• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI TENTANG EKARISTI,

A. Sakramen Ekaristi

2. Pengertian dan Makna Ekaristi

a. Pengertian Ekaristi

Ekaristi berakar dari bahasa Yunani eucharistia yang mengandung arti puji syukur. Sedangkan dalam bahasa Yahudi disebut berkat yang artinya doa puji syukur dan permohonan atas karya penyelamatan Allah. Istilah perayaan Ekaristi dipandang sebagai kata yang sangat tepat untuk digunakan, mengingat makna dasar dari kata tersebut yaitu puji dan syukur atas karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Dengan demikian sebelum merayakan Ekaristi, seharusnya memahami esensi dari perayaan tersebut agar dapat memberi perubahan dalam hidup (Martasudjita, 2003: 269).

Penulis berpandangan bahwa suatu keharusan bagi umat beriman Kristiani untuk mensyukuri segala kelimpahan dan pengalaman yang dirasakan dalam hidup meskipun sederhana. Selanjutnya memohon dalam penyerahan diri yang total agar Karya Penyelamatan Allah dirasakan secara nyata dalam setiap dinamika kehidupan. Syukur juga dapat diartikan sebagai pengenangan akan peristiwa yang disyukuri tersebut. Mengenang tidak hanya terbatas batas mengingat kembali tetapi juga menghidupkan dan melanjutkan karya penyelamatan Allah dengan tidak acuh terhadap sesama yang sedang dalam kesulitan. Singkatnya perayaan Ekaristi yang dirayakan tidak hanya dinilai dari kuantitas tetapi lebih pada kualitas.

Dalam buku Martasudjita yang berjudul “Sakramen-Sakramen Gereja” (2003: 269-272) dijelaskan bahwa pada zaman Gereja perdana, perayaan Ekaristi ditempatkan sebagai pusat dan puncak hidup umat beriman (Kis 2:42.44-47). Ketekunan jemaat pada masa itu mendengarkan pengajaran para rasul dan hidup dalam persekutuan untuk berdoa di Bait Allah, selanjutnya berdoa di rumah masing-masing secara bergiliran untuk makan roti bersama. Pada awalnya jemaat memahami bahwa mereka sama dengan jemaat Yahudi, sehingga mereka pun masih berdoa di Bait Allah. Namun kemudian menyadari dan memahami bahwa ternyata mereka berbeda karena dasar iman akan Yesus Kristus. Menyusul selanjutnya penganiayaan yang dilakukan oleh orang Yahudi kepada jemaat Kristen, yang semakin memperkeruh keadaan dan mendorong mereka untuk memisahkan diri dari tradisi Yahudi. Sejak saat itu perayaan Ekaristi dirayakan dengan tradisi Kristiani dan bukan tradisi Yahudi. Dengan demikian semakin jelas bahwa Ekaristi menjadi pusat dan pemersatu umat beriman. Gereja meyakini bahwa perayaan Ekaristi bukan dilaksanakan berdasarkan inisiatif dan kemauan sendiri, tetapi merupakan perintah Yesus Kristus yang tergambar nyata dalam Perjamuan Malam Terakhir (Luk 22:19; 1Kor 11:24). Meskipun Ekaristi merupakan tradisi khas Kristiani, namun dasarnya adalah dari tradisi keagamaan Yahudi. Perbedaan yang mendasar yaitu kaitannya iman akan Yesus Kristus. Namun demikian pemahaman Ekaristi perlu dibingkai dalam keseluruhan konteks hidup dan pewartaan Yesus selama hidup-Nya yang dibahas dalam tiga dasar, yaitu:

1) Perjamuan makan Yesus dengan orang-orang berdosa

Perjamuan makan Yesus dengan orang-orang berdosa memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya. Allah yang berbelas kasih ditampakkan dalam perjamuan makan ini, dengan mengundang orang-orang berdosa untuk masuk dalam persaudaraan dan persekutuan bersama-Nya (Mrk 2:16-17; Mat 9:10-13; Luk 5:29-32). Melalui Yesus Allah menampakkan pribadi yang penuh kasih kepada semua orang terutama kepada mereka yang dipandang hina atau tidak layak.

