• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pengaruh Edukasi Tentang Sindrom Metabolik Terhadap

Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta yang menjadi responden dalam penelitian ini.

c. profil kadar gula darah puasa masyarakat di dusun Krodan Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta sebelum dan sesudah edukasi tentang sindrom metabolik dan evaluasinya berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan umur responden.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Sindrom Metabolik 1. Pengertian Sindrom Metabolik

Menurut National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults, Adult Treament Panel III (NCEP ATP III) tahun 2001, sindrom metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. Kelainan metabolik tersebut meliputi: obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida meningkat dan kadar kolesterol high density lipoprotein/HDL rendah), tekanan darah meningkat, dan resistensi insulin (dengan atau tanpa intoleransi glukosa). Keadaan tersebut berhubungan erat dengan suatu kelainan sistemik yang dikenal sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin adalah suatu gangguan respon biologis terhadap insulin, baik yang endogen maupun yang eksogen dengan akibat kebutuhan insulin plasma yang lebih banyak (hiperinsulinemia) untuk mempertahankan kadar glukosa plasma agar tetap dalam batas normal. Resistensi insulin berkaitan erat dengan obesitas khususnya dengan penimbunan jaringan lemak abdominal yang berlebih atau obesitas sentral (Anonim, 2006a).

2. Patogenesis Sindrom Metabolik

Menurut ATP III mengidentifikasi 6 komponen sindrom metabolik yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular;

a. obesitas abdominal merupakan bentuk obesitas yang sering dikaitkan dengan sindrom metabolik. Hal tersebut menandakan terjadinya peningkatan ukuran lingkar pinggang.

b. dislipidemia aterogenik ditunjukkan dengan cara dilakukan pemeriksaan lipoprotein yaitu adanya peningkatkan trigliserida dan rendahnya konsentrasi kolesterol HDL.

c. tekanan darah tinggi dikaitkan dengan obesitas dan biasanya pada orang yang mengalami resistensi insulin. Hipertensi secara umum merupakan salah satu diantara faktor risiko dari sindrom metabolik.

d. resistensi insulin secara mayoritas terdapat pada orang dengan sindrom metabolik. Hal ini berkaitan dengan faktor risiko dari sindrom metabolik dan biasanya berhubungan dengan risiko penyakit kardiovaskular.

e. kondisi proinflamatori dikenal sebagai tanda klinik yang berkaitan dengan tingginya C-reactive protein (CRP) yang secara umum ada pada orang dengan sindrom metabolik. Pada dasarnya tingginya CRP dapat ditunjukkan dengan banyak mekanisme, salah satu penyebabnya adalah obesitas karena banyaknya jaringan adiposa yang melepaskan sitokin inflamatori yang kemungkinan dapat meningkatkan level CRP.

f. kondisi protrombotik dikarakteristikan dengan terjadinya peningkatan plasma plasminogen activator inhibitor (PAI)-1 dan fibrinogen yang selalu dikaitkan dengan sindrom metabolik. Pada fase akut reaktan fibrinogen seperti CRP terjadi peningkatan respon sitokin secara tinggi.

OVERNUTRISI, AKTIVITAS FISIK TIDAK ADA AKUMULASI LIPID OBESITAS (ABDOMINAL) DISREGULASI FUNGSI ADIPOSITOKIN DAN PRODUKSINYA RESISTENSI INSULIN

HIPERLIPIDEMIA INTOLERANSI GLUKOSA

ATHEROSKLEROSIS

HIPERTENSI

Gambar 1. Patofisiologis Sindrom Metabolik

(Anonim, 2007a) 3. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik

Saat ini ada dua kriteria diagnosis sindrom metabolik yang banyak digunakan yaitu kriteria WHO 1998 dan kriteria NCEP ATP III 2001. Kriteria WHO 1998 menekankan pada adanya toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus dan atau resistensi insulin yang disertai sedikitnya dua faktor risiko lain yaitu: hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral, dan mikroalbuminuria. Kriteria diagnosis sindrom metabolik WHO lebih menekankan adanya toleransi glukosa dan resistensi insulin. Namun hal ini sulit dipraktikkan di klinik karena diperlukan

pemeriksaan resistensi insulin dengan teknik euglycemic clamp yang mahal, invasif, dan umumnya tidak tersedia pada banyak pusat kesehatan, selain mikroalbuminuria yang memerlukan pemeriksaan khusus.

