• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM

6. Penggembalaan ternak

Penggembalaan ternak (sapi dan kerbau) dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan di daerah perbatasan cagar alam bahkan di dalam kawasan cagar alam seperti padang penggembalaan yang diperuntukkan sebagai tempat pakan banteng. Kegiatan penggembalaan ini dilakukan masyarakat sejak tahun 2003 dengan melepasliarkan ternaknya ke dalam kawasan. Jumlah ternak yang ditemukan pada saat penelitian ± 70 ekor yang terbagi ke dalam 3 blok, yaitu 10 ekor sapi di blok Cibako, lebih dari 50 ekor sapi di blok Rancaherang dan 20 ekor kerbau di blok Cijeruk.

Alikodra (2010) menyatakan bahwa pola penggembalaan ternak akan menyebabkan kerusakan tanah akibat injakan, kerusakan vegetasi, persaingan dalam hal ini banteng dan satwa pemakan rumput lainnya dan kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari ternak, seperti infeksi cacing Fasciola spp dan

Paramphistomum spp yang merupakan telur cacing trematoda parasitik yang

banyak ditemukan pada hewan ruminansia maupun mamalia (Tiuria et al. 2008) kepada satwa banteng dan satwa lainnya atau sebaliknya sehingga pada tahun tersebut tidak ditemukan lagi jejak banteng dan hanya beberapa dari informasi masyarakat yang pernah melihat banteng berada di dalam hutan primer.

5.3 Pengelolaan Kawasan 5.3.1 Status Hukum Kawasan

SKSDA Garut (1995) menyatakan bahwa sejarah penunjukkan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada awalnya ditunjuk sebagai kawasan Suaka Margasatwa dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1959, akan tetapi pada tahun 1960 sampai saat ini statusnya berubah menjadi Cagar Alam Leuweung Sancang yang terdiri dari cagar alam darat dan laut. Fungsi dari kedua status tersebut adalah sama, yaitu sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan, akan tetapi berbeda pada objek tujuan pengelolaannya.

Tujuan pengelolaan Cagar Alam Leuweung Sancang secara umum ditujukan sebagai upaya pengawetan keanekaragaman spesies dan tipe ekosistem hutan yang berfungsi sebagai penyangga antara daratan dan lautan, terutama sebagai salah satu keterwakilan ekosistem dataran rendah yang kaya akan jenis di Pulau Jawa. Prinsip pengelolaan cagar alam dengan berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia adalah tidak diperkenankan adanya kegiatan pendayagunaan potensi dan pengembangan sarana dan prasarana. Kegiatan yang diperkenankan hanya pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan monitoring dan perlindungan kawasan.

Pengelolaan dan pengawasan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Ciamis dengan wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah Garut melalui Kepala Satuan Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sancang. Pengelolaannya dibagi ke dalam beberapa blok dengan batasan sungai, yaitu Sungai Cimerak, S. Cisanggiri, S. Cibaluk, S. Cijeruk, S. Cipanyawungan, S. Cipalawah, S. Cipangikis, S. Cikolomberan, S. Cipunaga, S. Cibako, S. Cicucakangjambe, S. Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadarum, S. Cidahon dan S. Bantarlimus.

Tujuan pengelolaan Suaka Margasatwa adalah untuk menjamin dan menjaga jenis satwa, populasi dan/atau habitatnya, sehingga dalam menunjang kegiatan pengawetan diperbolehkan melakukan pembinaan habitat dan populasi dengan beberapa bentuk kegiatan, seperti pembinaan padang rumput untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon

sumber makanan satwa, penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa asli dan pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat mempengaruhi terhadap kelestarian banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang pada saat itu.