2) Perjamuan Malam Terakhir Yesus dengan para murid (Mrk 14:22-25;Mat 26:26-29; Luk 22:15-20; dan 1Kor 11:23-26)

Perjamuan Malam Terakhir merupakan momen pokok atau penting yang diadakan oleh Yesus sebagai perjamuan perpisahan dengan para murid sebelum sengsara dan wafat-Nya di kayu salib. Melalui perjamuan malam terakhir Yesus menjelaskan sengsara dan wafat di kayu salib sebagai penyerahan diri-Nya secara total demi Karya Penyelamatan manusia. Perjamuan malam terakhir bukan Ekaristi pertama yang dirayakan tetapi menjadi saat penetapan bagi perayaan Ekaristi. Pada Malam Terakhir Yesus memerintah agar momen ini dirayakan kembali sebagai bentuk pengenangan akan Dia (Luk 22:19; 1Kor 11:24).

3) Perjamuan makan dengan Yesus yang bangkit (Luk 24:13-35)

Setelah sengsara dan wafat-Nya di kayu salib Yesus mengadakan kembali perjamuan makan dengan para murid. Gambaran kedua murid Yesus yang pergi ke Emaus (Luk 24), menjadi peristiwa nyata sebagai perayaan Ekaristi yang esensinya merupakan kebersamaan dengan Kristus yang bangkit. Pengalaman

kebersamaan dengan Yesus memberi kekuatan dan semangat baru bagi para murid untuk melanjutkan Karya Keselamatan yang telah dimulai oleh Yesus Kristus.

Pemahaman terkait Ekaristi diuraikan dengan sederhana dalam Prasetyantha (2008: 82-83) bertolak dari kanon 897-898 tentang perayaan Ekaristi. Uraian tentang Ekaristi dibahas dalam tiga aspek yaitu, aspek Teologis, Yuridis dan Pastoral.

1) Aspek Teologis

Pada aspek teologis Ekaristi dipandang sebagai puncak dan pusat hidup umat Kristiani Gereja universal maupun lokal. Dengan demikian sakramen- sakramen lain, tugas-tugas pelayanan gerejani dan karya kerasulan Gereja mencapai puncaknya dalam Ekaristi. Melalui perayaan Ekaristi Kristus memberi daya kehidupan dan memperbaharui serta menguduskan iman umat kristiani (PO 5). Maka Ekaristi merupakan tindakan Gereja dan juga tindakan Kristus. Kurban, pengenangan dan perjamuan merupakan gambaran tindakan Kristus dalam Ekaristi. Perayaan Ekaristi secara nyata menampilkan pengenangan akan Karya Keselamatan Kristus bagi manusia. Selain itu melalui perayaan Ekaristi umat Kristiani dipersatukan sebagai umat Allah, untuk bersama-sama melaksanakan perintah Yesus dengan melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai bentuk pengenangan akan Karya Keselamatan-Nya. Singkatnya Ekaristi memiliki peranan penting dalam perkembangan Gereja (bdk. LG 26). Dengan merayakan Ekaristi umat Kristiani memperbaharui iman kepada Allah dan memperoleh inspirasi rohani yang digunakan sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi setiap pergulatan hidup (Prasetyantha, 2008: 82).

2) Aspek Yuridis

Di dalam Gereja, Ekaristi merupakan susunan yang harus ada dan sangat penting, karena Yesus Kristus sendiri telah lebih awal mengadakan kurban Ekaristis yang merupakan Tubuh dan Darah-Nya.

Lalu mempercayakannya kepada Gereja untuk menghadirkan dan mengenangkan kembali peristiwa penyelamatan-Nya di kayu salib. Gereja dan Ekaristi tidak dapat dipisahkan karena, melalui Ekaristi Gereja mengungkapkan iman-Nya secara total. Selain itu melalui Ekaristi ini juga kesatuan Gereja dibangun dan diperlihatkan. Maka dengan keterlibatan dalam perayaan Ekaristi berarti telah terlibat dalam komunitas Gereja seluruhnya. Dikatakan sebagai tindakan Yuridis karena selain memperlihatkan kesatuan dengan Kristus, Ekaristi juga mengungkapkan kesatuan dengan seluruh umat beriman. Karya Keselamatan Kristus menjadi kerangka dasar agar hukum kanonik dapat dipergunakan (Prasetyantha, 2008: 82-83)

3) Aspek Pastoral (kan 898)

Umat beriman dan para gembala wajib untuk menjalankan kewajibannya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap Ekaristi Mahakudus dan terhadap perayaan Ekaristi yang Kudus ini. Rasa hormat dapat ditunjukkan dengan cara berpartisipasi secara aktif dalam perayaan Ekaristi, menyambut Tubuh dan Darah Kristus secara terus-menerus dengan bersembah sujud menghormati-Nya. Kewajiban ini merupakan konsekuensi dari Ekaristi yang dipahami sebagai puncak dan pusat hidup seluruh umat beriman Kristiani. Dengan demikian semakin disadari bahwa pentingnya pemberian pemahaman mendalam oleh para

gembala umat terkait pengertian dan makna Ekaristi, serta penerapannya dalam hidup sehari-hari (Prasetyantha, 2008: 83).

Definisi Ekaristi dalam Kompendium Ketekismus Gereja Katolik

merupakan perayaan kurban Tubuh dan Darah Yesus Kristus yang ditetapkan oleh-Nya, dengan tujuan agar peristiwa pengorbanan-Nya di kayu salib tetap abadi dan selalu dikenang sampai pada saat waktu kedatangan-Nya untuk kedua kalinya dalam Kemuliaan. Pesan ini diserahkan dan dipercayakan pada Gereja untuk kembali menghadirkan dan mengenangkan kembali peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Mengenang tidak terbatas hanya ketika merayakan Ekaristi atau hanya sebatas mengingat peristiwa tersebut, tetapi disatukan dengan pergulatan hidup sehari-hari serta menerapkannya dalam tindakan. Sakramen Ekaristi adalah lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, penerimaan Kristus hingga dipenuhi rahmat dan jaminan kehidupan kekal bersama-Nya. Melalui Ekaristi umat beriman disatukan dengan bersama-sama menyantap Tubuh dan Darah-Nya, ikatan cinta kasih antar umat beriman Kristiani yang telah disatukan, bersama merayakan perjamuan Paskah yang menjadi tradisi khas Kristiani dan jaminan kebangkitan setelah kematian dari Yesus Kristus yang telah lebih dulu bangkit (KKGK, 2009, kan. 271).

Pemahaman mengenai Ekaristi selanjutnya dalam diktat “Pegangan Kuliah Sakramentologi” dijelaskan bahwa Ekaristi merupakan perayaan Iman, dengan maksud dalam perayaan Ekaristi umat beriman mengungkapkan imannya akan Karya Penyelamatan Allah yang terlaksana secara nyata oleh Yesus Kristus. Perayaan Ekaristi dibagi dalam dua bagian besar yaitu, Liturgi Sabda dan Liturgi

Ekaristi. Liturgi Ekaristi terdapat dua unsur yaitu, perayaan syukur dan perjamuan. Rasa syukur karena kebaikan Allah diungkapkan dalam bentuk perjamuan. Rasa syukur juga dapat diartikan sebagai pengenangan kembali akan peristiwa yang disyukuri.

Ungkapan syukur dalam bentuk perjamuan merupakan tradisi yang tidak asing lagi dalam masyarakat. Melalui perjamuan rasa syukur dapat dibagikan dengan sesama sehingga persekutuan dan persaudaraan semakin terjalin dengan erat (BPK. Sakramentologi, 2015: 20).

