• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Faktor-faktor yag Mempengaruhi Disparitas Pembangunan Wilayah

2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian

Pemerintah mempunyai peranan penting dalam setiap sistem perekonomian sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi pemerintah meliputi tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi dilakukan pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa,

kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor yang berubah dalam perekonomian, antara lain perubahan permintaan akan barang publik, perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi.

Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah:

1. Model Rostow dan Musgrave

Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu

pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

3. Teori Peacock dan Wiseman

Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran

pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi titik tolak perubahan paradigma peranan pemerintah yang sebelumnya dilakukan secara sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization), Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization), Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah

tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah pusat (Sukirno, 1995). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah.

Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga daerah benar-benar otonom. Namun kemampuan daerah yang berbeda-beda menyebabkan pemerintah perlu melakukan mekanisme transfer melalui dana perimbangan agar terjadi pemerataan kemampuan fiskal di setiap daerah. Dana Perimbangan Keuangan Pusat - Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant). Bantuan umum meliputi DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil), yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Tujuan utama DAU adalah memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin. Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi disparitas pusat – daerah (vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis.