• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4.3.1. Peningkatan Hidrofobisitas Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik

Biofoam yang terbuat hanya dari bahan berpati, selain memiliki sifat mekanis yang rendah tetapi juga bersifat hidrofilik yang memang berasal dari sifat polimer alami yang sensitif terhadap kelembaban. Pada tahapan ini dilakukan upaya perbaikan sifat hidrofilik agar biofoam yang dihasilkan mampu menggantikan fungsi kemasan styrofoam sebagai wadah kemasan siap saji termasuk pangan dengan kadar air tinggi. Upaya perbaikan yang dilakukan pada tahapan ini adalah dengan menggantikan sebagian atau seluruh proporsi tapioka dengan pati hidrofobik. Adapun perlakuan yang digunakan pada tahapan ini hanya satu faktor yaitu rasio tapioka:pati hidrofobik yang terdiri dari lima taraf yaitu : (4:0), (3:1), (2:2), (1:3) dan (0:4). Untuk formulasi lainnya seperti ampok, PVOH, air dan Mg stearat adalah tetap sesuai dengan hasil terbaik pada tahapan sebelumnya. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga

kali ulangan yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Xi + Ɛij Dimana

i = 1,2,3,4,5 (taraf rasio tapioka:pati hidrofobik) j = 1,2,3 (taraf ulangan)

Keterangan

Yijk = Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:pati hidrofobik serta taraf ke-j dari ulangan

Xi = Pengaruh rasio tapioka:pati hidrofobik ke-i

Ɛij = Galat percobaan pada ulangan ke-j

Pengamatan yang dilakukan terhadap biofoam yang dihasilkan meliputi kadar air, densitas, warna, daya serap air, struktur morfologi, sifat termal, kuat tarik, kuat tekan dan biodegradabilitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 3.4.3.2. Peningkatan Hidrofobisitas dan Viskoelastisitas Biofoam dengan

Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Plastisizer

Peningkatan sifat hidrofobik biofoam juga dapat dilakukan dengan penambahan pati asetat maupun penambahan sizing agent. Sizing agent

umumnya digunakan pada industri kertas atau tekstil untuk meningkatkan hidrofobisitas pada permukaan bahan. Adapun jenis sizing agent yang digunakan adalah dari jenis alkyl ketene dimer (AKD) dan produk coating yang merupakan hasil penelitian Kasetsart University berupa campuran pati hidrofobik dengan bahan aktif carvacrol.

Pada tahapan ini juga dilakukan upaya peningkatan viskoelastisitas biofoam dengan penambahan gliserol yang berfungsi sebagai plastisizer. Selain itu, juga dilakukan beberapa tambahan seperti NaOH untuk membantu proses pelunakan serat serta agar yang berfungsi sebagai perekat.

Adapun perlakuan yang digunakan pada tahapan ini ada tiga faktor yaitu: rasio tapioka:pati asetat dengan 2 taraf (4:1) dan (3:2); jenis sizing agent yang digunakan dengan dua taraf yaitu sizing agent A (AKD) dan sizing agent B (pati

hidrofobik dan carvacrol) serta konsentrasi gliserol dengan tiga taraf yaitu 0; 5 dan 10%. Sementara itu, penambahan ampok, PVOH, NaOH, agar dan air dilakukan dalam jumlah yang tetap untuk semua perlakuan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga kali ulangan yang diikuti dengan uji Duncan. Adapun pengamatan yang dilakukan sama seperti tahapan sebelumnya namun ditambahkan pengamatan sifat termal dengan menggunakan Dynamic Mechanical Thermal Analyisis (DMTA) untuk mengetahui viskoelastisitasnya serta pengamatan terhadap contact angle untuk mengetahui tingkat hidrofobisitas permukaan biofoam.

Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yijkl = µ + Pi + Sj + Gk + (PS)ij + (PG)ik + (SG)jk + (PSG)ijk + Ɛijkl

Dimana

i = 1,2 (taraf rasio tapioka:pati asetat) j = 1,2 (taraf jenis sizing agent) k = 1,2,3 (taraf konsentrasi gliserol) l = 1,2,3 (taraf ulangan)

Keterangan

Yijkl = Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:pati asetat, tarah ke-j dari jenis sizing agent, taraf ke-k dari konsentrasi gliserol serta taraf ke-l dari ulangan

Pi = Pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i Sj = Pengaruh jenis sizing agent ke-j Gk = Pengaruh konsentrasi gliserol ke-k

(PS)ij = Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan jenis sizing agent

ke-j

(PG)ik= Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan konsentrasi gliserol ke-k

(SG)jk= Interaksi pengaruh jenis sizing agent ke-j dengan konsentrasi gliserol ke- k

(PSG)ijk= Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan jenis sizing agent ke-j serta konsentrasi gliserol ke-k

Formula bahan yang dilakukan pada tahapan ini tersaji pada Tabel 3 Sementara itu, pada tahapan ini, jumlah cairan yang ditambahkan adalah sekitar 44% dari total adonan. Bahan cair ini meliputi gliserol, NaOH, sizing agent dan Air.

Tabel 3. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol

Perlakuan Tapioka (%) PA (%) Ampok (%) PVOH (%) Agar (%) SA (%) NaOH (%) Gliserol (%) Air (%) P1S1G0 28 7 12 8 3 0,4 0,1 0 41,5 P2S1G0 21 14 12 8 3 0,4 0,1 0 41,5 P1S1G1 28 7 12 8 3 0,4 0,1 5 36,5 P2S1G1 21 14 12 8 3 0,4 0,1 5 36,5 P1S1G2 28 7 12 8 3 0,4 0,1 10 31,5 P2S1G2 21 14 12 8 3 0,4 0,1 10 31,5 P1S2G0 28 7 12 8 3 0,4 0,1 0 41,5 P2S2G0 21 14 12 8 3 0,4 0,1 0 41,5 P1S2G1 28 7 12 8 3 0,4 0,1 5 36,5 P2S2G1 21 14 12 8 3 0,4 0,1 5 36,5 P1S2G2 28 7 12 8 3 0,4 0,1 10 31,5 P2S2G2 21 14 12 8 3 0,4 0,1 10 31,5 Keterangan : PA : Pati Asetat SA : Sizing Agent

P : Rasio Tapioka:Pati Asetat; P1(4:1) dan P2 (3:2) S : Jenis Sizing Agent; S1 (AKD); S2(Carvacrol)

G : Konsentrasi gliserol; G0(0%); G1(5%) dan G2(10%)

3.5. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok Sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam

Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode Hayami dan Kawagoe (1993) sebagaimana tersaji pada Tabel 4, dimana pengukuran nilai tambah dilakukan dengan menghitung nilai tambah yang diakibatkan oleh adanya proses pengolahan tapioka dan ampok menjadi kemasan biodegradable foam. Selain itu juga dilakukan perhitungan rasio nilai tambah (%), imbalan tenaga kerja (Rp./kg), bagian tenaga kerja (%), tingkat keuntungan (%), marjin keuntungan (Rp/kg) dan pendapatan tenaga kerja (%).

Tabel 4. Model Perhitungan Nilai Tambah

No Variabel Perhitungan I Output, input dan harga

1. Output (kg/produksi) 2. Bahan baku (kg/produksi) 3. Tenaga kerja (HOK/produksi) 4. Faktor konversi (1:2)

5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg) 6. Harga output (Rp/kg)

7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK)

a b c d = a/b e = c/b f g II Pendapatan dan Keuntungan

1. Harga bahan baku (Rp/kg) 2. Sumbangan input lain (Rp/kg) 3. Nilai output (Rp/kg)

4. Nilai tambah (Rp/kg) 5. Nisbah nilai tambah (%) 6. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) 7. Bagian tenaga kerja (%) 8. Keuntungan (Rp/kg) 9. Tingkat keuntungan (%) h i j = d x f k = j – i – h l = k/j x 100% m = e x g n = m/k x 100% o = k – m p = o/j x 100% III Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Marjin keuntungan

- Pendapatan tenaga kerja (%)

- Sumbangan input lain (%)

- Keuntungan perusahaan (%)

q = j – h r = m/q x 100% s = i/q x 100% t = o/q x 100%

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Bahan Baku

Kemampuan ekspansi suatu produk ditentukan oleh banyak faktor yang merupakan kombinasi antara kondisi proses dan karakteristik bahan baku. Karakteristik bahan baku meliputi komposisi air, pati, lemak, protein, serat serta rasio amilosa terhadap amilopektin akan berpengaruh terhadap aliran dan kekentalan dari pati atau tepung (Chinnaswamy dan Hanna, 1988).

Karakteristik bahan baku dilakukan terhadap sifat fisikokimia dari bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu tapioka, ampok, pati hidrofobik dan pati asetat. Khusus untuk ampok, sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam, terlebih dahulu dilakukan pengecilan ukuran hingga 100 mesh. Adapun hasil pengamatan terhadap karakteristik bahan baku tersebut seperti tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Fisiko Kimia Ampok, Tapioka, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat

Parameter Ampok Tapioka Pati

Hidrofobik Pati Asetat Kadar air (% bb) 8,74±0,27 12,33±0,39 5,21±0,21 10,50±0,44 Kadar abu (% bk) 2,71±0,02 0,10±0,01 1,14±0,02 0,17±0,02 Kadar lemak (% bk) 8,90±0,56 0,19±0,03 0,17±0,02 0,13±0,01 Kadar protein (% bk) 11,18±0,22 0,55±0,02 0,24±0,03 0,22±0,04 Kadar pati (% bk) 69,26±1,09 97,89±1,46 97,86±0,88 99,08±0,17 Kadar Serat (% bk) 7,96±0,23 1,27±0,04 0,59±0,02 0,39±0,04 Amilosa (% bk) 25,09±0,42 26,61±0,21 26,20+0,15 30,09±0,31 Daya Serap Air (%) 215,41±5,07 65,81±2,65 13,31±0,84 96,21±4,90

Pemilihan tapioka sebagai bahan baku pembuatan biofoam didasarkan atas beberapa hal yaitu ketersediaannya di pasaran dan harganya yang lebih murah dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga memiliki kadar protein, kadar lemak dan kadar amilosa yang lebih rendah dibandingkan pati lainnya sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansinya untuk

menghasilkan biofoam. Beberapa peneliti sebelumnya telah berhasil memproduksi kemasan biofoam berbahan baku tapioka yang ditambahkan dengan bahan tambahan lain, baik dengan teknik ekstrusi (Salgado et al., 2008; Mali et al., 2010) maupun dengan thermopressed (Shogren et al., 1998; 2002;Soykeabkaew et al.

(2004). Namun demikian, tapioka saja tampaknya belum cukup untuk menghasilkan biofoam yang memiliki karakteristik mendekati styrofoam.

Ampok sebagai bahan baku tambahan untuk pembuatan biofoam memiliki kandungan pati pada ampok yang masih tinggi. Pati yang berasal dari serealia umumnya memiliki kemampuan ekspansi yang lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari umbi (Schmidt dan Laurindo, 2010). Namun demikian, pati serealia di Indonesia umumnya lebih mahal serta jumlahnya terbatas sehingga dilakukan pencampuran antara tapioka dengan produk serealia. Selain itu, ampok juga mengandung serat yang berasal dari pericarp serta tipcap yang diharapkan bisa memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh tapioka. Ampok juga mengandung protein yaitu zein yang cukup tinggi kadar lemak yang cukup tinggi yang berasal dari bagian germ.

