• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pengujian Perangkap dan Pestisida

5. Pengujian Rodentisida di Laboratorium

Perlakuan dengan menggunakan rodentisida selain dilakukan di lapangan juga dilakukan di laboratorium (Priyambodo 2008). Bahan aktif rodentisida yang digunakan adalah brodifacoum dan bromadiolon, sedangkan tikus yang digunakan adalah tikus rumah. Pengujian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei 2008 di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Pengujian dilakukan selama satu, dua, dan tiga hari pemberian rodentisida. Untuk pembanding digunakan beras sebagai kontrol. Pada setiap perlakuan, digunakan 10 ekor tikus rumah sebagai ulangan.

Pada pengujian tersebut menunjukkan bahwa rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon lebih disukai oleh tikus rumah dibandingkan brodifacoum (Tabel 2). Pada pemberian satu, dua, dan tiga hari, rata-rata tingkat konsumsi rodentisida berbahan aktif bromadiolon lebih tinggi dibandingkan brodifacoum. Analisis ragam untuk pengujian satu hari dan dua hari tidak berbeda nyata antara bromadiolon dan brodifacoum, tetapi pada tiga hari pemberian berbeda nyata. Tabel 2 Konsumsi rodentisida pada tikus rumah (R. rattus)

Pemberian (hari)

Rata-rata konsumsi per 100 g bobot tubuh

Bromadiolon Brodifacoum Beras

1 13,82 dCD 10,42 dD 2 24,05 bcB 19,89 cBC

3 34,84 aA 25,82 bB 26,30 b B

Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa rata-rata tingkat konsumsi rodentisida bromadiolon lebih tinggi dibandingkan beras dan bodifacoum. Hal ini disebabkan aroma dan bentuk rodentisida berbahan aktif bromadiolon lebih menarik bila dibandingkan beras dan rodentisida berbahan aktif brodifacoum.

Pembahasan

Hasil Survei Hama Permukiman di Perumahan

Rumah merupakan lingkungan buatan yang dirancang oleh manusia. Penghuni rumah menginginkan agar rumah tersebut mampu memberikan rasa aman, nyaman, bahkan memberikan kenikmatan dan kesenangan. Selain itu, rumah juga dapat memberikan tempat berlindung, ketersediaan makanan, dan

 

tempat hidup bagi berbagai organisme terutama yang dapat menimbulkan gangguan bahkan dapat membahayakan bagi para penghuni rumah (Rismayadi 2008).

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa hama yang sering menjadi masalah di perumahan adalah nyamuk, tikus, kecoa, dan lalat (Gambar 8). Hama- hama tersebut cukup meresahkan masyarakat karena dapat menimbulkan berbagai penyakit dan mengganggu kenyamanan bagi anggota keluarga. Kecoa merupakan contoh organisme yang dapat hidup dan tinggal di dalam rumah. Kecoa dapat berkembang sangat cepat di dalam rumah karena memperoleh makanan dan kondisi lingkungan (kelembaban dan tempat berlindung) yang sesuai. Demikian halnya dengan organisme lain, seperti nyamuk, semut, dan tikus. Nyamuk memperoleh tempat untuk hidup, berkembang biak, dan sumber makanan yang cukup di dalam rumah. Tikus dapat memanfaatkan lubang masuk dan ruangan di dalam rumah untuk sarang sebagai tempat berlindung dengan ketersediaan makanan dan minuman yang cukup (Rismayadi 2008).

Berbagai tindakan pengendalian terhadap hama permukiman dilakukan oleh masyarakat, meskipun tindakan yang dilakukan berbeda-beda. Tidak semua masyarakat mau melakukan pengendalian dan tidak semua hama akan dikendalikan oleh masyarakat.

Menurut Sigit (2006), permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya hama permukiman dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, berdasarkan tingkat bahaya, kerugian, atau gangguan yang kemungkinan dapat ditimbulkan oleh hama-hama tersebut. Contoh terjadinya kasus demam berdarah. Kedua, berdasarkan tingkat populasi hama-hama tersebut di lingkungan permukiman. Ketiga, berdasarkan tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungannya. Dalam hal ini terkait dengan nilai ambang toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungan sekitarnya. Artinya, suatu keadaan dapat menjadi masalah bagi seseorang tetapi tidak bagi orang lain.

