• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL PENELITIAN

6.4 Perdagangan Karbon dan skenario REDD

REDD adalah suatu skema kompensasi jasa negara-negara berkembang dalam menjaga hutan sebagai penyerap gas-gas rumah kaca di atmosfer terutama CO2. Jasa lingkungan ini terbagi atas dua yakni sebagai penyerap dan penyimpan

karbon. Hutan dapat berfungsi sebagai penyerap jika proses fotosintesis terus berlangsung. Dan hutan akan berfungsi sebagai penyimpan jika biomasa hutan tidak dimusnahkan dan hanya dialih bentuk ke berbagai produk berbasis biomasa.

Pendugaan kandungan karbon dalam biomasa hutan telah banyak dilakukan. Nilai konversi karbon dari biomasa ditetapkan oleh Brown adalah setengah dari

biomasa pohon. Meski beberapa penelitian lain mengatakan berbeda. Semakin tinggi nilai konversi maka semakin tinggi nilai serapan CO2 namun juga

semakin kecil kemungkinan untuk mengeksploitasi hutan untuk keperluan pembangunan. Meski nilai serapan CO2 tinggi, namun tidak disertai dengan tinggi

nilai jual karbon. Rendahnya nilai jual karbon disinyalir sebagai faktor penghambat utama negara-negara dengan hutan tropis menjual jasa karbon

dibandingkan menjual kayu sebagaimana BAU. Penelitian ini dalam menentukan basis karbon menggunakan skenario BAU bersama dengan basis kredit untuk tanggung jawab bersama tetapi dengan tanggungan berbeda. Metode ini dikenali dengan pemberian jatah DAF (Development Adjusment Factor). Untuk menghindari resiko kebocoran, maka additionality project dihitung dari baseline ditambah DAF.

Dengan kisaran harga karbon 5 US$ saja, simulasi skenario REDD untuk menahan laju penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebanyak 30% dari BAU masih belum memberikan income hasil usaha REDD+ yang positif. Bahkan, bila simulasi dilakukan di masing-masing fungsi, angka positif angka terbentuk jika moratorium di atas 50%. Income REDD akan positif bila luas penggunaan dan pemanfaatan hutan produksi ditahan sebanyak 70%. Hasil simulasi menunjukkan bahwa menaikkan harga karbon menjadi 35US$ tidak memberikan income REDD+ positif bila hanya menurunkan laju penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebesar 30%.

Namun, bila hutan produksi dilaksanakan kebijakan moratorium sampai dengan 70% hanya untuk mendapatkan income REDD+, maka usaha lain yang menggunakan kawasan ini semakin terbatas. Keterbatasan ini akan mengakibatkan menurunnya pendapatan secara keseluruhan. Selain pendapatan secara makro, pendapatan masyarakat yang selama ini timbul akibat bisnis penggunaan hutan produksi seperti HPH akan semakin kecil. Bila di semester 2 tahun 2009

pendapatan daerah dari sektor pengusahaan hutan produksi berupa SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) mencapai Rp. 2.175.222.101,60 dan DR mencapai USD 437.220,32 atau mencapai Rp. 6.110.204.981,60 pada kurs

rupiah 9000 harus dikurangi sebanyak 70% untuk mendapatkan income 1,35 milyar USD dari REDD+ maka perkiraan pendapatan dari pengusahaan

hutan produksi kurang dari 1,8 milyar rupiah.

Pendapatan REDD+ belum menjawab permasalahan yang selanjutnya timbul yakni tentang pasokan kebutuhan kayu untuk pembangunan dan bagaimana usaha masyarakat selanjutnya dengan REDD+. Berdasarkan BPS (2009), jumlah

angkatan kerja provinsi Jambi di tahun 2008 mencapai 1.290.854 orang. 688.541 orang di antaranya bekerja di sektor pertanian dan masih terdapat

109

892 orang yang masih mencari peluang kerja di sektor ini. Jadi, bila REDD+ dijalankan dengan skenario kebijakan moratorium hutan produksi maka peluang angka pengangguran lebih tinggi dari 1.290.854 orang mengingat laju pertumbuhan penduduk di provinsi Jambi mencapai 1.68%. Untuk itu, terkait dengan pelaksanaan REDD+, baiknya tidak menjalankan kebijakan skenario moratorium kawasan hutan di hutan produksi, namun mungkin di hutan konservasi dan hutan lindung dengan asumsi penetapan REL sebesar laju kehilangan simpanan karbon di kedua fungsi hutan tersebut.