Penambahan pati hidrofobik dan pati asetat ditujukan untuk meningkatkan sifat hidrofobik biofoam. Menurut beberapa penelitian sebelumnya (Miladinov dan Hanna, 1999; Guan dan Hanna, 2006), sifat hidrofobik biofoam dapat ditingkatlan dengan penggunaan pati termodifikasi.

Hasil analisis terhadap komposisi kimia bahan baku menunjukkan bahwa ampok masih mengandung kadar pati sekitar 69,26% dengan kadar amilosa 25,09% dan amilopektin 74,91%. Nilai ini agak berbeda dengan literatur yang dikemukakan oleh Sharma et al (2007), yaitu kadar pati pada ampok sebesar 57%. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran ampok yang digunakan. Pada penelitian ini, ampok yang digunakan adalah yang berukuran 100 mesh sehingga komponen yang lebih dominan adalah bagian endosperm, sementara bagian lain seperti pericarp dan tipcap yang lebih banyak mengandung serat tidak bisa melewati saringan 100 mesh tersebut. Hal ini juga terlihat pada rendahnya kadar serat ampok yang hanya berkisar 7,96% bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sharma et al. (2007) yang berkisar 25%.

Jagung, bila dilihat dari kandungan amilosanya terbagi atas beberapa jenis yaitu normal, amilosa tinggi dan jenis waxy atau pulut. Jagung yang digunakan pada penelitian ini tergolong jenis normal karena memiliki amilosa sekitar 25% yang berarti memiliki amilopektin sekitar 75%. Jagung jenis normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, sementara jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70%amilosa, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Richana dan Suarni, 2009).

Tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat memiliki kadar pati dan amilosa yang tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena bahan baku pati hidrofobik maupun pati asetat adalah tapioka yang sudah mengalami modifikasi. Diantara ketiga jenis sumber pati ini, pati asetat memiliki kadar pati serta rasio amilosa:amilopektin tertinggi diikuti tapioka dan pati hidrofobik. Kadar pati berperan terhadap kemampuan ekspansi dari produk yang dihasilkan disamping rasio amilosa:amilopektin. Menurut hasil penelitian Fritz (1994), amilosa akan berekspansi secara maksimal pada suhu 2250C sementara amilopektin pada suhu 1350C. Dengan demikian pati dengan kadar amilosa tinggi membutuhkan suhu proses yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang mengandung amilopektin tinggi. Selain itu, amilosa cenderung mengembang secara longitudinal atau memanjang sementara amilopektin akan mengembang secara radial sehingga produknya cenderung memiliki diameter yang lebih besar. Biofoam yang dihasilkan oleh bahan baku pati dengan kadar amilopektin tinggi memiliki pori- pori yang lebih kecil serta densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan biofoam yang menggunakan bahan baku pati dengan kadar amilosa tinggi. Kadar amilosa yang tinggi juga cenderung kurang mengembang dan kaku, namun memiliki sensitivitas terhadap air yang lebih rendah.

Selain kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin, parameter lain yang juga penting diperhatikan adalah kadar air bahan karena kadar air yang ada pada bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk biofoam yang dihasilkan. Air dapat berfungsi sebagai blowing agent ataupun juga sebagai plastisizer pada pembuatan biofoam. Saat proses pemanasan, air yang ada pada adonan akan mendidih dan menjadi uap yang kemudian mendorong pati untuk

mengembang serta menghasilkan struktur yang berongga (Sjoqvist and Gatenholm, 2007). Namun demikian, bila peningkatan kadar air selama proses ekspansi terlalu besar maka dapat mengurangi kemampuan ekspansi radial (Singh et al., 2007) maupun ekspansi volumetriknya (Alvarez-Martinez et al., 1988) serta meningkatkan densitas dari ekstrudat (Lin et al., 2000). Air juga dapat berfungsi sebagai plastisizer selama proses termoplastisasi pati dan akan berpengaruh terhadap sifat mekanis dari biofoam yang dihasilkan.

