• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.1. Pengetahuan Ibu Tentang MP-ASI

Berdasarkan tabel 4.16 diketahui bahwa sebagian besar ibu sudah mengetahui tentang makanan pendamping ASI yaitu sebesar 86,8% yang tahu dan 13,2% yang tidak tahu. Sebagian ibu juga dapat menjelaskan dengan baik pengertian dari MP-ASI yaitu sebanyak 73,9% yang menjawab MP-ASI itu adalah makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga dan sebanyak 26,1% yang menjawab makanan pengganti ASI, makanan selain ASI dan yang menjawab tidak tahu. Menurut pendapat Krisnatuti (2006) masa pertumbuhan bayi tidak hanya cukup dari ASI saja, bayi harus mendapat makanan pendamping selain ASI (MP-ASI).

Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan ibu dimana pendidikan ibu yang paling tinggi tamat SLTA sebesar 62,3 %. Dalam hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap sesuatu hal. Orang yang berpendidikan SD sudah tentu perilakunya tidak lebih baik dari orang pendidikan SLTP, dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo (1986) bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami masalah pertumbuhan bayi yang diperoleh. Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi pertumbuhan bayi. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi kemampuan ibu menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan non formal terutama melalui televisi, surat kabar, radio, dan lain-lain.

Hal ini sejalan dengan penelitian pendapat Sudiyanto dan Sekartini (2005) bahwa status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh status pendidikannya untuk menentukan kualitas pengasuhannya. Pendidikan ibu yang rendah serta corak asuh yang miskin akan stimulasi mental juga masih sering dijumpai. Semua hal tersebut menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak, terutama pada usia balita.

Sebagian ibu juga mengetahui dari umur berapa bayi boleh diberikan makanan tambahan, sebanyak 88,7% yang menjawab diatas 6 bulan dan sebanyak 11,3% yang menjawab dibawah 6 bulan dan yang tidak tahu. Ini menunjukkan pengetahuan ibu sebagian baik. Hal ini sesuai menurut pendapat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI (2000), Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan pada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Makanan pendamping ASI diberikan dari umur 6 bulan sampai dengan 24 bulan. Semakin meningkatnya umur bayi/anak, kebutuhan zat gizi semakin bertambah untuk tumbuh kembang anak, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi.

Ibu juga mengetahui jenis makanan yang pertama kali diberikan kepada bayi usia diatas 6 bulan sebanyak 52,8% menjawab makanan lunak dan sebanyak 47,2% yang menjawab makanan padat, mie dan kemiri. Sebagian ibu juga dapat dengan baik menjawab bahwa bubur susu yang merupakan makanan pendamping ASI sebanyak 73,6% menjawab benar dan 26,4 % yang menjawab gula, makanan yang dilepeh dan nasi. Hal ini sesuai menurut pendapat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI (2006). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Krisnatuti (2006) menyatakan pengetahuan masyarakat

kekurangan gizi pada bayi karena asupan gizi yang masuk ke tubuh bayi tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh bayi maka menyebabkan pertumbuhan menjadi tidak normal.

Sebagian ibu juga sudah mengetahui berapa kali makanan tambahan diberiakan dalam sehari kepada bayi yang berusia 6-8 bulan yaitu sebanyak 62,3% menjawab 1-3 kali sedangkan sebanyak 37,7% yang menjawab 4-6 kali, 7-10 kali bahkan ada yang tidak tentu, tergantung bayi menangis atau tidak. Hal ini sesuai menurut UNICEF (2009), frekuensi makanan untuk anak usia 6-8 bulan terdiri dari makanan utama 1-2 kali/hari dan camilan 1 kali/hari. Menurut hasil dari penelitian Sulastri (2002) bahwa pertumbuhan bayi yang tergolong tidak normal lebih banyak pada frekuensi makan yang tergolong tidak baik dibandingkan dengan frekuensi makan baik.

