• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Perilaku Gajah Sumatera

Dalam sehari gajah dewasa menghabiskan waktu 18-24 jam untuk mencari makan (Altevogt dan Kurt 1975). Jenis makanan gajah meliputi: berbagai tumbuhan herba liar, daun muda, akar dan liana, rotan muda dan pucuk rotan, kulit kayu jenis-jenis pohon pada tingkat sapling, tunas bambu dan rebungnya serta daun muda, rumput buluh dan seluruh bagian pisang liar. Bila menjumpai sawah atau ladang, maka gajah akan memakan batang tebu, padi, buah-buahan di ladang, daun kelapa muda dan umbutnya, pisang, pepaya dan lain- lain tanaman muda. Seekor gajah Aceh dewasa ditaksir menghabiskan lebih dari 300 kg tumbuhan segar setiap harinya (Poniran 1974).

Sumber pakan merupakan kebutuhan pokok atau komponen utama dalam suatu habitat untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa (Ananthasubramaniam 1992). Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik habitat, seperti iklim dan tanah sebagai media pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang cukup berpengaruh pada tingkat kesejahteraan satwa, sehingga dihasilkan satwa-satwa yang mempunyai daya reproduksi tinggi dan ketahanan terhadap penyakit yang juga tinggi. Menurut Alikodra (1979), tumbuh-tumbuhan yang dimakan gajah dapat dikenali dengan melihat patahan batang, patahan cabang, rengkuhan cabang, kupasan kulit, dorongan dan tusukan gading.

Dalam hubungan dengan reproduksi, ketersediaan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup akan mempengaruhi fertilitas dan fekunditas satwa. Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan

makanan hijauan yang cukup di habitatnya (Barnes 1982). Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya kurang sempurna, gajah dewasa dengan berat 3000-4000 kg, pada kondisi alami membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg hijauan segar per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5-10% dari berat badannya (WWF 2005; Altevogt dan Kurt 1975; Lekagul dan McNeely 1977). Dalam satu hari aktivitas gajah sekitar 16-18 jam, sebagian besar waktunya untuk makan (70-90%).

Kebutuhan pakan gajah dapat di estimasi berdasarkan biomassa dari vegetasi. Dengan mengatahui jumlah biomassa di suatu habitat maka dapat diketahui berapa ekor gajah yang bisa ditampung. Menurut Sukumar (2003), kebutuhan gajah 1,5% bahan kering dari bobot badan per hari.

Menurut taksiran Poniran (1974) seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari, tetapi menurut Lekagul dan McNeely (1977) kebutuhan minum gajah Thailand tidak kurang dari 200 liter per hari.

Air termasuk komponen pakan, yang berfungsi dalam proses kimia dan fisik pencernaan makanan. Air dibutuhkan untuk menyejukkan tubuh karena adanya proses evaporasi di lingkungan yang panas. Sebagian besar satwa hidupnya sangat tergantung pada air dalam jumlah dan bentuk ketersediaan sangat bervariasi, tergantung kebutuhan satwa. Bahkan satwa liar utuk mendapatkan air di musim kering, punya bermacam- macam cara. Satwa-satwa yang mobilitasnya tinggi akan melakukan migrasi untuk mendapatkan air di musim kering, dan gajah yang kebutuhan airnya banyak, akan menggali dasar sungai kering, menyediakan air untuk kebutuhannya (Bailey 1984; Sukumar 1989).

Sumber air merupakan komponen pendukung kehidupan di habitat gajah. Biasanya sumber air tersebut dalam bentuk air mengalir maupun air yang tergenang. Sumber-sumber air yang mengalir berupa sungai besar dan kecil, baik yang mengalir sepanjang tahun maupun yang mengalir hanya pada musim hujan. Sedangkan air yang tergenang, biasanya berupa rawa-rawa yang umumnya tidak pernah kering di musim kering. Sumber air tersebut digunakan oleh gajah sebagai air minum, mandi, berkubang dan berlumpur, serta media untuk membina

hubungan antar anggota kelompok (sosialisasi). Ketersediaan air ditentukan oleh faktor biotik dan faktor fisik lainnya. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-100 cm di dasar- dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya (WWF 2005).

