• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan merupakan upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup (Pasal 1 angka (2) UULH No. 4 Tahun 1982). Menurut isi pasal 1 angka (2) UULH No. 23 Tahun 1997 sebagai pengganti undang-undang lingkungan hidup yang lama, pengelolaan lingkungan diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rumusan antara kedua undang-undang lingkungan hidup tersebut tidak bertentangan satu sama lain, bahkan rumusan baru dalam undang-undang yang baru merupakan penjabaran lebih lanjut. Ada delapan pengertian dari rumusan pasal yang merumuskan pengertian tentang lingkungan hidup, yaitu:

1. Melestarikan fungsi lingkungan hidup

Asal kata melestarikan adalah kata lestari, yang artinya keadaan, kondisi, situasi, sifat, kuantitas, kualitas dan fungsi yang tetap atau relatif tidak berubah fungsinya. Dari aspek pendekatan proses biologi misalnya, maka hukum termodinamikanya tidak berubah (homeostatis) dan dalam keadaan “ a stable system is one that responds to changes from a steady state by developing forces to restore it to the original condition”.

2. Kebijakan penataan lingkungan hidup

Penataan disini diartikan sebagai pengaturan, sehingga kebijakan penataan mempunyai konotasi bahwa pembuatan aturan-aturan hukum

36 (baca: penetapan kaidah-kaidah hukum) tentang pengelolaan lingkungan harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan individu, kelompok dan kepentingan negara, maupun kepentingan pelestarian lingkungan itu secara arif (bijaksana), baik secara lokal maupun global. Dengan demikian penataan merupakan produk hukum dalam usaha-usaha melestarikan fungsi lingkungan.

3. Pemanfaatan lingkungan hidup

Sejalan dengan sifat pembangunan yang berwawasan lingkungan (sustainable development), maka pemanfaatan unsur-unsur atau komponen-komponen lingkungan hidup (sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia) harus dikelola secara rasional dan bertanggung jawab. Kiranya hal ini sesuai dengan asas lestari dari sistem pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri.

4. Pengembangan lingkungan hidup

Agar supaya lingkungan hidup dapat diteruskan secara berlanjut penggunaannya oleh generasi yang akan datang, maka kondisi lingkungan hidup yang sudah ada bukan hanya dimanfaatkan oleh generasi sekarang, tetapi kepadanya juga dibebani kewajiban untuk menjaga, melestarikan, bahkan wajib pula untuk meningkatkan fungsi maupun kuantitas serta kualitasnya dan menjaga jangan sampai merosot secara kuantitas dan kualitasnya.

5. Pemeliharaan lingkungan hidup

Fungsi lingkungan hidup tidak boleh berubah, tetapi diharapkan dapat meningkat. Oleh karena itu, sistem alamiahnya (ekosistem) harus tetap dijaga agar azas manfaat dari lingkungan hidup tetap dapat memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Untuk itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, terorganisasi dan terkoordinasi dengan baik pula. 6. Pemulihan lingkungan hidup

Pemulihan lingkungan merupakan usaha untuk memulihkan kondisi lingkungan kembali ke keadaan semula sesuai dengan fungsinya, sehingga dapat dinikmati manfaatnya oleh generasi sekarang dan generasi masa mendatang.

37 7. Pengawasan lingkungan hidup

Pengawasan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengawasan dapat meliputi aspek-aspek yang bersifat teknis, yuridis, ekonomis, sosiologis dan anthropologis (pendekatan holistik). Pengawasan juga merupakan unsur logis dari suatu sistem pengelolaan. Pengawasan sebagai suatu sub sistem pengelolaan harus menetapkan perangkat pengelola yang mana yang mempunyai tugas dan fungsi mengenai hal itu. Pengelola juga harus memberikan batasan-batasan tentang hak dan kewajibannya secara tegas kepada perangkat pengelola yang ditunjuknya. Apakah hak itu menyangkut tentang hak pengawasan secara teknis, yuridis, ekonomis, sosiologis ataupun anthropologis. Penunjukan perangkat pengelola harus ditunjuk secara proporsional, dalam arti sesuai dengan bidang kemampuannya masing-masing, dan harus secara tegas di “back up”

dengan peraturan-peraturan hukum yang jelas sebagai landasan kewenangannya. Disamping itu, harus pula dipahami bahwa lingkungan hidup tidak boleh dikaji sistem pengelolaannya secara parsial, tetapi harus secara holistik. Untuk itu kiranya diperlukan organisasi yang tersusun secara baik dan koordinasinya juga baik antar perangkat pengawasan tersebut. Dengan demikian, keterlibatan perangkat-perangkat pengawasan harus ditetapkan secara proporsional, sehingga mencerminkan pendekatan yang multidisiplin dari masalah tersebut. 8. Pengendalian lingkungan hidup

