• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Permukaan Akar

Larutan Tanah Ion & Kompleks KONTAMINAN/PENCEMAR

Pupuk, Pestisida, Biosolids, Deposisi Atmosferik, dll.

Tanah Tanaman

organik (Stevenson 1982). Kadar air memengaruhi kapasitas tanah dalam meretensi logam berat melalui reaksi-reaksi oksidasi-reduksi biologis dan/atau kimiawi. Sebagai contoh, Cu dan Zn lebih larut daripada Fe, Mn dan Al pada tanah-tanah aerob (Bohn et al. 1979).

Perilaku Logam Berat dalam Sistem Tanah-Tanaman

Mobilisasi ke biosfer akibat aktivitas manusia merupakan salah satu proses penting dari siklus geokimia logam berat. Hal ini terutama terjadi di kawasan perkotaan akibat pelepasan sejumlah logam berat ke atmosfer dan tanah dari berbagai sumber tak-teridentifikasi (non-point source) dan sumber teridentifikasi

(point source) (Bilos et al. 2001).

Sistem tanah-tanaman merupakan sistem yang terbuka terhadap asupan (input) dan keluaran (output). Dinamika logam berat dalam sistem tanah-tanaman disajikan pada Gambar 2. Berkenaan dengan logam berat, asupannya antara lain bersumber dari deposisi atmosferik, kontaminan/pencemar, pupuk dan pestisida, sedangkan keluarannya misalnya melalui pemanenan biomassa tanaman, pencu- cian, erosi dan volatilisasi (Alloway 1995b).

Tervolatilisasi Dekomposisi serasah

Dedaunan Biji, Buah Sorpsi pada

koloid organo- Biomassa

mineral mikrob Batang

Umbi Pelapukan batang mineral Serapan Akar

Kopresipitasi

(Fe, Mn, Al Kompleks Umbi hidroksida, humus Rizosfer akar karbonat,

fosfat dll. Pencucian

Gambar 2 Sistem tanah-tanaman yang menunjukkan komponen utama penentu dinamika logam berat (Alloway 1995b).

Menurut Alloway (1995c), sumber antropogenik utama masuknya logam berat ke dalam sistem tanah dan lingkungan meliputi: (1) penambangan dan pele- buran bijih logam, (2) penggunaan bahan kimia pertanian dan hortikultura seperti pupuk dan pestisida, (3) pemanfaatan biosolids, (4) emisi pembakaran BBM, (5) aktivitas industri metalurgi, elektronika dan kimia serta penggunaan komoditas- nya, serta (6) aktivitas pembuangan limbah padat maupun cair. Menurut Adriano (2000), kontaminasi dan pencemaran logam berat Cd dan Pb dalam tanah umum- nya berkenaan dengan tiga aktivitas utama, yaitu: (1) aktivitas industri, seperti proses penambangan dan peleburan bijih logam, (2) aktivitas pertanian, seperti aplikasi pupuk inorganik, pestisida dan biosolids, serta (3) aktivitas perkotaan, seperti penggunaan BBM yang mengandung bahan anti letupan tetraethyl- dan tetramethyl-Pb serta pembuangan yang tidak ramah lingkungan dari limbah yang mengandung Cd dan Pb seperti batere dan aki.

Adsorpsi dari fase larutan ke padatan tanah merupakan proses kimia utama yang mengatur perilaku kation logam berat dalam tanah. Proses ini menentukan kadar kation dan kompleks logam berat dalam larutan tanah, sehingga merupakan faktor utama penentu mobilitas dan serapannya oleh tanaman (Alloway 1995b). Secara rinci, proses kimia yang memengaruhi distribusi kation logam berat pada fase larutan dan padatan tanah meliputi: (1) pengompleksan di larutan tanah, (2) adsorpsi non-spesifik atau pertukaran kation pada liat dimana kation logam berat (Ln+) bertukar posisi dengan counter-ion di lapisan baur, (3) adsorpsi spesifik atau

chemisorption pada liat, bahan organik dan hidroksida logam, (4) pembentukan

presipitat tak-larut, (5) disolusi atau kopresipitasi, dan (6) pengompleksan organik (Alloway 1995b; Mench et al. 1998; Gomes et al. 2001).

Sorpsi logam berat pada permukaan fase padatan tanah melibatkan berba- gai mekanisme berikut: (1) ketika suatu kation logam berat tersorpsi dengan gaya- gaya elektrostatik Coulomb yang lemah karena tetap mempertahankan air hidrasi- nya, maka kation tersebut akan tetap berada dalam lapisan baur membentuk kompleks outer-sphere dengan grup reaktif permukaan, (2) jika kehilangan beberapa molekul air hidrasinya dan karenanya menjadi terikat dengan gaya ikatan kimia yang kuat, maka kation tersebut akan membentuk kompleks inner- sphere, (3) ketika kompleks inner-sphere melibatkan polimer-polimer, maka akan

terbentuk inti permukaan dan selanjutnya terjadi presipitasi, dan (4) ketika berada dalam matriks mineral, maka kation logam berat akan terdifusi pada kisi-kisi mineral dan/atau terkopresipitasi (Alloway 1995b; Mench et al. 1998).

Secara ringkas, adsorpsi kation logam berat pada koloid tanah melibatkan dua mekanisme molekuler, yaitu: (1) adsorpsi non-spesifik atau pertukaran kation yang bersifat dapat-balik, dan (2) adsorpsi spesifik atau chemisorption akibat reaksi pengompleksan permukaan yang hampir bersifat tak dapat-balik yang terdiri atas pembentukan ikatan kovalen, presipitasi, kopresipitasi dan pengom- pleksan organik (Gomes et al. 2001).

Kapasitas adsorpsi non-spesifik ditentukan oleh KTK. Mekanisme ini bersifat stokiometris. Artinya, semakin tinggi valensi dan semakin rendah derajat hidrasi suatu logam berat maka semakin mudah logam berat tersebut teradsorpsi (Alloway 1995b). Dalam adsorpsi spesifik terjadi pertukaran antara Ln+ dengan permukaan ligan untuk membentuk ikatan kovalen, sehingga kapasitas adsorpsi lebih besar daripada KTK. Dalam mekanisme ini terjadi kompetisi antara Ln+ dengan H+ berdasarkan afinitas atau kecenderungan relatif untuk membentuk ikatan kovalen sehingga berkenaan dengan elektronegativitas (Hsu 1989).

Berdasarkan afinitas, spesies terhidrolisis LOH+ lebih mudah teradsorpsi daripada yang tak-terhidrolisis L+ (Schwertmann & Taylor 1989). Berdasarkan kecenderungan membentuk ikatan kovalen, adsorpsi Pb>Cd>Cu>Zn (Sposito 1989). Berdasarkan elektronegativitas, adsorpsi Cu>Pb>Cd>Zn (McBride 1994). Derajat adsorpsi juga dipengaruhi nilai konstanta keseimbangan pK dari reaksi L2+ + H2O ' LOH+ + H+, dimana adsorpsi meningkat dengan menurunnya pK, sehingga adsorpsi Pb (pK=7.7) > Cu (pK= 7.7) > Zn (pK=9.0) > Cd (pK=10.1) (Alloway 1995b).

Jika kondisi fisiko-kimia memungkinkan dan kadarnya cukup tinggi, kati- on logam berat dapat membentuk presipitat atau padatan tak-larut (Lindsay 2001). Pada kondisi sangat reduktif, Cu dapat membentuk cuprous ferrite (Cu2Fe2O4); Pada tanah dengan kadar Fe2+ sangat tinggi, Zn dapat membentuk franklinite

(ZnFe2O4); Pada pH tinggi, Cd dapat membentuk octavite (CdCO3); Pada tanah dengan kadar P sangat tinggi, Pb dapat membentuk pyromorphite dengan derajat kelarutan Pb5(PO4)3OH > Pb3(PO4)2 > Pb5(PO4)3Cl.

Kopresipitasi adalah mekanisme terjadinya presipitasi simultan antara mi- neral sekunder dengan kation logam berat. Untuk Cd, Cu, Pb dan Zn, jenis cam- puran padatan yang terbentuk meliputi Cd, Cu, Pb dan Zn dengan mineral liat, Pb dan Zn dengan Mn-hidroksida, serta Cu dan Zn dengan Fe-hidroksida. Juga dapat terjadi penggantian Ca2+ oleh Cd2+ pada permukaan kalsit CaCO3 yang berkontak dengan larutan yang mengandung Cd. Selanjutnya, sisa Cd2+ dalam larutan akan terpresipitasi sebagai octavite CdCO3 (Alloway 1995b).

