• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian perkotaan Pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di DKI Jakarta dilakukan

DAFTAR LAMPIRAN

III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.4. Teknik Analisis Data

3.4.4. Penyusunan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian perkotaan Pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di DKI Jakarta dilakukan

dengan pendekatan sistem berdasarkan kondisi aktual (Adiyoga et al. 2002). Penyusunan model dengan pendekatan sistem pada dasarnya adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Metodologi sistem menurut Marimin (2004) pada prinsipnya melalui enam tahapan analisis, meliputi: analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, diterminasi dari realisasi fisik, sosial politik dan penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem dimulai dari analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi dan implementasi sistem pengembangan pertanian perkotaan.

3.4.4.1. Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Hartrisari 2007). Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders). Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan terlihat pada Tabel 5. Langkah awal dalam analisis kebutuhan adalah mendata para stakeholder yang terkait dalam penyusunan model yang akan dikaji. Setelah stakeholder teridentifikasi, kemudian dianalisis kebutuhan masing-masing

stakeholder dengan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) dan wawancara dengan para pakar untuk mendapatkan faktor dominan kebutuhan stakeholders

pertanian perkotaan wilayah DKI Jakarta. 3.4.4.2. Formulasi Masalah

Adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda di antara peran stakeholder,

akan menimbulkan conflict of interest dalam sistem. Secara umum kebutuhan yang saling kontradiktif dapat dikenali berdasarkan dua hal, yaitu kelangkaan sumberdaya (lack of resources) dan perbedaan kepentingan (conflict of interest).

Kebutuhan yang sinergis bagi semua pelaku sistem tidak akan menimbulkan permasalahan untuk pencapaian tujuan sistem, karena semua pelaku menginginkan kebutuhan tersebut. Untuk mengidentifikasi kebutuhan stakeholder

diperlukan analisis formulasi masalah model pengembangan pertanian perkotaan.

Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta terlihat pada Tabel 5.

3.4.4.3. Identifikasi Sistem

Sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartisari 2007). Tahap identifikasi sistem mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara ”pernyataan kebutuhan” dengan ”pernyataan masalah” yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram input-output menggambarkan hubungan antara

output yang akan dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Diagram input-output sering disebut diagram kotak gelap (black box), karena diagram ini tidak menjelaskan bagaimana proses yang

akan dialami input menjadi output yang diinginkan. Diagram input-output model pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta terlihat pada Gambar 7.

Tabel 5. Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta.

No. Stakeholder Kebutuhan

1. Masyarakat umum

 Penataan/estetika lingkungan hidup masyarakat tempat domisili.

 Menambah hasil masyarakat. 2. Masyarakat

Petani

 Tersedianya sarana produksi yang memadai  Tersedianya modal usaha tani

 Bencana ekologis minimalkan (penurunan muka tanah, kekeringan dan kebakaran)

 Produktivitas lahan dan ruang tinggi  Pendapatan meningkat

 Kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai  Kelembagaan petani berjalan baik

 Pemasaran hasil lancar dengan harga terjamin  Kondisi infrastruktur dan estetika baik  Kearifan ekologi terjaga

3. Pemerintah Pusat dan daerah (BAPPEDA, Diskeltan, BPN, BLHD, Diskop, Diskes,

Disnaker)

 Penyusunan rencana tata ruang wilayah

 Kebijakan dan implementasi pertanian perkotaan  Sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta sosial

memadai

 Konflik sosial dan politik tidak terjadi  Pendapatan masyarakat dan PAD meningkat  Penyerapan tenaga kerja

 Tidak terjadi degradasi lahan/ruang  Mengurangi pencemaran lingkungan  Menambah ruang terbuka hijau (RTH)  Jaminan pemasaran hasil

4. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati lingkungan hidup

 Kontrol terhadap implementasi pembangunan serta umpan balik

 Tidak terjadi konflik sosial

 Kegiatan pertanian sesuai dengan peraturan  Penyerapan tenaga kerja

 Tidak terjadi degradasi dan pencemaran lahan  Kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai 5. Akademisi dan

penelitian/ pengkajian

 Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  Penelitian/pengkajian pertanian perkotaan terjamin 6. Lembaga

Keuangan

 Profitabilitas usaha terjamin  Pengembalian kredit tepat waktu

7. Perusahaan Saprodi

 Tersedianya tenaga kerja terampil

 Kondisi sosial, politik dan keamanan kondusif  Tersedianya pupuk organik

 Keuntungan layak dan berkelanjutan

Gambar 7. Diagram input-output model pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta.