Menurut Soetomo (2002: 9) dalam tulisannya yang berjudul “Ekaristi dan Pembebasan”, memaparkan Ekaristi sebagai Ibadat dan sekaligus aksi. Ekaristi tidak hanya terbatas dan berhenti pada perayaan, tetapi juga sebagai tindakan nyata umat beriman yang diungkapkan dalam peribadatan. Aksi nyata dalam perayaan Ekaristi terbagi dalam dua arah, yaitu kepada Allah dan kepada sesama. Aksi kepada Allah dalam perayaan Ekaristi terungkap dalam pujian, doa Tobat dan doa ucapan syukur. Sedangkan aksi terhadap sesama tampak dalam tindakan pemberian ucapan selamat, pembacaan Sabda, khotbah dan berkat. Seluruh tindakan yang dilakukan dalam perayaan Liturgi tidak terlepas dari tindakan Allah sendiri yang hadir melalaui seluruh umat beriman yang terlibat dalamnya. Perkembangan Gereja perdana, memberi sumbangan baru terkait pemahaman Ekaristi sebagai Ibadat sekaligus pewartaan.

Senada dengan pernyataan di atas T. Krispurwana Cahyadi (2012:118- 119) dalam buku “Roti Hidup”, menguraikan bahwa Ekaristi adalah perayaan kehidupan, sebab Kristus merupakan pusat dan muara kehidupan, arah sejarah,

tatapan perkembangan peradaban serta sumber kehidupan sejati. Merayakan Ekaristi tidak semata-mata mengembangkan iman secara pribadi tetapi juga membangun kepedulian terhadap kehidupan bersama Oleh sebab itu Ekaristi berkaitan erat dengan semangat berbagi agar makna dan buah-buah rohani dapat terwujud secara nyata. Iman yang dirayakan dalam Ekaristi diharapkan dapat berbuah semangat berbagi, maka dengan demikian sebagai pribadi maupun kelompok umat beriman telah melayani Allah. Jika Ekaristi hanya dipandang sebagai peristiwa penebusan bagi masing-masing pribadi, maka akan sulit untuk menghidupi sikap peduli dan saling berbagi dengan sesama. Pernyataan ini sangat relevan di zaman sekarang, banyak orang ingin sesuatu yang serba cepat dan

praktis. Keberadaan mereka pada suatu tempat hanya terpusat pada “makanan”

dan tidak pada kebersamaan. Situasi kegembiraan dan percakapan tidak terlihat diantara mereka, justru sebaliknya setelah menerima pesanan berniat untuk segera menghabiskannya dan selanjutnya beranjak pergi untuk aktivitas lain. Segala sesuatu dipusatkan pada diri sendiri, kebutuhan diri dan ingin serba cepat serta praktis tanpa meluangkan waktu untuk aspek kebersamaan. Hal ini tentu jauh berbeda dari zaman dahulu, dimana budaya makan bersama merupakan kegiatan penting, tempat orang-orang saling bercakap, berbagi dan bergembira bersama. Oleh sebab itu kata Komunitas (compania) berkaitan erat dengan makan bersama (cum+ panis). Mengaitkannya dengan Perjamuan Ekaristi, dapat pula dipandang sebagai tempat “pemberhentian” dari berbagai kesibukan pekerjaan. Pemahaman ini semakin memupuk rasa indivialisme dan semakin mengaburkan rasa

kebersamaan. Jika demikian tentu tidak mungkin rahmat dan buah Ekaristi dapat dirasakan, terlebih lagi semangat untuk saling berbagi.

Dalam Direktorium Kateketik Umum Ekaristi dipandang sebagai pusat dari seluruh kehidupan Sakramental. Sakramen Ekaristi memegang peranan penting dalam perkembangan Gereja (LG 11).

Kata yang diucapkan imam dalam konsekrasi akan mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Perubahan ini disebut oleh Gereja sebagai

transubstansi. Demikian pula dengan kemanusiaan Yesus yang tidak hanya karena kuasa-Nya, tetapi karena diri sendiri yang telah dipersatukan dengan Pribadi Ilahi secara tersembunyi dan rahasia. Perayaan Ekaristi tidak hanya upacara pengenangan akan Karya Keselamatan Kristus, tetapi melalui imam Ekaristi dipertahankan sebagai kurban salib dengan tidak berdarah sepanjang masa (SC 47). Perayaan Ekaristi sebagai peristiwa pemberian diri Yesus secara utuh kepada manusia. Maka Yesus Kristus disebut sebagai roti hidup yang dijiwai oleh cinta terhadap Allah dan sesama, sehingga umat beriman semakin menjadi umat yang berkenan dihadapan Allah. pada dasarnya Ekaristi bertujuan membantu umat untuk mempersatukan mereka dengan Allah melalui doa yang sungguh- sungguh. Dengan demikian umat beriman saling mengenal dan mencintai sesama sebagai saudara dalam Kristus. Mengenal tidak hanya mengetahui nama, tempat tinggal dan profesi, tetapi lebih mendalam yaitu mengenal seluruh pergulatan hidup dan mengetahui permasalahan yang sedang dialami sesama terutama masalah yang berpotensi menghambat perkembangan iman. Saudara berarti rela berkorban dan berbagi untuk membantu menyelesaikan atau mencari solusi atas