Keadaan ini terlihat dari adanya hama yang dikendalikan oleh masyarakat di Depok namun tidak dilakukan oleh masyarakat di Bogor dan Jakarta Utara (Gambar 9). Selain itu, perbedaan status sosial, tingkat pendidikan, budaya, dan lain-lain secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap jenis hama yang

 

dikendalikan. Oleh karena itu, kehadiran suatu organisme di dalam rumah dapat diartikan berbeda-beda. Sebagian orang tidak merasa terganggu dengan hadirnya hama-hama permukiman di rumah dalam jumlah tertentu, tetapi ada sebagian orang lain yang sama sekali tidak mempunyai toleransi terhadap hadirnya hama- hama tersebut di dalam rumahnya (zero tolerance). Setiap orang memiliki nilai ambang toleransi yang berbeda untuk menentukan organisme yang terdapat di rumah atau lingkungan permukiman dapat dikelompokan sebagai hama atau bukan hama permukiman.

Beberapa penyebab timbulnya hama diantaranya sisa makanan, sampah, lingkungan yang kotor, dan selokan (Gambar 11). Ketersediaan makanan yang berlimpah (sisa makanan manusia) serta kondisi lingkungan yang tidak bersih mendukung perkembangan populasi hama. Lokasi yang disukai oleh hama diantaranya kamar tidur, kamar mandi, dapur, tempat sampah, selokan, dan halaman rumah (Gambar 10). Lokasi-lokasi tersebut cukup mendukung untuk perkembangan hama, seperti suhu, kelembaban, serta faktor fisik lokasi tersebut, sehingga tempat tersebut sering dijadikan sarang oleh hama. Menurut Sigit (2006), hama yang sarangnya ada di luar rumah (lingkungan sekitar rumah) dan masuk ke dalam rumah hanya untuk mencari makan kemudian kembali ke sarangnya disebut hama “peridomestik”, sedangkan hama yang bersarang dan mencari makan di dalam rumah disebut hama “domestik”.

Lingkungan permukiman tempat tinggal manusia merupakan lingkungan yang kondisi fisiknya relatif stabil. Kondisi rumah yang kurang ventilasi, lembab, kotor, kurang cahaya, dan penuh dengan barang yang tidak tertata rapi sangat disukai oleh hama. Selain itu, kondisi di sekitar lingkungan permukiman yang padat penduduk, banyak sampah, selokan tidak lancar, dan banyaknya lahan kosong dengan tumbuhan liar yang tidak terpelihara dapat menjadi pemicu munculnya hama. Kondisi seperti ini terlihat pada lingkungan permukiman kumuh. Keterbatasan lokasi tempat tinggal menyebabkan terciptanya kondisi lingkungan yang tidak teratur. Hal berbeda terlihat di perumahan mewah. Pada perumahan ini kondisi rumah yang bersih, teratur, dan cukup udara membuat hama tidak terlalu menyukai tempat tersebut walaupun di perumahan mewah masih ada hama tetapi dalam batas yang tidak merugikan, seperti tidak

 

menimbulkan gangguan (menimbulkan penyakit dan merusak bagian rumah) bagi penghuni rumah.

Berbagai tindakan pengendalian telah dilakukan, diantaranya dengan sanitasi lingkungan, pengendalian secara fisik-mekanis dengan cara membunuh hama secara langsung, atau melakukan pengusiran. Berdasarkan hasil survei, masyarakat lebih menyukai melakukan pengendalian secara fisik-mekanis yaitu dengan cara membunuh secara langsung (Gambar 17). Tindakan pengendalian ini dilakukan terhadap nyamuk, kecoa, dan tikus. Masyarakat melakukan pengendalian ini karena caranya yang mudah dan murah.

Cara yang tepat untuk mengendalikan hama adalah menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan agar tidak menjadi tempat berkembang biak, mencari makan, dan berlindung bagi hama (Sigit 2006). Tindakan pengendalian ini dapat dilakukan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat masih melakukan tradisi kerja bakti atau gotong royong untuk mengendalikan hama dengan cara gropyokan, tetapi untuk masyarakat dengan aktivitas yang padat tidak dapat melakukan kegiatan tersebut. Hal ini terkait dengan kondisi sosial dan karakteristik masyarakat tersebut. Jika populasi hama sudah cukup meresahkan dan membahayakan bagi penghuni rumah, perlu dilakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida, tetapi dalam penggunaannya harus sesuai dengan aturan yang dianjurkan.

Pestisida merupakan zat kimia yang digunakan untuk mengendalikan hama. Sebagian besar pestisida digunakan dalam bidang pertanian, tetapi penggunaan pestisida tidak terbatas dalam bidang pertanian. Pestisida dapat digunakan dalam bidang kesehatan, rumah tangga, perkantoran, dan lain-lain (Dadang 2007). Meningkatnya kebutuhan manusia akan kebersihan dan kesehatan lingkungan yang terbebas dari organisme pengganggu menyebabkan meningkatnya penggunaan pestisida di rumah tangga.

Bentuk formulasi pestisida yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah cair (Gambar 12). Hal ini terkait dengan jenis hama yang umum dikendalikan oleh masyarakat. Hama yang umum dikendalikan, yaitu nyamuk, kecoa, dan tikus. Pengendalian nyamuk dan kecoa dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida cair. Masyarakat banyak menggunakan pestisida dalam

 

bentuk cair dengan alasan efektivitas, kemudahan dalam penyimpanan, kemudahan aplikasi, keamanan, dan biaya (Wirawan 2006).

Masyarakat kalangan menengah di Bogor selain menggunakan pestisida dalam bentuk cair juga banyak yang menggunakan pestisida dalam bentuk blok contohnya kapur semut yang digunakan untuk mengendalikan semut dan kecoa, sedang masyarakat kumuh lebih banyak menggunakan pestisida dalam bentuk serbuk untuk mengendalikan tikus, yaitu dengan cara dicampur dengan makanan seperti beras atau nasi. Hal ini terkait dengan jenis hama utama yang terdapat di daerah tersebut.

Tujuan pengendalian dengan menggunakan insektisida adalah agar terjadi kontak secara maksimal antara insektisida dengan hama. Tindakan aplikasi harus dilakukan secara benar sehingga diperoleh hasil yang optimal dengan tingkat resiko terhadap manusia dan hewan bukan sasaran minimal. Teknik aplikasi insektisida yang benar sangat diperlukan agar insektisida yang diaplikasikan dapat didistribusikan ke suatu ruangan secara merata. Pemilihan jenis formulasi, alat, serta cara pemakaian yang benar akan menghasilkan pengendalian yang efektif (Wirawan 2006), tetapi kondisi di lapang berbeda. Menurut hasil survei, dalam penggunaan pestisida banyak masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan pakai yang dianjurkan (Gambar 15). Masyarakat sebenarnya mengetahui dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan aturan pakai tetapi mereka beranggapan selama tidak menimbulkan resiko bagi penghuni rumah berarti tidak membahayakan.

Di Jakarta Utara, hanya sebagian kecil masyarakat kalangan mewah yang membaca aturan pakai sebelum menggunakan pestisida. Rata-rata masyarakat tidak membaca aturan pakai yang dianjurkan, baik kalangan mewah, sedang, maupun kumuh. Aturan pakai yang biasa tertera di kemasan pestisida cair, yaitu pada saat menyemprot ruangan dalam kondisi tertutup, jauh dari manusia, makanan, hewan peliharaan atau akuarium. Banyak masyarakat yang melakukan aplikasi dengan kondisi masih banyak anggota keluarga yang beraktivitas di ruangan tersebut, masih terdapat makanan yang tidak di tutup dengan rapat, dan ruangan dalam kondisi terbuka.

 

Menurut Wahyuningsih (2007) berdasarkan hasil survei di wilayah Surakarta dampak negatif penggunaan pestisida rumah tangga terhadap kesehatan masyarakat adalah sekitar 62% mengalami gangguan pernapasan, 52% merasakan batuk, 18% sakit kepala, dan 3% bintik-bintik pada kulit. Masyarakat tidak terbiasa membaca aturan pemakaian yang tertera pada label produk, hal tersebut penting untuk mengetahui informasi gambaran produk secara menyeluruh. Dari 100 responden, 59% menyatakan tidak pernah membaca aturan pakai setiap membeli pestisida rumah tangga.

Berbagai sarana informasi dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai jenis pestisida yang tepat digunakan untuk mengendalikan hama permukiman, diantaranya supplier pestisida, tetangga, teman, toko, televisi, petugas kesehatan, majalah/brosur, dan pengalaman. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa televisi merupakan sumber informasi utama bagi masyarakat. Selain itu, sebagian masyarakat masih menggunakan dasar pengalaman sebagai sumber informasi pengendalian terhadap hama permukiman (Gambar 13).