Gajah seperti herbivora lainnya, membutuhkan garam- garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolisme tubuhnya dan melancarkan proses pencernaan makanan. Untuk memperoleh garam-garam mineral seperti; calcium, magnesium, dan kalium, gajah mengunjungi tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai salt licks terutama pada saat atau sesudah hujan, dimana air tanah meluap menjadi keruh seperti susu. Jika tidak hujan, salt lick menjadi lebih keras dan untuk mendapatkan garam, gajah yang bergading akan menusuk /menggali dinding salt lick dengan gadingnya, atau bagi yang tidak bergading dengan cara menggaruk-garuk tanah dengan kaki dan belalainya atau dengan menumbuk/mendobraknya (Leckagul dan McNeely 1977). Ketersediaan salt lick di daerah jelajah gajah sangat menentukan tingkat kesejahteraan satwa ini.

2.9.2. Istirahat dan Pemeliharaan Tubuh

Gajah tidak tahan panas terik matahari, bila siang hari umumnya dijumpai ditempat yang teduh (Lekagul dan McNeely 1977). Gajah dapat tidur sambil berdiri dengan telinga berkibas-kibas, kepala mengangguk-angguk dan badan bergoyang pelan-pelan, sedemikian sehingga berat badannya tidak menumpu pada satu pasang kaki dalam saat yang sama (Lekagul dan Mc Neely 1977). Tetapi gajah dapat juga tidur sambil berbaring pada satu sisi serta mengeluarkan bunyi dengkuran (Altevogt dan Kurt 1975).

Gajah sering melakukan aktivitas berkubang pada kolam-kolam sampai air menjadi keruh (Lekagul dan McNeely 1977; Altevogt dan Kurt 1975). Berkubang merupakan cara mend inginkan suhu tubuh dan melindungi kulit dari gigitan serangga dan ekto parasit (Lekagul dan McNeely 1977). Selain itu gajah biasa menaburkan tanah ke punggungnya sendiri untuk menyembunyikan warna asli dan pemeliharaan kulit, sedangkan gading ditajamkan pada tebing sungai atau pada garam mineral yang keras (Lekagul dan Mc Neely 1977).

Pelindung (cover) didefinisikan sebagai struktur sumberdaya lingkungan yang menyediakan fungsi- fungsi alami spesies yang dapat meningkatan daya reproduksi dan/atau kelangsungan hidup satwa (Bailey 1984). Dengan demikian pelindung merupakan hal yang diperhitungkn dalam pemilihan habitat oleh satwa liar.

Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca panas pada siang hari setelah aktivitas makan biasanya gajah akan beristirahat. Untuk menghindari sengatan matahari langsung mereka mencari tempat-tempat yang rindang/naungan (thermal cover), yang bertajuk rapat untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya (WWF 2005). Selain itu untuk mengurangi panas di tubuhnya biasanya dia berkubang dan berlumpur. Setelah berkubang, aktivitas berikutnya adalah menggosok- gosokkan badannya di batang pohon untuk mengurangi rasa gatal di tubuhnya. Pohon-pohon yang dipakai untuk menggosok badannya (rubbing trees) akan terlihat jelas karena ada bekas lumpur yang menempel di tempat tertentu, yang biasanya cukup tinggi sesuai dengan tinggi gajah.

2.9.3.Perilaku Sosial Gajah 2.9.3.1. Organisasi Sosial

Menurut Douglas Hamilton (1960) dalam Murray (1976) dasar organisasi sosial pada gajah Afrika di Lake Manyara National Park adalah unit keluarga yang terdiri dari induk dan anak-anaknya dengan dasar ikatan yang mutlak. Beberapa unit keluarga membentuk suatu kelompok dibawah pimpinan seekor betina (matriach). Asosiasi ini disebut dengan kinship group, sifat ikatannya adalah temporer.

Gajah jantan muda yang mencapai dewasa kelamin dipaksa meninggalkan kelompok atau pergi dengan sukarela dan bergabung dengan kelompok jantan lain yang umumnya bersifat sangat tidak stabil (Sinaga 2000).

Gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok unit keluarga dan bertindak sebagai “bibi pengasuh” pada kelompok “taman kanak-kanak” atau kindergartens (Altevogt dan Kurt 1975). Rata-rata kelompok gajah di hutan

hujan Malaysia dan Sumatera adalah: 5-6 ekor. Ukuran kelompok yang paling sering diamati adalah 3-5 ekor (Olivier 1978).

2.9.3.2. Perilaku Kawin

Oestrus pada gajah betina dideteksi oleh gajah jantan dengan cara berkali- kali memasukkan belalainya ke mulut setelah disentuhkan pada alat genetalia luar gajah betina. Kopulasi terjadi dalam waktu pendek, dengan cara gajah jantan menaiki betina dan meletakkan belalai dan gadingnya pada punggung betina (Altevogt dan Kurt 1975).