Hasil pengukuran terhadap kadar air ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat menunjukkan bahwa ampok jagung dan pati hidrofobik memiliki kadar air yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tapioka dan pati asetat. Nilai kadar air ampok masih berada di bawah SNI yaitu maksimal 10%, sedang untuk tapioka ternyata melebihi standar yang ditetapkan. Kadar air yang terdapat di dalam bahan berpati ditentukan oleh kondisi proses pengeringan pati. Besaran kadar air ini akan sangat menentukan mutu pati yang dihasilkan. Apabila pengeringan pati tidak dilakukan secara optimal, makakadar air yang tinggi dapat memicu tumbuhnya jamur yang akan mempercepat kerusakan pati.

Proses pengecilan ukuran yang dilakukan pada ampok diawali dengan pengeringan bahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penggumpalan pada saat penggilingan karena masih pengaruh kadar lemak serta kadar air yang tinggi ada ampok. Hal ini sejalan dengan penelitian Azudin dan Noor (1992), yang menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi sehingga akan berpengaruh terhadap stabilitasnya selama penyimpanan. Sementara itu, pati hidrofobik memiliki kadar air yang terendah dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena granula pati tersebut diselubungi oleh bahan hidrofobik sehingga air sulit menembus ke dalam granulanya.

Perbedaan kadar air yang terkandung pada ampok, tapioka serta bahan lainnya membutuhkan penyeragaman pada saat formulasi adonan dilakukan. Dalam pembuatan biofoam, pengetahuan mengenai kadar air masing-masing bahan akan menentukan jumlah air yang harus ditambahkan agar dapat dihasilkan biofoam yang memiliki sifat fisik dan kimia yang baik. Penambahan air perlu dilakukan mengingat kadar air pada ampok maupun tapioka yang sekitar 5-12% masih terlalu

rendah untuk dapat membantu proses ekspansi. Menurut penelitian Cinelli et al. (2006), total padatan pada adonan pembuatan biofoam berkisar 30% sehingga untuk mencapai kondisi tersebut harus dilakukan penambahan air sesuai dengan proporsi bahan baku yang digunakan. Sementara peneliti lain menyebutkan total padatan pada adonan untuk pembuatan foam berkisar 60-70% (Poovarodom, 2006). Perbedaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk serta karakteristik produk biofoam yang dihasilkan.

Komponen lain yang berperan penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan mekanis produk biofoam adalah kadar serat. Menurut Lee (2009), penambahan serat berpotensi memberikan perbaikan pada sifat mekanis pada produk pati termoplastik. Penambahan serat sebagai bahan pengisi pada pembuatan biofoam dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatannya (Andersen dan Hodson, 1996). Penambahan serat juga dapat meningkatkan sifat hidrofobik seperti yang dilaporkan oleh Lawton et al. (2004); Guan dan Hanna (2006); Salgado et al. (2008) dan (Benezet et al. (2011). Selain memberikan dampak positif, penambahan serat ternyata dapat berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam. Menurut Guy dan Horne (1988), penambahan serat yang berasal dari kulit ari gandum (wheat bran) menyebabkan proses ekspansi akan terhenti lebih awal dan menghasilkan foam yang lebih padat.

Hasil analisa kadar serat menunjukkan bahwa ampok memiliki kadar serat tertinggi (7,96%) diikuti tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat. Menurut penelitian Salgado et al. (2008), penambahan serat yang optimal pada pembuatan biofoam dengan bahan baku tapioka adalah 20%, sedangkan jumlah protein yang ditambahkan maksimal 10%.

Kadar protein dan kadar lemak bahan baku juga merupakan parameter penting yang turut berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan. Protein yang merupakan polimer alami diharapkan dapat membantu memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh pati. Namun demikian, menurut Poovarodom (2006), kadar protein bahan yang terlalu tinggi (>5%) akan menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan tidak terbentuk sempurna karena protein akan terdenaturasi pada suhu tinggi menyebabkan kerak yang akan membuat biofoam

sulit dilepaskan dari cetakan. Adapun hasil pengukuran terhadap kadar protein menunjukkan bahwa kadar protein ampok cukup tinggi yaitu 11,18% sangat jauh bila dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Dengan demikian, penggunaan ampok harus dibatasi tidak melebihi 50% supaya kadar proteinnya tidak lebih besar dari 5%.

