• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketua Pertuni Lampung Supron mengatakan pemenuhan kebutuhan disabilitas belum sepenuhnya dirasakan, terutama terkait dengan lapangan pekerjaan. Padahal, Lampung telah memiliki peraturan daerah (Perda) No. 10 tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Perda tersebut di antaranya mengatur penyandang disabilitas mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan; penghidupan yang layak dalam hal pendidikan; ketenagakerjaan, kehidupan sosial, kesehatan, aksesibilitas, bidang seni, budaya dan olahraga; bidang politik, bidang hukum, dan tempat tinggal.

Supron menuturkan, semua satuan kerja perangkat daerah bisa terlibat dalam pemenuhan hak disabilitas. Ia menambahkan untuk menjamin pemenuhan hukum penyandang disabilitas, maka paradigmanya adalah multi sektor. “Yang ter-framing di masyarakat, persoalan disabilitas itu yakni persoalan sosial.”

Padahal, ada persoalan politik, hukum, dan kesehatan yang tak kalah penting. Oleh karena itu, ia menegaskan kata kunci ketika peraturan ini dibuat bukan lagi soal pelayanan tapi juga soal pemenuhan. Sehingga posisi disabilitas bukan hanya sebagai objek, orang yang diberi belas kasihan, tapi bisa menjadi subjek dalam proses pembangunan. “Potensi disabilitas juga sangat besar sebagai aktor dalam pembangunan,” ucap Guru Sekolah Luar Biasa di Bandar Lampung ini.

Supron ingin perda tersebut bisa memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas. “Kita sangat sedih sudah ada peraturan daerah mulai 2013 sampai sekarang, namun tidak ada perkembangan signifikan bagi disabilitas di Lampung. Oleh karena itu kami mendukung revisi (perda). Kami ingin implementasinya dijalankan,” ucap Supron.

Untuk memperjuangkan pemenuhan disabilitas di Lampung, Supron selaku Ketua Pertuni bersama berbagai NGO disabilitas di

Lampung telah memberi masukan pada penyusunan revisi Perda peraturan daerah No. 10 tahun 2013 terkait 22 aspek pemenuhan HAM yang tertuang dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Ia menyatakan penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dari kerja kerasnya sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Supron tak ingin kejadian penyandang disabilitas Romi Syofpa Ismael di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, yang kelulusan CPNSD-nya sempat digugurkan pada 2019 lalu, terulang di Lampung.

Sementara, Ketua Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) Lampung Tri Susilo menjelaskan pada prinsipnya saat ini di Lampung perusahaan belum mau mempekerjakan disabilitas. Terkecuali sektor industri rumah tangga, keterampilan, distribusi rumah tangga makanan dan kerajinan tangan. “Itu bisa dipakai, tapi kalau di pabrik perlu fisik yang bagus,” tuturnya.

Ia menilai, perda harus menyesuaikan UU. “Kalau di pusat ada UU turunannya harus ada di daerah. Seharusnya di daerah dimuatkan dengan Perda 1-2 persen (pekerja disabilitas). Kita tidak boleh diskriminasi, menyesuaikan. Tapi tidak tahu praktik di lapangannya.” Tri menambahkan, “Orang yang menderita sakit saja perusahaan inginnya kami resign apalagi yang disabilitas.”

Disinggung soal rancangan perda, Jauharoh Haddad, Ketua Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Lampung menuturkan rancangan peraturan daerah tentang disabilitas ini belum final. “Kami lihat masukan, apakah masuk tidak semua masuk kewenangan provinsi, kita lihat lagi UU kaitannya dengan UU di atasnya, dikaji lagi, (wewenang) pemda sebatas mana,” katanya.

Ia tak ingin terjadi tumpang tindih antar peraturan. “Diskusi dulu dengan tenaga ahli, kita lihat lagi sepanjang tidak bertentangan, kita (akan) akomodir,” katanya berjanji.

Dalam menyusun perda disabilitas, anggota Komisi V DPRD Lampung Budhi Prasetyanti Sapto Condrowati menegaskan bahwa DPRD harus melibatkan tenaga ahli dari akademisi serta

stakeholder. “Kami merasa Perda No.10 tahun 2013 (tentang

Pelayanan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas) merasa perlu direvisi, supaya perda disabilitas makin maju dan baik, ingin kaum disabilitas bisa diterima di semua aspek kehidupan,” katanya.

