DISPARITAS? (Indeks Williamson, Indeks Theil, Deskriptif)
HIRARKI WILAYAH IDENTIFIKASI
POTENSI SEKTOR EKONOMI
ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI PERSEPSI STAKEHOLDER INFRASTRUKTUR WILAYAH (Podes) PERTUMBUHAN EKONOMI (PDRB) KONDISI EKSISTING Skalogram A H P Tidak Ya POTENSI SEKTOR KOMPARATIF LQ POTENSI SEKTOR KOMPETITIF SSA DIVERSITAS AKTIFITAS EKONOMI Entropi IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN WILAYAH
Gambar 3 Bagan alir Penelitian
Langkah awal dalam penelitian ini adalah melihat sejauh mana tingkat keberhasilan pembangunan di Kota Sukabumi yang dilihat dari sisi disparitas antar wilayah kecamatan. Analisis indeks Williamsons dipergunakan untuk mengetahui besaran tingkat ketimpangan suatu wilayah berdasarkan data PDRB. Sementara indeks Theil digunakan untuk melihat dekomposisi disparitas.
Setelah ditemukan adanya disparitas, ditetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai arahan pengembangan wilayah, diantaranya Identifikasi potensi sektor ekonomi yang terdiri dari potensi sektor komparatif dan sektor kompetitif yang dapat dikembangkan masing-masing kecamatan. Analisis menggunakan LQ diharapkan dapat menentukan sektor-sektor yang komparatif dari masing-masing wilayah kecamatan, sementara analisis dengan SSA dimaksudkan untuk melihat sektor yang kompetitif dari tiap kecamatan di Kota Sukabumi.
Analisis entropi dan skalogram dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah. Dengan analisis skalogram akan
17 diketahui tingkatan hirarki perkembangan wilayah, dilihat dari data sarana dan prasarana yang ada pada data Podes Kota Sukabumi. Indeks entropi dipergunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan ekonomi wilayah berdasarkan keragaman aktifitas ekonomi yang dimiliki oleh tiap wilayah kecamatan.
Persepsi aparatur dari berbagai responden dalam menanggapi kebijakan pemerintah perlu diketahui melalui pengumpulan data primer berupa wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya dengan mengurangi tingkat kesenjangan dalam rangka pengembangan wilayah. Analisis yang dipergunakan adalah metode Analytical Hierarchy Process (AHP) agar dapat mengethaui prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi.
Hasil dari analisis-analisis diatas disintesiskan untuk mendapatkan arahan kebijakan yang tepat dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini akan menganalisis data menggunakan beberapa metode analisis diantaranya Indeks Williamson & Theil, Regresi Berganda, Analisa Deskriptif, LQ & SSA, Entropi, Skalogram, dan AHP. Adapun bagan alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Analisis Kesenjangan Wilayah
Untuk melihat tingkat disparitas wilayah digunakan indeks Wiliamson dan untuk mendekompisisi disparitas wilayah digunakan Indeks Theill.
Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah secara horisontal. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi et al., 2011):
√∑ ̅ ̅ dimana:
= Indeks kesenjangan Williamson (Iw) = PDRB per kapita wilayah kecamatan ke-i ̅ = Rata-rata PDRB per kapita Kota Sukabumi
= , dimana fi jumlah penduduk kecamatan ke-i dan n adalah total penduduk Kota Sukabumi
= kecamatan yang ada di Kota Sukabumi
Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan nilai yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika ̅ maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak ada kesenjangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar kecamatan di suatu kabupaten/ kota.
