• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on

Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan menghasilkan kesepakatan untuk memberantas kemiskinan seperti yang tertuang pada pasal 4

Millenium Development Goals (MDG’s-Tujuan Pembangunan Abad Millenium),

mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkesinambungan, mengelola sumberdaya alam untuk pembangunan sosial dan ekonomi, mengembangkan kesehatan, dan mengembangkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan harus difokuskan pada (a) Keberlanjutan pembangunan ekonomi melalui pemberantasan kemiskinan dengan program cipta kerja; (b) Keberlanjutan pembangunan sosial melalui peningkatan kualitas manusia dengan prioritas pada pendidikan dan kesehatan yang memihak pada rakyat miskin dan pemberdayaan gender; (c) Keberlanjutan pembangunan ekologi dengan mengarusutamakan

pembangunan berwawasan lingkungan. Ketiga dimensi harus ditopang oleh Good

Governance dengan kemitraan setara antara pemerintah, dunia bisnis dan kelompok madani.

Kesetaraan gender adalah isu pembangunan yang paling mendasar, kesetaraan gender akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan perempuan dan laki-laki untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup.

Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah strategi untuk

mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan (KPP, 2004a). Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman

dan dukungan masyarakat itu sendiri (Anonim, 2001). Gender pada dasarnya membahas permasalahan perempuan dan juga laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat agar terjadi keadilan dan kesetaraan gender.

Kesetaraan gender adalah suatu kondisi yang setara, seimbang, dan

sederajat dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki, sedangkan keadilan gender mengandung pengertian suatu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki (KPP, 2001).

Pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering belum banyak dibahas dalam berbagai studi. Namun demikian, hasil beberapa studi menunjukkan bahwa pengarusutamaan gender dalam pengelolaan suatu

sumberdaya akan meningkatkanpartisipasi, fungsi kontrol, distribusi sumberdaya,

dan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut (Irianto

et al., 2003). Hal ini diperkuat oleh Dokumen Agenda 21 Sektoral yang secara khusus membahas kesetaraan laki-laki dan perempuan (gender), kondisi, kedudukan dan hak perempuan dalam berbagai program pembangunan agar berhasil secara optimal (KNLH, 2000).

Peran perempuan dalam mendukung keberhasilan usahatani lahan kering berkelanjutan sangat penting, dengan alasan 57,1 persen perempuan bersama suami bertanggungjawab mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan perempuan mempunyai posisi yang setara dengan laki-laki (suami) dalam kegiatan usahatani seperti pembenihan, penyiangan gulma, panen, dan pemasaran. Faktor-faktor yang menghambat peran perempuan dalam pengembangan usahatani lahan kering antara lain : 1) Rendahnya pendidikan dan keterampilan, 2) Rendahnya akses terhadap teknologi, 3) Upah yang diterima perempuan lebih rendah daripada laki-laki, 4) Akses anak perempuan terhadap pendidikan rendah,

dan 5) Belum ada teknologi khusus untuk perempuan (Bachrein et al., 2000).

Peran perempuan dalam pengelolaan lahan yang masih rendah ini menyebabkan terjadinya disparitas pembagian kerja pada usahatani ladang antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki menyumbang sebesar 485 jam

(47,32%) sedangkan perempuan sebesar 510 jam (52,68%), dominasi keterlibatan laki-laki pada profil partisipasi, akses, dan kontrol dalam kegiatan usahatani dan manfaat yang strategis seperti lahan, pengelolaan air, pola tanam, penyuluhan pertanian serta pendidikan dan latihan. Bahkan dalam kegiatan kemasyarakatan perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sedangkan kegiatan domestik lebih didominasi perempuan. Akibatnya terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender di sektor publik, domestik, maupun kemasyarakatan (Bernard et al., 1998).