Selain terlibat dalam reaksi pertukaran kation, padatan senyawa humik dengan gugus reaktif hidroksilat, fenolat dan karboksilat juga dapat mengadsorpsi kation logam berat dengan membentuk kompleks koordinasi khelat. Namun, ligan organik dengan bobot molekul rendah dapat membentuk kompleks yang bersifat larut dengan kation logam berat sehingga mencegah terjadinya adsorpsi maupun presipitasi (Stevenson 1980).

Pada gutit dan hematit (Schwertmann & Taylor 1989) serta Al-hidroksida (Hsu 1989), adsorpsi Cu>Pb>Zn>Cd. Kapasitas adsorpsi Ln+ pada tanah-tanah muda lebih besar daripada tanah-tanah tua (Alfisol > Ultisol > Oxisol). Hal ini berkenaan dengan peningkatan kadar spesies terhidrolisis LOH+ dan KTK efektif akibat pH yang lebih tinggi pada Alfisol. Secara umum, elektronegativitas dan afinitas terhadap permukaan koloid lebih berperan dalam menentukan selektivitas adsorpsi kation divalen pada tanah-tanah tua atau bereaksi masam, sedangkan pH dan dominansi spesies terhidrolisis (LOH+) lebih berperan pada tanah-tanah muda atau bereaksi lebih alkalin (Gomes et al. 2001).

Secara umum, kapasitas adsorpsi yang selanjutnya menentukan kadar fraksi aktif dari suatu kation logam berat dalam tanah dipengaruhi oleh KTK, tekstur, mineralogi liat, potensial redoks, pH dan kadar bahan organik tanah serta kadar unsur lain seperti P, S, N dan logam berat yang lain (Lindsay 2001; Stevenson 1980). Pada tanah-tanah tropis dari Brazil, selektivitas adsorpsi mengikuti urutan Pb>Cu>Cd>Zn dan terutama dipengaruhi oleh pH, KTK, kadar bahan organik, liat dan gibsit (Gomes et al. 2001).

Distribusi pada fase padatan dan larutan tanah merupakan parameter utama dalam penilaian risiko lingkungan dari kation logam berat di ekosistem daratan. Pada kadar rendah hingga sedang, distribusi kation logam berat dalam tanah dapat

dicirikan oleh koefisien distribusi Kd (l.kg-1), yaitu nisbah antara kadar kation logam berat pada fase padatan tanah (µg.kg-1) dengan kadarnya dalam larutan tanah (µg.l-1) pada kondisi keseimbangan (Holm et al. 2003).

Dalam banyak kasus pada tanah aerob, distribusi Cd pada fase padatan dan larutan tanah diatur oleh proses-proses sorpsi. Dalam hal ini, sorpsi digunakan sebagai terminologi kolektif untuk berbagai proses yang terjadi pada permukaan fase padatan tanah, termasuk pengompleksan dan pertukaran ion, serta proses- proses lain yang berkaitan dengan pengikatan oleh komponen kimia maupun fisika tanah (Holm et al. 2003).

Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa berbagai mineral secara individu dan komponen-komponen lain yang dijumpai dalam tanah dapat mengikat Cd, tetapi hasil dari sebagian besar studi yang menggunakan contoh tanah secara keseluruhan, bukan hanya fraksi liat, organik ataupun mineral tanah, menunjukkan bahwa pH merupakan parameter utama yang mengatur Kd Cd dalam tanah. Melalui percobaan korelasi dan analisis regresi berganda yang melibatkan 22 parameter tanah, termasuk kadar mineral pada fraksi liat, yang dilakukan pada nilai pH konstan (5.3 dan 6.7), Holm et al. (2003) menunjukkan bahwa selain pH, kadar bahan organik tanah merupakan peubah yang berkorelasi nyata dengan Kd Cd pada kedua nilai pH, KTK dan kadar gibsit pada pH rendah (5.3), sedangkan oksida Fe pada pH tinggi (6.7). Di sisi lain, tidak ada mineral lain yang dijumpai dalam tanah percobaannya (ilit, smektit, kaolinit, klorit, kuarsa, mikroklin dan plagioklas) yang berpengaruh nyata terhadap Kd Cd.

Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda terhadap data dari 70 studi, Sauvé et al. (2000) menemukan bahwa sekitar 50% dari variasi nilai Kd Cd dapat dijelaskan oleh variasi dari nilai pH larutan tanah. Dengan melibatkan kadar bahan organik sebagai peubah kedua, nilai koefisien regresi meningkat secara nyata (R2 = 0.61). Studi-studi lain juga mengidentifikasikan nilai pH (Naidu et al. 1994; Chlopecka et al. 1996), dan dalam beberapa kasus kadar bahan organik, kadar liat, KTK dan keberadaan ion logam lainnya (McBride et al. 1997; Gray et al. 1998; Sanchez-Camazano et al. 1998), sebagai parameter yang menunjukkan korelasi terbesar dengan nilai Kd atau kelarutan Cd tanah.

Pada tanah tercemar logam berat, baik fase padatan maupun larutan tanah merupakan faktor penentu kadar fraksi aktif Cd tanah, tetapi peran fase padatan tidak sepenting fase larutan bagi Pb tanah (Nolan et al. 2005). Namun. sebagian dari sorpsi Pb pada Ultisol dan Oxisol Puerto Rico dilaporkan terjadi melalui mekanisme adsorpsi spesifik atau chemisorption, dimanasorpsi Pb pada Oxisol > Ultisol karena kadar Fe/Al-oksida dan bahan organik yang lebih tinggi pada Oxisol (Appel et al. 2003). Kadar fraksi aktif Pb menurun secara eksponensial dengan bertambahnya masa inkubasi pada tanah yang diperkaya Pb inorganik (Fendorf et al. 2004). Reaksi masam mendukung terjadinya pelarutan Pb dari fase padatan sehingga meningkatkan kadar fraksi aktifnya dalam tanah (Jin et al. 2005).

Serapan dan akumulasi logam berat dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor tanah dan tanaman. Faktor-faktor tersebut meliputi: (1) kadar logam berat dalam larutan tanah, (2) pergerakan logam berat dari fase padatan tanah ke zona perakaran, (3) pergerakan logam berat dari permukaan ke bagian dalam akar, dan (4) translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang lain (Alloway 1995b). Mekanisme serapan logam berat oleh akar tanaman dapat terjadi secara pasif (difusi ion dalam larutan tanah ke endodermis akar) ataupun aktif (melawan gradien kadar tetapi memerlukan energi metabolit sehingga dapat terhambat oleh toksin). Pada umumnya Pb diserap secara pasif, sedangkan Cd, Cu dan Zn diserap secara aktif atau kombinasi keduanya (Kabata-Pendias & Pendias 2001).

Jika kadar fraksi aktif dalam media tumbuh meningkat, maka laju serapan terhadap ion logam berat Cd, Cu, Pb dan Zn mengikuti pola yang sangat berbeda sebagai berikut: (1) terjadi peningkatan kadar dalam jaringan tanaman dalam jumlah besar atau mudah ditranslokasikan untuk Cd dan Zn, (2) variasi kadar atau kemudahan translokasinya terbatas untuk Cu, serta (3) translokasi dan kadarnya dalam jaringan tanaman sangat terbatas untuk Pb (Chaney & Giordano 1997). Hal ini dapat diprediksi dari nilai koefisien pengalihan (ct), yaitu nisbah antara kon- sentrasi suatu logam berat dalam tajuk tanaman dengan kadar totalnya dalam tanah. Nilai ct Cd=Zn (1-10) > Cu (0.1-10) > Pb (0.01-0.1), sehingga diantara

keempat logam berat ini Cd dan Zn lebih mudah diserap dan ditranslokasikan ke tajuk tanaman daripada Cu dan yang paling sulit adalah Pb (Verloo 1993).

Perbedaan laju serapan tersebut juga ditentukan oleh perbedaan spesies dan kultivar antar tanaman yang secara genetis dapat berbeda dalam hal luas permukaan, KTK dan eksudat akar serta laju evapotranspirasi. Faktor terakhir menentukan aliran massa larutan tanah di rizosfer sehingga memengaruhi perge- rakan ion logam berat ke permukaan serapan akar (Alloway 1995b).

Selain melalui mekanisme penurunan pH, ekskresi ligan organik dari akar tanaman dapat meningkatkan kelarutan dan keterserapan kation logam berat mela- lui mekanisme lain seperti perubahan muatan permukaan koloid dan KTK tanah serta reaksi pengompleksan kation logam berat dengan anion ligan organik di rizosfer (Collins et al. 2003). Kemampuan ligan organik dalam mendesorpsi kation logam berat adalah sebagai berikut: maleat > fumarat; suksinat > tartrat > malonat > oksalat > salisilat (Naidu & Harter 1998). Di dalam larutan tanah pada permukaan akar, serapan juga ditentukan oleh sinergisme-antagonisme antar logam berat dan dengan hara lainnya, dimana Cd berantagonisme dan/atau bersi- nergisme dengan Cu dan bersinergisme dengan Zn, Cu berantagonisme dengan Al dan Mn, Zn berantagonisme dengan Mn dan Fe, dan nihil untuk Pb (Kabata- Pendias & Pendias 2001).

Kadar Cd, Cu, Pb dan Zn yang berlebihan akan mengakibatkan fitotoksi- sitas melalui mekanisme sebagai berikut: (1) perubahan permeabilitas membran sel (untuk Cd, Cu dan Pb), (2) reaksi kation dengan grup sulphydryl (-SH) (untuk Pb), dan (3) afinitas untuk bereaksi dengan grup fosfat dan grup aktif ADP atau ATP (untuk Cd, Cu, Pb dan Zn). Tanaman dapat menoleransi toksisitas logam berat melalui mekanisme sebagai berikut: (1) selektivitas serapan ion, (2) penu- runan permeabilitas atau perubahan struktur dan fungsi membran sel, (3) imobili- sasi ion logam berat pada akar, daun dan biji, (4) deposisi ion logam berat dalam bentuk tak-larut sehingga tidak terlibat dalam metabolisme, (5) peningkatan sis- tem enzim yang menghambat serapan ion logam berat atau meningkatkan produk- si metabolit antagonis atau memotong jalur metabolisme dengan tidak melalui tapak yang terhambat ion logam berat, (6) adaptasi terhadap penggantian logam fisiologis oleh logam berat dalam enzim, serta (7) pelepasan ion logam berat

melalui pencucian pada tajuk, gutasi, pengguguran daun dan ekskresi akar (Kabata-Pendias & Pendias 2001).

Salah satu respon penting tanaman terhadap kontaminasi logam berat As, Cd, Cu, Hg, Pb, Se dan Zn adalah dengan segera membentuk phytochelatin.

Dengan bantuan enzim phytochelatin synthase, γ-glucys dari glutahione diubah dan dikatalisis menjadi molekul glutathione lain untuk membentuk phytochelatin

atau rantai phytochelatin (Grill et al. 1985; Rauser 1995). Selanjutnya phyto-

chelatin mendetoksifikasi logam berat dengan membentuk kompleks logam-thiol

di dalam cytosol yang kemudian dialihkan menembus membran tonoplast untuk disekuestrasi di dalam vakuola sel (Maier et al. 2003).

Analisis Tanah terhadap Logam Berat

Suatu prosedur ekstraksi ketersediaan dianggap baik apabila dapat membe- rikan nilai korelasi yang secara statistik nyata dan berulang antara jumlah logam terekstrak dengan keragaan tanaman. Terminologi ‘bentuk tersedia’ (available

forms), digunakan dalam uji tanah hara mikro untuk menunjukkan status hara

tanah dalam kaitannya dengan tanaman, berkenaan dengan beberapa fraksi logam berat. Kadarnya ditetapkan sebagai fungsi yang memenuhi korelasi antara jumlah yang terekstrak dengan kadar hara atau respon pertumbuhan tanaman (Cottenie et al. 1979). Yang terpenting dari fraksi tersedia ini adalah fraksi yang larut-air, dapat-dipertukarkan dan terikat bahan organik. Logam yang teroklusi dalam mineral primer juga dapat menjadi ‘tersedia’ melalui pelapukan (Soon & Bates 1982), sedangkan logam yang teroklusi oleh mineral sekunder yang tinggi stabilitasnya justru tidak akan menjadi ‘tersedia’, kecuali dalam periode waktu yang sangat lama.