Ibu juga mengetahui tujuan mengapa bayi perlu diberikan makanan tambahan, sebanyak 63,3% menjawab karena kebutuhan bayi akan zat-zat gizi bertambah sesuai dengan pertambahan umurnya, sedangkan 37,7% ibu lagi menjawab agar anak tidak rewel dan canggung, agar anak terhindar dari penyakit dan ada yang menjawab tidak tahu. Hal ini sesuai menurut Soraya (2006), ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan bayi dikarenakan pertambahan umur bayi yang diiringi pertumbuhan dan aktivitas yang bertambah.

Ibu juga mengetahui dengan baik pengaruh apabila memberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia 6 bulan, sebanyak 84,9% menjawab anak jadi sering mencret dan pencernaannya terganggu, dan sebanyak 15,1% menjawab tidak ada pengaruhnya, anak jadi sering nangis dan tidak tahu. Dan juga alasan penundaan memberi bayi makan untuk mengurangi resiko alergi makanan, sebanyak 45 orang 84,9% menjawab ya sedangkan 15,1%

lagi menjawab tidak, mungkin dan tidak tahu. Menurut Soraya (2006), saat bayi berumur 6 bulan keatas, sistem pencernaannya sudah relatif sempurna dan siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung, pepsin, lipase, enzim amilase dan sebagainya baru akan diproduksi sempurna pada saat ia berumur 6 bulan. Dan menunda pemberian makanan padat mengurangi resiko alergi makanan pada bayi (anak).

Hal ini sesuai menurut Krisnatuiti (2006) yang mengutip pendapat Brinch menyatakan bayi memerlukan makanan tambahan setelah menginjak umur lebih dari 4-6 bulan. Apabila dibawah umur 4 bulan, seorang bayi telah diberikan makanan tambahan maka bayi akan sulit tidur pada malam hari. Selain itu, bayi pun akan mengalami gangguan-gangguan yang lainnya seperti sakit perut, mencret atau sembelit (susah buang air besar), infeksi dan alergi. Dengan demikian akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi.

Pengetahuan ibu tentang usia yang tepat bagi seorang bayi untuk proses penyapihan, sebanyak 94,3% menjawab lebih dari 24 bulan sedangkan 5,7% menjawab kurang dari 24 bulan, kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Hal ini sesuai menurut Widodo (2006) yaitu menyapih sebaiknya di mulai pada masa anak berusia di atas 2 tahun. Menyapih adalah proses berhentinya masa menyusui secara berangsur angsur atau sekaligus. Proses itu dapat disebabkan oleh si anak itu sendiri untuk berhenti menyusu atau bisa juga dari sang ibu untuk berhenti menyusui anaknya (NN, 2007). Menurut Carnain (2007), menyapih adalah proses bertahap yaitu mula-mula dengan mengurangi frekuensi pemberian ASI, sampai dengan berhentinya proses pemberian ASI.

Berdasarkan tabel 4.17 dapat diketahui bahwa sikap ibu tentang bayi yang berusia 4 bulan memerlukan makanan khusus, sebanyak (77,4%) menjawab setuju ini menunjukkan bahwa pemahaman ibu tentang diusia berapa bayi boleh diberikan makan belum mengerti. Menurut pendapat Guslihan (2004), ASI adalah makanan dan minuman terbaik dan alamiah untuk bayi. Jadi, jangan diberi makanan tambahan terlebih dahulu sebelum ASI keluar dan beri ASI saja dari umur 0-6 bulan.

Menurut Linkages (2002) pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran.

Sikap ibu terhadap bayi usia diatas 6 bulan baru boleh diberikan makanan tambahan, sebanyak 84,9% menyatakan sikap tidak setuju, hal ini menunjukkan masih ada masyarakat yang memberikan makanan tambahan hal ini terlihat dari hasil distribusi, tidak ada sikap yang menyatakan setuju 0%, dan sebanyak menyatakan sikap netral 15,1%. Hal ini sesuai pendapat Departemen Kesehatan RI (2005) yang menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan bayi antara lain disebabkan karena kekurangan gizi sejak bayi, pemberian MP-ASI terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak cukup gizinya sesuai kebutuhan bayi dan perawatan bayi yang kurang memadai.