18
Kriteria nilai Iw adalah 0 sampai dengan 1. Apabila nilai: = 0: kesenjangan sangat rendah (merata sempurna);
≤ 0,3 : Kesenjangan rendah. = 0,3 – 0,5 : Kesenjangan sedang;
= 0,5 -1 : Kesenjangan sangat tinggi (tidak merata sempurna);
Indeks Theil
Selain indeks Wiliamson, untuk mendekomposisi total disparitas menjadi kontribusi disparitas oleh wilayah kecamatan atau untuk melihat kontribusi disparitas oleh sektor perekonomian (disparitas parsial), Fujita dan Hu (2001) menggunakan Indeks Theil yang dijelaskan dengan persamaan :
∑
( ) dimana :
= Total Disparitas (Indeks Theil)
= PDRB kecamatan i/ PDRB Kota Sukabumi
= Penduduk kecamatan i/ penduduk kabupaten/kota atau jumlah tenaga kerja sektor ke-i/ jumlah tenaga kerja sektor ke-i kabupaten/ kota. = kecamatan di Kota Sukabumi
Selain itu, untuk mendekomposisi total disparitas wilayah menjadi disparitas antar kawasan atau disparitas antar kecamatan dalam kawasan di Kota Sukabumi, dengan menggunakan persamaan:
∑ ∑ ∑ ∑ ⁄ ⁄ dimana :
= disparitas antar kawasan
= Jumlah PDRB antar kecamatan dalam kawasan ∑ = disparitas antar kecamatan dalam kawasan
Indeks Theil yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin besar pula, demikian sebaliknya, bila indeks semakin kecil, maka ketimpangan akan semakin rendah/kecil atau dengan kata lain semakin merata.
19 Analisis Potensi Sektor Ekonomi
Penetapan potensi sektor ekonomi tiap kecamatan di wilayah Kota Sukabumi didasarkan pada kemampuan sektor untuk berpotensi kompetitif dan komparatif sebagai berikut :
1. Nilai Location Quotient (LQ) : Suatu sektor dikatakan berpotensi komparatif apabila memiliki nilai LQ > 1 artinya sektor tersebut merupakan sektor basis. 2. Nilai differential shift : Suatu sektor dikatakan berpotensi kompetitif apabila
memiliki nilai differential shift > 0, artinya sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam wilayah yang lebih besar.
Location Quotient (LQ)
Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.
Location Quotient merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati. Persamaan dari LQ ini adalah :
⁄
⁄ Dimana:
: derajat aktifitas sektor ke-j di wilayah ke-i
. : total aktifitas sektor di wilayah ke-i : total aktifitas sektor ke-j di semua wilayah
: derajat aktifitas sektor total wilayah
Hasil analisis LQ diinterpretasikan sebagai berikut :
· Jika nilai > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i.
· Jika nilai = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.
· Jika nilai < 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.
Shift-share analysis (SSA)
Shift-share analysis digunakan untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan
20
kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah lebih luas.
Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan Gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.
Dari hasil analisis shift share diperoleh Gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu :
1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (Komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah.
3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam suatu wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut : a b c dimana : a = komponen share
b = komponen proportional shift c = komponen differential shift = titik tahun akhir
= titik tahun awal
i = aktifitas sektor
j = kecamatan di Kota Sukabumi
= Nilai total aktifitas sektor tertentu dalam total wilayah
= Nilai aktifitas sektor tertentu
dalam unit wilayah tertentu
= Nilai total aktifitas sektor dalam
total wilayah
Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah
Indeks Entropi
Analisis Indeks Entropi digunakan untuk melihat hirarki wilayah dengan mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat
21 sektor-sektor perekonomian yang dominan dan berkembang pada wilayah tersebut. Data yang digunakan untuk menghitung Indeks Entropi adalah nilai PDRB setiap kecamatan terhadap PDRB Kota Sukabumi tahun 2007- 2011. Prinsip Indeks Entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berikut :
∑ ∑ Dimana: tingkat perkembangan
= ∑ atau proporsi sektor ke-i di kecamatan ke-j
> 0 (untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan terdapat ketentuan bahwa jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi); dengan = ln (banyaknya aktivitas x banyaknya wilayah).
Indeks Entropi diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) dengan nilai entropi maksimumnya (IE = S) dengan nilai IE berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) yang mengindikasikan tingkat keragaman suatu komponen aktivitas semakin berkembang (merata) dan begitu pula sebaliknya.
Analisis model entropi, menurut Saefulhakim (2006) merupakan salah satu konsep analisa yang dapat menghitung Diversitas komponen aktivitas yang berguna untuk : (1) Memahami perkembangan suatu wilayah; (2) Memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3) Memahami perkembangan aktifitas industri; (4) Memahami perkembangan aktifitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Untuk mengetahui klasifikasi indeks entropi tiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan nilai hasil standar deviasi indeks entropi dan nilai rataannya. Nilai yang diperoleh digunakan untuk menentukan jumlah kelas, yakni rendah, sedang atau tinggi.
Skalogram
Secara umum, untuk melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten/kota, terutama dalam hal sarana infrastruktur yaitu dengan menggunakan analisis skalogram. Penelitian ini menggunakan data Potensi Desa tahun 2011 dengan parameter yang diukur meliputi bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi dan informasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk tiap kecamatan di Provinsi Kota Sukabumi.
Secara terinci prosedur kerja penyusunan hirarki relatif suatu wilayah menggunakan Skalogram berbobot adalah sebagai berikut:
a. Dilakukan pemilihan terhadap data Potensi Desa di tujuh kecamatan dengan data yang bersifat kuantitatif berdasarkan parameter yang relevan untuk digunakan.
22
b. Dilakukan agregasi/penjumlahan terhadap kelurahan-kelurahan yang terdapat dalam satu kecamatan yang sama, sehingga yang didapat adalah hirarki relatif kecamatan;
c. Memisahkan antara data jarak dengan data jumlah fasilitas, hal ini karena antara data jarak dengan jumlah fasilitas bersifat berbanding terbalik.
d. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data jarak dan fasilitas. Data jarak diinverskan dengan rumus: y= 1/x
ij, dimana y adalah variabel baru dan x
ij adalah data jarak j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak
terdefinisikan (x
ij= 0), maka nilai y dicari dengan persamaan: y =
x
ij(max) + simpangan baku jarak j. Selanjutnya data fasilitas diubah
menjadi data kapasitas dengan cara jumlah fasilitas j di wilayah i dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah i.
e. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total kapasitas j dibagi dengan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas j.
f. Standardisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data jarak dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan rumus:
Dimana:
= variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau jarak ke-j. = jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau jarak ke-j.
= nilai minimum untuk jenis sarana atau jarak ke-j. = simpangan baku untuk jenis sarana atau jarak ke-j.
g. Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standarisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah.
Pada penelitian ini, IPK dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yang didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPK dan nilai rataannya (Tabel 4).
Menurut Budharsono (2001), metode ini mempunyai beberapa keunggulan, antara lain : (1) Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan; (2) Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah; (3) Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayaanan; (4) Memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah;
Tabel 4 Penentuan Nilai Selang Hirarki
No Kelas Nilai Selang Tingkat Hirarki
1 Hirarki I X > [rataan + (St Dev.IPW)] Tinggi 2 Hirarki II rataan < X < (St Dev.IPW) Sedang
23 (5) Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya.
Analisis Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah
Analysis Hierarchy Process (AHP)
Untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya pemerataan, penelitian ini melakukan analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) guna mendapatkan nilai skor yang diperlukan melalui proses wawancara dengan stakeholder.
Responden yang dilibatkan meliputi unsur pemerintah dan non pemerintah dengan jumlah keseluruhan 15 (lima belas) orang (Tabel 5), yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan di Kota Sukabumi dengan menggunakan teknik pengambilan sampel responden secara purposive sampling.
Tujuan utama yang ingin dicapai dari metode AHP ini adalah untuk menjaring persepsi tentang prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Sementara tujuan, kriteria dan alternatif yang akan digunakan dalam menjaring pendapat stakeholders digambarkan dengan Struktur AHP seperti pada Gambar 4.