Pengendalian sebagai salah satu unsur dalam suatu sistem pengelolaan ibarat satu keping uang logam dengan kedua sisinya yang mempunyai arti dan nilai yang sama meskipun terdapat perbedaan dalam penggambaran atau pemaparannya. Disatu sisi, pengendalian merupakan perencanaan secara sistematis tentang upaya pelestarian lingkungan (preventive approach), sedangkan di sisi lainnya, pengendalian merupakan tindakan atau usaha-usaha untuk memulihkan ke tingkat kelestarian lingkungan pada mulanya (bahkan seharusnya ditingkatkan fungsinya).

38 Pelaksanaan pengelolaan lingkungan tidak hanya menetapkan 8 (delapan) perangkat tersebut di atas, tetapi juga membutuhkan piranti-piranti lainnya, baik yang sifatnya lunak (software) maupun yang sifatnya keras (hardware). Piranti atau perangkat lunak merupakan cerminan kebijakan yang tertuang dalam kaidah-kaidah hukum formal maupun yang non-formal sifatnya. Kaidah-kaidah-kaidah hukum formal biasanya dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional ataupun berdasarkan suatu konvensi akan menjadi patokan dalam peraturan secara global bagi negara-negara yang ikut menandatangani konvensi internasional tersebut. Sementara itu, kaidah-kaidah hukum yang non formal dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang sudah melembaga (dianut) baik secara nasional ataupun internasional oleh individu ataupun kelompok untuk kebutuhan-kebutuhan yang tertentu pula sifatnya. Kaidah-kaidah hukum formal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional (termasuk akibat dari penandatanganan konvensi internasional mengenai suatu hal tertentu) sifatnya

mandatory atau memaksa. Oleh karenanya, apabila terjadi pelanggaran terhadapnya akan mendapatkan sanksi sesuai yang tertera dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum non formal dalam kegiatan-kegiatan tertentu (misalnya akibat desakan perdagangan global), sanksi yang akan diderita si pelanggar adalah berupa “pengucilannya” dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Di dalam negeri misalnya dapat berupa pemboikotan oleh konsumen untuk menuntut lingkungan yang baik dan sehat. Misalnya, pemboikotan terhadap hasil produksi adalah akibat tidak ditetapkanya proses produksi bersih, sehingga hasil produksinya tidak dapat dinilai sebagai “green product” atau “clean product”.

Kaidah-kaidah hukum non formal dipatuhi bukan karena hal itu tertuang dalam peraturan perundang-undangan dalam negara nasional, akan tetapi pelaksanaannya berdasarkan asas kesukarelaan atau “voluntary”. Namun demikian, kaidah-kaidah tersebut seringkali dirasakan sangat mengikat. Meskipun menurut kaidah-kaidah tersebut digolongkan sebagai norma moral, namun apabila ditilik dari unsur memaksanya yang begitu kuat. Karena begitu kuatnya hak-hak konsumen, maka kaidah-kaidah yang sifatnya “voluntary” tersebut dalam penerapannya menjadi “mandatory” sifatnya.

39 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di kawasan Asia Pasifik mempunyai ambisi untuk menjadi negara industri baru di abad ke dua puluh satu. Ambisi ini diwujudkan melalui transformasi andalan sektor pembangunan dari sektor pertanian menjadi sektor industri dengan basis pertanian yang tangguh. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan khususnya pengendalian pencemaran, tingginya pertumbuhan ekonomi akan dibarengi oleh terus meningkatnya pencemaran lingkungan (Soemarno, 2001). Untuk mengurangi pencemaran lingkungan dilakukan tiga pendekatan dalam pengendalian lingkungan. Pertama, command and control: merupakan perangkat yang diterapkan oleh pemerintah melalui baku mutu lingkungan dan program lain. Kedua, self regulation: merupakan tindakan proaktif dalam pencegahan pencemaran oleh perusahaan yang membawa keuntungan adanya kelenturan pada perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kondisi perusahaannya. Ketiga, instrumen ekonomi: dapat dilakukan melalui insentif, disinsentif, dan tradeable emission permit. Untuk tradeable emission permit,

industri diberi hak menggunakan jasa lingkungan untuk membuang limbah; hak ini dapat diperjualbelikan.

