permanen dan pemukiman permanen. SSKSDA (1995) menyatakan bahwa pemukiman di blok Cihurang pada tahun 1976 terdapat 30 Kepala Keluarga pada tanah seluas 25 ha, sedangkan lebih rincinya mengenai penggunaan lahan tersebut dapat dijelaskan pada sub bab permabahan.

Penggarapan lahan secara umum oleh masyarakat diakibatkan oleh ketidakjelasan dan perbedaan persepsi antara para pihak mengenai tata batas kawasan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam III Bogor menyatakan bahwa awal terjadinya pemukiman terjadi pada bulan Juni tahun 1985 ketika dilakukan rekontruksi tanah batas pada tahun 1988. Saat itu Kepala Desa Maroko beserta petugas dari Sub Dit. Agraria beranggapan bahwa patok batas PA 230-291 adalah tanah negara yang diserahkan kepada masyarakat bekas PTP XIII (saat ini PTPN VIII Mira Mare) sehingga penataan batas terlambat. Akibat dari kejadian tersebut maka terjadilah penggarapan liar tersebut seluas ± 33.7910 ha yang dijadikan areal kebun dan perumahan penduduk sebanyak 38 Kepala Keluarga.

Saat ini blok sengketa tersebut dikenal dengan nama blok Plang atau Kampung Sukalaksana atau Kampung Sancang, Desa Sancang dan telah mengalami penambahan jumlah penduduk, yaitu mencapai 56 Kepala Keluarga.

Pemukiman juga terdapat di dalam kawasan berupa gubuk-gubuk liar atau tempat tinggal yang atapnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan dinding dan tiang penyangganya dari bambu, yaitu di sepanjang pantai selatan cagar alam dari muara Sungai Cipangikisan sampai Cipalemuan (Gambar 8).

Gambar 8. Contoh gubuk-gubuk liar di blok Ciporeang

Gubuk-gubuk tersebut pada tahun 1997 tercatat sebanyak 94 gubuk liar yang tersebar di 9 lokasi, akan tetapi setahun kemudian tahun 1998 jumlah gubuk mulai bertambah mencapai ratusan. Pertambahan keberadaan gubuk-gubuk ini berhasil ditekan oleh operasi Lodaya yang dilakukan oleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga pada tahun 2006 keberadaan gubuk mulai berkurang menjadi 87 gubuk. Penurunan jumlah gubuk tersebut tidak bertahan lama, sehingga pada tahun 2011 bertambah kembali mendekati jumlah gubuk pada tahun 1997, yaitu 93 gubuk. Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang

Lokasi Jumlah Gubuk 1997 (Mustari 2007) 2006 (Mustari 2007) 2011 Cipangikisan 10 6 11 Cikabodasan 10 7 11 Cetut 3 4 4 Cikolomberan 30 29 23 Cipunaga 9 9 9 Cibako 6 6 11 Ciporeang 12 12 10 Karang Jambe 3 3 3 Cipalemuan 11 11 11 Jumlah 94 87 93

Fungsi gubuk tersebut sebagai tempat tinggal masyarakat nelayan, pelelangan ikan dan penyimpanan alat-alat untuk melaut bahkan beberapa dijadikan sebagai warung atau tempat jualan makanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut. Akibat adanya aktivitas masyarakat nelayan tersebut diperkirakan dapat mengganggu aktivitas banteng, terutama untuk mengasin (salt lick), sehingga banteng akan mencari tempat lain untuk mengasin atau merubah waktunya pada saat tidak ada atau sedikit gangguan termasuk gangguan dari aktivitas masyarakat. Alikodra (2010) menyatakan bahwa banteng memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi terhadap gangguan.

3. Ziarah

Pengunjung/peziarah adalah orang yang mengunjungi tempat-tempat tertentu di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dianggap keramat oleh pengunjung, seperti blok Cikayaan yang dianggap sebagai air untuk mendapat kesuksesan dan dipercaya terdapat harimau jadi-jadian dan dapat diakses melalui blok Plang yang berada di Kampung Sancang. Kedatangan pengunjung tersebut tergantung terhadap cuaca dan bulan pada kalender islam atau tahun hijriah, seperti pada musim hujan biasanya jumlah pengunjung cenderung lebih sedikit dibandingkan pada cuaca yang cerah. Pada bulan Maulud biasanya pengunjung mencapai lebih dari 100 orang dan hampir setiap hari pada bulan tersebut, sedangkan pada bulan lainnya pengunjung lebih banyak pada malam jumat rata-rata mencapai ± 20 orang, sehingga dalam satu bulan rata-rata 80-100 orang.