Sementara itu, pengukuran terhadap kadar lemak juga menunjukkan bahwa kadar lemak ampok cukup tinggi sebesar 8,90%. Kadar lemak yang tinggi dapat berdampak positif karena lemak dapat berfungsi sebagai lubricant yang dapat membantu memudahkan pelepasan biofoam dari cetakan. Namun demikian, kadar lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan produk mudah terhidrolisis hingga menjadi tengik.

Penambahan lemak maupun turunannya seperti monogliserida, trigliserida juga dapat berfungsi sebagai plastisizer (Poovarodom, 2006). Lemak yang bersifat hidrofobik juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dari biofoam. Dengan demikian adanya kandungan lemak diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik dan mekanis dari biofoam.

Selain analisis terhadap komponen kimia bahan baku, pengamatan terhadap sifat fisik juga turut berperan terhadap karakteristik biofoam diantaranya daya serap air (DSA). Pengukuran DSA dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah air yang dapat diserap oleh bahan selama selang waktu tertentu. Hasil analisa sebagaimana terdapat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ampok memiliki daya serap air yang paling tinggi yaitu 215,41%, sedangkan yang terendah adalah pati hidrofobik dengan nilai 13,31%. Tingginya daya serap air pada ampok disebabkan karena sebagian besar serat yang ada pada ampok berasal dari golongan hemiselulosa. Menurut Madsen (2004), hemiselulosa merupakan bagian dari dinding sel tanaman yang paling banyak menyerap air. Hal ini disebabkan karena hemiselulosa memiliki daerah amorf yang lebih besar dibandingkan dengan selulosa ( Westman et al., 2010).

Pati alami yang belum mengalami gelatinisasi umumnya memiliki sifat semi kristalin dimana amilosa dan percabangan amilopektin memiliki sifat amorf, sementara rantai lurus amilopektin memiliki sifat kristalin. Dengan demikian,

semakin tinggi rasio amilosa maka sifat amorfnya semakin besar yang berakibat pada peningkatan sifat hidrofilik. Hal ini menjelaskan mengapa pati asetat memiliki daya serap air yang lebih besar dibandingkan tapioka walaupun gugus hidroksilnya sebagian sudah digantikan dengan gugus asetil.

Sementara untuk pati hidrofobik, lapisan atau coating yang menutupi permukaan granula pati menyebabkan air sulit masuk sehingga daya serap airnya juga sangat rendah. Parameter daya serap air menjadi hal yang penting diperhatikan pada pembuatan biofoam agar adonan tersebut memiliki tingkat viskositas yang tepat untuk mendukung proses ekspansi.

Komposisi kimia khususnya kadar pati, rasio amilosa-amilopektin serta kadar air berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam, sementara kadar serat, kadar lemak serta rasio amilosa akan berpengaruh terhadap daya serap air. Kadar serat serta protein juga akan berpengaruh terhadap sifat mekanis produk biofoam yang dihasilkan. Ampok memiliki kadar serat, protein dan lemak tertinggi dibandingkan bahan lain sehingga diharapkan akan meningkatkan kekuatan mekanis produk biofoam. Sementara, penambahan tapioka yang memiliki kadar pati tinggi diharapkan akan meningkatkan kemampuan ekspansinya. Penambahan pati hidrofobik diharapkan dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam karena pati hidrofobik memiliki daya serap air yang sangat rendah.