Fungsi utama perangkat ekonomi di sini adalah untuk menciptakan sebuah perubahan perilaku dengan cara menghukum atau memberi penghargaan secara moneter. Pada masa mendatang diperkirakan akan terjadi pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri. Lokasi industri diperkirakan akan terkonsentrasi di sekitar perkotaan yang mengakibatkan beban pencemaran semakin meningkat. Tanpa langkah-langkah untuk mengatasinya, beban pencemaran air dari bahan organik yang terlihat dan BOD diperkirakan akan terus meningkat. Demikian pula dengan B3 yang diperkirakan akan meningkat. Pencemaran udara yang dicirikan oleh peningkatan kadar debu timah hitam (Pb), S02, dan NOx juga akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan sektor industri dan sektor transportasi. Tanpa upaya yang nyata, beban pencemaran udara dari limbah industri berupa S02 diperkirakan akan meningkat. Oleh karena itu, tantangan bagi pembangunan lingkungan hidup adalah mengurangi produksi limbah, memanfaatkan kembali limbah, dan

40 sekaligus mengembangkan strategi pencapaian baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah yang tepat.

Kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan terjadi karena aspek lingkungan tidak dimasukkan ke dalam kegiatan pembangunan. Berlangsungnya hal ini karena semata-mata sumberdaya alam masih dipandang sebagai barang bebas dari sisi ekonomi. Dengan mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam seluruh kegiatan ekonomi maka seluruh sumberdaya yang ada di bumi ini bukan lagi sebagai barang bebas, tetapi merupakan barang yang memiliki nilai ekonomis. Untuk barang-barang yang dimiliki masyarakat (private goods) institusi pasar dengan harga sebagai indikator kelangkaan dapat berfungsi, sedangkan pada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan tidak ada institusi dan mekanisme yang menyeimbangkan permintaan dan persediaannya. Oleh karena itu, diperlukan institusi dan mekanisme yang mencerminkan kelangkaan dan keseimbangan tersebut. Negara adalah institusi yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dari sisi kebijakan pengelolaan publik melalui pemerintahannya.

Ada tiga pendekatan dasar digunakan untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu pendekatan regulasi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan masyarakat. Ketiga pendekatan tersebut mengupayakan agar biaya-biaya kerusakan dan pencemaran lingkungan diinternalisasikan ke dalam biaya kegiatan pembangunan (Soemarno, 2001; Ramdan et al., 2003). Menurut Soemarno (2001) pada awalnya (sekitar tahun 1950-an) pendekatan pengeluaran sumberdaya alam dan lingkungan dititikberatkan pada kegiatan regulasi. Dari pengalaman negara-negara maju yang telah melaksanakan pendekatan tersebut disimpulkan bahwa pendekatan yang dititikberatkan pada regulasi ternyata tidak efisien. Ditetapkannya baku mutu lingkungan yang harus diindahkan oleh kegiatan-pembangunan ternyata tidak mendorong kegiatan kegiatan-pembangunan mengambil inisiatif untuk menurunkan tingkat pencemarannya. Melalui penelitian teoritik dan empirik, dibuktikan bahwa pendekatan ekonomik, baik sistem insentif maupun sistem disinsentif mendorong pelaksana kegiatan pembangunan untuk menurunkan tingkat pencemarannya. Dengan semakin dikuasainya teknologi bersih, pendekatan yang tadinya hanya terpusat pada pengolahan limbah di ujung

41 pembuangan (pendekatan "end of pipe") bergeser menjadi pendekatan minimisasi limbah (pendekatan "cleaner production"). Transformasi pendekatan pengendalian limbah dari pengolahan limbah (pendekatan reaktif) menjadi minimisasi (pendekatan proaktif) dapat meningkatkan efisiensi yang sekaligus juga mengurangi beban pencemaran lingkungan.

Dilihat dari perspektif indikator kesejahteraan masyarakat, salah satu instrumen ekonomi makro yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sorotan tajam adalah belum adanya suatu indikator ekonomi makro yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya perekonomian suatu negara. lndikator

produk domestik bruto (PDB) atau pendapatan per kapita telah banyak mendapat kritikan bahwa indikator ini sama sekali belum dapat diandalkan. Kritikan umumnya ditujukan pada belum masuknya penghitungan dimensi lingkungan ke dalam indikator tersebut. Naiknya angka PDB pada kurun waktu tertentu umumnya dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tersebut menjadi lebih baik, atau negara tersebut dalam keadaan lebih baik (better off). Dengan masuknya dimensi lingkungan ke dalam PDB, di mana sering disebut sebagai 'green PDB', disadari merupakan indikator yang 'lebih baik' ketimbang indikator terdahulu. Dengan adanya paradigma baru ini, maka pembahasan instrumen ekonomi juga akan memasukkan apa yang disebut sebagai neraca lingkungan (Soemarno, 2001).