• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perang Melawan Imperialisme Barat

BAB II SITUASI POLITIK-BUDAYA DI INDONESIA 1960-1965:

B. Perang Melawan Imperialisme Barat

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin, musik Barat menjadi fenomena di Indonesia. Lagu-lagu rock’n’roll masuk dan mempengaruhi generasi muda. Musik-musik tersebut dikenal melalui media yang pada saat itu menjadi pintu masuk bagi budaya Barat. Soekarno, menganggap musik Barat adalah lambang dari kerusakan moral dan dapat merusak semangat kerakyatan bangsa Indonesia. Pemerintah memiliki pandangan bahwa musik Barat dapat menimbulkan kebiasaan buruk bagi generasi muda Indonesia. Tidak hanya

40

Berikut isi beberapa komentar dalam surat pembaca tersebut,

1. “...dengan pukulan drum jang berdentam-dentam dan teriakan histeris jang mengejutkan. Bukan drum band sembarang drum, bukan teriakan sembarang teriakan. Tapi

drum band dari ,,Koes Bersaudara’’ dan teriakan histeris dari putera-putera Indonesia jangtelah meninggalkan kepribadiannja, lalu bertelandjang bulat memamerkan kebandelan

dan ketidakatjuhan terhadap tanah air dengan Revolusi dan kepribadiannja jang tinggi.”

2. “Sungguh mati saja kaget musik Beatles bersaudara, “musik” lutut jang djahanam itu, kok muntjul dipintu gerbang Indonesia. Apakah kiranja kutukan dan

kemarahan Bung Karno terhadap “musik” brengsek ini tidak berlaku untuk teritorial international airport.”

3. “Tentang ,,Koes Bersaudara’’ rupanja saudara ini tak kapok-kapok. Dilarang RRI, dilarang di Gelora Bung Karno, lha tau-tau muncul di Kemajoran.”ibid.

pemerintah, bahkan Pramudya Ananta Toer, sastrawan Lekra yang paling berpengaruh, terang-terangan mengatakan bahwa musik Barat hanya bercerita tentang seks.41

Pendapat Pramudya tersebut menunjukkan kekhawatiran akan potensi musik Barat yang dapat merusak moral generasi muda Indonesia. Bukan hanya Pramudya, kerusakan moral juga menjadi kekhawatiran bagi pemerintah. Anggapan yang muncul pada saat itu adalah, budaya populer yang berasal dari Barat akan mencerabut anak-anak bangsa dari budaya asli mereka. Kemudian pemerintah melarang dan membatasi distribusi produk-produk budaya Barat ke Indonesia. Larangan tersebut merupakan upaya melindungi budaya rakyat dari pengaruh budaya populer Barat yang dianggap bersifat permukaan, sentimental, sesaat, menyesatkan, mengorbankan nilai-nilai keseriusan, intelektualitas, penghargaan atas waktu dan autentisitas.42

Penguasa Indonesia pada tahun 1960-1965 mendukung teori budaya massa yang mengkritisi tampilan budaya populer. Namun, ironis ketika radio milik Angkatan Udara justru menjadi media yang identik dengan lagu-lagu Amerika Serikat dan RRI, radio milik pemerintah, justru merilis album pertama Koes

41

Steven Farram menuliskan dalam bukunya Wage War Againts Beatles Music, bahwa Pramudya menilai musik-musik Barat sebagai, “. . .were all about sex and suggested that as long as the male and female subjects of the songs kissed each other, or even better climbed into bed, all their problems would be solved.” Steven Farram, 2007,

op.cit., hlm. 253.

42

Bersaudara. Inilah yang dikatakan oleh Dominic Strinati sebagai kegagalan teori budaya massa dalam menjelaskan budaya massa43.

Kegagalan tesebut dapat dilihat pada pribadi Soekarno yang sangat keras terhadap budaya populer namun tidak menyadari bahwa di dalam lenso, tarian khas Indonesia Timur yang sangat digemarinya, memiliki ritme yang sama dengan tarian yang dilarangnya, Cha Cha!44. Ketika Soekarno tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya dengan lenso hanyalah mengganti istilah dari cha-cha, tarian yang dilarangnya, tidak satupun dari pemerintah yang mengkritisi. Padahal, jelas sekali bahwa permainan musik dengan irama yang sama selama berjam-jam juga merupakan inti dari tarian cha-cha. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan bahwa Soekarno juga tidak menyadari bahwa sebenarnya musik rock’n’roll berasal dari musik blues yang merupakan musik perjuangan budak-budak Afrika di Amerika. Sejarah mencatat, bahwa, pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung Soekarno memiliki perhatian yang besar terhadap negara-negara di Afrika.