Bentuk larut-air diekstrak hanya menggunakan air dan kadar logam berat tanah dalam ekstrak air umumnya rendah. Bentuk dapat-dipertukarkan, yaitu kation yang mudah dipertukarkan antar larutan tanah dengan tapak bermuatan negatif pada permukaan koloid tanah, ditetapkan melalui metode perkolasi atau ekstraksi menggunakan larutan netral yang mengandung ion pengganti (displacing ions) seperti 1.0 M atau 0.5 M NH4OAc. Selain yang menjadi bagian atau komponen sel hidup, eksudatnya dan produk-produk degradasinya, logam yang

terikat bahan organik meliputi bentuk-bentuk terkompleks, terkhelat atau yang terjerap pada bahan organik. Bentuk ini hanya dapat dipertukarkan oleh kation lain de-ngan afinitas yang lebih tinggi terhadap tapak jerapan atau tapak pengompleksan dan umumnya ditetapkan menggunakan cara ekstraksi dengan bahan pengkhelat.

Reagen asam dengan berbagai kadar dan bahan pengkhelat sintetik seperti EDTA dan DTPA telah digunakan untuk menetapkan fraksi-fraksi ‘tersedia’ logam berat dalam tanah. Reagen NH4OAc-EDTA, 0.5 M NH4OAc yang me- ngandung 0.02 M EDTA pada pH 4.65, diasumsikan dapat melepaskan fraksi terlarut, terjerap dan terkompleks dari logam-logam berat dalam tanah yang dianggap ‘tersedia’ bagi tanaman (Lakanen dan Erviö 1971 diacu dalam Kiekens 1995). Asumsi yang sama juga diberikan kepada reagen DTPA, yaitu 0.005 M

DTPA yang mengandung 0.01 M CaCl2 dan disangga dengan 0.1 M TEA yang pHnya diatur pada nilai 7.3 menggunakan HCl (Lindsay & Norvell 1978).

Mekanisme analisis total meliputi digesti, destruksi dan pelarutan contoh tanah dengan reagen berikut: (1) HNO3 pekat dan HCl pekat (aqua regia); (2) HNO3 pekat, H2SO4 pekat dan H2O2; (3) HNO3 pekat dan HCl, diikuti HF; (4) campuran HNO3, HClO4, dan H2SO4; serta (5) metode bom digesti asam dimana 1 g contoh tanah diberi 12 ml HNO3 pekat selama 3 jam pada suhu 150 oC (Cottenie & Verloo 1984). Tidak ada satu pun metode yang secara sistematis memberikan data hasil analisis yang baik untuk semua elemen, meskipun metode yang menggunakan HF dikombinasikan dengan aqua regia memberikan data analisis yang lebih tinggi.

Logam berat dalam tanah dapat difraksionasikan menggunakan metode ekstraksi kimia berdasarkan prinsip pelarutan selektif menggunakan reagen yang berbeda-beda. Fraksionasi logam berat dalam tanah melalui ekstraksi kimia sekuensial multi-langkah memberikan hasil analisis yang lebih lengkap untuk menduga distribusi, mobilitas dan keterserapan logam berat dalam tanah. Dimulai dari penggunaan reagen yang paling tidak agresif untuk menetapkan fraksi logam yang mudah larut dan berlanjut hingga dekomposisi total matriks padatan tanah, prosedur ini dapat memisahkan logam ke dalam 2 sampai 9 fraksi (Elliott et al.

1990). Reagen yang digunakan dipilih berdasarkan selektivitasnya terhadap fraksi-fraksi fisiko-kimia logam berat yang spesifik.

Fraksionasi Cd, Cu, Pb dan Zn menggunakan prosedur ekstraksi sekuensial dilakukan Silviera & Sommers (1977) pada tanah bertekstur lempung berdebu yang diameliorasi biosolids dan diinkubasikan di laboratorium ke dalam fraksi larut-air, dapat-dipertukarkan, tersedia, dan residu. Reagen dan waktu ekstraksi yang digunakan berturut-turut H2O, 25 ml 1.0 M KNO3 selama 10 jam, 10 ml reagen DTPA selama 2 jam dan 25 ml 1.0 M HNO3 selama 16 jam. Untuk pene-tapan kadar total logam, contoh tanah didigesti dengan HNO3-HClO4.