permasalahan yang sedang dialami, serta memberikan seluruh kemampuan yang dimiliki demi membantu sesama yang sedang mengalami kesusahan (Direktorium Kateketik Umum, 1990: 58).

Kitab Hukum Kanonik mengemukakan bahwa Ekaristi merupakan Sakramen yang paling luhur, karena dalam perayaan ini Kristus dihadirkan, dikurbankan dan disantap. Ekaristi merupakan pengenangan akan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Melalui Ekaristi peristiwa penyelamatan Kristus diabadikan, dengan demikian Ekaristi menjadi puncak seluruh peribadatan dan kehidupan Kristiani. Selain itu, Ekaristi juga sebagai sumber yang menandakan dan menghasilkan kesatuan umat Allah serta menyempurnakan pembangunan Tubuh Kristus. Sakramen-Sakramen lain dan karya kerasulan gerejawi memiliki kaitan yang dekat dengan Ekaristi serta semuanya diarahkan kepadanya. Secara manusiawi menyantap Tubuh dan Darah Kristus terdengar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin manusia memakan manusia lainnya. Namun demikian bukan itu yang dimaksud, tetapi lebih pada peristiwa pengorbanan Kristus dalam sengsara dan wafat-Nya di salib demi menebus dosa manusia. Peristiwa ini yang melambangkan penyerahan dan pemberian diri Yesus Kristus secara total demi keselamatan manusia (KHK, 1995: 897, bdk Dok. Konsili Vatikan II, 2004: 47).

Penjelasan mengenai pengertian Ekaristi telah diuraikan dengan sangat jelas di atas, dalam hal ini penulis menangkap pengertian Ekaristi sebagai perayaan kehidupan sebab dalam Ekaristi, dirayakan dan dikenangkan kembali Karya Penyelamatan Kristus sebagai pusat dan puncak kehidupan umat beriman Kristiani. Mengenangkan tidak hanya terbatas pada mengingat kembali tetapi

lebih pada menghidupkan kembali peristiwa tersebut dalam tindakan nyata hidup sehari-hari. Merayakan Ekaristi memberi dampak kesatuan antar umat dalam Kristus dengan sama-sama menyantap Tubuh dan Darah-Nya. Makna kesatuan berarti terdapat kepedulian, solidaritas dan rela berkorban sebagai bentuk nyata dari rasa tersebut. Sebagaimana teladan Yesus Kristus yang rela menyerahkan dan mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan manusia.

b. Makna Sakramen Ekaristi

Martasudjita (2003: 276-280) dalam tulisannya menguraikan mengenai makna teologis Ekaristi. Perjanjian Baru membahas refleksi teologi Ekaristi dengan sangat lengkap. Penjelasan diawali dengan membahas teks-teks Ekaristi dalam Perjanjian Baru, lalu kemudian menemukan poin-poin teologis yang akan dibahas. Makna Ekaristi ditinjau dari aspek teologis Perjanjian Baru dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:

1) Ekaristi sebagai Persatuan dan Kebersamaan dengan Yesus Kristus

Yesus Kristus dalam perayaan Ekaristi merupakan Tuan rumah yang mengadakan hajatan dan sekaligus menjadi hidangan yang disantap oleh para tamu. 1Kor 11:20 menyebutkan mereka berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan yang artinya, perjamuan yang diselenggarakan oleh Tuhan. Maka dengan merayakan Ekaristi umat beriman Kristiani dipersatukan dengan Kristus. Gambaran kesatuan dan kebersamaan yang sama juga diungkapkan dalam Injil Yohanes 6:56, siapa yang memakan daging dan meminum darah Kristus akan tinggal di dalam-Nya dan Kristus di dalam dia (Martasudjita, 2003: 277).