43

Dominic Strinati menyatakan bahwa, “Teori budaya massa menunjukkan dan mengkritisi tampilan budaya massa tapi gagal menjelaskannya. Dalam pengertian ini, teori budaya massa membatasi diri untuk tidak sepenuhnya memahami sesuatu yang diserangnya....teori tersebut agaknya mengimplikasikan suatu kemarahan pada pihak kelompok-kelompok tertentu terhadap berbagai macam ancaman yang ditimbulkan oleh budaya massa dan demokrasi massa – budaya populer, pendidikan, kemahirwacaan, dan sebagainya –terhadap peran mereka sebagai pendidik budaya dan penilai selera.”ibid., hlm. 84.

44 Sesuai dengan yang ditulis oleh Steven Farram, “

Another anomaly was that Soekarno criticised Indonesians who enjoyed foreign dance music, such as the cha-cha, and recommended instead that they listen to Indonesian dance music, such as his beloved lenso,

but Soekarno’s long-term adjutant, who was often called on to lead his ad hoc dance bands,

complained that Soekarno’s obsession with the lenso meant that the band had to perform for

two or three hours with the same rhythm: cha-cha!. . Soekarno seems to have been unaware that the music for lenso dancing could be considered similar to that of cha-cha, which he had so often condemned..”Steven Farram, 2007, op.cit., hlm. 250.

Secara teoritis, budaya populer tidak dapat dipisahkan dari budaya massa. Keduanya saling berhubungan melalui kesamaan pada kecenderungannya,45 dan, budaya populer dilahirkan oleh budaya massa.46 Budaya massa inilah yang bersama- sama dengan budaya populer mengancam eksistensi budaya rakyat. Ancaman tersebut datang dari sebuah kekuatan revolusioner dinamis47.

Pada era pemerintah tengah bersitegang dengan Barat, Koes Bersaudara terang-terangan mengadopsi musik Barat ke dalam gaya bermusik mereka. Tidak perlu dipertimbangkan lagi, bahwa Koes Bersaudara dianggap sebagai wakil dari budaya imperialis Barat karena dapat merusak, menjerumuskan, dan merusak moral bangsa Indonesia.

Disadari atau tidak oleh Koes Bersaudara, pengaruh Barat dalam lagu-lagu mereka telah dianggap mengancam perjuangan pemerintah dalam membentuk suatu kebudayaan nasional. Pemerintah bereaksi terhadap ancaman yang muncul dari Koes Bersaudara dan budaya populer pada umumnya. Reaksi keras dari pemerintah cukup

45

McDonald mengatakan bahwa budaya massa adalah “kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, lebih censerung pada pengembaraan fantasi

tanpa beban dan pelarian” McDonald dalam Dominic Strinati, 2010, op.cit., hlm. 41.

46

Graeme Burton mengatakan bahwa produksi massa telah menghasilkan budaya massa yang kemudian menjadi budaya populer. Graeme Burton, 2008, Media dan Budaya Populer, Yogyakarta.

47

Berikut adalah penjelasan Mc Donald tentang budaya massa sebagai kekuatan revolusioner dinamis yang dikutip oleh Dominic Strinati, “sebuah kekuatan

revolusioner dinamis, yang menghancurkan batasan kuno kelas, tradisi selera, dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai budaya homogen.... Dengan demikian, budaya massa menghancurkan segala nilai, karena penilaian mengimplikasikan adanya diskriminasi/pembedaan. Budaya massa teramat sangat demokratis: ia secara mutlak menolak

untuk mendiskriminasikan atas, ataupun antara, apapun maupun siapapun.” Dominic Strinati, 2010, op.cit., hlm. 44.

beralasan karena, memang, budaya populer yang kemudian menjadi budaya massa, merupakan suatu produksi massal komoditas kultural. Sementara itu, pemerintah mengetahui bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang diidentifikasikan sebagai pusat dari budaya massa. Selain mengancam kebudayaan nasional, budaya populer juga mengancam eksistensi kebudayaan rakyat.48

Soekarno, memiliki pemikiran yang sama dengan, Hoggart, yang menganggap bahwa budaya populer sebagai bahaya yang mengancam generasi muda.49 Perbedaannya, menurut Soekarno budaya populer adalah budaya yang berpotensi melemahkan revolusi, sedangkan menurut Hoggart budaya populer ialah proses Amerikanisasi yang dapat mencerabut kelas pekerja Inggris dari identitas asli mereka. Selain itu, tidak jelas juga, apakah Soekarno benar-benar ingin menciptakan suatu budaya nasional dengan menggiring masuk budaya rakyat ke dalam politik.