Sebagian besar masyarakat tidak memperhatikan aspek penyimpanan pestisida setelah digunakan (Gambar 18). Masyarakat meletakkan pestisida setelah digunakan di mana saja. Pestisida setelah digunakan sebaiknya disimpan di tempat khusus dan aman bagi anggota keluarga terutama anak-anak. Tempat menyimpan pestisida harus terkunci dan tidak mudah dijangkau anak-anak dan hewan peliharaan. Untuk tempat atau gudang penyimpanan pestisida dalam skala besar sebaiknya pestisida disusun sesuai dengan kelompoknya (insektisida, rodentisida, dan lain-lain). Gudang tempat penyimpanan pestisida harus dilengkapi dengan ventilasi yang baik, pasir, atau serbuk gergaji untuk menyerap pestisida yang tumpah, sapu, dan wadah kosong untuk membuang sementara kemasan pestisida sebelum dimusnahkan (Djojosumarto 2008).

Teknik pengendalian yang dilakukan untuk mengendalikan tikus yaitu dengan menggunakan lem tikus, perangkap (perangkap hidup atau mati), dan racun tikus (rodentisida). Sebagian besar masyarakat lebih menyukai menggunakan perangkap tikus dibandingkan dengan menggunakan racun tikus. Hal ini karena bila menggunakan racun tikus maka bangkai tikus yang mati tidak

 

terlihat sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap dan sulit untuk ditemukan. Masyarakat lebih memilih menggunakan lem tikus untuk mengendalikan tikus bila dibandingkan dengan perangkap hidup atau mati dengan alasan lebih mudah dalam penggunaan, praktis, harga yang terjangkau, dan mudah diperolehnya (Gambar 16). Sebagian masyarakat tidak melakukan pengendalian terhadap tikus dan hanya melakukan pengusiran. Menurut data hasil survei, tikus merupakan salah satu hama utama di permukiman, baik permukiman mewah, sedang, maupun kumuh.

Menurut Ahmad (2003), sampai saat ini belum ada terobosan baru dari para pengembang perumahan ataupun kesadaran dari para pemilik rumah di wilayah Jakarta dan sekitarnya untuk membangun rumah yang bisa bebas dari ancaman hama tikus. Padahal, sebagian besar perumahan itu dibangun di atas rawa-rawa yang selama ini menjadi salah satu habitat tikus. Banyaknya perumahan yang dibangun di atas lahan bekas rawa-rawa berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan tikus, sehingga solusi untuk mengendalikan hama tikus di permukiman sangat diperlukan. Rawa-rawa merupakan salah satu habitat tikus, dengan banyaknya perumahan yang dibangun di tempat tersebut secara tidak langsung menyediakan habitat baru bagi tikus.

Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat, tetapi tindakan pengendalian yang dilakukan berbeda-beda. Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah faktor ekonomi. Untuk masyarakat yang tinggal di perumahan mewah dengan pendapatan yang tinggi mampu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk melakukan pengendalian, bahkan ada beberapa masyarakat yang menggunakan jasa pembasmi hama. Hal berbeda terlihat pada masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan menengah ke bawah, dengan penghasilan yang seadanya hanya mampu melakukan pengendalian secara sederhana. Tindakan pengendalian yang mudah dilakukan adalah sanitasi yang merupakan tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga tidak menarik dan tidak sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama.

Berdasarkan hasil survei di tiga wilayah yang berbeda yaitu Bogor, Depok, dan Jakarta Utara dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan karakter masyarakat dalam menanggapi masalah hama permukiman. Masyarakat Bogor lebih

 

perhatian dalam menangani masalah hama permukiman dibandingkan masyarakat Depok maupun Jakarta. Hal ini kemungkinan terkait dengan masalah sosial yang ada di masyarakat. Kesibukan masyarakat Jakarta sebagai kota metropolitan secara tidak langsung membentuk karakter masyarakat yang individualis, sedangkan Depok merupakan kota yang bersebelahan langsung dengan Jakarta dan banyaknya masyarakat Jakarta yang tinggal di Depok dapat membawa pengaruh dalam pembentukan karakter masyarakat. Untuk masyarakat Bogor karakter masyarakatnya masih menyukai kerjasama dan gotong royong antar warga sehingga tingkat kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya masih tinggi.