Hal ini berkaitan dengan jumlah anak dalam keluarga. Banyaknya anak dalam keluarga mengakibatkan beratnya beban tanggung keluarga baik secara sosial (pola pengasuhan anak) maupun ekonomi yang selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Zeitlin, dkk (1990) bahwa banyak bayi yang mempunyai saudara kandung dengan jumlah yang sedikit, status gizinya dan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mempunyai saudara kandung dalam jumlah yang lebih banyak. Ibu bukan saja hanya mengurus bayinya melainkan ia juga harus mengurus anaknya yang lain dan juga mengerjakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga maka bebannya akan bertambah sehingga perhatian ibu untuk bayinya semakin berkurang menyebabkan pertumbuhan bayi tidak optimal.

Sikap ibu pada bayi berusia 0-6 bulan supaya lebih semuk, makanannya harus ditambah dengan susu formula, sebanyak 47,2% menyatakan sikap setuju, hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih banyak yang memberikan susu formula sebagai makanan tambahannya pada bayi dibawah usia 6 bulan. Dan sebanyak 15,1% tidak setuju dan 37,7% bersikap netral. Memberi makanan pada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dapat berpengaruh pada pencernaannya, sebanyak 69,8% menyatakan sikap tidak setuju, sebanyak 3 orang 5,7 % menyatakan sikap setuju dan 24,5% bersikap netral.

Menurut Linkages (2002) memberi cairan sebelum usia 6 bulan beresiko membahayakan kesehatan bayi. Mengganti ASI dengan cairan yang sedikit atau tidak bergizi, berdampak buruk pada kondisi gizi bayi, daya tahan hidupnya, pertumbuhan dan perkembangannya. Konsumsi air putih atau cairan lain meskipun dalam jumlah yang sedikit,

gizi yang sempurna untuk bayi. Penelitian menunjukkan bahwa memberi air putih sebagai tambahan cairan sebelum bayi berusia enam bulan dapat mengurangi asupan ASI hingga 11%. Pemberian air manis dalam minggu pertama usia bayi berhubungan dengan turunnya berat badan bayi yang lebih banyak dan tinggal di rumah sakit lebih lama.

Pemberian makanan selain ASI kepada bayi sebelum bayi berusia 6 bulan, sebanyak 35,8% menyatakan sikap setuju 32,1% bersikap netral dan lagi 32,1% bersikap tidak setuju. Sikap ibu terhadap penundaan pemberian makanan padat dapat mengurangi resiko alergi makanan pada bayi, sebanyak 54,7% tidak setuju, 43,4% bersikap netral dan 1,9% menyatakan sikap setuju. Menurut Dadang yang dikutip dari Kompas (2007), bahwa memberikan makanan tambahan sebelum menyusui adalah hal yang tidak benar, karena dengan memberikan makanan tambahan atau cairan pralaktal apapun dapat meningkatkan resiko bayi terkena infeksi, menurunkan keberhasilan pemberian kolostrum dan ASI eksklusif serta memperpendek lamanya menyusui.

Sikap ibu terhadap pemberian makanan pada bayi sebelum usia 6 bulan dapat membantu mengurangi rasa lapar dan tidak akan menangis, sebanyak 5,7% menjawab setuju, 28,3% bersikap netral dan sebanyak 66,0% bersikap tidak setuju. Hal ini sesuai menurut Depatemen Kesehatan RI (2006) bahwa makanan yang tepat untuk bayi usia 6-7 bulan adalah makanan lumat halus, yaitu makanan yang dihancurkan dari tepung dan tampak homogen (sama/rata). Contoh: bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring. Menurut Nakita (2007) Pengenalan MP-ASI pada bayi 6 bulan hendaknya dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara yang menyenangkan agar bayi dapat beradaptsi

dengan baik. Pemberian MP-ASI yang tepat dengan gizi yang seimbang sangat mempengaruhi tumbuh kembang bayi dan pola makannya ketika sudah besar.

