• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Pemenuhan Rasa Keadilan Bagi Korban, Pelaku Dan Masyarakat

V. PENUTUP

Pada bagian ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan serta berisikan saran-saran penulis yang diberikan berdasarkan penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sinkronisasi Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkron berarti pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Dan sama juga dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1)Sinkronisasi Vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah;

Di samping harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.Sinkronisasi secara vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan- undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.

2) Sinkronisasi Horisontal

Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.Sinkronisasi secara horizontal bertujuan untuk menggungkap

25

kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama.

Harmonisasi hukum ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), sub-program pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Sinkronisasi vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi suatu bidang yang sama itu sinkron.

Selain itu dalam konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui pula dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998, Pasal 2 yang berbunyi sebagaiberikut : “Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD 1945, GBHN, undang-undang yang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan

oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang- undangan”. Prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentinganindividu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara, merupakan salah satu asas materi muatan setiap peraturan perundang-undangan.23

Sinkronisasi kultural merupakan keserempakan dan keselarasa di tuntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana the administration of justice dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka keserempakan itu mengandung makna baik vertical maupun horizontal dalam kaitanya dengan hukum positif yang berlaku.Sementara menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati padangan-pandangan, sifat-sifat dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalanya system peradilan pidana.24

B. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

Tindak pidana sebelumnya pemerkosaan telah di atur didalam KUHP Pasal 285 dimana tindak pidana pemerkosaan itu dapat dijatuhi hukuman pidana penjara sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP Pasal 285 yang berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

23

http://rianbagussaputro.blogspot.co.id/2011/06/tinjauan-umum-tentang- sinkronisasi.html?m=1Di akses pada tanggal 29 November 2015 Pukul 16.53 WIB.

24

27

Pengertian anak dalam kontek ini didasarkan pada Pasal 1 ayat (1), Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Pengertian ini mengandung makna bahwa anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasaharus dijaga karena didalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak- hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Tindak pidana pemerkosaan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 81, yaitu sebagai berikut:

Pasal 81

(1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetebuhan dengannya atau dengan orang lain.

Sehingga yang dimaksudkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau geweld ialah elke uitoefening van lichamelijk kracht van niet al te geringe betekenis. Artinya, setiap penggunaaan tenaga badan yang tidak terlalu berarti atau het aanwenden van lichamelijke kracht van niet al te geringe intensitiet. Artinya setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.25

Kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu ringan, melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuah alat, sehingga tidak diperlukan adanya pemaikan tenaga badan yang kuat, misalnya menembak dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu harus diartikan sebagai suatu ancaman, yang apabila diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam.26Suatu perbuatan mengadakan hubungan kelamin itu tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculation seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukan penisnya kedalam vagina seorang wanita.27

C. Pemidanaan

Kata pemidanaan berasal dari kata pidana. Penggunaan istilah pidana, orang awam telah memahami makna tersebut sebagai hukuman. Istilah pemidanaan disamakan dengan penghukuman yang di dalamnya juga meliputi makna

25

P.A.F Lamintang, Delik-Delik Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012. hlm. 98.

26

Ibid.,hlm. 99.

27Ibid.,

29

penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Dalam RUU KUHP, istilah pidana dan pemidanaan tidak dijelaskan perbedaannya, namun dapat dirasakan adanya perbedaan antara keduanya. Penggunaan istilah pemidanaan digunakan terkait dengan proses.28 Dalam Pasal 55 dan Pasal 56 RUU KUHP, istilah pemidanaan digunakan untuk menjelaskan makna yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.

Dalam Pasal 66, 67, dan 68 RUU KUHP, istilah pidana digunakan untuk penentuan jenis-jenis pidana yang meliputi jenis pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial, serta pidana mati (sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif), termasuk pidana tambahan. Pemidanaan mempunyai makna yang lebih umum atau luas dibandingkan dengan makna pidana yang hanya berkisar pada jenis hukuman. Menurut Sudarto, pemidanaan itu sendiri adalah sinonim dengan istilah penghukuman. Lebih lengkapnya sebagai berikut:29

Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana sana, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan

28 Dalam Penjelasan Pasal 55 RKUHP (2015) disebutkan bahwa “pemidanaan merupakan

suatu proses”. Lebih lanjut dikatakan bahwa “Sebelum proses berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu”.

29

pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.

Tujuan dari pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.Dalam arti luasnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, serta menciptakan keadilan.Berdasarkan hal tersebut maka untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, tidak akan terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana dikenal teori-teori yang berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan apa tujuannya.

Mengenai teori pemidanaan dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. Teori Absolut

Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri ataupun pihak yang dirugikan dan menjadi korban.Teori ini bersifat primitif, tetapi kadang kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern.Pendekatan teori absolut meletakkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya dia menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya.Dari sini terlihat bahwa dasar utama pendekatan absolut adalah balas dendam terhadap pelaku, atau dengan kata lain, dasar pembenaran dari tindak pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.30

30

31

2. Teori Relatif

Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi kepada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kehajatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.Semua orientasi pemidanaan tersebut adalah dalam rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat.31

3. Teori Gabungan

Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif.Disamping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Anak

Hukum perlindungan anak merupkan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak, hukum perlindungan anak berupa: hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan agar anak dapat benar-benar tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.32

31

Ibid.,hlm. 191.