Sementara Founder Pusat Kajian dan Advokasi Inklusi (Pusdakin) Abdulah Fikri mengusulkan rancangan perda tentang disabilitas di Lampung harus memenuhi beberapa unsur. Pertama, perda disabilitas harus memenuhi hak asasi manusia sebagai subjek paradigmanya. Kedua judul utama perda mestinya pemenuhan hak, bukan lagi ke penyelenggaraan pelayanan dan kesejahteraan sosial. Lalu perda harus bisa mencakup multi sektor. “Kata pemenuhan sudah pasti ada pelayanan,” ucapnya.

Saat ini rancangan perda memang sudah diganti dari ‘pelayanan disabilitas’ menjadi ‘penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas’. Namun, bagi Fikri, hal ini belum menjadi keinginan para disabilitas. “Kami sudah habis-habisan (mengawal raperda),” katanya, Senin (26/10/2020).

Saat ini ada 852 anggota Pertuni di Lampung. Ketua DPD Pertuni Lampung Supron Risdiono mengatakan sebagian besar anggota Pertuni belum menjadi anggota BP Jamsostek. Mayoritas dari mereka tak memiliki pekerjaan tetap. Misalnya saja Mukhsin. Ia mengaku belum terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek. Sementara untuk BPJS Kesehatan, Mukhsin dan keluarga sudah mendapat bantuan iuran dari pemerintah. Padahal, sebagai tunanetra ia rentan mengalami kecelakaan saat berdagang, misalnya ketika keliling kompleks rumah di Bandar Lampung.

Bapak tiga orang anak ini mengatakan tertarik untuk mengikuti program BP Jamsostek kategori bukan penerima upah. Ia bahkan bercerita telah membuat polis asuransi jiwa. Bayaran preminya yakni Rp3,6 juta per tahun dengan masa iuran 10 tahun. “Tahun

ini sudah selesai,” katanya.

Menurut Bael Novridu, Cash Manager Kecelakaan Kerja-Penyakit Akibat Kerja (KK-PAK) BP Jamsostek cabang Bandar Lampung, penyandang disabilitas atau pekerja bukan karyawan bisa mengaktivasi kepesertaan BP Jamsostek melalui program Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Sementara pada tahun ini, pihak BP Jamsostek menjadi mitra pemerintah untuk memberikan dana bantuan subsidi upah yakni Rp600 ribu per bulan selama empat bulan di masa pandemi Covid-19.

Ia menuturkan pihak BP Jamsostek sudah mewajibkan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Return to Work, tapi masih ada perusahaan di Lampung yang belum siap. Ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja sehingga tidak mampu bekerja selama pengobatan, maka pihak BP Jamsostek memberikan insentif Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB). Insentif STMB ini dapat diproses setelah karyawan mendapat catatan dari dokter usai masa pengobatannya.

BP Jamsostek Bandar Lampung mencatat ada delapan karyawan yang telah mengikuti program JKK Return to Work sejak 2016-2018. Sementara sejak 2019-2020, tidak ada karyawan yang kecelakaan parah sehingga menyebabkan disabilitas. “Artinya, K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) perusahaan makin baik di Bandar Lampung,” kata Bael.

Bael menuturkan saat ini ada 425 perusahaan yang telah mendaftarkan karyawannya untuk mengikuti program JKK Return

to Work. Sementara BPS Lampung mencatat ada 448 perusahaan

pada skala industri besar dan sedang pada 2018 dengan 61.026 karyawan.

Ia melanjutkan, tenaga kerja yang mengalami disabilitas karena kecelakaan kerja akan mendapat pendampingan dan pelatihan kerja. Dalam hal ini, BP Jamsostek telah bekerja sama dengan balai latihan kerja (BLK) swasta maupun milik pemerintah.

Muhammad Gandi Fasha Kepala Seksi Pelatihan dan

Pengembangan UPTD Balai Latihan Kerja (BLK) Bandar Lampung, Dinas Ketenagakerjaan provinsi Lampung, menuturkan pernah bekerjasama dengan Kementerian Sosial untuk mengadakan pelatihan kerja kepada penyandang disabilitas pada 2017. Namun, karena fasilitator BLK tidak mempunyai kemampuan pendampingan terhadap disabilitas, program pelatihan berjalan kurang bagus. “Kami gak punya pelatih kapabel,” kata Gandi.