Tabel I. Kriteria Sindrom Metabolik Menurut WHO Tahun 1998 Toleransi glukosa terganggu atau Diabetes Mellitus dan/atau resistensi insulin dengan dua/lebih keadaan berikut

Tekanan darah meningkat ≥ 160/90 mmHg Trigliserida plasma meningkat

Dan/atau kolesterol high-density lipoprotein rendah Pria Wanita ≥ 150 mg/dL < 35 mg/dL < 39 mg/dL Obesitas sentral : Pria

Rasio lingkar pinggang-pinggul Wanita

Rasio lingkar pinggang-pinggul Indeks massa tubuh

> 0,90

> 0,85 dan/atau > 30 kg/m2 Mikroalbuminuria

Rerata ekskresi albumin urin Ratio albumin : kreatinin

> 20 µg/ menit, atau ≥ 30 mg/gr

Pada tahun 2001, NCEP ATP III membuat suatu kriteria yang lebih mudah digunakan di klinik. Kriteria diagnosis NCEP ATP III menggunakan komponen kriteria dan parameter yang lebih mudah untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah dipraktikkan secara klinis dengan tujuan mempermudah penegakan diagnosis dan mempermudah tindakan pencegahan (Anonim, 2006a).

Tabel II . Kriteria Sindrom Metabolik Menurut NCEP ATP III Tahun 2001

Diagnosis Sindrom Metabolik ditegakkan bila didapatkan tiga atau lebih faktor risiko tersebut dibawah ini:

Obesitas abdominal (lingkar pinggang) Pria

Wanita

> 102 cm > 88 cm

Trigliserid ≥ 150 mg/dL

Kolesterol high-density lipoprotein Pria Wanita < 40 mg/dL < 50 mg/dL Tekanan darah ≥ 130/≥ 85 mmHg Glukosa puasa ≥ 110 mg/dL (Anonim, 2006a) Sindrom metabolik didiagnosis ketika seseorang menderita kurang lebih tiga dari faktor risiko penyakit jantung. Lima kondisi yang menunjukkan faktor risiko metabolik untuk penyakit jantung;

1. meningkatnya lingkar pinggang. Hal ini disebut juga dengan kegemukan pada bagian perut atau berbentuk seperti apel (”having an apple shape”).

2. kadar trigliserida yang lebih besar dibandingkan dengan kadar normal di dalam darah.

3. kadar kolesterol HDL. High Density Lipoprotein (HDL) merupakan kolesterol baik karena kolesterol ini mengurangi risiko penyakit jantung. Menurunnya kadar HDL dalam darah akan meningkatkan risiko penyakit jantung.

4. tekanan darah yang tinggi dibandingkan dengan normal. Tekanan darah diketahui dengan adanya dua angka biasanya ditulis satu diatas dan satunya dibawah, contoh 120/80 mmHg. Nomor yang di atas menunjukkan tekanan darah sistolik yang menggambarkan tekanan aliran darah ketika jantung

kontraksi. Nomor yang di bawah menunjukkan tekanan darah diastolik yang menggambarkan tekanan aliran darah ketika jantung relaksasi.

5. kadar gula darah (glukosa) puasa lebih tinggi dibandingkan normal. Tingginya kadar gula darah dapat merupakan tanda awal penyakit diabetes.

(Anonim, 2007b)

Gambar 2. Faktor Risiko Sindrom Metabolik

(Anonim, 2007c) 4. Penatalaksanaan Terapi Sindrom Metabolik

Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang secara pasti telah dipublikasikan. Berdasarkan uji klinis, penatalaksanaan bagi seseorang yang terkena sindroma ini adalah mencegah terjadinya diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.