Karakterisasi bahan baku tidak hanya melihat pada komposisi kimianya tetapi juga beberapa sifat lain seperti sifat viskoamilograf. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap perubahan karakteristik pati. Pati dengan kadar air tertentu bila dipanaskan akan mengalami proses gelatinisasi yang diawali dengan penyerapan air ke dalam granula pati sehingga terjadi peningkatan viskositas. Selanjutnya dengan bertambahnya panas maka granula pati tersebut akan pecah hingga sebagian amilosa yang ada akan keluar. Tahapan selanjutnya bila larutan tersebut didinginkan kembali maka akan terjadi proses retrogradasi. Viskositas larutan pati setelah proses akan berbeda-beda, ada yang akan menjadi lebih kental, ada yg tetap dan ada juga yang menjadi lebih cair (Eliasson and Gudmundsson, 1996). Selama proses gelatinisasi terutama saat pembengkakan granula pati serta proses keluarnya amilosa (leaching), akan berpengaruh terhadap

perubahan reologi dari larutan pati. Untuk mengamati semua perubahan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan amilograph atau viscograph.

Adapun hasil analisis profil viskoamilograf pada masing-masing bahan baku seperti tersaji pada Gambar 4 dan Tabel 6. Viskositas puncak diperoleh saat granula pati mengalami pembengkakan secara penuh sehingga saling melekat satu sama lain. Sementara itu, viskositas breakdown diperoleh dari nilai viskositas puncak dikurangi viskositas terendah yang dicapai pada saat pemanasan. Selanjutnya nilai viskositas setback diperoleh dari selisih nilai viskositas minimal dengan viskositas akhir (Thomas dan Atwell, 1999).

Gambar 4. Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat

Tabel 6. Karakteristik Amilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Parameter Ampok Tapioka Pati

Hidrofobik

Pati Asetat Suhu Gelatinisasi (0C)

Suhu Puncak (0C)

Viskositas Maksimum (BU)

Breakdown Viskositas (BU)

Setback Viskositas (BU) Final Viskositas (BU)

93 - - 0 30 +30 67,5 76,5 1550 1080 500 +500 72 78 170 160 10 -10 60 72 590 90 460 +420 -200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 0 20 40 60 Vis kos it a s (B U) Waktu (menit) Tapioka Ampok Pati Hidrofobik Pati Asetat

Bila kita membandingkan hasil yang diperoleh terhadap sifat viskoamilograf pada tapioka, ampok dan pati hidrofobik maupun pati asetat terlihat bahwa komposisi kimia dari masing-masing bahan baku sangat berpengaruh terhadap sifat viskoamilografnya. Hal ini jelas terlihat pada ampok yang memiliki kadar pati terendah sedang kadar protein dan lemaknya paling tinggi dibandingkan pati lainnya. Kadar protein dan lemak yang tinggi pada ampok menyebabkan suhu gelatinisasinya lebih tinggi dibandingkan ke tiga jenis pati lainnya. Hal ini disebakan karena granula pati tertutup oleh protein dan lemak sehingga air sulit meresap ke dalam granula pati sehingga menyebabkan proses gelatinisasi juga terhambat. Selain itu, tingginya kadar serat juga menyebabkan sebagian besar air yang ditambahkan diserap oleh serat sehingga jumlah air yang meresap pada granula pati juga berkurang Dengan berkurangnya jumlah air yang menyerap pada granula pati maka proses gelatinisasi menjadi terhambat. Akibatnya proses yang mengikuti terjadinya proses gelatinisasi seperti peningkatan viskositas tidak terjadi. Hal ini sejalan dengan penelitian Tester dan Morrison (1990) serta Vandeputte et al.(2003) yang menyebutkan bahwa adanya protein dan lemak dapat menghambat proses penetrasi air ke dalam granula pati sehingga berpengaruh terhadap profil viskoamilograf dari pati. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis korelasi antara komposisi kimia bahan dengan suhu gelatinisasinya.

Semua parameter komposisi kimia seperti kadar pati, protein, lemak dan serat berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi, khusus untuk kadar pati, korelasinya

Dokumen terkait