3.4.4.4. Pemodelan Sistem

Pemodelan sistem merupakan perumusan masalah ke dalam bentuk pernyataan yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah ditentukan dalam bentuk kontekstual. Dalam permodelan, beberapa variabel yang berada di luar sistem dapat mempengaruhi kinerja sistem, sehingga dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan sebagai variabel model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan secara kualitatif. Tahapan-

Model Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan

Input Terkontrol

 Luas lahan dan ruang usaha tani (pekarangan, dan kebun spesifik)  Pengembangan

komoditas dan teknologi ramah lingkungan (komod. ekon.penting dan tek.pertanian)  Kelembagaan pertanian (kerjasama stakeholders, penyuluhan, kel.tani, keuangan dan insentif dan kompensasi).

Input Tak Terkontrol

 Jumlah penduduk  Kondisi/konversi lahan  Kondisi iklim  Jumlah industri  Jumlah tranportasi  Pertumbuhan penduduk Input Lingkungan  Kebijakan pemerintah  Kondisi ekonomi global Output Yang Diharapkan  Kelestarian lingkungan  Menambah penghasilan  RTH dapat dipertahankan

Output Yang Tidak Diharapkan  Konflik Sosial  Konversi lahan  Pengembangan Teknologi Tidak Ramah Lingkungan Manajemen Pengendalian

tahapan analisis dalam merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 9.

3.4.4.5. Validasi Model dan Uji Ketetapan MDS

Uji validitas model dilakukan dengan analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95% (Kavanagh dan Pitcher 2004). Pengecekan secara dimensional (satuan ukuran) terhadap variabel-variabel model, meliputi leverage dan konstanta terhadap data sekunder, mengetahui ketepatan penggunaan metode integrasi dan

time step yang dipilih, serta meminta stakeholder untuk mengevaluasi model yang dibuat. Validasi model merupakan suatu usaha untuk menyimpulkan apakah model sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno 2003).

Uji statistik yang dipakai untuk mengukur penyimpangan antara output

simulasi dengan data aktual, di antaranya: Mean Absolut Deviation (MAD), Mean Square Error (MSE), Mean Absolut Percentage Error (MAPE), dimana masing- masing uji statistik di atas mengukur keakuratan output simulasi, dengan kriteria ketepatan model adalah : MAPE < 5% (sangat tepat), 5% < MAP < 10% (tepat) dan MAPE > 10% (tidak tepat), Mean Percentage Error (MPE) dapat menentukan apakah metode peramalan mengandung bias (Hauke et al. 2001).

3.4.4.6. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas bertujuan melihat sensitivitas parameter, faktor dan hubungan antar faktor dalam model yang dikaji. Ada dua kategori analisis sensitivitas yang dibedakan dari intervensinya, yaitu intervensi fungsional dan intervensi struktural (Muhammadi et al. 2001).Kriteria yang dipakai untuk menilai performa sensitivitas dalam penelitian ini mengikuti kriteria seperti yang dikemukakan Maani dan Cavana (2000). Parameter dikatakan sensitif bila parameter diubah sebesar 10% dan dampaknya terhadap kinerja sistem dapat mencapai 5-14%, sangat sensitif (very sensitive) bila dampaknya terhadap kinerja model berkisar 15-34% dan sangat-sangat sensitif (highly sensitive) bila dampaknya terhadap kinerja model lebih besar dari 35%. Parameter yang memiliki sensitivitas tinggi merupakan parameter penting dalam menentukan skenario kebijakan pengembangan pertanian perkotaan.