Semua pasien dengan sindroma metabolik harus dimotivasi untuk mengubah pola makan dan pola hidup mereka sebagai langkah utama dari terapi. Panduan praktis pola hidup bagi pasien dengan sindroma metabolik adalah;

a. kurangi berat badan anda dengan berolah raga sedang (jogging) selama 30 menit setiap hari.

b. kurangi makanan yang berlemak, khususnya yang berlemak jenuh seperti daging merah dan mentega atau makanan penuh lemak lainnya.

c. kurangi konsumsi alkohol.

d. kurangi konsumsi total karbohidrat dengan mengganti karbohidrat murni (roti putih, kentang) dengan kacang polong, padi-padian, dan lemak tak jenuh tunggal (kacang-kacangan, alpukat, minyak zaitun) dan mengganti minuman soda dan jus dengan air, dan minuman diet.

e. hindari makanan berkadar gula yang tinggi dan perbanyak makanan berkadar gula rendah.

f. hindari merokok.

g. konsumsi asam lemak omega 3 dengan memakan ikan 1 kali seminggu.

h. kurangi konsumsi garam dapur sampai kurang dari 2,4 gram per hari dengan menggunakan lebih banyak rempah-rempah dalam masakan.

i. perbanyak makan serat (30 g/hari) dan buah-buahan.

B. Diabetes Mellitus 1. Definisi diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok gangguan metabolit dari metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein yang diakibatkan karena adanya defisiensi insulin atau gangguan kerja insulin atau karena keduanya yang dapat mengakibatkan komplikasi kronis termasuk mikrovaskuler, makrovaskuler dan gangguan neuropati (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

2. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat dipertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuretik osmotik yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Price dan Lorraine, 1995).

3. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI) atau disebut DM tipe 1.

Diabetes Mellitus tipe 1 ini utamanya disebabkan oleh destruksi sel

terjadi selama bertahun-tahun, dan proses ini dinamakan fase prediabetik. Jika keadaan berlanjut akan terjadi onset of diabetic, dimana akan terjadi hiperglikemi dan ketergantungan terhadap insulin. Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin secara absolut dan biasanya penyakit ini didiagnosis sebelum umur 30 tahun. Diabetes mellitus tipe ini merupakan jenis diabetes yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda (Moningkey, 2000). b. Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau disebut DM tipe 2.

Merupakan kasus yang banyak terjadi. Prevalensi kejadian di negara berkembang mencapai 85% dari semua kasus DM yang terjadi. Diabetes mellitus tipe ini menimbulkan masalah besar karena potensial mengalami komplikasi. Penyebab DM ini adalah resistensi terhadap insulin dan pada awalnya terjadi kekurangan sekresi insulin secara relatif. Resistensi insulin berupa menurunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati (Moningkey, 2000).

Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko terjadinya DMTTI. Aktivitas fisik yang teratur akan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan memperbaiki toleransi glukosa. Peningkatan konsumsi lemak jenuh dan penurunan konsumsi serat menurunkan sensitivitas terhadap insulin dan kelainan toleransi glukosa. Faktor risiko yang lain adalah stres yang berkepanjangan, baik fisik maupun trauma yang berhubungan dengan terjadinya intoleransi glukosa karena pengaruh hormonal, juga akibat

konsumsi obat-obatan dan hormon seperti fenitoin, diuretik golongan tiazid, dan kortikosteroid (Moningkey, 2000).

c. Diabetes mellitus pada kehamilan (DM Gestasional).

Keadaan ini hanya terbatas pada wanita hamil dan gangguan toleransi glukosa terjadi pertama kali selama kehamilan. Jika sebelum hamil sudah mengalami DM maka tidak termasuk kategori ini dan kategori ini biasanya merupakan DMTTI (Moningkey, 2000).

d. Diabetes tipe lain yang spesifik (diabetes akibat kerusakan genetik).

Maturity onset diabetes of youth (MODY) dikarakterisasikan sebagai terganggunya sekresi insulin dengan resistensi insulin yang kecil atau tidak resistensi sama sekali. Ketidakmampuan secara genetik untuk mengubah proinsulin menjadi insulin mengakibatkan hiperglikemia ringan pada usia dini dan hal tersebut akan diwariskan pada pola autosomal yang dominan (Triplitt et al, 2005).

4. Diagnosis

Diagnosis dari penyakit ini dapat menggunakan tiga kriteria: (1) kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL; (2) tes toleransi kadar gula dalam darah setelah 2 jam ingesti glukosa secara oral ≥ 200 mg/dL; atau (3) kadar glukosa dalam plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan gejala-gejala diabetes (Triplitt et all, 2005). Jika keluhan (gejala) khas maka pemeriksaan gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL cukup untuk menegakkan diagnosis. Untuk kelompok yang tanpa keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah satu kali abnormal belum cukup untuk menegakkan diagnosis sehingga harus dilakukan pemastian dengan pemeriksaan ulang dengan

mendapatkan angka gula darah yang abnormal (Moningkey, 2000). Kadar asam keto dalam urin yang diukur secara kimia juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat penyakit diabetes (Guyton dan Hall, 1997).

5. Pencegahan Diabetes Mellitus

Ada tiga jenis pencegahan diabetes melitus; a. pencegahan primer

Bertujuan untuk mencegah terjadinya diabetes mellitus. Untuk itu, faktor-faktor yang dapat menyebabkan diabetes mellitus perlu diperhatikan baik secara genetik maupun lingkungan yang perlu dilakukan yaitu; pola makan sehari-hari harus seimbang dan tidak berlebihan, olahraga secara teratur dan tidak banyak berdiam diri, usahakan berat badan dalam batas normal, hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan diabetes mellitus (Hembing, 2006).

b. pencegahan sekunder

Bertujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi penyakit lain, menghilangkan gejala, dan keluhan penyakit diabetes mellitus yang perlu dilakukan dalam pencegahan sekunder yaitu: diet sehari-hari harus seimbang dan sehat, menjaga berat badan dalam batas normal, usahakan pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi diabetes mellitus, olahraga teratur sesuai dengan kemampuan fisik dan umur (Hembing, 2006).

c. pencegahan tersier

Bertujuan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut dari komplikasi penyakit yang sudah terjadi, untuk mencegah kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan

gangren jika terjadi luka sehingga perlu pemeriksaan rutin dan berkala (Hembing, 2006).

C. Terapi Perubahan Gaya Hidup

Terapi Perubahan Gaya Hidup (Therapeutic Lifeslyle Change/TLC) merupakan suatu pengobatan yang inovatif berdasarkan pemikiran modern yang melekat pada gaya hidup zaman dahulu. Metode pengobatan ditinggalkan dan menekankan perubahan-perubahan di lingkungan dan gaya hidup.

Ada lima aspek penting TLC: 1. olahraga/aerobik

Olahraga merupakan antidepresan yang poten. Menaikkan denyut nadi antara 120-160 denyut per menit. Dilakukan tiga kali seminggu selama 35 menit. 2. istirahat yang cukup, tidur selama 7 sampai 8 jam setiap malam.

3. asam lemak omega-3, pemasukan omega-3 (terutama bentuk molekuler yang disebut EPA) dapat menurunkan tekanan atau despresi. Penelitian merekomendasikan dosis satu kali sehari 1000 miligram EPA yang mengandung minyak ikan dengan konsentrasi tinggi.

4. interaksi sosial, dukungan sosial membantu mencegah tekanan ketika kita menderita dalam hidup.

5. mengurangi pikiran negatif, kesepian dapat mendorong kecenderungan berpikir negatif. Interaksi sosial dan belajar untuk melibatkan diri dalam berbagai aktivitas bila sendiri (Anonim, 2005b).

D. Edukasi

Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau penyuluhan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut konduksif untuk kesehatan. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

E. Perilaku

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup;

1. perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi tentang

penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. 2. perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang

terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional.

3. perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

4. perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.

(Notoatmodjo, 1993) 1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

2.Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan

pre-disposis tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek (Notoatmodjo, 2003).

3. Tindakan atau Praktek

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (Over behavior).

Cara mengukur indikator perilaku atau memperoleh data atau informasi tentang indikator-indikator perilaku tersebut untuk pengetahuan, sikap, dan praktek agak berbeda. Untuk memperoleh data tentang pengetahuan dan sikap cukup dilakukan melalui wawancara, baik wawancara terstruktur maupun wawancara mendalam khususnya untuk penelitian kualitatif. Sedangkan untuk memperoleh data praktek atau perilaku yang paling akurat adalah melalui pengamatan (observasi). Namun dapat juga dilakukan melalui wawancara dengan pendekatan recall atau mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan oleh responden beberapa waktu yang lalu (Notoadmodjo, 2003).

F. Landasan Teori

Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat

tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Perubahan perilaku baru seseorang dalam kehidupannya dapat dilihat dari pengetahuan, sikap, dan tindakan. Sebelum seseorang berperilaku baru, ia harus tahu terlebih dahulu apa manfaat perilaku kesehatan bagi dirinya. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan, maka seseorang tersebut akan mengadakan penilaian (pendapat) terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik).