5.3.2 Tata Batas

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa tata batas merupakan hal yang sangat esensial untuk daerah yang dilindungi dan harus jelas, baik di peta maupun dilapangan dengan tujuan agar dapat menghindari terjadinya sengketa dan bila terjadi sengketa merupakan dasar bagi penyelesaian sengketa serta sebagai pegangan yang kuat bagi para petugas untuk melakukan pengawasan, perlindungan dan penertiban. Sengketa atau tumpang tindih batas kawasan terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang akibat adanya dorongan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait, yaitu PTPN VIII Mira Mare dan pemerintah daerah setempat yang tidak sepakat atau adanya perbedaan batas kawasan menurut masing-masing pihak.

Tujuan tata batas adalah untuk memberikan batasan yang jelas antara kawasan yang dilindungi (Cagar Alam Leuweung Sancang) dengan tanah milik masyarakat dan perkebunan PTPN VIII Mira Mare sehingga pihak terkait tersebut dapat membedakan batas penggunaan lahan antara cagar alam dan tanah masyarakat. Penataan batas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain:

1. Tata batas pertama kali dilakukan sebagai tindak lanjut dari penunjukkan SK nomor 166/Um/19-59 tanggal 1 Juli 1959 dan SK nomor 9470/Su/M/1960 oleh Brigade Planologi Kehutanan pada tahun 1964. Akan tetapi tidak selesai dan tidak dibuat pal batas serta proses verbalnya. Hal demikian terulang lagi pada tahun 1968 tanpa alasan yang jelas.

2. Pengukuran dilakukan kembali oleh Direktur Pembinaan Hutan pada tahun 1970 hasilnya tidak selesai dan tidak dibuat pal batas serta proses verbalnya. 3. Pada tahun 1972 Brigade Planologi Kehutanan Jawa Barat melakukan tata

batas kembali serta dibuat proses verbalnya dan dipasang patok, tetapi pihak PTPN VIII Mira Marea tidak sepakat dengan batas tersebut, sehingga

pengukuhan belum diajukan dan persetujuan tanda-tanda batas di lapangan baru terjadi pada tanggal 5 Desember 1974.

4. Permasalahan tata batas kembali terjadi karena adanya penyerobotan kawasan cagar alam oleh masyarakat dengan alasan bahwa yang digarap adalah lahan penduduk di luar kawasan, maka pada tahun 1978 dilakukan rekonstruksi pal batas mulai pal nomor 1-63 blok Cimerak/Cihurang dan pal batas nomor 230-290 blok plang dengan luas kawasan yang telah diserobot ± 33.7910 ha. Hasil pengukuran tersebut dituangkan pada SKPT Menteri Pertanian nomor 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 7 Juni 1978 tentang penegasan kembali batas-batas Cagar Alam Leuweung Sancang. Akan tetapi pengukuran tersebut tidak pernah berhasil sampai dilakukan rekontruksi kembali pada tahun 1983, tahun 1985, tahun 1989 dan hasilnya tetap bahwa kawasan hutan telah diduduki oleh masyarakat. Jumlah pal batas yang ada di dalam kawasan adalah 385 buah dengan panjang batas ± 41. 375 km yang terdiri dari batas alam (sungai ± 4.25 km dan laut ± 19.375 km) dan batas buatan 17.75 km.

5. Permasalahan lain juga muncul dengan adanya surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Garut nomor 556/774 Diparda tanggal 31 Oktober 1987 perihal pengembangan kepariwisataan di Garut Selatan yang isinya antara lain menyetujui pola pengembangan daerah tujuan wisata dan muara sungai Cibaluk dan Cijeruk dijadikan tempat tujuan wisata yang akan segera diusulkan ke pusat. Hal ini tidak sesuai dengan status dan tujuan kawasan sebagai cagar alam.

5.3.3 Sumber Daya Manusia Pengelola

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa sumber daya manusia pengelola cagar adalah orang-orang yang diberikan bertanggung jawab dalam pengelolaan cagar. Pengelola ini diarahkan oleh status sah kawasan, kriteria perlindungan serta tujuan pengelolaan yang dinyatakan dalam rencana pengelolaan. Pengelola dalam suatu pengelolaan kawasan dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain: