• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagangan Bebas dan Lingkungan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan

Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan dengan harapan akan terbangunnya kemakmuran dan perbaikan distribusi pendapatan melalui sistem perdagangan bebas (Modjo, 2003; Muhsin, 2007). Perdagangan internasional tersebut dipengaruhi oleh : (a) kemampuan suatu negara dalam memproduksi barang atau jasa yang terbatas; (b) adanya manfaat yang diperoleh dari adanya perbedaan harga; (c) adanya perbedaan produksi yang dimiliki masing-masing negara; (d) perbedaan sosial budaya; (e) perbedaan selera masyarakat; serta (f) adanya sarana komunikasi dan transportasi (Muhsin, 2007).

Konsep perdagangan bebas pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo tahun 1887. Masa itu adalah zaman negara-negara Eropa melakukan penjajahan dan ahli-ahli ekonomi di negara tersebut sedang berdebat sengit antara pro dan kontra tentang peran pemerintah dalam perdagangan. Ricardo adalah salah seorang ekonom yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah dalam pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo alasan utama yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan keunggulan komparatif relatif antar negara dalam menghasilkan suatu komoditas. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan

Teori perdagangan dunia menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif absolut dan relatif dalam menghasilkan suatu komoditas dibandingkan negara lainnya. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi dan mengimpor komoditas yang keunggulan komparatifnya lebih rendah (Yusdja, 2004). Lebih lanjut Yusdja (2004) menyebutkan bahwa adanya perdagangan antar negara akan membawa dunia pada penggunaan sumberdaya langka secara lebih efisien dan setiap negara dapat melakukan perdagangan bebas yang menguntungkan dengan melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya.

12 sumberdaya (Lindert dan Kindleberger, 1983). Perdagangan internasional semacam itu akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya, kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh. Setelah Ricardo, banyak ekonom lain muncul memberikan kritikan atau memperluas dan mendorong penyempurnaan konsep perdagangan keunggulan komparatif. Pada umumnya para ahli ekonomi tidak ada yang membantah thesis Ricardo tetapi lebih memfokuskan diri dalam mengembangkan konsep perdagangan yang lain seperti konsep keunggulan daya saing dan sebagainya. Dalam semua konsep perdagangan internasional yang pernah ada, terdapat kesamaan pijakan yakni bahwa pasar adalah bebas dan bahwa persaingan akan meningkatkan efisiensi dan bahwa dunia benar-benar secara absolut dipisahkan oleh batas-batas negara. Namun demikian model perdagangan Ricardo merupakan gagasan besar dalam ilmu ekonomi (Krugman dan Obstfel, 2002).

Liberalisasi perdagangan dunia muncul makin kuat bersamaan dengan krisis dunia tahun 1929. Samuelson (2007) menjelaskan bahwa pada saat itu ada kepercayaan bahwa adanya proteksionisme akan memperparah kondisi great depression. Faktor lain pendorong diberlakukannya liberalisasi adalah terkait dengan perang dingin yaitu dengan adanya keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara melalui perdagangan bebas. Pertimbangan tersebut selanjutnya memperkuat tentang pentingnya perdagangan internasional yang bebas. Yusdja (2004) menyebutkan bahwa teori ekonomi konvensional perdagangan internasional telah menjelaskan bahwa dengan adanya perdagangan dunia yang bebas

Teori keunggulan daya saing berkembang lebih jauh dengan meletakkan harga dunia sebagai acuan lalu lintas pertukaran barang-barang antar negara dapat meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Gang (1999) menyebutkan bahwa globalisasi ekonomi bermanfaat terhadap negara berkembang, terutama dalam: (a) mendorong industri domestik masuk ke dalam persaingan global yang menuntut standar kualitas tinggi; serta (b) investasi langsung asing (foreign direct investment, FDI) membawa modal yang lebih besar dan teknologi yang lebih efisien.

13 dengan harapan bahwa penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Semua teori perdagangan memperlihatkan bahwa perdagangan bebas membawa manfaat bagi negara yang berdagang dan dunia (Yusdja, 2004). Dengan didasarkan atas teori tersebut maka hampir sebagian besar negara di dunia bersepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan membentuk WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995. Menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi perdagangan dengan memaksa pemerintahan negara-negara lain untuk memecahkan masalah tenaga kerja, lingkungan, dan standar-standar keamanan yang dianggap sebagai penghambat bagi perdagangan. Tujuan utama dari WTO adalah untuk

“menghilangkan semua hambatan atau penghalang bagi perdagangan bebas di seluruh dunia”.

Sejak WTO diresmikan hingga tahun 2003, tidak ada sebuah negara pun yang bersedia begitu saja membuka keran impor. Bahkan negara maju seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) yang merupakan penggagas perdagangan bebas ternyata tidak berhati penuh membuka keran impor dengan menggunakan sejuta dalih (Gilpin dan Gilpin, 2000). Azis (2008) menyebutkan bahwa Amerika Serikat (AS) tergolong macan kertas, yang dari posisinya yang keras menuntut liberalisasi sektor pertanian yang sangat ditentang oleh Eropa, mereka akhirnya tunduk juga pada UE. Perubahan posisi ini yang kemudian membuat Putaran Uruguay berhasil diselesaikan tahun 1994. Perubahan sikap tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tekanan terhadap AS dimana satu pasal dalam undang-undang pertanian AS menyebutkan bahwa "tidak semua sektor pertanian siap untuk masuk ke pasar bebas". Banyak negara anggota WTO mengadukan berbagai penyimpangan dan ketidakjujuran serta ketidakadilan dalam perdagangan dunia, namun WTO hampir selalu gagal membuat penyelesaian atau bahkan mendapat kesulitan membawa masalah itu ke dalam sidang anggota-anggota WTO (Buckinghann et al., 2001). Azis (2008) menyebutkan pula bahwa di bidang jasa AS tidak berminat untuk menciptakan perdagangan bebas, tetapi mereka menginginkan akses pasar yang lebih besar bagi industri jasa mereka. Kondisi

14 yang sama terjadi pula di kawasan Amerika Latin yang walaupun sudah ada FTAA dan Mercosur, banyak negara anggota yang tidak terlalu bersemangat menjalankan perdagangan bebas, misalnya Brasil yang dengan defisit perdagangan yang makin besar cenderung untuk menangguhkan ide pasar bebasnya (Azis, 2008). Di kawasan Asia Pasifik yang di awal tahun 1990-an bersemangat dengan perdagangan bebas, dan sejumlah statistik klasik selalu dipaparkan untuk menunjukkan dampak positif dari peningkatan perdagangan di kawasan ini akhirnya mendorong lahirnya AFTA dan APEC. Namun, setelah banyak negara anggota mengalami kesulitan neraca pembayaran maka tindakan mengurangi impor mulai diterapkan. Oleh karena itu, prinsip perdagangan bebas banyak dilanggar demi kepentingan nasional masing-masing negara (Modjo, 2003; Yusdja; 2004; Azis, 2008).

Dalam kerjasama ekonomi ASEAN, negara-negara anggotanya telah bersepakat untuk : (a) mempercepat tercapainya jadwal perdagangan bebas ASEAN, yaitu dari tahun 2008 menjadi tahun 2003; (b) pada tahun 2003, tarif dari produk hasil industri menjadi 0-5%, hambatan non-tarif dihapus, sehingga diharapkan ada peningkatan perdagangan intra ASEAN; (c) mengikutsertakan produk-produk hasil pertanian yang tidak peka dan jasa-jasa (Soemarno, 2001). Liberalisasi perdagangan di tingkat APEC pun telah menyepakati diwujudkannya perdagangan bebas di wilayah APEC, tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota berkembang yang ditunjang oleh kebebasan arus investasi. Dalam deklarasi tersebut ditekankan pula, pola dasar kemitraan karena keanggotaan APEC yang beranekaragam. Oleh karena itu, selain adanya akses pasar di negara maju pada tahun 2010 yang dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang, maka dikembangkan pula kerjasama pengembangan ekonomi yang mencakup kerjasama dalam pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan lnfrastruktur, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pelestarian lingkungan (Soemarno,2001).

Keterbukaan dalam perdagangan bebas internasional berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sejalan dengan meningkatnya perhatian global terhadap masalah lingkungan global (Antweiler et al., 2001; Frankel dan Rose, 2002; Copeland dan Taylor, 2004). Perdagangan, pertumbuhan, dan lingkungan pun

15 terus menjadi fokus perhatian dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas (Copeland dan Taylor, 2004). Liang (2006) mengemukakan bahwa isu masalah lingkungan terkait dengan perdagangan sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan riset yang masih bersifat normatif. Riset positif untuk menguji hipotesis tentang kebijakan perdagangan dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dipelopori oleh Grossman dan Kruiger pada tahun 1993 di NAFTA dengan mengkaji data dari 58 negara (Antweiler et al., 2001; Liang, 2006). Antweiler et al. (2001) menyebutkan apabila keterbukaan pasar internasional meningkat, baik input maupun outputnya sebesar 1%, tingkat polusi akan menurun sebesar 1% pula akibat diterapkannya teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam kegiatan produksinya. Antweiler et al. (2001) juga membedakan dampak lingkungan dan sumber pendapatannya, yaitu pendapatan yang diperoleh dari perdagangan cenderung menurunkan polusi, akan tetapi pendapatan yang diperoleh dari akumulasi modal cenderung meningkatkan polusi; sehingga perdagangan yang lebih bebas cenderung baik untuk lingkungan. Kondisi sebaliknya dikemukakan oleh Vutha dan Jalalain (2008) yang menyebutkan bahwa perdagangan bebas menyebabkan degradasi lingkungan khususnya terjadi di negara-negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang longgar tetapi memiliki kapasitas besar untuk mengabsorbsi polusi. Apak (2003) menyebutkan beberapa faktor perdagangan bebas yang berdampak terhadap lingkungan adalah:

a. Efisiensi alokatif. Perdagangan bebas umumnya menggunakan faktor-faktor produksi secara lebih efisien, sehingga penggunaan sumberdaya alam dapat lebih hemat dan ramah lingkungan;

b. Dampak skala kegiatan. Skala kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan pendapatan akan cenderung mengikuti kurva lingkungan Kuznet dimana pada tingkat pendapatan tertentu yang tinggi, maka kebutuhan akan lingkungan yang bersih makin tinggi dan kerusakan lingkungan makin menurun;

c. Komposisi output. Ketika pendapatan makin tinggi maka kegiatan sektor jasa lebih penting daripada kegiatan manufaktur, sehingga akan menurunkan tingkat pencemaran per kegiatan ekonomi;

16 d. Penggunaan teknologi. Peningkatan penggunaan inovasi teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan menurunkan tingkat pencemaran;

e. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mengadopsi dan menerapkan standar kualitas lingkungan internasional akan mendorong penurunan tingkat kerusakan lingkungan akibat perdagangan bebas. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk mengetatkan arus barang dan jasa dalam perdagangan bebas yang dianggap membahayakan lingkungan.

Perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap lingkungan. Lingkungan secara bertahap mengalami degradasi mengikuti pertumbuhan ekonomi global yang cepat. Salah satu teori yang menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dengan dampak lingkungan adalah Environmental Kuznet Curve (EKC) atau kurva lingkungan Kuznet (Antweiler, 2001; Copeland dan Taylor, 2004; Vutha dan Jalalain, 2008). Kurva EKC menunjukkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan dalam bentuk kurva U terbalik. Kurva EKC melukiskan hubungan antara pendapatan per kapita (absis) dengan kualitas lingkungan (ordinat), dan memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat pada tingkat pendapatan rendah (environmental decay phase), mencapai tingkat maksimum (turning point income), dan menurun sesudahnya (environmental improvement). Logika hubungan EKC tersebut adalah bahwa pada tahapan awal dari industrialisasi dan pembangunan, kegiatan ekonomi menggunakan banyak sumberdaya alam dan teknologi kotor sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Ketika kualitas kehidupan meningkat sebagai hasil pembangunan, maka orang akan membutuhkan kualitas lingkungan yang lebih baik dan mendorong pemerintahnya untuk menetapkan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungannya (Vutha dan Jalalain, 2008). Grossman dan Krueger (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahap awal membawa pada fase penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan akan menuju pada fase peningkatan kualitas