Beberapa gajah jantan dewasa secara periodik mengalami perangai buruk yang disebut musth, sebagai akibat dari sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi dengan warna hitam dan berbau merangsang. Kondisi ini sering dihubungkan dengan musim birahi (Altevogt dan Kurt 1975; Lekagul dan McNeely 1977).

Masa kopulasi dan konsepsi dapat terjadi sepanjang tahun, namun ada bulan-bulan tertentu saat frekuensi perkawinan mencapai puncaknya, umumnya terjadi bersamaan dengan puncak musim hujan di daerah tersebut (Eltringham 1982).

2.9.3.3. Home Range, Teritori dan Agresifitas

Daerah jelajah atau home range adalah wilayah yang secara teratur

digunakan oleh kelompok populasi satwa liar untuk melakukan

penjelajahan/perjalanan dalam upaya memenuhi kebutuhan pakan/minum dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Satwa liar hidup pada suatu daerah jelajah dengan relung ekologi tertentu. Daerah jelajah suatu jenis satwa liar, tergantung dari karakteristik perilakunya (termasuk dengan kelompoknya), dan sifat kimia maupun fisik habitat (Moen 1973).

Gajah Sumatera adalah mamalia besar yang mempunyai kebutuhan pakan dan air lebih banyak dibandingkan dengan mamalia herbivora lainnya. Untuk itu gajah membutuhkan daerah jelajah yang sangat luas. Daerah jelajah ini biasanya mencakup beberapa tipe vegetasi. Menurut perkiraan Santiapillai (1987), seekor gajah membutuhkan ruang seluas 680 hektar. Daerah jelajah (home range) sekaligus menyediakan pelindung (cover) bagi satwa liar yang berfungsi sebagai tempat mencari makan, bersembunyi, berlindung, menyediakan tempat untuk

aktivitas sosial, tidur, tempat kawin, dan tempat memelihara anak. Ukuran jelajah gajah Asia di hutan hujan Malaysia bervariasi antara 32,4-166,9 km2 (Olivier 1978). Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan- hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder (WWF 2005). Wilayah jelajah (home range) gajah Sumatera yang dipertahankan minimum seluas 165 km2 pada hutan primer dan 60 km2 di hutan sekunder (Sinaga 2000).

Teritori adalah wilayah tempat tinggal yang dipertahankan dari masuknya individu atau spesies lain (Alikodra 1997a). Gajah Asia dikenal sebagai satwa cinta damai. Apabila benar ada teritori, maka tampaknya lebih bersifat teritori kelompok (Eltringham 1982).

Agresifitas antar gajah jantan sering terjadi untuk memperebutkan peck order dalam kelompok, perkelahian dilakukan dengan saling melilitkan belalai dan beradu gading, namun sering kali tidak mudah membedakan antara perkelahian sebenarnya dengan play fighting (Eltringham 1982).

2.9.3.4. Komunikasi dan Suara

Komunikasi dilakukan dengan alat-alat: kibasan daun telinga, belalai, ekor, posisi dari kepala dan bau-bauan yang dikeluarkan oleh kelenjar temporal (Eltringham 1982).Apabila merasa marah gajah akan menarik telinganya tegang ke samping dan seperti menakut-nakuti. Gajah yang gembira akan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan gajah yang takut akan menundukkan kepala pada gajah yang ditakuti (Lekagul dan McNeely 1977; Eltringham 1982).

Gajah- gajah yang saling bertemu akan saling menyentuh dengan menggunakan belalainya pada punggung, ujung belalai atau mulut dan daerah sekitar alat genetalia individu lainnya. Suara terkeras yang dihasilkan oleh tiupan udara melalui belalainya adalah suara mirip suara terompet. Suara ini tampaknya lebih ditunjukkan pada spesies lain, saat gajah merasa senang, marah, terkejut, tersesat dari kelompok (Eltringham 1982).

Suara gemuruh dari perut (tummy rumble) pada saat gajah makan mungkin merupakan upaya memelihara keutuhan kelompok. Suara erangan dan raungan pelan (growl and soft roar) biasa dikeluarkan saat dalam keadaan aman untuk

berkomunikasi dengan gajah lain yang tidak terlihat atau saat gajah merasa terganggu atau saat menjadi marah (Eltringham 1982).

Menurut McKay (1973) dalam (Eltringham, 1982) gajah Asia biasa mengeluarkan 3 suara dasar, yaitu: mencicit dan memekik (squeak dan squeel), mengeram (growl) dan mendengus (snort).

Dokumen terkait