Pada bayi umur 7-9 bulan diberikan lebih dari 6 kali makanan tambahan setiap hari, sebanyak 34,8% tidak setuju, 20,8% bersikap netral dan 45,3% setuju. Hal ini sesuai menurut WHO, Information for Health Professionals on Infant Feeding (2003) dengan menunda pemberian makanan padat membantu melindungi bayi dari resiko terjadinya obesitas di masa datang. Sikap ibu terhadap pemberian MP-ASI kepada bayi setelah bayi berumur 6 bulan keatas, sebanyak 71,7%, bersikap netral 26,4% dan yang setuju hanya 1,9%. Berdasarkan data UNICEF yang dikutip di koran Kompas, hanya 18 persen ibu yang memberikan ASI ekslusif selama empat hingga lima bulan. Presentasi itu jauh dari target nasional 80 persen. 18 persen itu merupakan hasil survei demografi dan kesehatan pada tahun 2007. Presentase itu meningkat dibanding tahun 2002-2003 sebesar 14 persen.

Menurut Azwar (2007), sikap yang positif terhadap sesuatu mencerminkan perilaku yang positif. Ada beberapa alasan yang menyebabkan untuk berperilaku negatif contohnya membuang sampah dalam selokan atau sungai. Sesuai dengan pendapat Notoadmodjo (2005), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu.

5.4. Tindakan Ibu Tentang MP-ASI

Berdasarkan tabel 4.18 diketahui bahwa ibu yang memberikan ASI saja (eksklusif) sampai usia 6 bulan hanya 1,9% dan yang tidak memberikan sebanyak 98,1%. Menurut Roesli Utami (2005) pemberian ASI yaitu memberikan nutrisi pada bayi berupa Air Susu Ibu tanpa memberikan makanan tambahan, cairan atau tambahan makanan lain sampai berumur 6 bulan (ASI Eksklusif). Menurut Suradi (1989) bahwa kegagalan dalam pemberian ASI disebabkan antara lain terbatasnya pengetahuan, sikap, dan keterampilan tentang cara pemberian informasi dan nasehat mengenai pemberian ASI yang baik dan benar.

Tindakan ibu dalam memberikan makanan tambahan pada bayi saat berumur 4 bulan sebanyak 30,2% menjawab ya dan sebanyak 69,8% menjawab tidak. Menurut Lingkages meneruskan pemberian ASI sangat penting bagi nutrisi dan pertumbuhan anak setelah 6 bulan pertama. ASI tetap menjadi makanan ideal untuk bayi dan balita berusia lebih dari 6 bulan. ASI adalah makanan bernutrisi dan berenergi tinggi yang mudah dicerna. ASI memiliki kandungan yang dapat membantu penyerapan nutrisi secara rata-rata, bayi berusia 6-8 bulan yang diberikan ASI mendapatkan 70% energi dari ASI. Jumlah ini berkurang menjadi sekitar 55 % pada usia 9-11 bulan, dan 40 % pada usia 12-23 bulan. ASI juga merupakan penyedia utama protein, mineral, asam lemak essensial dan faktor-faktor pelindung makanan lainnya, dan jauh lebih lembut dari pada sereal, beras bayi ataupun puree (makanan yang dihaluskan) saluran yang biasanya menjadi makanan padat pertama untuk bayi yang lebih besar.

Tindakan ibu dalam memberikan makanan tambahan kepada bayi ketika bayi berusia kurang dari 6 bulan, sebanyak 67,9% menjawab ya dan sebanyak 32,1% menjawab tidak. Hal

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Serang oleh Budiharjo (1993) yang mengungkapkan bahwa meskipun sikap masayarakat positif terhadap pemberian ASI, namun belum menunjukkan perilaku positif terhadap pemberian ASI yang baik.