Masalah ketimpangan gender juga terlihat dalam penguasaan tanah. Secara umum penguasaan tanah lebih sering dipegang oleh laki-laki dibanding perempuan. Dalam berbagai kasus, pembuatan sertifikat tanah yang dibeli setelah pernikahan umumnya dibuat atas nama suami sebagai kepala rumah tangga dengan kesepakatan bersama. Dari suatu survai terhadap 1.500 peserta program sertifikasi tanah ternyata hanya sedikit sertifikat yang dibuat atas nama istri (Tabel 1). Tanpa menguasai sertifikat tanah, perempuan akan sulit menggunakan tanah sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit usaha. Hal ini berdampak pada terbatasnya peluang bagi perempuan dalam pengembangan usaha.

Tabel 1. Persentase Pemilikan Sertifikat Tanah Menurut Perempuan dan Laki-laki

No Penguasaan Asset Perempuan Laki-laki

1 Daerah Perkotaan 14,3 76,9

2 Daerah Pinggiran 17,4 67,4

3 Daerah Perdesaan 20,4 66,7

Sumber : Smeru (2004)

Pengarusutamaan gender merupakan salahsatu faktor yang perlu mendapat

perhatian dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Konsep pembangunan berkelanjutan sudah diterima oleh semua negara di dunia dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk dalam pengelolaan lahan kering. Konsep ini bersifat multi disiplin karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi (konservasi), ekonomi, dan sosial. Dalam hal ini,

pengarusutamaan gender dalam pengelolaan lahan kering dapat terjadi pada aspek konservasi, aspek ekonomi maupun aspek sosial.

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah

kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil

berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaatan

sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna

bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

Perlunya pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan

secara berkelanjutan didasari oleh kondisi sebagai berikut (Mitchell et al., 2003):

1. Perempuan dilihat sebagai ”kapital” dalam proses transformasi sosial

ekonomi. Hal ini menyebabkan munculnya usaha yang cukup kuat untuk membicarakan dan mendorong ”partisipasi perempuan” yang lebih besar dalam berbagai kegiatan program pembangunan.

2. Tanggungjawab perempuan dalam menyediakan makanan yang sehat, air

bersih, dan bahan bakar dimana beban tersebut semakin bertambah pada saat sumber bahan makanan, bahan bakar, dan air berkurang. Dengan demikian perempuan cenderung mempunyai minat besar dalam melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat dimanfaatkan selamanya atau lestari.

3. Peran ganda perempuan dalam pekerjaan reproduktif, produktif, dan sosial

kemasyarakatan. Peran tersebut memberikan implikasi pada kondisi, perempuanlah yang harus memulai kerja setiap hari, dan seringkali perempuan juga yang paling akhir berhenti bekerja.

4. Banyak kegiatan produktif dan kemasyarakatan dalam hal ekonomi tidak terlihat, sehingga kontribusi perempuan terhadap keluarga, masyarakat dan negara seringkali tidak dinilai oleh keluarga dan pemimpin-pemimpin politik.

5. Semakin kecilnya kesempatan perempuan untuk mencari pendapatan

tambahan mengakibatkan status dan kekuasaan perempuan dalam keluarga dan masyarakat semakin berkurang.

6. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik kemasyarakatan,

terutama dalam pembuatan keputusan, menyebabkan adanya bias gender,

sehingga peran perempuan menjadi status quo, dan perempuan dianggap

memang lebih rendah daripada laki-laki.

Pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan memberikan penekanan pada peningkatan kemampuan perempuan dalam hubungan mereka dengan laki-laki. Gender lebih menekankan pendekatan

untuk pengelolaan yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up) daripada dari atas

ke bawah (top down). Gender memberi fasilitas kepada perempuan agar menjadi

percaya diri, melalui perubahan transformasi kebiasaan serta struktur, seperti peraturan ketenagakerjaan, peraturan sipil, kebiasaan serta hak berdasarkan agama dan budaya. Namun demikian usaha pengarusutamaan gender dalam berbagai program pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya lahan kering memerlukan upaya yang terus-menerus, terintegrasi, dan kemauan politik yang kuat dari pengambil keputusan.

Dokumen terkait