Hasil Survei Hama Permukiman di Rumah Sakit

Survei hama permukiman untuk rumah sakit di Bogor dilakukan di tiga rumah sakit berbeda tipe yaitu tipe A, B, dan C. Ketiga tipe tersebut dibedakan berdasarkan kondisi lingkungan rumah sakit, cara pelayanan terhadap konsumen, dan harga kamar untuk rawat inap.

Rumah sakit tipe A berada di tepi jalan raya tetapi lingkungan sekitar rumah sakit masih banyak terdapat lahan kosong. Hama yang terdapat di lingkungan rumah sakit yaitu tikus, kecoa, rayap, kucing, dan nyamuk, tetapi yang menjadi hama utama adalah kecoa, kucing, dan tikus. Lokasi yang banyak terdapat hama diantaranya dapur, ruang perawatan, cafe/kantin, ruang administrasi, dan IGD. Menurut pihak rumah sakit, hama-hama tersebut berasal dari luar rumah sakit dan karena adanya makanan sehingga banyak hama yang muncul. Pihak rumah sakit telah melakukan berbagai tindakan pengendalian yang dilakukan secara mandiri maupun menggunakan jasa pest control. Teknik pengendalian yang dilakukan secara mandiri diantaranya menggunakan insektisida cair, lem tikus, perangkap hidup untuk tikus, dan racun tikus.

Rumah sakit tipe B lokasinya hampir sama dengan rumah sakit tipe A yaitu di tepi jalan raya dengan lingkungan sekitar adalah perumahan dan lahan kosong. Hama yang terdapat di rumah sakit ini adalah tikus, kecoa, nyamuk, kucing, rayap, semut, dan lalat, tetapi hama yang menjadi masalah adalah tikus, kucing, kecoa, dan rayap. Lokasi yang banyak terdapat hama diantaranya dapur, gudang,

 

tempat arsip, dan para-para. Menurut pihak rumah sakit, hama tersebut berasal dari luar rumah sakit dan karena adanya makanan. Tindakan pengendalian yang dilakukan pihak rumah sakit diantaranya menggunakan perangkap hidup untuk tikus, racun tikus, lem tikus, dan menggunakan suara ultrasonik. Selain itu, rumah sakit ini juga menggunakan jasa pest control untuk mengendalikan hama.

Kucing di rumah sakit tipe A dan B menjadi hama karena mengganggu kenyamanan pasien dan pihak rumah sakit. Meskipun populasi kucing di rumah sakit tersebut tinggi tetapi populasi tikus juga tinggi. Hal ini karena peranan kucing sebagai predator tikus cukup rendah, selain itu di sekitar rumah sakit banyak makanan yang lebih menarik bagi kucing dibandingkan dengan memangsa tikus. Kucing di rumah sakit mengganggu di ruang perawatan pasien dan dapur. Teknik pengendalian yang dilakukan adalah dengan menggunakan perangkap atau umpan kemudian kucing yang tertangkap di masukan ke dalam karung dan dibuang.

Rumah sakit tipe C berada di dalam suatu komplek perumahan, tetapi di sekitarnya masih banyak lahan kosong. Hama yang terdapat di rumah sakit ini adalah nyamuk, tikus, kecoa, semut, rayap, dan lalat. Hama yang menjadi permasalahan adalah nyamuk, tikus, dan kecoa. Lokasi yang banyak terdapat hama diantaranya dapur, halaman luar, gudang, dan kantin. Hama-hama tersebut berasal dari luar rumah sakit dan adanya makanan di rumah sakit. Rumah sakit tipe C melakukan tindakan pengendalian secara mandiri yaitu dengan menggunakan insektisida cair (spraying) dan insektisida elektrik.

Perbedaan teknik pengendalian dari ketiga rumah sakit tersebut karena perbedaan anggaran yang disediakan pihak rumah sakit untuk melakukan pengendalian terhadap hama permukiman. Rumah sakit tipe A dan B kemungkinan mempunyai anggaran yang lebih besar dibandingkan dengan rumah sakit tipe C sehingga pihak rumah sakit mampu membayar jasa pest control. Jika dilihat dari sumber munculnya hama di rumah sakit rata-rata berasal dari luar lingkungan rumah sakit dan karena adanya makanan. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan rumah sakit yaitu adanya lahan kosong di sekitar rumah sakit yang masih banyak ditumbuhi semak-semak. Selain itu, dapur merupakan tempat yang paling banyak terdapat hama, karena dapur merupakan sumber makanan.

 

Survei rumah sakit di Jakarta Utara hanya dilakukan di rumah sakit tipe A. Hama di rumah sakit ini yaitu kecoa, tikus, nyamuk, semut, lalat, sedangkan hama utamanya adalah nyamuk. Lokasi yang banyak terdapat hama diantaranya ruang perawatan, ruang pegawai, toilet, IGD, dan musola. Hama-hama tersebut diperkirakan berasal dari selokan dan sampah. Rumah sakit ini hanya mengandalkan pengendalian dari jasa pest control dan tidak melakukan pengendalian secara mandiri. Perlakuan yang dilakukan oleh pest control yaitu spraying, fogging, coldfog, dan umpan tikus.

Teknik pengendalian yang dilakukan rumah sakit di daerah Bogor dan Jakarta Utara sedikit berbeda. Rumah sakit di Bogor selain menggunakan jasa pest control masih melakukan pengendalian secara mandiri. Hal berbeda terlihat pada rumah sakit di Jakarta Utara yang mengandalkan pengendalian dari jasa pest control. Pada dasarnya semua rumah sakit ingin memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Salah satu bentuk pelayanan terbaiknya adalah dengan menciptakan lingkungan rumah sakit yang nyaman dan bebas dari gangguan hama. Oleh karena itu pihak rumah sakit sudah mengantisipasi permasalahan hama-hama tersebut dengan melakukan berbagai tindakan pengendalian.

Hasil Survei Hama Permukiman di Restoran Wilayah Bogor

Survei restoran di wilayah Bogor dibagi dalam tiga tipe yaitu tipe A, B, dan C. Perbedaan ini berdasarkan kondisi restoran, kondisi lingkungan sekitar restoran, cara penyajian dan pelayanan terhadap konsumen, dan harga makanan.

Restoran tipe A kondisinya rapi, bersih, dan teratur. Hama yang terdapat di restoran ini adalah nyamuk, lalat, dan semut. Hama-hama tersebut biasanya terdapat di ruang utama yaitu tempat makan konsumen dan tempat cuci piring. Hal ini disebabkan tersedianya makanan yang potensial memicu datangnya hama. Untuk bagian dapur, restoran A lebih menjaga kebersihannya karena menurut pemilik restoran sumber kebersihan utama adalah dari dapur karena semua makanan di restoran tersebut dibuat di dapur. Teknik pengendalian yang dilakukan oleh pemilik restoran yaitu sanitasi dan menggunakan lampu ultraviolet untuk mengendalikan serangga terbang seperti lalat dan nyamuk. Selain itu,

 

restoran tipe ini mempunyai petugas kebersihan yang selalu melakukan tugasnya setiap hari sehingga kebersihan restoran terjaga.

Restoran tipe B kondisinya sedikit kurang bersih dan rapi, sedangkan restoran tipe C kondisinya tidak bersih dan kurang rapi. Hama yang terdapat di restoran tipe B dan C adalah kecoa, nyamuk, lalat, semut, dan tikus. Lokasi yang biasanya terdapat hama-hama tersebut yaitu ruang makan konsumen, tempat cuci piring, dan dapur. Teknik pengendalian yang dilakukan restoran tipe B adalah dengan memukul langsung, sanitasi, menggunakan kipas angin, dan lem tikus. Sedangkan restoran tipe C melakukan pengendalian dengan cara memukul langsung, sanitasi, menggunakan kipas angin, perangkap tikus, lem tikus, dan racun tikus. Tindakan memukul langsung dilakukan terhadap hama seperti tikus yang terperangkap di lem tikus tetapi belum mati, juga terhadap nyamuk dan kecoa. Penggunaan kipas angin dengan tujuan mengusir nyamuk dan lalat yang terdapat di ruang makan konsumen. Perangkap tikus, lem tikus, dan racun tikus dipasang di bagian belakang restoran. Penggunaan racun tikus sebagai salah satu teknik pengendalian hanya dilakukan oleh restoran tipe C. Restoran tipe A dan B

Dokumen terkait