Tabel 5 Rincian Data Calon Responden
No Asal Responden Jumlah (orang)
I Unsur Pemerintah (Aparatur) 10
Bappeda 2
Unit Layanan Pengadaan 1
Administrasi Pembangunan 1 Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi 1
Dinas Perhubungan 1
Dinas Tata Ruang dan Pemukiman 1
Dinas Pendidikan 1
Kecamatan 2
II Unsur Non Pemerintah 5
Akademisi 2
Organisasi Masyarakat 1
Tokoh Masyarakat 1
Pengusaha 1
24
PEMBANGUNAN WILAYAH KOTA SUKABUMI YANG MERATA
Pengembangan Kawasan Ekonomi Peningkatan Investasi Swasta Peningkatan Pembangunan Sektor Unggulan Pemerataan Anggaran Pembangunan Pembangunan Akses Jalan Pembangunan Sarana & Moda Transportasi
Pemerataan Kesempatan Kerja Pelatihan
Keterampilan Kerja & Kewirausahaan Pengembangan
Usaha Kecil Mikro PEMERATAAN PERTUMBUHAN EKONOMI
PEMERATAAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ANTAR WILAYAH
PEMERATAAN PENDAPATAN ANTAR GOLONGAN MASYARAKAT
Gambar 4 Struktur AHP
25
4
KONDISI UMUM WILAYAH
Kondisi Fisik Geografi dan Administrasi
Kota Sukabumi secara Geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat pada
koordinat 106˚45’50” Bujur Timur dan 106˚45’10” Bujur Timur, 6˚50’44”
Lintang Selatan, di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketingiannya 584 meter di atas permukaan laut, dengan batas wilayahnya sebagai berikut:
· Sebelah Utara Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi
· Sebelah Selatan Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi
· Sebelah Barat Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi
· Sebelah Timur Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
Peta wilayah administrasi Kota Sukabumi ditampilkan pada Gambar 5 sedangkan kecamatan dan kelurahan yang berada dalam wilayah administrasi Kota Sukabumi tertera pada Tabel 6.
Gambar 5 Peta Wilayah Administrasi Kota Sukabumi
Wilayah Administratif Kota Sukabumi berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi terdiri dari 7 kecamatan dan 33 kelurahan dengan luas wilayahnya kurang lebih 4.800 ha/48 Km2. Kecamatan Lembursitu merupakan wilayah dengan luas terbesar yaitu 890 ha dan Kecamatan Citamiang adalah wilayah dengan luas terkecil yaitu 404 ha.
26
Tabel 6 Kecamatan dan Kelurahan dalam Wilayah administrasi Kota Sukabumi
No Kecamatan Luas (ha) Kelurahan
1 Cikole 708 Selabatu (6 Kelurahan) Gunungparang Kebonjati Cikole Cisarua Subangjaya 2 Citamiang 404 Cikondang (5 Kelurahan) Gedongpanjang Nanggeleng Citamiang Tipar 3 Gunungpuyuh 550 Gunungpuyuh (4 Kelurahan) Karamat Sriwedari Karangtengah 4 Warudoyong 760 Warudoyong (5 Kelurahan) Nyomplong Benteng Dayeuhluhur Sukakarya
5 Baros 611 Sudajaya Hilir
(4 Kelurahan) Jaya Mekar
Jayaraksa Baros 6 Cibeureum 877 Sindangpalay (4 Kelurahan) Limusnunggal Babakan Cibeureum Hilir 7 Lembursitu 890 Lembursitu (5 Kelurahan) Situmekar Cipanengah Cikundul Sindangsari
Luas Kota Sukabumi 4.800
Kota Sukabumi yang berjarak 120 km dari Ibukota Negara (Jakarta) atau 96 km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung) mengakibatkan pergerakan orang dan barang dari kota-kota tersebut ke Kota Sukabumi cukup tinggi. Kedekatan jarak dengan dua kota besar tersebut juga membuka kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai pusat pelayanan berkualitas di bidang perdagangan, pendidikan dan kesehatan yang merupakan visi Kota Sukabumi.
27 Posisi Kota Sukabumi dalam Konstelasi Regional Jawa Barat berada pada posisi strategis karena berada di antara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya sehingga menjadi salah satu kawasan andalan dari 8 kawasan andalan di Jawa Barat yang berpotensi untuk pengembangan agribisnis, pariwisata dan bisnis kelautan yang berwawasan lingkungan dengan memanfaatkan modal investasi untuk menghasilkan daya saing global, serta menjadi motivator untuk memacu perkembangan wilayahnya juga mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah disekitarnya (hinterland) (Bappeda, 2008).
Secara historis Kota Sukabumi dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Burgerlijk Bestuur (1914) dengan status Gemeenteraad Van Sukabumi yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang Belanda dan Eropa sebagai pengelola perkebunan di wilayah Kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Lebak. Memasuki era kemerdekaan dengan dibentuknya sistem pemerintahan daerah, Kota Sukabumi termasuk kedalam kategori kota kecil yang disebut sebagai Kotapraja, kemudian berubah menjadi Kotamadya dan terakhir menjadi Kota yang memiliki areal 1.215 Ha.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 1995, Kota Sukabumi mengalami perluasan menjadi 4.800,23 Ha yang terbagi dalam 5 kecamatan dan 33 kelurahan. Selanjutnya berdasarkan Perda Nomor 15 tahun 2000 yang ditetapkan pada tanggal 27 September 2000, wilayah administratif Kota Sukabumi mengalami pemekaran wilayah menjadi 7 kecamatan, yaitu Kecamatan Cikole, Cibeureum, Citamiang, Lembursitu, Warudoyong, Baros dan Gunung Puyuh yang terdiri dari 33 kelurahan. Dengan jarak terjauh ke balai kota yaitu Kecamatan Lembursitu Sejauh 7 KM.
Iklim dan Curah Hujan
Sepanjang tahun 2011 keadaan iklim di Kota Sukabumi cenderung basah dengan suhu udara Kota Sukabumi berkisar antara 15º-30º celsius. Berdasarkan hasil pemantauan di Stasiun Cimandiri disetiap bulan pada tahun 2011 pasti terjadi hujan dengan intensitas tertentu. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November yang mencapai 323 mm dengan jumlah hari hujan 27 hari, sementara curah hujan terendah terjadi pada bulan september dengan jumlah curah hujan 6 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 2 hari.
Hidrologi
Kondisi air tanah di wilayah Kota Sukabumi dan sekitarnya untuk kebutuhan sehari-hari secara umum cukup tersedia. Sumbernya berasal dari air tanah, mata air dan air tanah tertekan.
Sebaran akuifer dengan produktivitas tinggi terdapat di sekitar Kota Sukabumi dengan sebaran paling dominan mulai dari barat hingga timur. Di bagian utara merupakan zona air tanah dengan akuifer berproduktifitas sedang dan berpenyebaran luas. Bagian selatan merupakan zona akuifer yang produktivitasnya rendah hingga langka.
Sungai terpanjang yang melintasi Kota Sukabumi adalah Sungai Cipelang dengan panjang aliran sungai 15.814 m. Sungai yang berasal dari mata air di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango wilayah Kabupaten Sukabumi ini melintasi 3 kecamatan yang ada di Kota Sukabumi, yaitu Kecamatan Gunungpuyuh, Kecamatan Warudoyong dan Kecamatan Lembursitu.
28
Topografi dan Kemiringan Lereng
Wilayah Kota Sukabumi merupakan lereng selatan dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango, yang berada pada ketinggian 584 meter di atas permukaan laut pada bagian selatan dan 770 meter di atas permukaan laut bagian utara. Sedangkan di bagian tengah mempunyai ketinggian rata-rata 650 meter dari permukaan laut.