Sampai sekarang ini, masih terdapat perdebatan tentang metode penentuan basis atau baseline pembayaran upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Menggiring deforestasi dan degradasi hutan menjadi isu utama dalam perubahan iklim merupakan suatu upaya menyerahkan tanggung jawab negara-negara industri yang masuk dalam Annex I Protokol Kyoto. Negara-negara Annex I berkewajiban menurunkan tingkat emisi yang telah dikeluarkan. Penurunan emisi dapat ditempuh dengan membeli kredit karbon dan dengan perbaikan teknologi

dan pemanfaatan sumberdaya energi fosil. Hal ini kini berbalik, ketika negara-negara tersebut mempertanyakan basis pembayaran dan ketakutan

terjadinya kebocoran serta tanggung jawab negara-negara pemilik hutan untuk membayar kompensasi atas kebocoran yang disebut dengan liability.

Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi kewajiban berdasarkan sumbangan emisi. Secara sederhana, penentuan basis emisi disepakati pada jumlah penduduk, penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, perubahan tutupan areal berhutan dan lain-lain. Bila yang dikehendaki adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality akibat project tersebut adalah sebesar simpanan karbon yang mampu dipertahankan di hutan. Nilai karbon yang ada dari sejumlah lahan yang dicegah alih fungsi dan alih tutupan dikurangi hasil kali luas lahan yang ada sebelum

project dengan faktor konversi pencegahan deforestasi dan degradasi. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Penentuan faktor konversi didasarkan pada keinginan buyer atau pembeli kredit karbon dari negara-negara Annex I. Bila tingkat emisi tahunan negara yang diperbolehkan untuk “carbon offset” adalah X juta ton/tahun, maka faktor konversi adalah dihitung dengan luas lahan dengan jumlah simpanan karbon lahan sebesar X juta ton dibagi luas total lahan hutan Y ha di negara berkembang. Bila ditetapkan adalah sebesar x ha/tahun, maka additionality yang harus dikompensasi adalah nilai seluas x hektar tersebut.

Tidak semua nilai emisi yang dihasilkan negara pembeli jasa dapat dikompensasi dengan REDD+. Skema REDD+ baiknya peruntukkan untuk menambah nilai serapan emisi, dan bukan satu-satunya skema yang membersihkan emisi yang dikeluarkan. Bila emisi negara tersebut berasal dari sektor industry, maka sebelum diturunkan lewat REDD+, perlu dilakukan efisiensi penggunaan bahan bakar, penggunaan teknologi yang low carbon dan metode lain sehingga sumbangan emisi sangat rendah.

Penentuan basis lahan tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah di negara penyedia jasa karbon, karena belum tentu pembelian jasa karbon akan memberikan tambahan income bagi negara tersebut bila diusahakan sebagaimana BAU. Untuk itu, penentuan nilai karbon didasarkan pada indeks multiplier effect total kegiatan yang mungkin diperoleh bila BAU dijalankan. Sebagai contoh, menurut Syahza (2005), nilai multiplier effect dapat memberikan arti bahwa setiap pembelanjaan oleh petani kelapa sawit di lokasi dan sekitarnya sebesar Rp 100, secara sinerjik menjadikan perputaran uang di lokasi tersebut dan sekitarnya sebesar Rp 248,00 melalui bentuk-bentuk usaha, baik sektor riil maupun jasa. Harga karbon harus mampu membayar minimal sama dengan usaha perkebunan yang akan dibangun jika project perdagangan emisi tidak ada. Bila project REDD akan dilaksanakan dengan luas 100 hektar, maka untuk menghitung harga karbon adalah (jumlah petani yang dibutuhkan dalam 100 hektar kebun kelapa sawit x 2,48 x gaji setiap bulan) + (jumlah sektor bisnis terkait x income bersih x 2,48). Atau nilai karbon tersertifikasi adalah nilai yang harusnya dikeluarkan melalui upaya penghematan penggunaan teknologi atau alih tekonologi yang low carbon.

Sirkulasi pembagian hasil jual jasa serapan emisi haruslah disesuaikan dengan lalu lintas bisnis sebagaimana BAU. Hal ini dikarenakan, instrument yang

111

kini tersedia lebih akrab dengan BAU. Sertifikasi hanya dilakukan pada nilai kredit karbon yang akan dibeli dan tidak pada institusi pengelola. Sehingga yang harus dilakukan adalah memetakan lalu lintas BAU untuk diaplikasikan dalam REDD.

Untuk memperpendek jalur birokrasi maka perlu membatasi stakeholder lain. Stakeholder lain seperti lembaga sertifikasi, verifikasi, validasi perlu dibatasi

sehingga income REDD bias tinggi bagi negara penyedia jasa REDD+. Baiknya, proses sertifikasi, verifikasi dan validasi dilakukan oleh negara pembeli

(buyer) dalam luasan yang ditentukan dan tidak menjadi kewajiban tunggal bagi negara penyedia jasa REDD+. Hal ini dipandang penting, karena ketika negara penyedia REDD+ yang harus dikontrol namun negara pengemisi bebas melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer maka project penurunan emisi sulit tercapai.

Dokumen terkait