Tindakan ibu dalam memberikan makanan pada bayi berusia kurang dari 6 bulan jika bayi rewel atau menangis, sebanyak 60,4% menjawab ya dan sebanyak 39,6% menjawab tidak. Menurut Soraya (2005) karena belum sempurna, sistem pencernaannya harus bekerja lebih keras untuk mengolah dan memecah makanan. Kadang anak yang menangis terus dianggap sebagai anak tidak kenyang. Padahal menangis bukan semata-mata tanda ia lapar.

Hampir setengah dari pekerjaan ibu adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) sebesar 67,9%. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan responden tentunya bervariasi, dan pada umumnya sebagai Ibu Rumah Tangga. Sebagai IRT tentunya lebih memperhatikan/merawat bayinya, dan setiap saat bertanggung jawab atas apapun yang dimakan oleh bayinya. Menurut pendapat Yuneita (2005) bahwa jumlah ibu pekerja yang ASInya masih cukup pada usia bayi 6 bulan, lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja dengan demikian pertumbuhan bayi lebih banyak gizi kurang dibandingkan gizi baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nadesul (1996) yaitu seorang wanita telah memasuki lapangan kerja, mereka dengan sendirinya mengurangi waktunya untuk mengurus rumah, anak, bahkan suaminya.

Tindakan ibu dalam memberikan susu formula pada anak usia kurang dari 6 bulan, sebanyak 62,3% menjawab ya dan sebanyak 37,7% menjawab tidak. Hal ini menurut Soraya (2005) karena gencarnya promosi produsen susu formula yang belum mengindahkan ASI eksklusif 6 bulan.

Tindakan ibu memberi makan bayi berusia kurang dari 6 bulan agar anak lebih gemuk, sebanyak 64,2% yang menjawab ya dan sebanyak 35,8% menjawab tidak. Sebanyak 66,0% menjawab ya dan 34,0% menjawab tidak. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Suradi (1993) dan Utomo (1996) yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap positif tidak selamanya akan diikuti dengan bentuk yang sesuai pula.

Tindakan ibu dalam memberikan susu formula sebagai makanan tambahan ketika memberikan ASI, sebanyak 36 orang 67,9% menjawab ya dan sebanyak 32,1% menjawab tidak. Hal ini disebabkan karena pemikiran dari ibunya sendiri yang sangat takut bayinya akan kekurangan makanan jika hanya diberi ASI saja (eksklusif).

Tindakan ibu dengan memberi makanan tambahan 1-3 kali sehari pada bayi usia diatas 6 bulan, sebanyak 84,9% menjawab ya dan 15,1% menjawab tidak. Menurut UNICEF (2009) bayi yang berumur 6-7 bulan diberi makan 1-3 kali dalam sehari. Karena pada umur segitu bayi sudah mulai bisa mengunyah dengan frekuensi dua kali makanan utama dan sekali makanan cemilan.

Tindakan ibu memberi makan bayi dengan kemiri sesaat setelah lahir, sebanyak 26,4% menjawab ya dan sebanyak 73,6% menjawab tidak. Hal ini bertentangan dengan pendapat Departemen Kesehatan RI (2006) yaitu saat anak baru lahir harus diberi kolostrum. Kolostrum (susu awal) adalah ASI yang keluar pada hari pertama setelah kelahiran bayi, berwarna kekuning-kuningan dan lebih kental.

Hal ini juga berkaitan dengan tradisi ataupun kebiasaan turun temurun dari keluarga besar. Karena begitu bayi lahir yang pertama akan mengasuhnya adalah neneknya dan

memberi makan kemiri untuk melancarkan buang air besar pertamanya. Hal ini bertentangan dengan program ASI Eksklusif dan MP-ASI yang bergizi untuk bayi.

5.5. Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Responden Terhadap Pemberian

Dokumen terkait