Bentuk bentangan alam Kota Sukabumi berupa perbukitan bergelombang dengan sudut lereng beragam (Bappeda, 2011). Wilayah Kota Sukabumi didominasi oleh kemiringan lereng 0 – 2% dengan luas mencapai 2.237,51 ha atau sekitar 45,62% dari luas kota dan kemiringan lereng 2 – 15% mencapai 2.560,14 ha atau sekitar 52,2% dari luas kota. Selanjutnya, sekitar 2% dari luas Kota Sukabumi terdiri dari wilayah yang memiliki kemiringan lereng 15% hingga kemiringan lereng > 40%.
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kota Sukabumi dibedakan menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah (lahan kering). Dengan luas wilayah sebesar 4.800 Ha, berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa menurut penggunaannya, sebesar 1.751 Ha (36,48%) digunakan untuk tanah sawah dan sisanya seluas 3.049 Ha (63,52%) merupakan tanah kering dan lain-lain.
Tabel 7 Luas Tanah per Kecamatan dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha) Kecamatan Lahan Sawah Lahan Kering Lain-lain Jumlah
Cikole 77 52 579 708 Citamiang 80 33 291 404 Gunungpuyuh 92 34 424 550 Warudoyong 365 54 341 760 Baros 299 73 240 612 Cibeureum 522 77 278 877 Lembursitu 316 89 484 889 Jumlah 1.751 412 2.637 4.800
Penggunaan lahan untuk pertanian/ lahan sawah terluas adalah wilayah Kecamatan Cibeureum yaitu sebesar 59,52% (522 Ha) dari luas wilayahnya. Sementara Kecamatan Lembursitu yang memiliki luas wilayah terbesar di Kota Sukabumi memiliki luas lahan sawah sebesar 35,54% (316 Ha) dari luas wilayahnya. Dan penggunaan lahan sawah terkecil adalah Kecamatan Cikole yang hanya memiliki 10,87% (77 Ha) dari luas wilayahnya.
Fenomena yang terjadi didaerah perkotaan menunjukkan bahwa luas lahan sawah akan semakin berkurang sejalan dengan banyaknya pembangunan di bidang perumahan, perdagangan ataupun industri sehingga fungsi lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan bukan pertanian/ lahan kering. Di Kota Sukabumi penggunaan lahan kering dan luasannya masing-masing adalah seperti yang tertera pada Tabel 8.
29 Penggunaan lahan kering di Kota Sukabumi terbesar dimanfaatkan untuk pekarangan dan rumah yaitu 69,13% (2.108 ha) dari luas lahan kering. Kecamatan Cikole adalah wilayah yang paling besar memanfaatkan lahan keringnya sebagai pekarangan dan rumah yaitu sebesar 81,14% (512 ha) dari luas lahan keringnya.
Tabel 8 Luas Lahan Kering/Bukan Sawah dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha)
Kecamatan Pekarangan + Rumah Tegal/ Kebun Lain-lain Kolam/ Tebat/ empang Jumlah Bukan Sawah Cikole 512 6 106 7 631 Citamiang 208 2 102 12 324 Gunungpuyuh 366 19 67 6 458 Warudoyong 280 12 87 16 395 Baros 179 33 91 10 313 Cibeureum 210 41 85 19 355 Lembursitu 353 44 155 21 573 Jumlah 2.108 157 693 91 3.049 Kondisi Sosial Penduduk
Secara umum mayoritas penduduk Kota Sukabumi beragama Islam, dengan jumlah warga dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 meningkat pesat pada Tahun 2012. Mayoritas penduduk Kota Sukabumi sebesar 95,64% beragama Islam, Katolik sebesar 2,21%, Protestan sebesar 1,08%, Buddha sebesar 0,02% dan Hindu sebesar 1,03%. Jumlah Rumah Peribadatan pada tahun 2012 untuk