Perayaan Ekaristi merupakan perjamuan surgawi dan perjamuan eskatologis. Jenis koinonia kedua yang dihidupi dalam Ekaristi adalah kebersamaan antar sesama anggota Gereja. Paulus berpandangan seluruh anggota Gereja berpartisipasi (koinonia) aktif sebagai satu tubuh (ekaristik) yang juga disebut sebagai Gereja (1Kor 10:16-17). Roti yang dibagikan merupakan partisipasi atau persekutuan umat beriman Kristiani dengan Kristus. Roti yang dibagikan dengan jumlah yang banyak, maka meskipun umat beriman Kristiani banyak tetapi tetap satu tubuh (Gereja), karena masing-masing orang mendapat bagian dalam roti yang satu (Martasudjita, 2003: 277).

3) Ekaristi sebagai Kehadiran Yesus dalam Rupa Roti dan Anggur (realis praesentia)

Teks-teks dalam Perjanjian Baru terkait Perjamuan Malam Terakhir, sebagai dasar ajaran realis praesentia yang diungkapkan oleh Yesus dengan

berkata, “Inilah Tubuh-Ku”(Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:24) dan

“Inilah Darah-Ku” (Mat 26:28; Mrk 14:24). Kata tubuh berasal dari bahasa

Yunani yang berarti soma. Tubuh yang dimaksud tidak hanya mengarah pada fisik, tetapi lebih mengarah pada seluruh pribadi manusia, misalnya seluruh diri, nasib dan seluruh hidupnya. Maka kata institusi yang diungkapkan Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir ingin mengidentikkan roti dengan diri-Nya dan Darah yang dimaksud Yesus dan Darah dalam Perjanjian Lama berarti sumber dan hakikat kehidupan (Im 17:11.14; Ul 12:23; Ul 19:10; Kej 9:6). Dengan demikian

kata, “Inilah Darah-Ku dan Inilah Tubuh-Ku” menunjukkan kehadiran Yesus

merasakan kebersamaan serta solidaritas terhadap hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Kehadiran Yesus secara nyata dalam rupa roti dan anggur telah diajarkan dalam teks Yohanes 6:51-59 dengan menyebut, “makan daging-Ku dan minum Darah-Ku”, (Martasudjita, 2003: 278).

4) Ekaristi sebagai Darah Perjanjian Baru

Ketika merayakan Ekaristi sering terdengar imam menyebutkan, “darah

Perjanjian Baru dan kekal…” terkait dengan pernyataan ini, terdapat dua

pemahaman berbeda tentang “darah perjanjian” dan “darah Perjanjian Baru”. Darah perjanjian hanya ditemukan dalam teks Markus dan Matius (Kel 24), mengenai darah perdamaian yang mengikat perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Maka darah Yesus dalam Perjanjian Baru sebagai pendamaian yang mendamaikan dan manusia dalam suatu ikatan baru. Kata Perjanjian Baru terdapat dalam teks Lukas dan Paulus yang terarah pada Yer 31 dengan konteks eskatologis, artinya zaman pemulihan (Perjanjian Baru) pada akhir zaman. Masa pemulihan ini telah diwujudkan oleh Kristus yang telah menghadirkan Perjanjian Baru dari zaman (Martasudjita, 2003: 278-279).

5) Ekaristi sebagai Penebusan dan Pengampunan Dosa

Ekaristi sebagai pengenangan akan wafat Yesus Kristus demi keselamatan manusia yang merupakan ciri soteriologis Ekaristi, artinya Yesus menyerahkan diri demi pengampunan dosa manusia (Luk 22:19; 1Kor 11:24; Mrk 14:24; Mat 26-28). Teks-teks tersebut merupakan pengertian dan penafsiran Gereja perdana atas wafat Yesus menurut teks Hamba Yesus (Yes 53). Sengsara dan wafat Kristus untuk menebus dosa manusia, maka Ekaristi merupakan perayaan syukur

atas karunia penebusan dan pengampunan dosa dari Allah melalui Yesus Kristus (Martasudjita, 2003: 279).