Pengunjung tersebut dikenakan bayaran (tiket masuk) sebesar Rp 3000.00 (tiga ribu rupiah) per orang kepada pos jaga yang dibentuk oleh masyarakat. Hasil dari tiket tersebut berdasarkan informasi dari petugas pos jaga dan beberapa masyarakat bahwa 40% untuk penjaga pos, 30% untuk kesejahteraan Desa Sancang dan 30% untuk pihak BKSDA, akan tetapi pihak BKSDA menegaskan tidak menerima persentase dari pendapatan tersebut.Pihak desa juga menegaskan bahwa 30% tersebut digunakan oleh warga yang berada di Kampung Sancang/blok Plang untuk memperbaiki jalan menuju tempat ziarah dan laut berdasarkan kesepakatan antar warga setempat dan pihak desa tidak pernah

menegaskan adanya tarif tiket untuk masuk kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kondisi tersebut diperlukan adanya suatu kesepakatan antara berbagai pihak terkait sehingga memperoleh suatu kebijakan yang dapat menyelaraskan antara kebutuhan berbagai pihak dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.

Peninggalan sejarah di Cagar Alam Leuweung Sancang menurut SBKSDA Jawa Barat II tahun 1973 dan informasi masyarakat serta catatan narasumber cerita rakyat Kabupaten Garut untuk buku internasional UNESCO (United Nation Education Scientific and Cultural Organization) tahun 1972, meliputi:

a. Cadas Sancang adalah bekas keraton negara sancang yang runtuh pada tahun 1597. Tempat ini banyak dikunungi orang sebagai temapat ziarah, terdapat di sekitar muara Sungai Cipangikisan.

b. Makam Syech Pandita Rukmantara adalah makam sahabat Prabu Kian Santang (putra Prabu Siliwangi), terletak di blok Cipalawah.

c. Pohon Kaboa (Aegiceras corniculatum) yang dianggap sebagai pohon keramat oleh sebagian orang karena konon pohon ini sebagai tempat Prabu Siliwangi berpegangan sebelum akhirnya pada waktu dikejar putranya untuk masuk islam.

Peninggalan-peninggalan tersebut menarik perhatian masyarakat sehingga hampir setiap hari pengunjung datang dari asal yang berbeda, baik dari sekitar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi) maupun dari luar Pulau Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan pengunjung tersebut memberikan penghasilan tersendiri bagi masyarakat sekitar untuk menjadi ojek bagi pengunjung, sehingga keluar masuknya kendaraan roda dua yang setiap harinya berawal dari pagi hingga malam hari akan merusak tanah dan vegetasi yang tumbuh di atasnya karena terjadi pemadatan tanah yang mengakibatkan erosi tanah dan akar tanaman tidak dapat menembus tanah untuk mendapatkan unsur hara di dalam tanah tersebut. Akibat lainnya yang paling penting adalah kondisi tersebut sangat mengganggu aktivitas satwa liar khususnya banteng yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.

4. Perambahan

Perambahan ditandai dengan adanya penebangan liar dan pengambilan kayu secara besar-besaran yang terjadi sekitar tahun 1998-2002 dengan total kerusakan seluas 1725.6 ha atau sekitar 80% dari total daratan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang (Anonim 2000).Penebangan liar awalnya hanya dilakukan di daerah yang sulit dijangkau dan tersembunyi, yaitu blok Cibunigeulis, Cipangikisan dan blok 20 yang digunakan untuk kayu pertukangan atau diperdagangkan (SBKSDA II 1993b). Kegiatan perambahan ini berdasarkan informasi masyarakat didorong karena adanya krisis moneter yang membolehkan segala cara termasuk perambahan hutan. Awal terjadinya perambahan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu daerah Pameungpeuk dan sekitarnya bahkan ada yang berasal dari daerah Tasikmalaya melakukan penebangan terhadap kayu-kayu yang berada di dalam kawasan cagar alam, sehingga masyarakat sekitar kawasan tidak dapat menerima kondisi tersebut dan beranggapan bahwa yang berhak melakukan penebangan kayu di dalam kawasan adalah masyarakat sekitar yang telah menjaga hutan tersebut. Hasil inventarisasi SBKSDA Jabar II tahun 1994 bahwa sebelum terjadi perambahan pada tahun 1998-2002 tersebut, perambahan dan penyerobotan yang telah dilakukan oleh masyarakat, baik yang digunakan sawah, ladang dan pemukiman seluruhnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Perambahan dan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh masyarakat

Lokasi Penggunaan Lahan (Ha)

Sawah Pemukiman dan Ladang Jumlah

Cimerak 11.68 6.87 18.55

Cihurang 8.024 17.073 25.097

Plang/Sancang 5.13 31.40 36.53

Total 24.834 55.343 80.177

Kegiatan perambahan yang terjadi di Cagar Alam Leuweung Sancang sangat mempengaruhi luas habitat yang digunakan oleh satwa di dalamnya menjadi berkurang dan mengurangi ketersediaan pakannya terutama satwa herbivora, seperti banteng. Alikodra (1993) menyatakan bahwa dampak dari adanya perambahan pada suatu kawasan dapat menyebabkan berubahnya penyebaran dan kelimpahan pakan satwa, berubahnya iklim mikro dan berkurangnya tempat berkembangbiak dan berlindung. Kondisi demikian

diperlukan tata batas kawasan yang jelas, sehingga memiliki kejelasan lahan yang dapat digunakan atau digarap oleh masyarakat, selain itu melakukan pendekatan terhadap masyarakat agar menjaga kelestarian cagar alam tersebut.