32

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung, Refika Aditama, 2014, hlm. 52.

Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosian dan budaya.33

Beberapa rumusan tentang hukum perlindungan anak sebagai berikut:

a. Hukum perlindungan anak adalah suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat dari proporsi yang sebenarnya secara dimensional. Hukum perlindungan anak itu beraspek mental, fisik dan sosial (hukum). Hal ini berarti, pemahaman dan penerapan secara integrative.

b. Hukum perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi antar pihak-pihak tertentu, akibat ada suatu interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi perlu diteliti, difahami, dan dihayati yang terlibat pada eksistensi Hukum Perlindungan Anak tersebut antara lainindividu dan lembaga lembaga sosial. Hukum perlindungan anak merupakan suatu permasalahan yang sulit dan rumit.

c. Hukum perlindungan anak merupakan suatu tindakan individu yang dipengaruhi unsur-unsur sosial tertentu atau masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (kepentingan dapat menjadi motifasi), lembaga-lembaga sosial, (keluarga, sekolah, pesantren, pemerintah, dan sebagainya), nilai-nilai sosial norma (hukum, status, peran dan sebagainya). Memahami dan menghayati secara tepat sebab-sebab orang membuat hukum perlindungan anak sebagai

33

33

suatu tindakan individu (sendiri-sendiri atau bersama-sama), dipahami unsur- unsur sosial tersebut.

d. Hukum perlindungan anak dapat menimbulkan permasalahan hukum (yuridis) yang mempunyai akibat hukum yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan hukum.

e. Hukum perlindungan anak tidak dapat melindungi anak, karena hukum hanya merupakan alat atau sarana yang digunakan sebagai dasar atau pedoman orang yang melindungi anak. Jadi yang penting disini adalah para pembuat undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak. Sering diajarkan atau ditafsirkan salah bahwa hukum itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu yang membuat orang salah harap pada hukum dan mengangap hukum itu selalu benar, tidak boleh dikoreksi, diperbaharui dan sebagainya.

f. Hukum perlindungan anak ada dalam berbagai bidang hukum, karena kepentingan anak ada dalam berbagai bidang kehidupan keluaga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.34

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dilaksanakan melalui upaya rehabilitas, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial dan pemberian aksesibilitas untuk

34

mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).35

35

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan oleh penulis dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat dan memperhatikan asas- asas, seperti kepastian dan keadilan yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah denganUndang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Anak yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yaitu dalam halperbandingan terhadap pemidanaan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan agar mendapat gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.36

36

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan yang diteliti. Peneliti melakukan wawancara dengan aparat penegak hukum yakni, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lembaga Swadaya Masyarakat serta akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk mendapat gambaran tentang bagaimana perbandingan terhadap pemidanaan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.37

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden.38Sedangkan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang didapat atau diperoleh penulis berdasarkan pengamatan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.Data primer ini diambil berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang yang menangani dan memutus perkara anak, lembaga swadaya

37

Ibid. Hlm.10.

38Ibid.

37

masyarakat, dosen pada bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka, terdiri dari: a. Bahan hukum primer, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak.

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan-penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer seperti literatur-literatur ilmu hukum, makalah-makalah, putusan pengadilan, dan tulisan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang bersumber dari kamus-kamus, kamus besar bahasa Indonesia, serta bersumber dari bahan-bahan yang didapat melalui internet.

C. Penentuan Narasumber 1. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi. Adapun yang menjadi narasumber yang akan diwawancarai adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 Orang 2. Pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat

Advokasi Anak Lampung : 2 Orang

3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 2 Orang +

Total Jumlah Responden : 5 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan: a. Studi Kepustakaan (library research)

Untuk memperoleh sumber-sumber data sekunder digunakanlah studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat atau mengutip dari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dan dokumen- dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

b. Studi Lapangan (field research)

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara untuk mengumpulkandan mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji.Wawancara ditunjukan kepada Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Berdasarkan data yang telah terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

39

a. Seleksi Data

Seleksi data dilakukan agar mengetahui apakah data yang diperlukan telah mencakup atau belum dan adat tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permaslaahan yang dibahas.

b. Klasifikasi Data

Mengelompokan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya agar mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi Data

Menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan terang dalam pokok bahasan. Sehingga akhirnya akan menuju pada suatu kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode induktif yaitu suatu cara penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum.

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Sinkronisasi Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anakmaka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang diubah menjadi undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perindungan Anak disebabkan olehpemberlakuan undang-undang yang lama belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidanapenjatuhan sanksi pidana oleh hakim selama ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 efek jera, rasa takut kepada masyarakat dimana ancaman pidana minimal yang diberikan hanya 3 tahun kurungan penjara, dirasa kurang cukup, hal ini dibuktikan melalui hasil data yang diperoleh mengenai Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 setiap tahunya semakin bertambah kasus pemerkosaan terhadap anak.Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku kurang lebih 12 (duabelas) tahun akhirnya diubah denganPasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

64

2. Pemberlakuan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak telah memenuhi rasa keadilan, karena sudah mendukung hak-hak dan kewajiban anak yang harus dilindungi, yang mana hak tersebut merupakan

Dokumen terkait