6) Ekaristi sebagai Partisipasi dalam Perjamuan Eskatologis

Perayaan Ekaristi juga dipahami sebagai perjamuan eskatologis atau perjamuan surgawi (Mrk 14:25; Mat 26:29; Luk 22:18). Selama hidup dalam pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah, sering kali Yesus mengungkapkan perjamuan eskatologis (Mat 8:11; 22:1-14). Melalui Ekaristi umat beriman Kristiani telah mencicipi perjamuan eskatologis berupa kebersamaan kekal dengan Allah (1Kor 11:26). Berdasarkan kata-kata Yesus dalam Yohanes 6:53-54 mengungkapkan bahwa Ekaristi sebagai karunia hidup kekal (Martasudjita, 2003: 279-280).

7) Ekaristi sebagai Penetapan Tuhan

Ekaristi dirayakan bukan atas dasar inisiatif manusia, tetapi merupakan penetapan dan perintah Yesus Kristus sendiri, “perbuatlah ini untuk memperingati

Aku” (Luk 22:19; 1Kor 24.25). Kata “anamnese” bukan hanya merujuk pada

mengingat secara intelektual subjektif, tetapi lebih pada menghadirkan kembali peristiwa penyelamatan Kristus secara nyata dan berdaya atau bertindak. Ekaristi tidak hanya perayaan pengenangan akan Karya Keselamatan Kristus, tetapi juga menghadirkan kembali Karya Keselamatan-Nya secara nyata (Martasudjita, 2003: 280).

8) Ekaristi sebagai Pewartaan dan Tanda Iman

Umat beriman Kristiani yang merayakan Ekaristi berarti telah mewartakan Karya Penyelamatan Kristus (1Kor 11:26). Dengan demikian mewartakan berarti

juga telah menghadirkan kembali Karya Penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus. Pewartaan Karya Penyelamatan Kristus akan diterima dengan iman. Yesus menuntut agar umat beriman Kristiani mengimani pewartaan yang mereka dengar (Yoh 6:29). Dengan demikian Ekaristi harus dirayakan dengan iman dan kepercayaan penuh oleh umat Kristiani (Martasudjita, 2003: 280).

Menurut Joseph A. Grassi (1989: 75-108), kehadiran konkret Allah yang menjelma menjadi manusia melalui Yesus Kristus, bertujuan untuk mewartakan Kabar Gembira bagi manusia terutama mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Hadir untuk membawa harapan bagi mereka yang merasa hidup namun secara rohani mati, memperbaiki dan mengubah sistem sosial serta persoalan ekonomi melalui tindakan efektif. Usaha untuk mewujudkan hal ini tidak dilakukannya seorang diri, tetapi dibantu oleh mereka yang mendedikasikan diri untuk mengikuti Yesus. Setelah kematian Yesus tradisi perjamuan makan dilanjutkan sebagai sarana untuk berkumpul bagi orang Kristen, yang saat ini disebut sebagai Ekaristi. Dalam hal ini Yesus ingin menekankan hakikat perayaan Ekaristi secara lebih luas dan konkret. Merayakan Ekaristi tidak hanya terjebak pada tata perayaan liturgi semata, tetapi lebih pada semangat berbagi kepada mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Semangat berbagi sejalan dengan makna utama Ekaristi sebagai Sakramen dan perayaan wafat serta kebangkitan Yesus. Terkait dengan Ekaristi yang memberi Roh untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan, berikut akan dipaparkan “Ekaristi sebagai pembebasan manusia dan Ekaristi dan rezeki bagi dunia yang lapar”.

Ekaristi sebagai pembebasan manusia merupakan hakikat Ekaristi sebagai tanda yang memberikan rahmat. Tanda yang menghasilkan rahmat karena Ekaristi merupakan tindakan nyata yang menggambarkan tindakan Yesus sendiri.

Dengan demikian Paulus menyatakan bahwa roti dan anggur tidak hanya

Dokumen terkait