Menurutnya, instruktur merasa kesulitan dengan komunikasi peserta. Penyandang disabilitas perlu pendamping sebagai jembatan komunikasi antara instruktur dan peserta disabilitas. Pada saat itu, pihaknya hanya mensyaratkan peserta dari disabilitas tuna daksa ringan. Artinya, memiliki dua tangan utuh dan bisa berdiri, termasuk dengan bantuan alat. “Secara umum, BLK Bandar Lampung belum siap melatih disabilitas secara mandiri. Tenaga instruktur belum terlatih,” katanya.

Namun, bila ada aturan yang mengikat soal pelatihan terhadap disabilitas, maka pihaknya akan membantu melalui program yang tersedia. Misalnya peralihan anggaran reguler yang sebagian bisa dialihkan untuk disabilitas.

Saat ini BLK bandar Lampung memiliki jurusan komputer, perhotelan, menjahit, las, dan elektronik berjumlah 13 kelas. Menurutnya, 91 orang penyandang disabilitas yang telah berlatih kemampuan ke BBCRPD Cibinong sudah bagus. “Kami melatih tenaga kerja, penyaluran pemasaran tenaga kerja kita ga bisa maksa.”

Hal senada disampaikan Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (RSPD) Dinas Sosial Provinsi Lampung Sutikno. Menurut dia, Dinsos Lampung hanya menyediakan pelatihan bagi disabilitas yang memiliki fisik bagus dan bisa dibimbing seperti pelatihan pijat.

Dari data yang dikumpulkan Dinas Sosial Lampung sampai Maret 2020, saat ini ada 38.228 orang penyandang disabilitas di Lampung. Sutikno menjelaskan, penyandang disabilitas

yang bekerja di sektor formal baru 12 orang, berasal dari satu perusahaan yang baru melapor ke dinas. Kementerian Sosial telah mendistribusikan bantuan Rp2 juta per orang bagi 456 orang disabilitas di 16 lembaga dan 926 individu selama 2020.

Sementara, rehabilitasi sosial untuk jenis disabilitas lainnya belum bisa dipenuhi di Lampung. Akan tetapi bagi penyandang disabilitas yang memiliki kemauan, bisa mendapatkan soft skills di luar Lampung. Wawan, penyandang disabilitas daksa asal Way Halim Bandar Lampung misalnya, mendapat pelatihan elektronik di Pusat Rehabilitasi Yakkum, Yogyakarta. Saat ini, Wawan membuka jasa perbaikan barang elektronik, baik yang dibuka di rumah ataupun dipanggil ke rumah pelanggannya.

Selain Rehabilitasi Yakum, Yogyakarta, ada juga Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBVRPD) Cibinong, Jawa Barat. Triyanto, tuna daksa yang juga Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas (LKSPD) Lampung Selatan, pernah belajar ilmu komputer di balai milik Kementerian Sosial itu. Saat ini, Triyanto membuka usaha jasa fotografi di rumahnya di Desa Merbau Mataram, Kecamatan Merbau Mataram, Lampung Selatan.

Kepala Bidang Layanan Teknis Vokasional BBVRPD Kementerian Sosial, Ismet Syaefullah, mengatakan, penyandang disabilitas asal Lampung yang sudah mengikuti pelatihan sebanyak 91 orang, 44 di antaranya telah disalurkan ke perusahaan di Pulau Jawa.

Sementara 38 orang melakukan usaha mandiri dan sembilan orang telah kembali ke daerah karena pandemi Covid-19. Menurut Ismet, pemberdayaan disabilitas di Lampung harus menjadi perhatian bersama. “Tergantung bagaimana kepala daerah mengajak swasta untuk menerima disabilitas,” katanya saat berkunjung ke Lampung, Selasa (20/10/2020).

Truly Okto Hasudungan Purba.

Selain aktif sebagai jurnalis di Harian Tribun Medan sejak 2010, ia juga menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi (FE) Unika Santo Thomas Medan. Sebelumnya, Truly memiliki pengalaman bekerja di beberapa media, yaitu Harian

Sumut Pos (Grup Jawa Pos) dan Suara Perempuan.

Selama menjadi reporter, banyak melakukan liputan-liputan seputar olahraga lokal, ekonomi, pendidikan, dan isu sosial seperti isu gender, hak asasi manusia, isu toleransi dan hak-hak anak.

NASIB PEKERJA

KORBAN PANDEMI