Fraksionasi Cd, Cu, Ni dan Zn tanah ke dalam fraksi dapat dipertukarkan, terjerap, terikat bahan organik, karbonat dan residu dilakukan Emmerich et al. (1982) menggunakan prosedur ekstraksi sekuensial yang dimodifikasi dari prosedur yang dikembangkan Stover et al. (1976). Reagen dan waktu ekstraksi yang digunakan berturut-turut 25 g 0.5 M KNO3 selama 16 jam, 25 g 55.5 M penukar ion-H2O selama 2 jam, 25 g 0.5 M NaOH selama 16 jam, 25 g 0.05 M Na2-EDTA selama 6 jam dan 25 g 4.0 M HNO3 (70-80 oC) selama 16 jam.

Fraksionasi Cd, Cu, Ni, Pb dan Zn pada lapisan permukaan tanah daerah kering ke dalam fraksi dapat-dipertukarkan, terjerap, organik, karbonat dan sulfat dilakukan oleh Sposito et al. (1982) menggunakan modifikasi lain dari prosedur Stover (1976). Reagen dan waktu ekstraksi yang digunakan berturut-turut 25 g 0.5 M KNO3 selama 16 jam, 25 g air bebas ion selama 2 jam (ekstraksi 3 kali dan datanya dijumlahkan), 25 g 0.5 M NaOH selama 16 jam, 25 g 0.05 M Na2-EDTA selama 6 jam dan 25 g 4 M HNO3 selama 16 jam pada suhu 80 oC. Analisis total dilakukan dengan mendigesti 2 g contoh tanah dengan 12.5 ml 4 M HNO3 pada suhu 80 oC selama semalam.

Pada awal 1990an, European Community Committee mengusulkan

prosedur ekstraksi sekuensial untuk Cd, Cr, Cu, Ni, Pb dan Zn dalam contoh tanah dan sedimen dengan hanya menerapkan 3 tahap fraksionasi (Ure 1995). Pada tahap pertama, 1 g contoh diekstraksi dengan 40 ml 0.11 M asam asetat selama 16 jam. Pada tahap kedua, residu dari tahap pertama diekstraksi dengan pereduksi 40 ml 0.1 M hydroxylamine hydrochloride (diatur ke pH 2 dengan asam nitrat) selama 16 jam. Pada tahap ketiga, residu dari tahap kedua didigesti dengan

pengoksidasi 10 ml 30% hidrogen peroksida selama 1 jam pada suhu kamar, 1 jam lagi pada suhu 85 oC, dan didigesti lebih lanjut dengan 10 ml reagen dan pada suhu yang sama selama 1 jam, didinginkan dan ditambahkan 50 ml 1 M amonium asetat (diatur ke pH 2 dengan asam nitrat), dan dikocok selama 16 jam pada suhu kamar. Analisis total dilakukan dengan ekstraksi HF. Tahap pertama, kedua dan ketiga berturut-turut mengekstraksi logam dari fraksi terekstrak asam, fraksi dapat direduksikan dan fraksi dapat dioksidasikan.

Remediasi Tanah Tercemar Logam Berat

Tanpa intervensi manusia atau tindakan remediasi, proses reklamasi secara alami pada lokasi yang tercemar terjadi dengan laju yang sangat perlahan dan ber- langsung selama ratusan tahun bahkan lebih. Sementara itu, lokasi yang tercemar tersebut tetap akan menjadi ancaman bagi kesehatan dan ekosistem (Vangronsveld & Cunningham 1998).

Teknik remediasi tanah tercemar yang paling sesuai untuk suatu lokasi bersifat spesifik terhadap jenis bahan pencemar dan lokasinya. Banyak teknik remediasi tanah tercemar oleh pencemar organik yang dapat diterapkan (misalnya teknik volatilisasi, biodegradasi, dll.), namun tidak banyak pilihan untuk pencemar logam berat karena sifatnya yang tak-terdegradasikan dan relatif imobil. Remediasi tanah tercemar ringan oleh logam berat di kawasan perdesaan juga berbeda dengan yang diterapkan untuk lahan pertanian, kawasan perkotaan atau padat penduduk, kawasan industri ataupun kawasan penambangan dan peleburan