17 lingkungan. Titik balik pendapatan per kapita ketika kebutuhan publik akan lingkungan yang lebih baik minimal sebesar US$ 5.000 per kapita per tahun (CEC, 2002) sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gallageher (2004) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menimbulkan polusi, tetapi dampak skala (scale effect) ditanggulangi dengan dampak komposisi dan dampak teknis. Dampak komposisi terjadi ketika ekonomi yang telah tumbuh cenderung meningkatkan kegiatan jasa dan mengurangi kegiatan ekonomi yang kurang polusi, sedangkan dampak teknis menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan akan cenderung meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan melalui penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian kebijakan lingkungan yang lebih kuat dapat diartikan sebagai kebutuhan kelas masyarakat menengah untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga penurunan polusi berkaitan dengan dengan kesejahteraan (CEC, 2002, Gallageher, 2004).

Gambar 2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah emisi pencemar (CEC, 2002)

Kurva lingkungan Kuznets tersebut secara umum dipakai untuk menggambarkan pola hubungan antara tingkat pendapatan dan kualitas lingkungan, tetapi pola tersebut tidak akan terjadi walaupun pendapatan tinggi apabila perhatian pemerintah terhadap program perlindungan lingkungannya kurang (Gallagher, 2004). Lebih lanjut Gallagher (2004) menyebutkan bahwa kondisi tersebut terjadi di Mexico yang walaupun pendapatannya telah mencapai

18 US$ 5.000 per kapita per tahun, tetapi degradasi lingkungannya tetap tinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan lingkungan dinilai lebih longgar terhadap industri dan kegiatan ekonomi yang menghasilkan limbah.

Liberalisasi perdagangan dapat memberikan dampak positif atau dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tergantung pada keunggulan komparatif yang dimiliki, kebijakan-kebijakan perdagangan dan lingkungan yang ada, serta manajemen sumberdaya alam yang dimiliki. Dalam negosiasi perdagangan, koordinasi dan harmonisasi kebijakan lingkungan diantara mitra perdagangan dan lingkungan masih sedikit diperhatikan. Oleh karena itu, mengkaitkan antara pengelolaan lingkungan dengan perdagangan bebas adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sebagai upaya melindungi lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (Vutha dan Jalalain, 2008).

Adanya keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan di tingkat global tersebut telah mendorong berkembangnya standarisasi lingkungan. Conference on Human and Environment oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm telah melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and Development (WCED). Istilah Sustainable Development (pembangunan berkelanjutan) yang diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun 1992. Menindaklanjuti gagasan tersebut, lnggris mengeluarkan standar pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan Soemarno (2001) menyebutkan bahwa di tingkat internasional, dengan dorongan kalangan dunia usaha International Standardization Organization (ISO) dan

19

International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk "Strategic Advisory Group on the Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional. Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000 dengan mengembangkan standar yang meliputi : Environmental Management System (EMS); Environmental Auditing (EA); Environmental Labelling (EL); Environmental Performance Evaluation (EPE); Life Cycle Analysis (LCA); Term and Definitions (TD).

Soemarno (2001) menyatakan bahwa beberapa pokok pikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah : (a) menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya; (b) membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan; (c) tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan--ketentuan hukum yang harus ditaati; (d) dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi; (e) agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology

(Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best Available Pollution Control Technology EconomicaIly Achieveable (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Tersedia). Gang (2004) dan Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa keterbukaan pasar bebas harus diikuti dengan perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan yang sesuai (compatible).