Pemberian informasi (edukasi) merupakan salah satu strategi untuk memperoleh perilaku yang baru. Pada penelitian ini, pemberian edukasi tentang sindrom metabolik terhadap masyarakat dapat memberikan informasi-informasi tentang cara-cara hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit sehingga akan meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengaruh yang baik terhadap sikap dan tindakan masyarakat khususnya terkait dengan diabetes mellitus sebagai salah satu faktor risiko dari sindrom metabolik.

Tingkat pengetahuan yang semakin bertambah akan menimbulkan kesadaran dari masyarakat, sehingga menyebabkan orang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran dari diri sendiri (bukan karena paksaan).

G. Hipotesis

Pemberian edukasi (informasi) mengenai sindrom metabolik akan berpengaruh terhadap perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan), selain itu juga pemberian edukasi diharapkan dapat berpengaruh terhadap adanya perubahan kadar gula darah puasa masyarakat di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini terdiri dari dua yaitu: pertama menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian evaluatif untuk melihat profil responden secara keseluruhan (jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang-lingkar pinggul, tekanan darah, kadar gula darah puasa, dan kadar kolesterol total) serta untuk melihat pengaruh jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan umur terhadap kadar gula darah puasa responden. Kedua

menggunakan jenis penelitian eksperimental semu (kuasi) dengan rancangan penelitian non-randomized pretest-posttest control group design untuk melihat pengaruh edukasi tentang sindrom metabolik terhadap perilaku yang menggambarkan parameter kadar gula darah puasa masyarakat di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman Yogyakarta. Menurut rancangan ini pembagian subyek dalam kelompok tidak dilakukan secara random, sehingga pengendalian terhadap variabel luar dan sumber-sumber invaliditas tidak begitu kuat (Pratiknya, 2007).

O (X) O O (-) O

Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian Non-Randomized Pretest-Posttest Control Group Design

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

Pemberian edukasi tentang sindrom metabolik terkait dengan kadar gula darah puasa yang diberikan pada masyarakat di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta.

2. Variabel tergantung

a. Pengetahuan masyarakat di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta tentang sindrom metabolik.

b. Sikap dan tindakan masyarakat di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta tentang sindrom metabolik yang menggambarkan parameter kadar gula darah puasa.

C. Definisi Operasional

1. Masyarakat di dusun Krodan adalah sekelompok orang atau penduduk yang bertempat tinggal dan menetap atau yang bekerja di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman,Yogyakarta baik laki-laki maupun perempuan.

2. Responden adalah masyarakat di dusun Krodan, Maguwoharjo-Sleman, Yogyakarta yang menjadi subyek uji penelitian.

3. Edukasi merupakan suatu upaya untuk memberikan informasi kepada masyarakat melalui kunjungan dua minggu sekali dan pemberian leaflet

4. Perilaku adalah semua aktivitas dari masyarakat yang merupakan respon dari adanya stimulus dari luar yang akan berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan dari setiap orang.

5. Profil kadar gula darah puasa sebelum dan sesudah edukasi merupakan selisih antara kadar gula darah puasa pada saat posttest dan pretest.

6. Profil responden merupakan karakteristik yang ada pada responden yang meliputi: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan (tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, diatas SLTA), Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang-lingkar pinggul, tekanan darah, kadar gula darah puasa, dan kadar kolesterol total

7. Sindrom metabolik dalam penelitian ini merupakan kombinasi dari kriteria WHO tahun 1998 dengan kriteria NCEP ATP III tahun 2001. Sindrom metabolik ditegakkan bila didapatkan ≥ 2 faktor risiko berikut;

Tabel III. Kriteria Sindrom Metabolik Hasil Kombinasi Antara Kriteria WHO Tahun 1998 dengan Kriteria NCEP ATP III Tahun 2001

No. Kriteria Nilai / Kadar

1. Lingkar Pinggang Wanita

Pria

≥ 80 cm

≥ 90 cm 2. Rasio lingkar pinggang-lingkar

pinggul Wanita Pria

> 0,85 > 0,90 3. Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 23

4. Tekanan Darah ≥130/80 mmHg

5. Kadar Gula Darah Puasa > 100 mg/dL 6. Kadar Kolesterol Total > 200 mg/dL

8. Umur adalah lama kehidupan responden, dimulai dari kelahiran sampai

Dokumen terkait