Jika Hoggart melawan budaya populer Amerika untuk melindungi kaum kelas pekerja secara khusus, sementara Soekarno melawan untuk melindungi kebudayaan rakyat secara menyeluruh. Namun, baik Soekarno ataupun para pemikir

48

Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Strinati,“. . .budaya massa dianggap muncul dari produksi massal dan konsumsi komoditas kultural, maka relatif mudah untuk mengidentifikasi Amerika sebagai pusat budaya massa karena masyarakat kapitalis yang sangat erat kaitannya dengan proses-proses tersebut. . .hal ini menggambarkan ancaman bukan hanya terhadap standar-standar estetis dan nilai-nilai kultural, melainkan juga terhadap

budaya nasional itu sendiri.” Dominic Strinati, 2010, op.cit., hlm. 51-52.

49

Pemikiran Soekarno mengenai budaya populer Amerika lebih serupa dengan Hoggart, yang menganggap bahwa, “ “seni-seni massa baru” seperti “novel-novel seks dan

kekerasan”, “majalah ‘cabul’”, “lagu-lagu pop komersial” dan “gramofon”, yang membuat

kaum kelas pekerja kehilangan dirinya dan budaya mereka dalam dunia “candy-floss” yang tanpa berpikir dan remeh, “kegemilangan” “barbarisme yang cemerlang”, sebuah dunia yang dibawa ke hadapan mereka dari seberang Samudera Atlantik.” ibid., hlm. 61.

anti-Amerika Serikat lainnya, menurut Hebdige, sedang mengalami sebuah ketakutan atas Amerikanisasi pasca perang Dunia II.50

Potongan rambut a la Beatles dan lagu rock’n’roll yang merupakan ciri khas dari Koes Bersaudara merupakan contoh dari Amerikanisasi. Di Inggris, salah satu ketakutan akan berkembangnya budaya populer ialah keseragaman dan homogenitas akan menggantikan budaya nasional yang dinilai sangat kaya. Untuk permasalahan yang terjadi di Indonesia, memang keseragaman dan homogenitas tidak mendapatkan perhatian yang besar seperti halnya di Inggris. Namun, ketakutan akan tergantikannya budaya rakyat dengan budaya populer Amerika Serikat juga terjadi seperti halnya di Inggris.

Ketakutan akan hilangnya eksistensi kebudayaan rakyat yang beragam oleh budaya populer, memberikan kesan budaya populer adalah budaya yang seragam dan homogen. Kesan tersebut belum tentu benar karena beberapa pandangan menolak homogenitas yang disematkan kepada budaya populer.51

50 Berikut pendapat Hebdige tentang ketakutan terhadap Amerikanisasi, “. .

.ketakutan atas terjadinya Amerikanisasi pada masca pasca perang ada kaitannya dengan rasa takut terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh para elite intelektual beserta penilaian mereka

mengenai selera melalui “proses penurunan”. Gagasan-gagasan tentang Amerika yang semakin populis dan demokratis . . .mengancam penilaian intelektual atas selera dan konsumsi kelas menengah sebagai bentuk-bentuk kekuatan simbolis dan posisional.” ibid.,

hlm. 68.

51Hebdige menolak homogenitas budaya populer, ia mengatakan bahwa, “Budaya

populer Amerika – film-film Hollywood, citra iklan, pengemasan, pakaian, dan musik – menawarkan suatu ikonografi yang kaya, sekumpulan simbol, objek, dan artefak-artefak yang dapat disusun dan disusun ulang oleh kelompok-kelompok yang berbeda dalam jumlah kombinasi yang tak terbatas banyaknya. Dan makna setiap pilihan ditransformasikan menjadi objek-objek tersendiri – celana jins, lagu rock, potongan rambut gaya Tony Curtis, kaus kaki pendek, dan sebagainya – tercerabut dari konteks historis maupun kultural lainnya dan disejajarkan dengan tanda-tanda dari sumber-sumber lain. . .Dalam pengertian ini, tak jadi

Di Inggris, para pemuda perkotaan kelas pekerja memanfaatkan budaya populer Amerika Serikat dengan cara-cara yang khas dan positif sebagai wujud perlawanan radikal terhadap budaya kelas menengah dan kelas atas.52 Di Indonesia budaya populer yang berasal dari Amerika Serikat berpotensi mengancam kekuasaan. Soekarno yang menyadari hal ini dan mulai membuat batasan dalam sistem demokrasi di Indonesia, yaitu suatu sistem demokrasi yang tunduk di bawah kekuasaan Soekarno.

Dokumen terkait